Beranda / Fantasi / Awas Kesetrum! / 4. Si cerewet Xiaohan

Share

4. Si cerewet Xiaohan

last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-04 13:31:05

Zhiya hanya duduk diam, menatap. Tapi dalam diamnya, dia mendengar suara langkah-langkah berat di luar lorong. Sorak-sorai, suara sepatu beradu, tawa keras yang menggema.

Sepertinya sesi pengenalan siswa akan dimulai.

“Kamu nggak bawa baju cadangan?” tanya Zhiya datar.

Sekar menggeleng. “Aku ... cuma punya satu seragam.”

Zhiya berdiri, membuka lemari tanpa bicara panjang. Ia mengambil satu set seragam cadangan miliknya—masih terlipat rapi, sedikit kekecilan tapi bersih.

“Pakai ini. Nanti tukar lagi.”

Sekar mendekat dengan ragu, menerima pakaian itu seolah sedang memegang benda suci. Tapi bukannya langsung berbalik, ia menatap Zhiya dengan mata berkaca.

“Kamu baik, ya...”

Zhiya menyipitkan mata. “Bukan. Aku cuma benci telat.”

“Oh...”

Sekar buru-buru masuk ke kamar mandi, hampir tersandung karpet di lantai. Tapi belum lima menit berlalu, suara ramai di lorong makin dekat.

Lalu...

Brak!

Pintu kamar mereka didorong kasar hingga terbuka lebar dan membentur dinding.

“WOI! Ini kamar nomor delapan, ya?”

Tiga gadis berdiri di ambang pintu. Yang paling depan punya sorot mata menyala penuh ejekan. Seragamnya dimodifikasi ketat seperti model, rambutnya diwarnai dan diikat dua, dengan banyak aksesori berkilau menggantung di telinga dan leher. Yang dua di belakangnya cekikikan sambil mengunyah permen.

“Katanya kamar ini isinya... anak beasiswa bau keringat sama cewek misterius yang masuk pake surat sakti?”

Zhiya menoleh lambat. Tatapannya datar, penuh kejenuhan. “Permisi. Kami sedang bersiap.”

Yang di depan menyeringai, lalu melangkah masuk tanpa izin. “Galak amat jawabnya. Baru masuk, udah kayak bos. Kamu tuh, siapa sih?”

Zhiya membuka mulut, tapi sebelum ia sempat menjawab, suara langkah tergesa dari kamar mandi memotong.

Sekar keluar dengan wajah panik, rambutnya masih menetes, bajunya belum rapi.

“Maaf ... kami nggak bermaksud—”

“Waaah! Liat deh, liat!” salah satu gadis menunjuk dengan gaya berlebihan. “Gila! Masih basah, compang-camping pula!”

“Fix ini anak panti,” kata gadis satu lagi. “Udah item, miskin, cupu, sekarang sekamar juga sama murid titipan. Pantesan bau karbol.”

Sekar membeku. Wajahnya menegang. Ia menunduk dalam, suara tawanya yang sempat muncul pagi tadi kini seperti dikubur hidup-hidup.

Zhiya berdiri. Perlahan. Langkahnya nyaris tanpa suara, tapi udara tiba-tiba terasa lebih berat. Cahaya lampu di kamar mendadak bergetar samar, halus, hampir tak terlihat.

Di ujung jarinya, satu helai listrik hitam tipis muncul lalu lenyap secepat itu.

Sorot mata Zhiya berubah. Ia berdiri, berjalan pelan, lalu berhenti di depan si gadis beraksesoris, hanya terpaut setengah langkah.

“Namamu siapa?” tanya Zhiya, tenang namun dingin.

“Kenapa emang? Mau lapor?” cibirnya, masih berani.

Zhiya tak menjawab. Tatapannya tetap menusuk, seperti menyusun diagram pertempuran di balik kepalanya.

Namun sebelum ledakan emosi terjadi, suara langkah berat dan teratur terdengar dari lorong. Seolah siapa pun yang melangkah, punya otoritas untuk menghentikan waktu.

Pintu terbuka perlahan. Bayangan tinggi muncul di ambang cahaya siang.

Nathaniel Wiratmaja.

Rambut rapi. Seragam nyaris tanpa lipatan. Tatapan seperti pisau, dingin, presisi, dan penuh penilaian.

“Ada apa ini?” tanyanya singkat.

Ketiga gadis senior sontak mundur setengah langkah.

“Ka-kak Nathan ... cuma ngobrol biasa kok. Hahaha ...” Si rambut aksesoris tersenyum kaku.

Nathan menatap mereka sejenak. “Lain kali, pakai otak. Ini bukan tempat main-main. Keluar!”

Seketika, mereka lenyap dari ambang pintu seperti kecoa disiram air panas.

Nathan menoleh ke arah Zhiya dan Sekar. Matanya mendarat di wajah Zhiya dengan jelas. Menilai. Tajam.

“Li Zhiya?”

Zhiya menatap balik tanpa anggukan.

Nathan mengangkat alis sedikit, nada suaranya mulai berubah lebih tajam.

“Pakai otakmu juga. Satu langkah lagi tadi, kamu bisa diskors di hari pertama. Aku tak peduli siapa yang kasih kamu surat rekomendasi, tapi selama kamu di sini, kamu di bawah peraturanku.”

Sekar menahan napas.

Zhiya menghela napas singkat, masih menatap tanpa bicara.

Nathan mendengus tipis. “Diam bukan jawaban yang pintar.”

Ia berbalik tanpa menunggu respons dan pergi begitu saja. Sorot matanya bahkan tak melirik Sekar sedetik pun.

Sekar menoleh ke Zhiya, wajahnya masih pucat. “I-itu ... Nathaniel Wiratmaja?”

“Penguasa istana kaca ... tapi suaranya seperti kaca pecah," jawabnya.

Ucapan itu mengambang sebentar di udara sebelum akhirnya menguap bersama langkah-langkah Nathan yang menjauh di lorong. Sekar masih berdiri mematung, tapi Zhiya sudah duduk kembali di ranjang, seolah tak terjadi apa-apa.

Namun dalam dadanya, aliran listrik samar berdesir. Jika bukan karena ia memikirkan si Xiaohan, mungkin setiap kekesalannya akan menjatuhkan korban.

Ia mengingat moment saat itu.

Mereka bersembunyi di reruntuhan bunker bawah tanah, yang dulunya markas latihan Weihan, kini jadi puing lembap dan gelap.

Selama masa itu, Zhiya mencari makanan seadanya. Melatih teknik dasar petir untuk bertahan hidup. Dan menjaga tubuh bocah kecil itu tetap hangat dengan sisa energi listriknya.

Weihan baru bangun 3 hari kemudian, masih lemas dan matanya sayu.

"Zhiyaa ... Ayah mau bubur. Bubur pake telur. Kalo gak ada ... kamu jadi telurnya, Ayah goreng!"

Zhiya kecil mengkerutkan dahi sambil memiringkan kepala. "… Kalau Ayah kuat ngomel, berarti kuat jalan."

Saat kekuatan Weihan melemah, musuh-musuhnya mulai mendeteksi jejak energi sisa. Zhiya nyaris tertangkap dua kali. Tapi Weihan, meski dalam tubuh bocah, masih punya satu keahlian, formasi pelindung dan penyembunyian energi.

Ia menggambar simbol-simbol kuno dengan darahnya sendiri di dinding markas dan membuat “Peti Siluman”, ruang penyamaran berdimensi mini tempat mereka bisa tidur, berlatih, dan menyusun strategi kabur.

Selama satu bulan, mereka menghilang dari peta.

Lalu muncullah "Jalur Gelap Superhuman Asia Tenggara”. Jaringan lama para mantan tentara dan pelarian kelas dunia yang masih mengingat utang budi pada Lei Shou Wang.

Dengan menyamar sebagai kakak-adik korban perang sipil, mereka menumpang kapal barang lewat jalur laut menuju Indonesia. Rong Weihan, tentu saja, sepanjang perjalanan menyebalkan.

"Zhiyaa~ buruan naik! Nanti ketahuan, kamu digoreng duluan, Ayah nggak mau makan kamu mentah, aiyaa~"

"Ayah, tolong diam lima menit ..."

Mereka menyeberang ke Asia Tenggara melalui jaringan pelarian superhuman bawah tanah. Dengan bantuan beberapa mantan tentara yang masih loyal, mereka menyusup ke Indonesia — negara yang cukup jauh dari radar kekuatan dunia.

Perjalanan dari China ke Indonesia bukan sekadar pelarian. Itu adalah transformasi.

Mereka tiba lewat jalur belakang, bersembunyi di dalam truk kontainer bersama barang-barang elektronik sitaan. Zhiya kecil meringkuk di antara dus rice cooker, sementara Xiaohan yang baru berubah wujud, duduk di atas TV rusak sambil ngemut permen.

“Aiyaa~ ini truk panas amat sih, nggak ada AC-nya ka?”

“Ayah, kamu baru aja lahir ulang, bisa nggak sih, jangan bawel dulu?”

“Bukan bawel, ini observasi ilmiah. Kalau kita mati keabuan di sini, bukan karena musuh, tapi karena sumpek!”

Begitu tiba di Jakarta, mereka tinggal di rumah kontrakan sempit di pinggiran kota, dengan atap seng berkarat dan dinding tripleks yang terlalu tipis untuk privasi. Tetangga mengira mereka kakak-beradik yatim piatu dari kampung. Xiaohan menyebarkan rumor kalau ayahnya kerja di luar negeri dan ibunya tenggelam karena jatuh ke kali saat mencuci baju.

Hari-hari awal penuh kesulitan. Bahasa asing. Biaya hidup. Trauma yang menempel. Tapi Zhiya belajar cepat, dan Xiaohan, meski terlihat seperti bocah SD, punya otak strategi setajam peluru berpemandu.

Ia mulai berjualan kue keliling dan jasa "bikin PR cepat" sambil menyusup ke internet gelap, membeli bahan latihan spiritual dari pasar energi gelap. Malam harinya, ia membimbing Zhiya latihan.

Di pinggiran Jakarta, mereka hidup dengan identitas baru: Li Zhiya, siswi pendiam tanpa sejarah, dan Li Xiaohan, adik kecil yang “tak pernah sekolah tapi suka bawa buku berat”.

Tak ada yang tahu bahwa bocah cerewet yang sering jualan kue keliling sambil nyanyi “Burung Kakak Tua” itu sebenarnya mantan manusia super paling ditakuti di dunia.

“Zhiyaaa~ kamu sekarang anak Jakarta. Tapi harus tetap punya petir China~! Jangan lembek kayak tahu Sumedang yang kelamaan rendam!”

“Apa sih, Ayah ...”

Malam pertama latihan, mereka naik ke atap kontrakan. Di bawah langit Jakarta yang penuh polusi cahaya, Zhiya diminta menyalakan petir dari telapak tangan.

Tapi saat percikan pertama muncul, tubuhnya bergetar hebat. Napasnya memburu. Tangan gemetar.

“Aku … nggak bisa.”

“Kamu trauma,” jawab Xiaohan, duduk di atas genteng seperti anak tetangga yang kabur dari jam tidur.

“Aku takut, Ayah. Kalau keluarin listrik … aku lihat Mama lagi. Dia jatuh. Darahnya … panas ...”

Xiaohan terdiam lama.

Lalu, dengan pelan, ia menepuk kepala Zhiya.

“Zhiya... tahu kenapa petir selalu datang setelah langit menangis?”

Zhiya menggeleng.

“Karena badai nggak pernah minta izin buat datang. Tapi dia juga nggak pernah minta maaf. Sama kayak kita. Kalau kamu hidup buat minta maaf terus, kamu cuma jadi awan kelabu. Tapi kamu ... kamu petir, sayang. Harus cetarrr~!”

Zhiya masih kecil, tapi kalimat itu menancap. Ia mengatupkan rahang. Mencoba lagi.

Kali ini, percikan di telapak tangannya menyala lebih tenang. Tak ada jeritan. Tak ada bayangan darah. Hanya cahaya.

“Gitu dong! Nah, habis ini kita latihan nyetrum maling yang maling sandal kamu seminggu lalu yaa~ Balas dendam itu bagian dari pendidikan karakter loh!”

Tahun-tahun berikutnya, latihan makin intens. Xiaohan punya cara melatih yang tidak masuk akal:

Menaruh ayam goreng di ujung tiang bambu, dan hanya boleh diambil pakai arus listrik.

Menyuruh Zhiya nyetrum lalat di pasar tanpa menyentuh pembeli.

Latihan meditasi di tengah stasiun kereta sambil pakai headset dangdut remix.

Zhiya sering mengomel, marah, bahkan pernah menangis karena kelelahan. Tapi Xiaohan tidak pernah marah.

Ia selalu ada.

Kadang menyuapkan bubur pakai tangan yang belepotan tinta.

Kadang tidur di lantai saat Zhiya demam, sambil mengipasinya pakai kertas bekas tugas formasi.

Dan setiap malam, sebelum tidur, ia selalu berkata.

“Zhiya ... nanti kalau kamu sudah bisa kuasai petir hitam ... kamu boleh pilih mau jadi apa. Pahlawan, penjual bakso, bahkan istri Ketua OSIS. Tapi sebelum itu, Ayah akan jaga kamu terus. Janji.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Awas Kesetrum!   23. Jangan terlalu jauh dariku

    “Woiii! Kakak Ipar! Rambutmu masih rapi nggak tuh?”Suara cempreng khas Xiaohan memecah ketegangan lorong.Zhiya langsung refleks mendengus keras. “ASTAGA…” desisnya, wajahnya merah padam.Nathan berhenti melangkah, alisnya berkerut tipis. Murid-murid yang ngintip dari pintu kantin langsung cekikikan, beberapa malah merekam sambil menahan tawa.“Astaga, itu adiknya!”“Fix banget dong Kakak Ipar!”“UWOOOO, ketahuan quality time di lorong!”Zhiya mengepalkan tangan, listrik berdesis halus di ujung jarinya. “XIAOHAN!!”Tapi bocah itu malah lari kecil ke arah mereka, sambil mengunyah biskuit seolah tidak ada masalah. Ia berhenti tepat di samping Nathan, menatap ke atas dengan wajah polos, meski matanya jelas penuh usil.“Eh, Kakak Ipar, kamu harusnya hati-hati loh. Kalau rambutmu berdiri seminggu, jangan nyalahin Kak Zhiya yaaa.”KYAAAAA!! teriakan murid yang ngintip makin menggema.Zhiya menutup wajah dengan tangan. “Tutup mulutmu, bocah tengil!”Nathan tetap diam, hanya menatap Xiaohan

  • Awas Kesetrum!   22. Nath—Zhi

    “—tertarik,” sela Nathan, sangat perlahan.Zhiya berhenti bernapas. “Apa?”“Terhadap anomali,” tambahnya tenang, seolah membahas eksperimen lab. “Data tidak cocok. Ujian awal, nol. Hari ini, percikan. Saat itu, sensor tantangan aktif tanpa niat. Tiga hal, satu orang. Aku… mencoba menyusun persamaan.”Zhiya menahan tatapan. ‘Ia bukan menggoda. Ia menganalisis. Kenapa rasanya tetap… menohok?’Sorak-sorai kembali bergemuruh, semakin liar. Beberapa murid mulai meneriakkan gabungan nama mereka. “Nath—Zhi! Nath—Zhi!” Seseorang meniup peluit entah dari mana. Seseorang yang lain memutar efek confetti di holo.“Luar biasa,” gumam Zhiya datar. “Kita dijadikan festival.”“Kamu bisa menyalakannya,” ucap Nathan tiba-tiba.“Apa?”“Petirmu,” katanya, setengah menantang, setengah… penasaran. “Kamu bilang bisa membuat rambutku berdiri selama seminggu. Buktikan. Di sini.”“Gila?” Zhiya memelototnya. “Kamu mau seluruh kantin gosong?”“Jika kamu tidak bisa, mereka akan menganggapmu berbicara kosong. Jika

  • Awas Kesetrum!   21. Tertarik?

    Keheningan yang menyelimuti kantin terdengar bising di kepala Zhiya. Ratusan pasang mata memantul di permukaan meja, di punggung kursi, di lantai yang dipenuhi remah roti dan percikan jus, lalu kembali lagi ke dirinya. Napas para murid terdengar seperti dengung mesin, tidak jelas, tapi mengganggu. Listrik tipis berdesis di ujung jarinya setiap kali ia menahan dorongan untuk meledak.Ia bersedekap lebih kencang. ‘Kenapa Xiaohan harus nyeret Sekar pergi sekarang juga? Dasar bocah tengil!'Nathan berdiri tegap di hadapannya, bayangannya jatuh menutupi setengah meja. Seragamnya begitu rapi sampai kancingnya seperti sejajar dengan garis lantai. Wajahnya tanpa ekspresi, tapi rahangnya, yang terkenal tidak pernah goyah, mengeras samar. Ada semacam kesunyian dingin yang selalu mengiringi Nathan, seperti AC rusak yang tetap memaksa ruangan dingin.Detik memanjang. Suara kursi berderit di kejauhan. Beberapa murid menahan tawa, beberapa yang lain menggigit sedotan. Selebihnya, menunggu.“Jadi…”

  • Awas Kesetrum!   20. Kekacauan bertambah

    Suasana kantin sudah seperti pasar malam. Murid-murid berdesakan, sebagian berdiri di kursi, sebagian lain sibuk merekam dengan kamera holografik. Semua mata terfokus pada Nathan dan Zhiya yang baru saja membuat satu akademi mendidih dengan percakapan singkat mereka.Zhiya masih duduk di kursinya, bersedekap, tatapannya dingin menusuk Nathan. Aura listrik tipis menjalar dari ujung jarinya, meski ia berusaha menahannya. Sekar di sampingnya tampak panik, tangannya meremas rok seakan ingin menghilang dari pandangan.Nathan berdiri tegap, wajahnya nyaris tanpa emosi, tapi rahangnya mengeras jelas. Kantin menahan napas. Satu detik, dua detik, waktu seperti melambat—“Wuih, rame banget ya di sini?”Suara cempreng tapi penuh kenakalan terdengar dari arah pintu.Semua kepala menoleh serentak.Di sana berdiri seorang bocah berusia tujuh tahun, rambut hitamnya acak-acakan, pipinya belepotan remah biskuit. Ia berjalan santai ke tengah kantin, mengunyah renyah, seolah seluruh ruangan bukan sedang

  • Awas Kesetrum!   19. Gosip

    Suasana kantin Akademi Superhuman Indo biasanya ramai, tapi pagi itu riuhnya terasa berbeda. Bukan sekadar suara sendok yang beradu dengan piring, melainkan gumaman dan bisikan berantai yang menyebar cepat, seperti api yang menjilat kertas kering. Meja-meja penuh dengan murid yang mencondongkan badan, saling berbisik dengan mata berbinar penuh gosip.“Eh, eh! Katanya semalam ada yang manggil Ketua OSIS dengan sebutan Kakak Ipar!?” seorang murid cewek menunduk ke arah temannya, suaranya penuh sensasi.“Apa?! Ketua OSIS Nathan? Jadi dia udah punya pacar?!” sahut temannya, terlalu kencang sampai tiga meja di sekitarnya langsung ikut menoleh.Desas-desus itu merambat dengan kecepatan kilat. Dalam hitungan detik, separuh kantin sudah membicarakan hal yang sama.Di meja tengah, Valerie duduk dengan anggun. Gadis berambut perak itu menyesap jus jeruknya dengan elegan, tapi matanya menyipit saat telinganya menangkap kata ‘pacar’ dan ‘Nathan’. Wajahnya tetap tersenyum, namun jemarinya mengetuk

  • Awas Kesetrum!   18. Blender rusak

    Lorong masih sepi. Nathan berdiri tegap di depan pintu kamar Zhiya, wibawa ketua OSIS terpancar jelas.“...Kamu potong rambut?” tanyanya datar.Zhiya menoleh setengah, ekspresi dingin. Lalu dengan nada penuh sinis ia menjawab, “Tanya sendiri sama pacar jadi-jadianmu itu!”BRAK!Ia membanting pintu kamar hingga membentur tembok, lalu melengos lewat sisi Nathan tanpa menatap lagi. Sekar buru-buru mengekor sambil membawa sisir, wajahnya antara panik dan berusaha menahan tawa.Nathan tetap berdiri tegap. Tapi kali ini alisnya sedikit berkerut.“…Pacar… jadi-jadian?” gumamnya bingung.Krak krak!Suara kunyah terdengar di sampingnya.Xiaohan, dengan santai duduk di lantai sambil ngemil biskuit, menatap Nathan dengan polos, tapi matanya penuh usil.“Wih, Kakak Ipar selingkuh?”Nathan langsung menoleh cepat, tatapannya tajam.“…Apa?”Xiaohan menggoyang-goyangkan biskuitnya seperti mikrofon. “Pacar asli satu, pacar jadi-jadian satu. Wah, wah… Ketua OSIS ternyata punya life skill ganda juga ya~

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status