Hari-hari setelah liburan itu, Rani semakin sering datang ke rumah Arga. Kalau dulu ia masih menjaga jarak, kini sikapnya terang-terangan. Ia duduk di ruang tamu sambil tertawa renyah dengan Arga, sesekali menggenggam tangannya tanpa malu-malu.
Dara yang sedang menyiapkan teh di dapur hanya bisa menggigit bibir, menahan rasa tak enak yang semakin menjadi-jadi. Saat ia menghidangkan minuman, Rani tersenyum manis. “Terima kasih ya, Mbak Dara. Aku selalu nyaman kalau di sini. Apalagi Arga selalu tahu cara bikin aku betah.” Kata-kata itu seperti sindiran tajam. Dara memaksakan senyum tipis. “Ya, sama-sama.” Di balik senyum itu, hatinya bergemuruh. Ia ingin sekali berteriak, ‘Jangan perlakukan suamiku seperti itu!’ Tapi lidahnya kelu, karena ia tahu, dari awal pernikahan ini memang bukan karena cinta. Suatu malam, Arga dan Dara duduk makan malam bersama. Rani ikut bergabung karena “kebetulan” ada urusan di dekat rumah. Rani menatap Arga sambil berkata manja, “Kamu masih inget kan, makanan favorit aku dulu? Tumis kangkung sama ayam goreng. Arga tuh selalu hafal makanan kesukaanku. Nggak kayak orang lain.” Dara langsung berhenti mengunyah. Tangannya menggenggam sendok erat-erat, hampir bergetar. Ia menatap Arga sebentar, berharap suaminya menyangkal atau mengalihkan pembicaraan. Tapi Arga hanya tersenyum samar dan menjawab, “Ya, aku masih inget kok.” Hati Dara langsung diremas perasaan pahit. Tanpa sadar ia menjatuhkan sendok ke meja, menimbulkan suara keras. “Maaf,” katanya cepat, lalu berdiri. “Aku udah kenyang.” Rani meliriknya dengan senyum kemenangan, sementara Arga hanya menghela napas, tidak menyadari badai kecil yang sudah mulai berkecamuk dalam hati Dara. Dara duduk di ranjang sambil memeluk bantal. Kenapa sih Arga nggak pernah lihat aku? Kenapa dia nggak pernah peduli meski aku jelas-jelas nggak suka Rani selalu datang? Ia membuang napas berat. Rasa cemburu itu makin nyata, makin sulit disembunyikan. Dan yang lebih membuatnya sakit, Arga masih bersikap seolah-olah tidak ada masalah, seolah-olah semua baik-baik saja. ***** Hari-hari berikutnya, Dara tak lagi bisa sepenuhnya menyembunyikan rasa tak nyaman setiap kali Rani datang. Saat di rumah tamu, Rani dengan santainya duduk berdekatan dengan Arga, sementara Dara datang membawa cemilan. Tanpa sadar, ia meletakkan piring itu dengan sedikit lebih keras di meja, membuat keduanya menoleh. “Eh, maaf, kebentur,” ucap Dara cepat sambil menunduk. Tapi tangannya yang meremas kain rok jelas menunjukkan ada sesuatu yang di tahannya. Saat Ada Pesta Keluarga, Rani kembali muncul, kali ini bergabung dalam acara keluarga Arga. Dara duduk di samping suaminya, tapi sepanjang acara Rani selalu mencari perhatian Arga. Sesekali, Dara menggigit bibir, sesekali matanya melirik tajam ke arah tangan Rani yang terlalu sering menyentuh lengan Arga. Seorang sepupu Arga yang peka akhirnya berbisik ke Dara sambil terkekeh pelan, “Kamu cemburu ya?” Dara langsung terkejut, wajahnya memerah. “Nggak kok. Ngapain juga aku cemburu?” balasnya cepat, tapi suaranya terdengar gugup. Setelah pesta, Dara masuk kamar lebih dulu, melempar selendangnya ke kursi. Hatinya panas, tapi ia tak mengerti kenapa. “Cemburu? Aku? Itu konyol banget…” gumamnya sendiri sambil menghela napas. Namun, setiap kali ia mengingat tatapan mesra Arga pada Rani, dada Dara kembali terasa sesak. Ia memeluk bantal erat-erat, wajahnya merona tanpa ia sadari. Perasaan yang ia sangkal justru semakin tumbuh diam-diam. Suatu malam, di saat sedang menonton televisi, Arga dan Dara duduk di ruang keluarga. Televisi menayangkan acara musik, tiba-tiba ponsel Arga berbunyi. Nama Rani tertera di layar. Arga dengan santai mengangkat telepon. Wajahnya sedikit tersenyum. Dara menatap layar TV, tapi jemarinya tanpa sadar mengetuk-ngetuk meja dengan ritme cepat. Saat telepon berlangsung agak lama, ia berdiri tiba-tiba. “Aku bikin teh dulu,” ucapnya pendek, lalu melangkah ke dapur tanpa menoleh. Di lain waktu, saat di supermarket, Arga dan Dara berbelanja keperluan rumah. Tak disangka, mereka bertemu Rani. “Oh, kebetulan banget! Lagi belanja juga?” sapa Rani ceria. Arga menjawab hangat, sementara Dara menunduk pura-pura sibuk memeriksa daftar belanjaan di ponselnya. Namun, saat Arga dan Rani tertawa membicarakan sesuatu, Dara memasukkan barang ke troli dengan gerakan agak kasar, bahkan sampai menimbulkan bunyi “duk” yang membuat keduanya menoleh. “Eh, nggak apa-apa kok,” ucap Dara cepat, padahal wajahnya sudah memerah. Kemudian saat makan malam, Dara menyiapkan makan malam sederhana. Arga tiba-tiba bercerita kalau siang tadi ia bertemu Rani dan mereka makan siang bersama. “Oh ya?” respon Dara datar. Ia menaruh sendok sup agak keras ke mangkuk, membuat kuah sedikit terciprat. Arga mengernyit. “Kamu kenapa?” “Nggak apa-apa. Makan aja cepat, nanti keburu dingin,” jawabnya singkat. Suatu hari, Keluarga Arga mengadakan kumpul kecil. Saat sesi foto, Rani yang kebetulan juga hadir tiba-tiba berdiri di samping Arga. Dara menatap sekilas, lalu dengan langkah pelan, ia berdiri di sisi lain Arga. Tangannya tanpa sadar menyentuh lengan suaminya, seakan ingin memastikan posisinya. Ekspresinya tetap tenang, tapi matanya menyiratkan ketegangan. Begitu lah ekspresi dari ketidak nyamanan Dara saat Rani hadir di antara dirinya dan Arga. Di kamarnya, Dara menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia sadar betul, bahwa dirinya sudah terlalu sering menunjukkan “gestur aneh”. Tapi ia tak berani mengakuinya, bahkan pada dirinya sendiri. Aku nggak mungkin cemburu. Aku nggak mungkin suka sama dia. Kan ini semua cuma… keterpaksaan. Namun, tubuh dan sikapnya berkata lain.Beberapa hari kemudian, Arga menerima undangan dari klien penting yang ingin berdiskusi soal proyek besar. Rani, yang kebetulan menjadi konsultan acara untuk klien itu, juga hadir. “Ga, aku sekalian koordinasi soal event klien ini, biar semua lancar,” ucap Rani sambil tersenyum manis. Arga mengangguk, merasa nyaman dengan kehadiran Rani. Dara mendengar kabar itu dari telepon pagi hari. Ia mencoba menenangkan diri, mengingat bahwa ini urusan pekerjaan. Namun, hatinya tetap terasa sesak. Ia kembali tenggelam dalam laporan keuangan, menghitung angka demi angka, berharap fokusnya bisa mengusir rasa cemburu. Di kantor, Arga dan Rani terlihat akrab. Mereka saling bertukar ide, berdiskusi di ruang rapat dengan nada santai namun produktif. Arga sering tersenyum pada Rani, memberi apresiasi atas ide-ide kreatifnya. Rani pun dengan lihai menambahkan komentar kecil yang membuat Arga tertawa, membuat beberapa rekan kerja tak bisa menahan senyum. Sementara Dara, yang duduk di meja di seberang
Suatu sore, Rani sengaja masuk ke dapur saat Dara sedang menyiapkan minuman. Ia tersenyum manis, tapi matanya menyiratkan sesuatu. “Mbak Dara, makasih ya selalu bikinin minum kalau aku datang. Aku tau kamu orangnya baik banget. Tapi… jujur aja, aku suka kasihan sama kamu.” Dara menoleh, alisnya mengernyit. “Kasihan? Maksud kamu apa?” Rani pura-pura menutup mulutnya, lalu tertawa kecil. “Ah, nggak apa-apa kok. Cuma… aku tau Arga itu nggak mudah dilupakan. Susah banget dilepasin, apalagi kalau udah pernah jadi bagian penting hidup seseorang. Kamu ngerti kan maksud aku?” Dara terdiam, jantungnya berdegup cepat. Ia menunduk pura-pura sibuk dengan gelas di tangannya. Malam itu, Rani ikut makan malam di rumah. Saat Arga memuji sup buatan Dara, Rani langsung menyahut, “Wah, enak banget! Tapi kalau soal masakan, aku masih inget dulu Arga paling suka masakanku. Kamu masih inget kan, Ga, waktu aku bikinin pasta buat kamu?” Arga hanya tersenyum samar, tapi Dara yang duduk di seberangny
Arga Mulai Menyadari Sikap Aneh Dara. Jadi, pelan-pelan ia menangkap ada sesuatu yang berubah pada Dara, meskipun ia belum paham bahwa itu adalah rasa cemburu.Arga baru saja pulang kerja, masih dengan kemeja yang sedikit kusut. Dara menghampiri, menyodorkan segelas air dingin.“Capek?” tanyanya singkat.“Lumayan,” jawab Arga, lalu menaruh tas di sofa.Tiba-tiba ponselnya berbunyi, Rani menelepon. Senyum Arga muncul tanpa sadar. Saat itu juga, Dara menegakkan tubuhnya. Matanya menatap sekilas, lalu ia berdeham kecil.“Aku… ke dapur dulu.”Arga mengerutkan kening, memperhatikan gerak Dara yang agak terburu-buru. Kenapa sih dia kayak nggak suka kalau aku nerima telepon?Arga masuk ke dapur setelah menutup telepon. Ia melihat Dara sibuk memotong bawang, tapi potongannya berantakan.“Kamu kenapa? Lagi nggak enak badan?”“Nggak kok.”“Terus kenapa kelihatan bete gitu?”“Aku nggak bete,” jawab Dara cepat, suaranya meninggi tanpa sadar.Arga diam sejenak, menatapnya lekat. Ada yang janggal,
Hari-hari setelah liburan itu, Rani semakin sering datang ke rumah Arga. Kalau dulu ia masih menjaga jarak, kini sikapnya terang-terangan. Ia duduk di ruang tamu sambil tertawa renyah dengan Arga, sesekali menggenggam tangannya tanpa malu-malu.Dara yang sedang menyiapkan teh di dapur hanya bisa menggigit bibir, menahan rasa tak enak yang semakin menjadi-jadi. Saat ia menghidangkan minuman, Rani tersenyum manis.“Terima kasih ya, Mbak Dara. Aku selalu nyaman kalau di sini. Apalagi Arga selalu tahu cara bikin aku betah.”Kata-kata itu seperti sindiran tajam. Dara memaksakan senyum tipis.“Ya, sama-sama.”Di balik senyum itu, hatinya bergemuruh. Ia ingin sekali berteriak, ‘Jangan perlakukan suamiku seperti itu!’ Tapi lidahnya kelu, karena ia tahu, dari awal pernikahan ini memang bukan karena cinta.Suatu malam, Arga dan Dara duduk makan malam bersama. Rani ikut bergabung karena “kebetulan” ada urusan di dekat rumah.Rani menatap Arga sambil berkata manja, “Kamu masih inget kan, makanan
Sejak awal minggu, hubungan Arga dan Rani makin erat. Mereka sering makan siang berdua, bercanda, bahkan saling curhat. Dara yang awalnya cuek, mulai merasakan ada sesuatu yang janggal. Tiap kali melihat mereka tertawa bersama, ada rasa sesak yang tak bisa ia jelaskan. Suatu sore, saat mereka bertiga duduk di kafe, Rani tiba-tiba mengumumkan dengan penuh semangat, "Ga, gimana kalau weekend ini kita jalan-jalan ke Puncak? Refreshing, sekalian quality time, kan.” Arga tersenyum, menatap Rani dengan antusias. “Boleh juga tuh. Kayaknya asik.” Dara yang duduk di seberang, hanya bisa menyeduh minumannya pelan. Ia menunggu, berharap Arga akan menoleh padanya dan mengajaknya juga. Tapi ternyata, yang keluar dari mulut Arga hanyalah, “Oke, berarti weekend ini, cuma kita berdua ya.” Hati Dara tercekat. Senyumnya kaku. Ia mencoba menutupi rasa perih itu dengan pura-pura sibuk main HP. Kenapa aku kecewa sih? Kan aku nggak punya hak juga bua
Sore itu, ruang tamu keluarga Pramudya dipenuhi keheningan yang menegangkan. Di meja utama sudah tersaji teh hangat dan kue kecil, tapi tak ada yang menyentuhnya.Arga duduk di sisi kanan, bersandar dengan tangan terlipat di dada, wajahnya jelas-jelas menunjukkan ketidaksabaran. Dara di sisi kiri, duduk tegak dengan tatapan lurus ke depan, seolah berusaha tidak menoleh ke arah pria di sampingnya.Ratna tersenyum canggung, mencoba mencairkan suasana.“Arga, Dara... kalian kan sebentar lagi akan sering bersama. Cobalah bicara, saling mengenal...”Namun Arga hanya melirik sekilas, lalu kembali menatap kosong ke meja. “Aku rasa tidak ada yang perlu dibicarakan.”Dara spontan menoleh, alisnya terangkat. “Bagus. Aku juga tidak tertarik untuk mengenal lebih jauh.”Jawaban itu membuat Pramudya mengerutkan dahi, sementara Sari menatap putrinya dengan lirih, seakan memohon agar Dara menahan diri.Arga menoleh singkat ke arah Dara, senyumnya tipis, si