Zhiya membuka mata. Ia tak sadar kapan ia tertidur sambil duduk di tepi ranjang. Lonceng kecil di tangannya masih ia genggam.
Saat baru masuk tadi, ia sempat melemparkan ransel ke bawah ranjang, lalu secara acak memasukkan beberapa baju ke lemari kecil di sisi tempat tidurnya, lebih karena malas melihatnya berserakan, bukan karena rajin. Setelah itu, ia terlalu lelah untuk berpikir dan membiarkan tubuhnya merosot, tertidur di tepi ranjang tanpa sadar.
Suara langkah dari luar kamar membuatnya mendongak.
Pintu asrama berderit pelan, lalu seorang gadis muncul, berdiri ragu-ragu di ambang pintu. Seragamnya tampak kebesaran, lengannya hampir menutupi jari, dan sepatu sekolahnya sudah penuh dengan tambalan. Ia menunduk dalam-dalam sambil mengeratkan pegangan pada tas kain lusuh yang digendongnya.
Matanya yang besar dan gelap seperti ragu untuk menatap balik.
“… Permisi,” ucapnya lirih. Suaranya hampir tak terdengar.
Zhiya diam, menoleh pelan. Hawa asing dari energi spiritual gadis itu terasa sangat lembut, seperti helaian kapas yang melayang di udara. Tidak ada tekanan. Tidak ada ancaman. Tapi ada semacam ketulusan yang anehnya membuat dada terasa hangat.
"Aku ... Sekar Kinanti," lanjut gadis itu, masih menunduk. "Katanya aku ditempatkan sekamar dengan ... Li Zhiya?"
Zhiya bangkit dari posisi duduknya dan menatap gadis itu penuh. Ada keraguan dalam mata Kinanti, tapi juga harapan kecil, yang terlalu familiar bagi Zhiya. Tatapan orang yang terbiasa tidak diinginkan, tapi tetap mencoba ramah agar tidak dianggap beban.
"... Aku Zhiya," jawab Zhiya singkat.
Sekar mengangguk pelan, lalu masuk ke dalam. Langkah kakinya nyaris tanpa suara. Gerak-geriknya hati-hati sekali, seolah ia takut merusak udara di sekitarnya. Ia berhenti di sisi tempat tidur kosong, lalu meletakkan tasnya perlahan.
Zhiya memperhatikan tanpa bicara.
Sekar membuka isi tasnya. Hanya ada satu baju ganti, sebotol air, buku catatan kecil, dan satu kotak bekal plastik yang retak. Ia memandanginya sebentar, lalu dengan cepat memasukkannya kembali, seperti malu karena Zhiya melihat.
“Maaf ya ... kalau aku bikin kamu nggak nyaman,” ucap Sekar tiba-tiba. “Aku janji nggak akan ngerepotin ... Aku bisa cuci sendiri, bersih-bersih juga bisa. Kalau nanti kamu butuh ruang buat sendiri, aku bisa di luar kok ...”
Zhiya menaikkan alis. "Aku bukan tipe orang yang mempermaslahkan hal semacam itu."
Sekar tersentak kecil, panik. “B-bukan begitu! Aku cuma ... hm, biasanya orang agak risih sama aku.”
Zhiya menatapnya sesaat, lalu menghela napas. “Aku bukan orang yang suka ikut-ikutan.”
Sekar terdiam. Lalu ... ia tersenyum kecil. Canggung, tapi asli. Untuk pertama kalinya, wajahnya terlihat lebih terang, dan senyumnya membawa semacam ketulusan yang sulit ditemukan di tempat ini.
Zhiya menunduk, menyembunyikan senyum tipisnya. “Kamu anak beasiswa?”
“Iya.” Sekar duduk perlahan di ujung ranjangnya. “Dari program penyelamatan anak dengan potensi energi minor ... katanya, aku punya ‘kemampuan penyembuh alami’, tapi ... belum bisa aku kontrol.”
Zhiya mengangguk pelan. Energi dari gadis ini memang terasa berbeda. Tidak liar, tapi seperti aliran sungai kecil yang mengalir lembut di sela bebatuan.
“Kamu nggak bisa ngontrol ... tapi kamu bisa sembuhin?” tanya Zhiya.
“Sembuhin luka kecil ... iya. Tapi kalau terlalu parah, aku malah jadi pingsan. Kadang ... jadi mimisan juga.” Sekar tertawa kecil, tapi suara tawanya nyaris seperti menahan napas.
Zhiya menatapnya dengan ekspresi netral. Tapi dalam diamnya, ia mengingat sesuatu. Ayahnya pernah berkata bahwa penyembuh sejati yang tubuhnya terlalu lemah justru bisa berkembang jadi kekuatan paling langka, jika diberi teknik dan bimbingan yang tepat.
Dan kini, gadis kurus di hadapannya itu mungkin tidak sadar ... kalau nasibnya sedang menempel di garis masa depan yang sama dengan milik Zhiya.
“Kalau begitu,” ujar Zhiya, merebahkan diri kembali ke ranjang, “semoga kamu kuat cukup lama di tempat ini. Akademi ini bukan tempat yang ramah.”
Sekar hanya tersenyum tipis.
“Aku nggak nyari tempat yang ramah, Kak ... Aku cuma nyari tempat di mana aku bisa bertahan.”
Zhiya menoleh pelan ke arah gadis itu. Kak? katanya barusan.
Orang lain mungkin akan menganggap itu panggilan biasa. Tapi di telinga Zhiya, kata itu terdengar ... jujur. Sederhana. Tanpa basa-basi. Dan itu mengusik perasaan yang selama ini ia kubur dalam. "Panggil Zhiya saja."
Sekar menatap Zhiya sekilas. "Oh? Iya ...." Lalu dia menunduk lagi.
“Air panasnya suka ngadat. Biasanya ... kalau disetrum pakai sendok, bisa nyala lagi.”
Sekar menoleh cepat, matanya membesar. “Hah? Beneran?”
Zhiya hanya mengangkat bahu. “Belum coba. Tapi ayahku pernah bilang, semua saklar dunia bisa diselesaikan dengan sedikit sentuhan petir.”
Nada suaranya datar, tapi di ujungnya nyaris terdengar geli. Sedikit meniru gaya humor ayahnya yang suka ngomong aneh-aneh.
Sekar memandangnya sesaat, lalu tertawa kecil tawa ringan, seperti embusan napas lega. Ia seperti mulai percaya bahwa ia diterima.
Zhiya melirik jam dinding. Masih pagi, tapi nyaris siang.
“Kalau kamu mau mandi duluan, silakan,” katanya, melempar diri ke atas ranjang dan menatap langit-langit.
Sekar mengangguk cepat. “Makasih! Aku cepet, kok!”
Saat suara air mulai mengalir dari kamar mandi, Zhiya menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Ia tak tahu kenapa barusan melontarkan kalimat bodoh seperti itu. Tapi melihat Sekar tertawa ... rasanya tidak terlalu buruk.
Zhiya memejamkan mata, mencoba menikmati sejenak ketenangan. Tapi baru saja ia hendak terlelap kembali, terdengar suara kecil dari kamar mandi.
“Aduh!”
Zhiya membuka mata perlahan. Beberapa detik kemudian, Sekar keluar dari kamar mandi sambil mengelap lengan dengan handuk kecil. Rambutnya basah kuyup. Seragam yang tadi kebesaran kini tergantung di tangannya, lembap dan berbau deterjen murahan.
“Airnya ternyata panas banget ... terus shower-nya lepas ... terus ... embernya nyiprat ke baju ...”
Ruang Kantor Direktur ASN — Lantai Tertinggi Akademi Superhuman Indo.Cahaya matahari sore menyelinap dari balik jendela kaca tinggi, memantul pada meja kayu jati yang mengkilap. Ruangan itu luas, tenang, dan... menekan. Dindingnya dipenuhi rak buku strategi, arsip misi, dan layar holografik yang terus menampilkan grafik energi para murid.Dharma Wiratmaja berdiri membelakangi jendela, tangannya menyilang, menatap kota yang mulai diliputi awan jingga. Ketika suara ketukan halus terdengar dari pintu.“Masuk,” ucapnya.Pintu terbuka perlahan. Seorang anak laki-laki mungil, rapi dengan kemeja putih dan celana pendek abu-abu, melangkah masuk dengan langkah teratur. Mata tajamnya menatap Dharma tanpa gentar, berlawanan dengan tubuh kecilnya yang tampak terlalu ringan untuk membawa aura sedingin itu.“Direktur Dharma,” ucapnya sopan.Dharma memutar tubuh. “Li Xiaohan...”“Perkenalkan kembali,” ucap bocah itu sambil sedikit membungkuk. “Saya datang membawa pesan dari ayah saya — Rong Weihan.”
Sementara itu, Sekar duduk canggung di ruang kelas A, dikelilingi murid-murid elite yang rambutnya saja kelihatan lebih mahal dari hidupnya."Nama kamu siapa?" tanya Valerie, setengah senyum. "Sekar ya? Kamu... kok bisa masuk Kelas A?"Sekar mengangkat tangan ragu. "Aku juga nggak tahu... tadi pagi kayaknya aku cuma nendang alat pengukur dan... eh, kebetulan langsung nyala 99."Semua menoleh.Valerie tersenyum manis. "Kebetulan yang sangat... luar biasa ya."Reinaldo — entah sejak kapan dia muncul — sudah berdiri di jendela kelas A, teriak dari luar. "KARENA DIA IMUT, BEGO!"Sekar menutup wajah dengan buku. Hari pertamanya... resmi absurd.Beberapa jam setelah sesi penempatan, suasana di ruang Kelas A terasa seperti lounge hotel bintang lima. AC-nya adem, karpetnya tebal, bahkan colokan di dindingnya punya lampu indikator LED biru elegan.Sekar duduk di pojok, berusaha mengecilkan eksistensinya di antara siswa-siswa dengan aura "Saya sudah ikut pelatihan sejak dalam kandungan." Ia bar
Setelah pembacaan daftar penempatan selesai, siswa-siswa baru mulai bergerak menuju kelas masing-masing. Kelas A diantar langsung ke gedung pelatihan utama yang megah, ruangannya full AC, lantainya bersih kinclong, bahkan langit-langitnya punya efek holografik langit biru. Mereka disambut dengan senyum para instruktur terbaik, lengkap dengan kopi gratis dan roti sobek hangat di meja registrasi.Sementara itu, Kelas D?Zhiya berdiri mematung di sisi lapangan, sendirian. Seorang petugas keamanan — bukan instruktur — datang menghampirinya dengan ekspresi datar. "Kelas D? Ikuti saya."Ia dibawa keluar dari jalur umum, menuruni lorong sempit yang bahkan tidak memiliki lampu otomatis. Lantai berdebu, lampu berkedip, dan aroma... sangat tidak akademik. Di ujung lorong, ada pintu besi tua dengan tulisan pudar: Unit Observasi Khusus – Akses Terbatas.Pintu itu terbuka dengan derit menyeramkan, seperti dari film horor berbiaya rendah. Di dalamnya hanya ada satu ruangan latihan sempit beralaskan
Nathan tetap menatap Zhiya yang baru saja turun dari panggung. Tatapannya tajam, penuh kalkulasi. Valerie di sisinya menunggu respons—seperti biasanya—tapi kali ini, yang keluar dari bibir Nathan membuatnya mengerutkan alis.“Aku tidak tertarik,” ujar Nathan datar, akhirnya membuka mulut. Kemudian menjauh dari Valerie.Langit mendung menggantung rendah saat sesi penempatan kelas diumumkan.Di tengah lapangan, instruktur berdiri tegap sambil memegang tablet berisi hasil evaluasi seluruh siswa baru. Suara pengeras menggema, memanggil nama demi nama dan menempatkan mereka ke dalam kelas berdasarkan tingkat kekuatan yang terdeteksi."Kelas A — Valerie Anastasya, Sekar Kinanti, Reinaldo Pranata (khusus perpanjangan mentor), Nathaniel Wiratmaja."Satu per satu tepuk tangan terdengar, beberapa siswa berdecak kagum — terutama saat nama Nathan disebut. Tapi pemuda itu hanya berdiri diam dengan wajah kaku seperti biasa. Valerie melambaikan tangan dengan elegan. Reinaldo melempar cium ke udara. S
Hari berikutnya.Zhiya berdiri mematung di tengah lapangan latihan, diapit puluhan pasang mata yang memandang dengan berbagai reaksi: penasaran, sinis, dan geli. Di atas panggung instruktur, sebuah alat pengukur energi menyala redup di belakangnya. Bola lampu bulat yang tergantung di udara hanya berkedip kecil, lalu padam.Kilatan listrik dari telapak tangan Zhiya barusan hanya cukup membuat bohlam itu bergetar. Tidak menyala. Tidak cukup kuat untuk mencatat angka pada layar.“Li Zhiya, nilai: nol koma nol satu,” ucap instruktur dengan suara monoton. “Kategori: Minor. Stabilitas: lemah.”Terdengar gumaman dari barisan siswa. Di barisan depan, tiga siswi mengenakan jaket khusus akademi yang hanya dimiliki kelas elit saling menahan tawa. Yang paling mencolok, si rambut aksesoris dari insiden kamar kemarin, berbisik dengan suara cukup keras untuk didengar.“Wih, Putri Colokan turun tahta nih,” katanya sambil terkikik. “Geli banget liat nyetrumnya. Kayak digigit semut.”“Lebih kayak ... di
Suara bel panjang menggema dari corong pengeras suara di tiap sudut bangunan. Pintu-pintu kamar mulai terbuka, langkah kaki terdengar berlarian ke arah aula utama di lantai bawah.“Perhatian, seluruh siswa baru harap berkumpul di Lapangan Utama dalam lima menit. Sesi pengenalan siswa akan segera dimulai.”Sekar buru-buru menyematkan kancing terakhirnya dan mengambil sepatu. Wajahnya masih terlihat gugup, tapi senyum kecil muncul di bibirnya saat menoleh ke Zhiya. “Terima kasih bajunya. Aku janji bakal cuci bersih-bersih nanti.”Zhiya hanya mengangguk, lalu mengikat rambutnya seadanya dan berjalan keluar kamar tanpa berkata apa-apa.Beberapa menit kemudian, mereka sudah berdiri di tengah kerumunan siswa baru di lapangan utama. Di depan mereka, panggung semi-permanen berdiri megah dengan latar bertuliskan:“Selamat Datang, Angkatan Baru Akademi Superhuman Indo.”Sorot lampu panggung mulai menyala. Seorang instruktur naik ke atas panggung, diikuti oleh para murid unggulan dari angkatan at