Share

Bab 6.

last update Last Updated: 2025-09-04 13:16:31

Sore itu, ruang tamu keluarga Pramudya dipenuhi keheningan yang menegangkan. Di meja utama sudah tersaji teh hangat dan kue kecil, tapi tak ada yang menyentuhnya.

Arga duduk di sisi kanan, bersandar dengan tangan terlipat di dada, wajahnya jelas-jelas menunjukkan ketidaksabaran. Dara di sisi kiri, duduk tegak dengan tatapan lurus ke depan, seolah berusaha tidak menoleh ke arah pria di sampingnya.

Ratna tersenyum canggung, mencoba mencairkan suasana.

“Arga, Dara... kalian kan sebentar lagi akan sering bersama. Cobalah bicara, saling mengenal...”

Namun Arga hanya melirik sekilas, lalu kembali menatap kosong ke meja. “Aku rasa tidak ada yang perlu dibicarakan.”

Dara spontan menoleh, alisnya terangkat. “Bagus. Aku juga tidak tertarik untuk mengenal lebih jauh.”

Jawaban itu membuat Pramudya mengerutkan dahi, sementara Sari menatap putrinya dengan lirih, seakan memohon agar Dara menahan diri.

Arga menoleh singkat ke arah Dara, senyumnya tipis, sinis.

“Setidaknya kita sepakat dalam satu hal.”

Dara balas menatap, nada suaranya dingin. “Ya. Bahwa pernikahan ini bukan keinginan kita.”

Keheningan kembali turun. Ratna menghela napas panjang, lalu berusaha menengahi.

“Anak-anak... kami tahu ini tidak mudah. Tapi coba lihat dari sisi lain. Kalian berdua sama-sama cerdas, sama-sama punya masa depan cerah. Kalau mau sedikit membuka hati...”

“Dengan segala hormat, Bu,” Arga memotong, suaranya tegas, “aku di sini hanya karena menghormati Ayah. Jangan berharap lebih.”

Dara menambahkan, lirih tapi tegas, “Aku juga. Aku hanya melakukannya demi Ayah dan Ibu. Bukan karena aku ingin.”

Ucapan mereka berdua membuat suasana makin berat. Sari menunduk, menahan air mata, sementara Hendra terbatuk kecil, tubuhnya terlihat lemah.

Arga melirik sebentar ke arah Hendra—dan di situlah ia mulai menutup mulut. Ia tidak tega melihat ayah sahabat ayahnya itu tampak begitu rapuh.

Dara pun sama. Ketika melihat ayahnya menahan batuk, hatinya langsung diremas perasaan bersalah.

Mereka berdua kembali terdiam. Kali ini bukan karena enggan bicara, tapi karena sama-sama tahu: mau sekeras apa pun menolak, pernikahan itu tetap akan terjadi.

****

Hari itu, aula pernikahan dihias mewah dengan bunga putih dan lampu gantung kristal. Tamu-tamu berdatangan dengan senyum dan doa restu, seakan menyaksikan pesta bahagia. Namun di balik senyum itu, ada dua hati yang sama sekali tidak ikut merayakan.

Dara duduk di ruang rias, gaun putihnya berkilau indah. Namun wajahnya pucat. Bibirnya tersenyum tipis setiap kali ada yang masuk memberi selamat, tapi matanya kosong. Hatinya berontak, ingin sekali kabur... tapi bayangan ayahnya yang duduk lemah di kursi roda menahannya.

“Dara...” suara Sari pelan, matanya berkaca-kaca melihat putrinya. “Maafkan Mama. Andai ada cara lain, Mama tidak akan membiarkanmu menikah dengan cara seperti ini.”

Dara menoleh, memaksa tersenyum. “Tidak apa-apa, Ma. Selama Ayah bisa lega, aku akan jalani.”

Di ruang berbeda, Arga berdiri di depan cermin, mengenakan jas hitam rapi. Pramudya menepuk bahunya.

“Ingat, Arga. Ini bukan hanya tentangmu. Ini tentang keluarga. Tentang kehormatan kita.”

Arga menatap cermin, rahangnya mengeras. “Aku tahu, Yah. Aku akan lakukan. Tapi jangan harap aku akan menikmati semua ini.”

Ketika prosesi dimulai, Dara berjalan di lorong dengan langkah pelan. Senyum para tamu mengiringinya, padahal di dalam dadanya, rasa sesak tak henti menghantam. Arga menunggu di pelaminan, berdiri tegak, wajahnya datar tanpa ekspresi.

Tatapan mereka bertemu—bukan dengan rasa kagum atau bahagia, melainkan dengan dingin yang membeku.

Ijab kabul berlangsung lancar. Suara Arga tegas, mantap, tapi tidak ada getaran emosional di dalamnya. Dara menunduk sepanjang prosesi, hanya menjawab seperlunya.

Ketika akhirnya para tamu bersorak, musik dimainkan, dan mereka dinyatakan sah sebagai suami istri, keduanya hanya bertukar pandang sekilas. Tidak ada senyum, tidak ada ucapan manis.

Yang ada hanyalah dua hati yang sama-sama berbisik:

“Ini bukan pilihan. Ini keterpaksaan.”

Dan pesta yang tampak megah itu, bagi Arga dan Dara, hanyalah awal dari sebuah perjalanan panjang yang tidak pernah mereka inginkan.

Hari-hari setelah pernikahan berjalan hambar bagi Dara. Rumah besar itu terasa dingin meski penuh furnitur mewah. Hubungannya dengan Arga tak lebih dari formalitas: saling menyapa sekadarnya, makan bersama hanya kalau ada orang tua, dan selebihnya hidup di dunianya masing-masing.

Namun satu hal yang paling mengganggunya adalah kehadiran Rani.

Rani—kekasih lama Arga. Cantik, anggun, dan percaya diri. Dara tahu, Arga tidak pernah benar-benar merelakan Rani, bahkan setelah mereka menikah.

Setiap kali Rani datang ke rumah, Dara selalu merasa jadi orang asing di dalam rumahnya sendiri. Arga berubah. Ia yang dingin pada Dara, justru hangat, penuh senyum, bahkan romantis pada Rani.

Suatu sore, Dara baru turun dari kamar ketika suara tawa terdengar dari ruang keluarga. Saat ia mendekat, matanya menangkap pemandangan yang membuat hatinya mencelos, Arga dan Rani duduk berdekatan di sofa, tangan Rani melingkar manja di lengan Arga, dan pria itu membiarkannya tanpa keberatan.

“Arga, kamu memang nggak pernah berubah, ya. Masih selalu perhatian,” suara Rani menggoda.

Arga tertawa kecil. “Kamu juga. Masih suka manja sama aku.”

Dara berhenti di tangga, menatap dari jauh. Ada sesuatu yang aneh di dadanya, sebuah rasa tak nyaman yang ia coba tekan. Kenapa aku harus peduli? Bukankah ini memang pernikahan terpaksa? batinnya berontak.

Namun ketika lain kali ia mendapati mereka—kali ini di taman belakang, Rani menyandarkan kepala di bahu Arga, lalu dengan santai pria itu mengecup keningnya—Dara merasa tubuhnya menegang. Wajahnya memanas, jantungnya berdegup lebih cepat.

Ia buru-buru berbalik, pura-pura sibuk menyiram tanaman. Tapi di hatinya, ada suara kecil yang berbisik:

Kenapa aku marah? Kenapa aku sedih?

Malamnya, Dara tidak bisa tidur. Bayangan Arga dan Rani terus berputar di kepalanya. Ia merasa aneh, kesal, tapi tak berani mengaku kalau itu adalah cemburu.

Sementara itu, Arga sama sekali tak menyadari gejolak batin Dara. Bagi Arga, Rani tetap satu-satunya cinta yang ia miliki, dan Dara hanyalah istri di atas kertas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Awalnya Terpaksa, Akhirnya Jatuh Cinta   Bab 11.

    Beberapa hari kemudian, Arga menerima undangan dari klien penting yang ingin berdiskusi soal proyek besar. Rani, yang kebetulan menjadi konsultan acara untuk klien itu, juga hadir. “Ga, aku sekalian koordinasi soal event klien ini, biar semua lancar,” ucap Rani sambil tersenyum manis. Arga mengangguk, merasa nyaman dengan kehadiran Rani. Dara mendengar kabar itu dari telepon pagi hari. Ia mencoba menenangkan diri, mengingat bahwa ini urusan pekerjaan. Namun, hatinya tetap terasa sesak. Ia kembali tenggelam dalam laporan keuangan, menghitung angka demi angka, berharap fokusnya bisa mengusir rasa cemburu. Di kantor, Arga dan Rani terlihat akrab. Mereka saling bertukar ide, berdiskusi di ruang rapat dengan nada santai namun produktif. Arga sering tersenyum pada Rani, memberi apresiasi atas ide-ide kreatifnya. Rani pun dengan lihai menambahkan komentar kecil yang membuat Arga tertawa, membuat beberapa rekan kerja tak bisa menahan senyum. Sementara Dara, yang duduk di meja di seberang

  • Awalnya Terpaksa, Akhirnya Jatuh Cinta   Bab 10.

    Suatu sore, Rani sengaja masuk ke dapur saat Dara sedang menyiapkan minuman. Ia tersenyum manis, tapi matanya menyiratkan sesuatu. “Mbak Dara, makasih ya selalu bikinin minum kalau aku datang. Aku tau kamu orangnya baik banget. Tapi… jujur aja, aku suka kasihan sama kamu.” Dara menoleh, alisnya mengernyit. “Kasihan? Maksud kamu apa?” Rani pura-pura menutup mulutnya, lalu tertawa kecil. “Ah, nggak apa-apa kok. Cuma… aku tau Arga itu nggak mudah dilupakan. Susah banget dilepasin, apalagi kalau udah pernah jadi bagian penting hidup seseorang. Kamu ngerti kan maksud aku?” Dara terdiam, jantungnya berdegup cepat. Ia menunduk pura-pura sibuk dengan gelas di tangannya. Malam itu, Rani ikut makan malam di rumah. Saat Arga memuji sup buatan Dara, Rani langsung menyahut, “Wah, enak banget! Tapi kalau soal masakan, aku masih inget dulu Arga paling suka masakanku. Kamu masih inget kan, Ga, waktu aku bikinin pasta buat kamu?” Arga hanya tersenyum samar, tapi Dara yang duduk di seberangny

  • Awalnya Terpaksa, Akhirnya Jatuh Cinta   Bab 9.

    Arga Mulai Menyadari Sikap Aneh Dara. Jadi, pelan-pelan ia menangkap ada sesuatu yang berubah pada Dara, meskipun ia belum paham bahwa itu adalah rasa cemburu.Arga baru saja pulang kerja, masih dengan kemeja yang sedikit kusut. Dara menghampiri, menyodorkan segelas air dingin.“Capek?” tanyanya singkat.“Lumayan,” jawab Arga, lalu menaruh tas di sofa.Tiba-tiba ponselnya berbunyi, Rani menelepon. Senyum Arga muncul tanpa sadar. Saat itu juga, Dara menegakkan tubuhnya. Matanya menatap sekilas, lalu ia berdeham kecil.“Aku… ke dapur dulu.”Arga mengerutkan kening, memperhatikan gerak Dara yang agak terburu-buru. Kenapa sih dia kayak nggak suka kalau aku nerima telepon?Arga masuk ke dapur setelah menutup telepon. Ia melihat Dara sibuk memotong bawang, tapi potongannya berantakan.“Kamu kenapa? Lagi nggak enak badan?”“Nggak kok.”“Terus kenapa kelihatan bete gitu?”“Aku nggak bete,” jawab Dara cepat, suaranya meninggi tanpa sadar.Arga diam sejenak, menatapnya lekat. Ada yang janggal,

  • Awalnya Terpaksa, Akhirnya Jatuh Cinta   Bab 8.

    Hari-hari setelah liburan itu, Rani semakin sering datang ke rumah Arga. Kalau dulu ia masih menjaga jarak, kini sikapnya terang-terangan. Ia duduk di ruang tamu sambil tertawa renyah dengan Arga, sesekali menggenggam tangannya tanpa malu-malu.Dara yang sedang menyiapkan teh di dapur hanya bisa menggigit bibir, menahan rasa tak enak yang semakin menjadi-jadi. Saat ia menghidangkan minuman, Rani tersenyum manis.“Terima kasih ya, Mbak Dara. Aku selalu nyaman kalau di sini. Apalagi Arga selalu tahu cara bikin aku betah.”Kata-kata itu seperti sindiran tajam. Dara memaksakan senyum tipis.“Ya, sama-sama.”Di balik senyum itu, hatinya bergemuruh. Ia ingin sekali berteriak, ‘Jangan perlakukan suamiku seperti itu!’ Tapi lidahnya kelu, karena ia tahu, dari awal pernikahan ini memang bukan karena cinta.Suatu malam, Arga dan Dara duduk makan malam bersama. Rani ikut bergabung karena “kebetulan” ada urusan di dekat rumah.Rani menatap Arga sambil berkata manja, “Kamu masih inget kan, makanan

  • Awalnya Terpaksa, Akhirnya Jatuh Cinta   Bab 7.

    Sejak awal minggu, hubungan Arga dan Rani makin erat. Mereka sering makan siang berdua, bercanda, bahkan saling curhat. Dara yang awalnya cuek, mulai merasakan ada sesuatu yang janggal. Tiap kali melihat mereka tertawa bersama, ada rasa sesak yang tak bisa ia jelaskan. Suatu sore, saat mereka bertiga duduk di kafe, Rani tiba-tiba mengumumkan dengan penuh semangat, "Ga, gimana kalau weekend ini kita jalan-jalan ke Puncak? Refreshing, sekalian quality time, kan.” Arga tersenyum, menatap Rani dengan antusias. “Boleh juga tuh. Kayaknya asik.” Dara yang duduk di seberang, hanya bisa menyeduh minumannya pelan. Ia menunggu, berharap Arga akan menoleh padanya dan mengajaknya juga. Tapi ternyata, yang keluar dari mulut Arga hanyalah, “Oke, berarti weekend ini, cuma kita berdua ya.” Hati Dara tercekat. Senyumnya kaku. Ia mencoba menutupi rasa perih itu dengan pura-pura sibuk main HP. Kenapa aku kecewa sih? Kan aku nggak punya hak juga bua

  • Awalnya Terpaksa, Akhirnya Jatuh Cinta   Bab 6.

    Sore itu, ruang tamu keluarga Pramudya dipenuhi keheningan yang menegangkan. Di meja utama sudah tersaji teh hangat dan kue kecil, tapi tak ada yang menyentuhnya.Arga duduk di sisi kanan, bersandar dengan tangan terlipat di dada, wajahnya jelas-jelas menunjukkan ketidaksabaran. Dara di sisi kiri, duduk tegak dengan tatapan lurus ke depan, seolah berusaha tidak menoleh ke arah pria di sampingnya.Ratna tersenyum canggung, mencoba mencairkan suasana.“Arga, Dara... kalian kan sebentar lagi akan sering bersama. Cobalah bicara, saling mengenal...”Namun Arga hanya melirik sekilas, lalu kembali menatap kosong ke meja. “Aku rasa tidak ada yang perlu dibicarakan.”Dara spontan menoleh, alisnya terangkat. “Bagus. Aku juga tidak tertarik untuk mengenal lebih jauh.”Jawaban itu membuat Pramudya mengerutkan dahi, sementara Sari menatap putrinya dengan lirih, seakan memohon agar Dara menahan diri.Arga menoleh singkat ke arah Dara, senyumnya tipis, si

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status