Beranda / Fantasi / Awas Kesetrum! / 3. Teman sekamar

Share

3. Teman sekamar

last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-04 13:21:14

Zhiya membuka mata. Ia tak sadar kapan ia tertidur sambil duduk di tepi ranjang. Lonceng kecil di tangannya masih ia genggam.

Saat baru masuk tadi, ia sempat melemparkan ransel ke bawah ranjang, lalu secara acak memasukkan beberapa baju ke lemari kecil di sisi tempat tidurnya, lebih karena malas melihatnya berserakan, bukan karena rajin. Setelah itu, ia terlalu lelah untuk berpikir dan membiarkan tubuhnya merosot, tertidur di tepi ranjang tanpa sadar.

Suara langkah dari luar kamar membuatnya mendongak.

Pintu asrama berderit pelan, lalu seorang gadis muncul, berdiri ragu-ragu di ambang pintu. Seragamnya tampak kebesaran, lengannya hampir menutupi jari, dan sepatu sekolahnya sudah penuh dengan tambalan. Ia menunduk dalam-dalam sambil mengeratkan pegangan pada tas kain lusuh yang digendongnya.

Matanya yang besar dan gelap seperti ragu untuk menatap balik.

“… Permisi,” ucapnya lirih. Suaranya hampir tak terdengar.

Zhiya diam, menoleh pelan. Hawa asing dari energi spiritual gadis itu terasa sangat lembut, seperti helaian kapas yang melayang di udara. Tidak ada tekanan. Tidak ada ancaman. Tapi ada semacam ketulusan yang anehnya membuat dada terasa hangat.

"Aku ... Sekar Kinanti," lanjut gadis itu, masih menunduk. "Katanya aku ditempatkan sekamar dengan ... Li Zhiya?"

Zhiya bangkit dari posisi duduknya dan menatap gadis itu penuh. Ada keraguan dalam mata Kinanti, tapi juga harapan kecil, yang terlalu familiar bagi Zhiya. Tatapan orang yang terbiasa tidak diinginkan, tapi tetap mencoba ramah agar tidak dianggap beban.

"... Aku Zhiya," jawab Zhiya singkat.

Sekar mengangguk pelan, lalu masuk ke dalam. Langkah kakinya nyaris tanpa suara. Gerak-geriknya hati-hati sekali, seolah ia takut merusak udara di sekitarnya. Ia berhenti di sisi tempat tidur kosong, lalu meletakkan tasnya perlahan.

Zhiya memperhatikan tanpa bicara.

Sekar membuka isi tasnya. Hanya ada satu baju ganti, sebotol air, buku catatan kecil, dan satu kotak bekal plastik yang retak. Ia memandanginya sebentar, lalu dengan cepat memasukkannya kembali, seperti malu karena Zhiya melihat.

“Maaf ya ... kalau aku bikin kamu nggak nyaman,” ucap Sekar tiba-tiba. “Aku janji nggak akan ngerepotin ... Aku bisa cuci sendiri, bersih-bersih juga bisa. Kalau nanti kamu butuh ruang buat sendiri, aku bisa di luar kok ...”

Zhiya menaikkan alis. "Aku bukan tipe orang yang mempermaslahkan hal semacam itu."

Sekar tersentak kecil, panik. “B-bukan begitu! Aku cuma ... hm, biasanya orang agak risih sama aku.”

Zhiya menatapnya sesaat, lalu menghela napas. “Aku bukan orang yang suka ikut-ikutan.”

Sekar terdiam. Lalu ... ia tersenyum kecil. Canggung, tapi asli. Untuk pertama kalinya, wajahnya terlihat lebih terang, dan senyumnya membawa semacam ketulusan yang sulit ditemukan di tempat ini.

Zhiya menunduk, menyembunyikan senyum tipisnya. “Kamu anak beasiswa?”

“Iya.” Sekar duduk perlahan di ujung ranjangnya. “Dari program penyelamatan anak dengan potensi energi minor ... katanya, aku punya ‘kemampuan penyembuh alami’, tapi ... belum bisa aku kontrol.”

Zhiya mengangguk pelan. Energi dari gadis ini memang terasa berbeda. Tidak liar, tapi seperti aliran sungai kecil yang mengalir lembut di sela bebatuan.

“Kamu nggak bisa ngontrol ... tapi kamu bisa sembuhin?” tanya Zhiya.

“Sembuhin luka kecil ... iya. Tapi kalau terlalu parah, aku malah jadi pingsan. Kadang ... jadi mimisan juga.” Sekar tertawa kecil, tapi suara tawanya nyaris seperti menahan napas.

Zhiya menatapnya dengan ekspresi netral. Tapi dalam diamnya, ia mengingat sesuatu. Ayahnya pernah berkata bahwa penyembuh sejati yang tubuhnya terlalu lemah justru bisa berkembang jadi kekuatan paling langka, jika diberi teknik dan bimbingan yang tepat.

Dan kini, gadis kurus di hadapannya itu mungkin tidak sadar ... kalau nasibnya sedang menempel di garis masa depan yang sama dengan milik Zhiya.

“Kalau begitu,” ujar Zhiya, merebahkan diri kembali ke ranjang, “semoga kamu kuat cukup lama di tempat ini. Akademi ini bukan tempat yang ramah.”

Sekar hanya tersenyum tipis.

“Aku nggak nyari tempat yang ramah, Kak ... Aku cuma nyari tempat di mana aku bisa bertahan.”

Zhiya menoleh pelan ke arah gadis itu. Kak? katanya barusan.

Orang lain mungkin akan menganggap itu panggilan biasa. Tapi di telinga Zhiya, kata itu terdengar ... jujur. Sederhana. Tanpa basa-basi. Dan itu mengusik perasaan yang selama ini ia kubur dalam. "Panggil Zhiya saja."

Sekar menatap Zhiya sekilas. "Oh? Iya ...." Lalu dia menunduk lagi. 

“Air panasnya suka ngadat. Biasanya ... kalau disetrum pakai sendok, bisa nyala lagi.”

Sekar menoleh cepat, matanya membesar. “Hah? Beneran?”

Zhiya hanya mengangkat bahu. “Belum coba. Tapi ayahku pernah bilang, semua saklar dunia bisa diselesaikan dengan sedikit sentuhan petir.”

Nada suaranya datar, tapi di ujungnya nyaris terdengar geli. Sedikit meniru gaya humor ayahnya yang suka ngomong aneh-aneh.

Sekar memandangnya sesaat, lalu tertawa kecil tawa ringan, seperti embusan napas lega. Ia seperti mulai percaya bahwa ia diterima.

Zhiya melirik jam dinding. Masih pagi, tapi nyaris siang.

“Kalau kamu mau mandi duluan, silakan,” katanya, melempar diri ke atas ranjang dan menatap langit-langit.

Sekar mengangguk cepat. “Makasih! Aku cepet, kok!”

Saat suara air mulai mengalir dari kamar mandi, Zhiya menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Ia tak tahu kenapa barusan melontarkan kalimat bodoh seperti itu. Tapi melihat Sekar tertawa ... rasanya tidak terlalu buruk.

Zhiya memejamkan mata, mencoba menikmati sejenak ketenangan. Tapi baru saja ia hendak terlelap kembali, terdengar suara kecil dari kamar mandi.

“Aduh!”

Zhiya membuka mata perlahan. Beberapa detik kemudian, Sekar keluar dari kamar mandi sambil mengelap lengan dengan handuk kecil. Rambutnya basah kuyup. Seragam yang tadi kebesaran kini tergantung di tangannya, lembap dan berbau deterjen murahan.

“Airnya ternyata panas banget ... terus shower-nya lepas ... terus ... embernya nyiprat ke baju ...”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Awas Kesetrum!   23. Jangan terlalu jauh dariku

    “Woiii! Kakak Ipar! Rambutmu masih rapi nggak tuh?”Suara cempreng khas Xiaohan memecah ketegangan lorong.Zhiya langsung refleks mendengus keras. “ASTAGA…” desisnya, wajahnya merah padam.Nathan berhenti melangkah, alisnya berkerut tipis. Murid-murid yang ngintip dari pintu kantin langsung cekikikan, beberapa malah merekam sambil menahan tawa.“Astaga, itu adiknya!”“Fix banget dong Kakak Ipar!”“UWOOOO, ketahuan quality time di lorong!”Zhiya mengepalkan tangan, listrik berdesis halus di ujung jarinya. “XIAOHAN!!”Tapi bocah itu malah lari kecil ke arah mereka, sambil mengunyah biskuit seolah tidak ada masalah. Ia berhenti tepat di samping Nathan, menatap ke atas dengan wajah polos, meski matanya jelas penuh usil.“Eh, Kakak Ipar, kamu harusnya hati-hati loh. Kalau rambutmu berdiri seminggu, jangan nyalahin Kak Zhiya yaaa.”KYAAAAA!! teriakan murid yang ngintip makin menggema.Zhiya menutup wajah dengan tangan. “Tutup mulutmu, bocah tengil!”Nathan tetap diam, hanya menatap Xiaohan

  • Awas Kesetrum!   22. Nath—Zhi

    “—tertarik,” sela Nathan, sangat perlahan.Zhiya berhenti bernapas. “Apa?”“Terhadap anomali,” tambahnya tenang, seolah membahas eksperimen lab. “Data tidak cocok. Ujian awal, nol. Hari ini, percikan. Saat itu, sensor tantangan aktif tanpa niat. Tiga hal, satu orang. Aku… mencoba menyusun persamaan.”Zhiya menahan tatapan. ‘Ia bukan menggoda. Ia menganalisis. Kenapa rasanya tetap… menohok?’Sorak-sorai kembali bergemuruh, semakin liar. Beberapa murid mulai meneriakkan gabungan nama mereka. “Nath—Zhi! Nath—Zhi!” Seseorang meniup peluit entah dari mana. Seseorang yang lain memutar efek confetti di holo.“Luar biasa,” gumam Zhiya datar. “Kita dijadikan festival.”“Kamu bisa menyalakannya,” ucap Nathan tiba-tiba.“Apa?”“Petirmu,” katanya, setengah menantang, setengah… penasaran. “Kamu bilang bisa membuat rambutku berdiri selama seminggu. Buktikan. Di sini.”“Gila?” Zhiya memelototnya. “Kamu mau seluruh kantin gosong?”“Jika kamu tidak bisa, mereka akan menganggapmu berbicara kosong. Jika

  • Awas Kesetrum!   21. Tertarik?

    Keheningan yang menyelimuti kantin terdengar bising di kepala Zhiya. Ratusan pasang mata memantul di permukaan meja, di punggung kursi, di lantai yang dipenuhi remah roti dan percikan jus, lalu kembali lagi ke dirinya. Napas para murid terdengar seperti dengung mesin, tidak jelas, tapi mengganggu. Listrik tipis berdesis di ujung jarinya setiap kali ia menahan dorongan untuk meledak.Ia bersedekap lebih kencang. ‘Kenapa Xiaohan harus nyeret Sekar pergi sekarang juga? Dasar bocah tengil!'Nathan berdiri tegap di hadapannya, bayangannya jatuh menutupi setengah meja. Seragamnya begitu rapi sampai kancingnya seperti sejajar dengan garis lantai. Wajahnya tanpa ekspresi, tapi rahangnya, yang terkenal tidak pernah goyah, mengeras samar. Ada semacam kesunyian dingin yang selalu mengiringi Nathan, seperti AC rusak yang tetap memaksa ruangan dingin.Detik memanjang. Suara kursi berderit di kejauhan. Beberapa murid menahan tawa, beberapa yang lain menggigit sedotan. Selebihnya, menunggu.“Jadi…”

  • Awas Kesetrum!   20. Kekacauan bertambah

    Suasana kantin sudah seperti pasar malam. Murid-murid berdesakan, sebagian berdiri di kursi, sebagian lain sibuk merekam dengan kamera holografik. Semua mata terfokus pada Nathan dan Zhiya yang baru saja membuat satu akademi mendidih dengan percakapan singkat mereka.Zhiya masih duduk di kursinya, bersedekap, tatapannya dingin menusuk Nathan. Aura listrik tipis menjalar dari ujung jarinya, meski ia berusaha menahannya. Sekar di sampingnya tampak panik, tangannya meremas rok seakan ingin menghilang dari pandangan.Nathan berdiri tegap, wajahnya nyaris tanpa emosi, tapi rahangnya mengeras jelas. Kantin menahan napas. Satu detik, dua detik, waktu seperti melambat—“Wuih, rame banget ya di sini?”Suara cempreng tapi penuh kenakalan terdengar dari arah pintu.Semua kepala menoleh serentak.Di sana berdiri seorang bocah berusia tujuh tahun, rambut hitamnya acak-acakan, pipinya belepotan remah biskuit. Ia berjalan santai ke tengah kantin, mengunyah renyah, seolah seluruh ruangan bukan sedang

  • Awas Kesetrum!   19. Gosip

    Suasana kantin Akademi Superhuman Indo biasanya ramai, tapi pagi itu riuhnya terasa berbeda. Bukan sekadar suara sendok yang beradu dengan piring, melainkan gumaman dan bisikan berantai yang menyebar cepat, seperti api yang menjilat kertas kering. Meja-meja penuh dengan murid yang mencondongkan badan, saling berbisik dengan mata berbinar penuh gosip.“Eh, eh! Katanya semalam ada yang manggil Ketua OSIS dengan sebutan Kakak Ipar!?” seorang murid cewek menunduk ke arah temannya, suaranya penuh sensasi.“Apa?! Ketua OSIS Nathan? Jadi dia udah punya pacar?!” sahut temannya, terlalu kencang sampai tiga meja di sekitarnya langsung ikut menoleh.Desas-desus itu merambat dengan kecepatan kilat. Dalam hitungan detik, separuh kantin sudah membicarakan hal yang sama.Di meja tengah, Valerie duduk dengan anggun. Gadis berambut perak itu menyesap jus jeruknya dengan elegan, tapi matanya menyipit saat telinganya menangkap kata ‘pacar’ dan ‘Nathan’. Wajahnya tetap tersenyum, namun jemarinya mengetuk

  • Awas Kesetrum!   18. Blender rusak

    Lorong masih sepi. Nathan berdiri tegap di depan pintu kamar Zhiya, wibawa ketua OSIS terpancar jelas.“...Kamu potong rambut?” tanyanya datar.Zhiya menoleh setengah, ekspresi dingin. Lalu dengan nada penuh sinis ia menjawab, “Tanya sendiri sama pacar jadi-jadianmu itu!”BRAK!Ia membanting pintu kamar hingga membentur tembok, lalu melengos lewat sisi Nathan tanpa menatap lagi. Sekar buru-buru mengekor sambil membawa sisir, wajahnya antara panik dan berusaha menahan tawa.Nathan tetap berdiri tegap. Tapi kali ini alisnya sedikit berkerut.“…Pacar… jadi-jadian?” gumamnya bingung.Krak krak!Suara kunyah terdengar di sampingnya.Xiaohan, dengan santai duduk di lantai sambil ngemil biskuit, menatap Nathan dengan polos, tapi matanya penuh usil.“Wih, Kakak Ipar selingkuh?”Nathan langsung menoleh cepat, tatapannya tajam.“…Apa?”Xiaohan menggoyang-goyangkan biskuitnya seperti mikrofon. “Pacar asli satu, pacar jadi-jadian satu. Wah, wah… Ketua OSIS ternyata punya life skill ganda juga ya~

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status