Mag-log inSore itu, ruang tamu keluarga Pramudya dipenuhi keheningan yang menegangkan. Di meja utama sudah tersaji teh hangat dan kue kecil, tapi tak ada yang menyentuhnya.
Arga duduk di sisi kanan, bersandar dengan tangan terlipat di dada, wajahnya jelas-jelas menunjukkan ketidaksabaran. Dara di sisi kiri, duduk tegak dengan tatapan lurus ke depan, seolah berusaha tidak menoleh ke arah pria di sampingnya. Ratna tersenyum canggung, mencoba mencairkan suasana. “Arga, Dara... kalian kan sebentar lagi akan sering bersama. Cobalah bicara, saling mengenal...” Namun Arga hanya melirik sekilas, lalu kembali menatap kosong ke meja. “Aku rasa tidak ada yang perlu dibicarakan.” Dara spontan menoleh, alisnya terangkat. “Bagus. Aku juga tidak tertarik untuk mengenal lebih jauh.” Jawaban itu membuat Pramudya mengerutkan dahi, sementara Sari menatap putrinya dengan lirih, seakan memohon agar Dara menahan diri. Arga menoleh singkat ke arah Dara, senyumnya tipis, sinis. “Setidaknya kita sepakat dalam satu hal.” Dara balas menatap, nada suaranya dingin. “Ya. Bahwa pernikahan ini bukan keinginan kita.” Keheningan kembali turun. Ratna menghela napas panjang, lalu berusaha menengahi. “Anak-anak... kami tahu ini tidak mudah. Tapi coba lihat dari sisi lain. Kalian berdua sama-sama cerdas, sama-sama punya masa depan cerah. Kalau mau sedikit membuka hati...” “Dengan segala hormat, Bu,” Arga memotong, suaranya tegas, “aku di sini hanya karena menghormati Ayah. Jangan berharap lebih.” Dara menambahkan, lirih tapi tegas, “Aku juga. Aku hanya melakukannya demi Ayah dan Ibu. Bukan karena aku ingin.” Ucapan mereka berdua membuat suasana makin berat. Sari menunduk, menahan air mata, sementara Hendra terbatuk kecil, tubuhnya terlihat lemah. Arga melirik sebentar ke arah Hendra—dan di situlah ia mulai menutup mulut. Ia tidak tega melihat ayah sahabat ayahnya itu tampak begitu rapuh. Dara pun sama. Ketika melihat ayahnya menahan batuk, hatinya langsung diremas perasaan bersalah. Mereka berdua kembali terdiam. Kali ini bukan karena enggan bicara, tapi karena sama-sama tahu: mau sekeras apa pun menolak, pernikahan itu tetap akan terjadi. **** Hari itu, aula pernikahan dihias mewah dengan bunga putih dan lampu gantung kristal. Tamu-tamu berdatangan dengan senyum dan doa restu, seakan menyaksikan pesta bahagia. Namun di balik senyum itu, ada dua hati yang sama sekali tidak ikut merayakan. Dara duduk di ruang rias, gaun putihnya berkilau indah. Namun wajahnya pucat. Bibirnya tersenyum tipis setiap kali ada yang masuk memberi selamat, tapi matanya kosong. Hatinya berontak, ingin sekali kabur... tapi bayangan ayahnya yang duduk lemah di kursi roda menahannya. “Dara...” suara Sari pelan, matanya berkaca-kaca melihat putrinya. “Maafkan Mama. Andai ada cara lain, Mama tidak akan membiarkanmu menikah dengan cara seperti ini.” Dara menoleh, memaksa tersenyum. “Tidak apa-apa, Ma. Selama Ayah bisa lega, aku akan jalani.” Di ruang berbeda, Arga berdiri di depan cermin, mengenakan jas hitam rapi. Pramudya menepuk bahunya. “Ingat, Arga. Ini bukan hanya tentangmu. Ini tentang keluarga. Tentang kehormatan kita.” Arga menatap cermin, rahangnya mengeras. “Aku tahu, Yah. Aku akan lakukan. Tapi jangan harap aku akan menikmati semua ini.” Ketika prosesi dimulai, Dara berjalan di lorong dengan langkah pelan. Senyum para tamu mengiringinya, padahal di dalam dadanya, rasa sesak tak henti menghantam. Arga menunggu di pelaminan, berdiri tegak, wajahnya datar tanpa ekspresi. Tatapan mereka bertemu—bukan dengan rasa kagum atau bahagia, melainkan dengan dingin yang membeku. Ijab kabul berlangsung lancar. Suara Arga tegas, mantap, tapi tidak ada getaran emosional di dalamnya. Dara menunduk sepanjang prosesi, hanya menjawab seperlunya. Ketika akhirnya para tamu bersorak, musik dimainkan, dan mereka dinyatakan sah sebagai suami istri, keduanya hanya bertukar pandang sekilas. Tidak ada senyum, tidak ada ucapan manis. Yang ada hanyalah dua hati yang sama-sama berbisik: “Ini bukan pilihan. Ini keterpaksaan.” Dan pesta yang tampak megah itu, bagi Arga dan Dara, hanyalah awal dari sebuah perjalanan panjang yang tidak pernah mereka inginkan. Hari-hari setelah pernikahan berjalan hambar bagi Dara. Rumah besar itu terasa dingin meski penuh furnitur mewah. Hubungannya dengan Arga tak lebih dari formalitas: saling menyapa sekadarnya, makan bersama hanya kalau ada orang tua, dan selebihnya hidup di dunianya masing-masing. Namun satu hal yang paling mengganggunya adalah kehadiran Rani. Rani—kekasih lama Arga. Cantik, anggun, dan percaya diri. Dara tahu, Arga tidak pernah benar-benar merelakan Rani, bahkan setelah mereka menikah. Setiap kali Rani datang ke rumah, Dara selalu merasa jadi orang asing di dalam rumahnya sendiri. Arga berubah. Ia yang dingin pada Dara, justru hangat, penuh senyum, bahkan romantis pada Rani. Suatu sore, Dara baru turun dari kamar ketika suara tawa terdengar dari ruang keluarga. Saat ia mendekat, matanya menangkap pemandangan yang membuat hatinya mencelos, Arga dan Rani duduk berdekatan di sofa, tangan Rani melingkar manja di lengan Arga, dan pria itu membiarkannya tanpa keberatan. “Arga, kamu memang nggak pernah berubah, ya. Masih selalu perhatian,” suara Rani menggoda. Arga tertawa kecil. “Kamu juga. Masih suka manja sama aku.” Dara berhenti di tangga, menatap dari jauh. Ada sesuatu yang aneh di dadanya, sebuah rasa tak nyaman yang ia coba tekan. Kenapa aku harus peduli? Bukankah ini memang pernikahan terpaksa? batinnya berontak. Namun ketika lain kali ia mendapati mereka—kali ini di taman belakang, Rani menyandarkan kepala di bahu Arga, lalu dengan santai pria itu mengecup keningnya—Dara merasa tubuhnya menegang. Wajahnya memanas, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia buru-buru berbalik, pura-pura sibuk menyiram tanaman. Tapi di hatinya, ada suara kecil yang berbisik: Kenapa aku marah? Kenapa aku sedih? Malamnya, Dara tidak bisa tidur. Bayangan Arga dan Rani terus berputar di kepalanya. Ia merasa aneh, kesal, tapi tak berani mengaku kalau itu adalah cemburu. Sementara itu, Arga sama sekali tak menyadari gejolak batin Dara. Bagi Arga, Rani tetap satu-satunya cinta yang ia miliki, dan Dara hanyalah istri di atas kertas.Hujan baru saja berhenti, udara sore masih lembap. Aluna keluar dari minimarket kecil dekat kos temannya, membawa dua botol minuman dan roti. Ia ingin kembali ke mobil teman-temannya yang sedang parkir. Saat berjalan melewati rak buah di depan minimarket, seseorang menabraknya pelan dari sisi kanan. Bukan keras, tapi cukup membuat botol minuman bergoyang. Suara seorang lelaki pelan terdengar, “Maaf… Luna?” Aluna menoleh. Dan di sana, berdiri pria yang tak pernah benar-benar hilang dari kepalanya selama dua minggu terakhir. Freddy. Pakaiannya sederhana, kemeja coklat gelap, tangan masih memegang kantong belanja, wajahnya tampak lebih lelah dari terakhir kali. Ada kantung mata yang dalam, ada napas yang tertahan lama. “Om… Freddy?” Freddy tersenyum kecil, namun gugup, “Iya. Kamu sendiri? Sudah mau pulang?” “Iya, ini habis beli minum.” Ada keheningan aneh di antara mereka. Seperti ada sesuatu yang menggantung… sesuatu yang tidak bisa dihindari. Freddy menelan ludah perlahan
Tiga hari setelah Freddy duduk diam di seberang Cafe Selaras, Aluna sedang dalam perjalanan pulang dari kampus. Mobilnya sedang berada di bengkel. Sore itu gerimis kota pesisir memiliki bau hujan yang khas, asin laut bercampur tanah basah. Aluna memeluk totebag ke dadanya, buru-buru berjalan agar tidak terlalu basah, saat menyeberang trotoar menuju halte, langkahnya terpeleset kecil karena batu jalan yang licin. Seseorang sigap menangkap lengannya. Freddy. Tangan pria itu besar, hangat, kuku-kukunya bersih tapi ada garis bekas kerja kasar. Gerakannya spontan, refleks, bukan rencana. “Ah—! Maaf, saya— hampir jatuh…” seru Aluna. Freddy melepas perlahan agar tidak membuatnya takut, “Tidak apa-apa. Kau baik-baik saja?” Aluna mengangguk cepat, sedikit kikuk. Ia menatap wajah Freddy. Mata itu… tajam, tapi bukan menghakimi. Lebih seperti seseorang yang sudah terlalu banyak hidup dan terlalu banyak kehilangan. Aluna tidak mengenalnya. Tapi entah kenapa, ia merasa
Hujan akhirnya berhenti ketika senja mulai turun.Langit berubah menjadi ungu gelap, seolah menyerap seluruh kesedihan yang menggantung di udara.Freddy berjalan tanpa arah.Langkahnya berat, tidak tergesa, tidak pula yakin.Hanya berjalan.Ia berakhir di dermaga tua — tempat nelayan biasanya menambatkan perahu saat malam tiba.Papan kayu jembatan itu basah dan berderit pelan saat ia melangkah menuju ujungnya.Ia duduk.Tanpa payung, tanpa berteduh.Membiarkan sisa hujan menetes dari rambutnya dan kelembaban menyerap ke pakaiannya.Tangannya terasa gemetar.Bukan karena dingin, tapi karena kenyataan yang baru saja menghantamnya keras.“Aluna… anakku…”Suara itu keluar pelan, serak, hampir tidak terdengar.Seolah ia takut kalau dunia akan mendengar dan menertawakannya.Matanya menatap permukaan laut. Gelap, beriak, tidak memantulkan cahaya apapun.Seperti hidupnya.Selama bertahun-tahun di penjara, ia menahan marah, menahan dendam, menahan frustasi.Ia yakin Riana menghancurkan hidupn
Sore itu, langit di atas kota pesisir tampak mendung, udara membawa aroma garam laut bercampur hujan yang sebentar lagi turun. Freddy melangkah perlahan di sepanjang jalan kecil menuju Selaras Café, tempat yang sejak lama ia dengar dari orang-orang sebagai milik Dara dan Arga. Dan konon, dikelola oleh seorang wanita bernama Riana. Nama itu membuat dadanya sesak setiap kali ia dengar. Tangannya gemetar ketika hendak membuka pintu kafe. Ia tak tahu apa yang akan dikatakan jika benar Riana ada di sana. Apakah ia pantas menemuinya setelah semua yang telah terjadi? Namun hati kecilnya terus berbisik, "Setidaknya sekali saja… biar aku bisa minta maaf…" Langkahnya baru dua meter dari pintu ketika seseorang keluar dari dalam kafe. Seorang pria tinggi dengan wajah tegas dan mata tajam, Adrian Wilson Anggara. Adrian baru saja menutup percakapan telepon dengan salah satu staf cottage-nya. Namun begitu melihat sosok pria berjaket lusuh dengan tatapan bimbang di depan pintu k
Aluna sedang liburan singkat ke kota tempat dulu ibunya pernah tinggal, bersama tiga teman kampusnya. Mereka mencari tempat nongkrong yang “vintage dan tenang”. Salah satu temannya merekomendasikan sebuah kafe yang katanya punya vibe klasik dan tenang “Cafe Purnama”. Freddy sekarang sudah jauh berubah. Rambutnya memutih sebagian, wajahnya terlihat lelah namun berwibawa. Ia bekerja sebagai pengurus kebun kecil milik seorang kenalannya di luar kota.Pak Anggara, orang tua Freddy dan Adrian sudah meninggal dunia, kemudian perusahaannya bangkrut karena di kelola oleh asistennya, yang ternyata punya niat jahat. Sehingga saat Freddy keluar penjara, semuanya sudah hancur, dan berujung malapetaka. Semua harta maupun aset yang di milikinya semuanya hilang dan tak tersisa apapun untuknya.Yang tersisa hanya pakaian di badannya saja yang dia pakai saat keluar dari penjara.Pada akhirnya, dia hanya bisa menjadi tukang kebun. Beruntung, dia bertemu dengan kenalannya dan memintanya untuk memb
Sore itu, udara di pesisir terasa lembut. Angin laut berhembus membawa aroma asin yang khas, menelusup ke setiap jendela Selaras Café dan Alunadric Cottage yang kini sudah menjadi salah satu destinasi wisata paling terkenal di daerah itu. Banyak pasangan muda datang untuk berlibur, menikmati matahari tenggelam yang indah di tepi laut, tak tahu bahwa tempat ini lahir dari kisah dua hati yang pernah hancur dan sembuh bersama. Dari balkon utama rumah mereka, Riana menatap pantai sambil memegang secangkir teh hangat. Garis halus di wajahnya bukan tanda lelah, melainkan bukti perjalanan panjang dan cinta yang matang. Dari kejauhan, ia melihat Aluna, yang kini berusia 20 tahun, berjalan sambil membawa kamera di tangan. Gadis itu kini kuliah semester 3 di jurusan Desain Komunikasi Visual, dan sering membantu ibunya membuat desain promosi untuk Selaras Café dan cottage milik ayahnya. Langkahnya cepat, matanya bersinar penuh semangat, kombinasi sempurna antara ketegasan Anggara family







