Suara bel panjang menggema dari corong pengeras suara di tiap sudut bangunan. Pintu-pintu kamar mulai terbuka, langkah kaki terdengar berlarian ke arah aula utama di lantai bawah.
“Perhatian, seluruh siswa baru harap berkumpul di Lapangan Utama dalam lima menit. Sesi pengenalan siswa akan segera dimulai.”
Sekar buru-buru menyematkan kancing terakhirnya dan mengambil sepatu. Wajahnya masih terlihat gugup, tapi senyum kecil muncul di bibirnya saat menoleh ke Zhiya. “Terima kasih bajunya. Aku janji bakal cuci bersih-bersih nanti.”
Zhiya hanya mengangguk, lalu mengikat rambutnya seadanya dan berjalan keluar kamar tanpa berkata apa-apa.
Beberapa menit kemudian, mereka sudah berdiri di tengah kerumunan siswa baru di lapangan utama. Di depan mereka, panggung semi-permanen berdiri megah dengan latar bertuliskan:
“Selamat Datang, Angkatan Baru Akademi Superhuman Indo.”
Sorot lampu panggung mulai menyala. Seorang instruktur naik ke atas panggung, diikuti oleh para murid unggulan dari angkatan atas — termasuk nama-nama besar seperti Valerie Anastasya, Reinaldo Pranata, dan tentu saja, Nathaniel Wiratmaja.
Satu per satu mereka diperkenalkan oleh sistem. Tepuk tangan meriah meledak setiap kali nama mereka disebut. Valerie melambaikan tangan dengan senyum manis, Reinaldo melempar flying kiss ke arah siswi-siswi, sementara Nathan? Ia hanya berdiri kaku, dengan tatapan dingin dan senyum nol persen.
“Dan inilah siswa-siswa terbaik dari angkatan sebelumnya, yang akan menjadi mentor dan panutan kalian!"
Sorak-sorai menggema. Tapi Zhiya hanya berdiri diam di barisan belakang, memandang panggung dengan wajah kosong. Di sebelahnya, Sekar menepuk tangan dengan semangat — tapi mata Zhiya tak pernah lepas dari satu sosok berseragam biru gelap di atas panggung.
Nathaniel.
Mata mereka bertemu sesaat. Zhiya merasa sorotan dingin itu menusuk langsung ke pikirannya.
‘Yang kata Ayah akan dijodohkan denganku...’ pikir Zhiya datar. ‘Tapi sama sekali tidak terlihat ramah.’
Sesi pengenalan selesai dengan penjelasan peraturan umum. Sementara penempatan kelas akan diumumkan setelah hasil uji kekuatan esok hari. Kerumunan mulai bubar, tapi sebagian siswa masih berkumpul di lapangan untuk... satu tujuan mulia: foto bareng kakak-kakak populer.
Valerie sibuk melambaikan tangan sambil selfie dengan para junior. Reinaldo sudah berlutut sambil pura-pura melamar seorang gadis — yang tentu saja menjerit kegirangan dan mengunggahnya ke story dalam waktu dua detik.
Zhiya hendak berbalik dan pergi saat tiba-tiba—
"Hey."
Suara itu menghentikan langkahnya. Ia menoleh, mendapati Nathan berdiri beberapa meter di belakangnya, masih dengan postur rapi dan wajah tiga perempat be
Mereka saling tatap.
Nathan membuka mulut, lalu berkata dengan nada super datar:
"Rambutmu kusut sebelah."
Zhiya menatapnya lama, lalu menyentuh pelan sisi kepalanya. “Aku tahu. Itu disengaja. Simetris itu membosankan.”
Nathan sempat... terdiam.
Tak jauh dari mereka, Sekar mematung, nahan ketawa sampai pipi kembung.
Nathan melirik pelan ke rambut Zhiya, lalu balik badan. Tapi entah kenapa, ia masih berdiri di situ. Seolah... belum selesai bicara.
“Dan tali sepatu kirimu lepas,” katanya lagi, tanpa menoleh.
Zhiya menunduk. Memang benar.
Ia mengangkat alis, lalu sengaja bilang pelan, “Mungkin dunia sedang mencoba menciptakan ‘kesan kasual’ di hari pertamaku.”
Nathan menatapnya lagi. “Itu bukan kesan kasual. Itu bahaya publik.”
Sekar sudah tak tahan. Ia batuk palsu keras-keras supaya bisa tertawa bebas.
Zhiya menarik napas panjang, lalu berkata, “Terima kasih atas inspeksi visualnya, Ketua OSIS.”
Nathan mengangguk... dan pergi begitu saja.
Sekar menghampiri Zhiya dengan muka berbinar. “I-i-i-itu... barusan kayak... kamu ngobrol, ya? Sama Ka-ka-kak Nathan...?”
Zhiya menatapnya datar. “Dia ngomong, aku jawab."
Sekar makin memerah. “Tapi... tapi... kayak... agak lucu. Gitu. Dikit. Kayak... k-kayak... flirting?”
Zhiya menghela napas. “Kalau dia niup rambutku dan ngedipin mata, baru kita sebut flirting.”
“A-aku nggak tahu pasti flirting itu gimana... tapi... kalo kamu digodain cowok ganteng... itu flirting, kan?”
Zhiya menoleh. “Atau mungkin cuma inspeksi keparnoan anak OSIS.”
Sekar menutup wajahnya pakai tangan, gemetar. “Aaaak! Aku ikut deg-degan padahal bukan aku yang diajak ngomong!”
Kerumunan mulai bubar perlahan dari lapangan utama. Zhiya berjalan tenang ke arah gedung asrama, sementara Sekar mengejarnya dari belakang dengan langkah kecil setengah lari.
“Zhiya, tunggu... tunggu! Kamu jalannya kayak ninja... nggak ada suaranya!” keluh Sekar, napasnya ngos-ngosan.
Zhiya menoleh sedikit. “Mungkin kamu harus latihan napas dulu sebelum masuk akademi tempur.”
Sekar nyengir canggung. “Hehe... iya juga, ya.”
Begitu melewati koridor menuju kompleks asrama putri, suasana mulai berubah. Cat dinding yang awalnya putih bersih mulai terlihat ada bekas coretan. Seseorang bahkan menulis “RAJANYA ANGKATAN TIGA” dengan spidol merah besar di dinding dekat tangga.
“Wah... ini... suasana mulai terasa... real ya,” gumam Sekar pelan.
Zhiya menatap tulisan itu sebentar, lalu naik tangga tanpa komentar.
Mereka sampai di lantai dua. Lorong asrama tampak cukup rapi, meski ada beberapa pintu yang terbuka dan memperlihatkan isi kamar berantakan — mulai dari pakaian yang tergantung di kipas angin sampai sepatu yang entah kenapa nangkring di atas lampu gantung.
Sekar tertawa kecil melihatnya. “Aku pikir semua anak superhuman itu disiplin dan rapi…”
Zhiya mendesis pelan, “Cuma orang bodoh yang ngira kekuatan hebat berarti akhlak hebat juga.”
Ruang Kantor Direktur ASN — Lantai Tertinggi Akademi Superhuman Indo.Cahaya matahari sore menyelinap dari balik jendela kaca tinggi, memantul pada meja kayu jati yang mengkilap. Ruangan itu luas, tenang, dan... menekan. Dindingnya dipenuhi rak buku strategi, arsip misi, dan layar holografik yang terus menampilkan grafik energi para murid.Dharma Wiratmaja berdiri membelakangi jendela, tangannya menyilang, menatap kota yang mulai diliputi awan jingga. Ketika suara ketukan halus terdengar dari pintu.“Masuk,” ucapnya.Pintu terbuka perlahan. Seorang anak laki-laki mungil, rapi dengan kemeja putih dan celana pendek abu-abu, melangkah masuk dengan langkah teratur. Mata tajamnya menatap Dharma tanpa gentar, berlawanan dengan tubuh kecilnya yang tampak terlalu ringan untuk membawa aura sedingin itu.“Direktur Dharma,” ucapnya sopan.Dharma memutar tubuh. “Li Xiaohan...”“Perkenalkan kembali,” ucap bocah itu sambil sedikit membungkuk. “Saya datang membawa pesan dari ayah saya — Rong Weihan.”
Sementara itu, Sekar duduk canggung di ruang kelas A, dikelilingi murid-murid elite yang rambutnya saja kelihatan lebih mahal dari hidupnya."Nama kamu siapa?" tanya Valerie, setengah senyum. "Sekar ya? Kamu... kok bisa masuk Kelas A?"Sekar mengangkat tangan ragu. "Aku juga nggak tahu... tadi pagi kayaknya aku cuma nendang alat pengukur dan... eh, kebetulan langsung nyala 99."Semua menoleh.Valerie tersenyum manis. "Kebetulan yang sangat... luar biasa ya."Reinaldo — entah sejak kapan dia muncul — sudah berdiri di jendela kelas A, teriak dari luar. "KARENA DIA IMUT, BEGO!"Sekar menutup wajah dengan buku. Hari pertamanya... resmi absurd.Beberapa jam setelah sesi penempatan, suasana di ruang Kelas A terasa seperti lounge hotel bintang lima. AC-nya adem, karpetnya tebal, bahkan colokan di dindingnya punya lampu indikator LED biru elegan.Sekar duduk di pojok, berusaha mengecilkan eksistensinya di antara siswa-siswa dengan aura "Saya sudah ikut pelatihan sejak dalam kandungan." Ia bar
Setelah pembacaan daftar penempatan selesai, siswa-siswa baru mulai bergerak menuju kelas masing-masing. Kelas A diantar langsung ke gedung pelatihan utama yang megah, ruangannya full AC, lantainya bersih kinclong, bahkan langit-langitnya punya efek holografik langit biru. Mereka disambut dengan senyum para instruktur terbaik, lengkap dengan kopi gratis dan roti sobek hangat di meja registrasi.Sementara itu, Kelas D?Zhiya berdiri mematung di sisi lapangan, sendirian. Seorang petugas keamanan — bukan instruktur — datang menghampirinya dengan ekspresi datar. "Kelas D? Ikuti saya."Ia dibawa keluar dari jalur umum, menuruni lorong sempit yang bahkan tidak memiliki lampu otomatis. Lantai berdebu, lampu berkedip, dan aroma... sangat tidak akademik. Di ujung lorong, ada pintu besi tua dengan tulisan pudar: Unit Observasi Khusus – Akses Terbatas.Pintu itu terbuka dengan derit menyeramkan, seperti dari film horor berbiaya rendah. Di dalamnya hanya ada satu ruangan latihan sempit beralaskan
Nathan tetap menatap Zhiya yang baru saja turun dari panggung. Tatapannya tajam, penuh kalkulasi. Valerie di sisinya menunggu respons—seperti biasanya—tapi kali ini, yang keluar dari bibir Nathan membuatnya mengerutkan alis.“Aku tidak tertarik,” ujar Nathan datar, akhirnya membuka mulut. Kemudian menjauh dari Valerie.Langit mendung menggantung rendah saat sesi penempatan kelas diumumkan.Di tengah lapangan, instruktur berdiri tegap sambil memegang tablet berisi hasil evaluasi seluruh siswa baru. Suara pengeras menggema, memanggil nama demi nama dan menempatkan mereka ke dalam kelas berdasarkan tingkat kekuatan yang terdeteksi."Kelas A — Valerie Anastasya, Sekar Kinanti, Reinaldo Pranata (khusus perpanjangan mentor), Nathaniel Wiratmaja."Satu per satu tepuk tangan terdengar, beberapa siswa berdecak kagum — terutama saat nama Nathan disebut. Tapi pemuda itu hanya berdiri diam dengan wajah kaku seperti biasa. Valerie melambaikan tangan dengan elegan. Reinaldo melempar cium ke udara. S
Hari berikutnya.Zhiya berdiri mematung di tengah lapangan latihan, diapit puluhan pasang mata yang memandang dengan berbagai reaksi: penasaran, sinis, dan geli. Di atas panggung instruktur, sebuah alat pengukur energi menyala redup di belakangnya. Bola lampu bulat yang tergantung di udara hanya berkedip kecil, lalu padam.Kilatan listrik dari telapak tangan Zhiya barusan hanya cukup membuat bohlam itu bergetar. Tidak menyala. Tidak cukup kuat untuk mencatat angka pada layar.“Li Zhiya, nilai: nol koma nol satu,” ucap instruktur dengan suara monoton. “Kategori: Minor. Stabilitas: lemah.”Terdengar gumaman dari barisan siswa. Di barisan depan, tiga siswi mengenakan jaket khusus akademi yang hanya dimiliki kelas elit saling menahan tawa. Yang paling mencolok, si rambut aksesoris dari insiden kamar kemarin, berbisik dengan suara cukup keras untuk didengar.“Wih, Putri Colokan turun tahta nih,” katanya sambil terkikik. “Geli banget liat nyetrumnya. Kayak digigit semut.”“Lebih kayak ... di
Suara bel panjang menggema dari corong pengeras suara di tiap sudut bangunan. Pintu-pintu kamar mulai terbuka, langkah kaki terdengar berlarian ke arah aula utama di lantai bawah.“Perhatian, seluruh siswa baru harap berkumpul di Lapangan Utama dalam lima menit. Sesi pengenalan siswa akan segera dimulai.”Sekar buru-buru menyematkan kancing terakhirnya dan mengambil sepatu. Wajahnya masih terlihat gugup, tapi senyum kecil muncul di bibirnya saat menoleh ke Zhiya. “Terima kasih bajunya. Aku janji bakal cuci bersih-bersih nanti.”Zhiya hanya mengangguk, lalu mengikat rambutnya seadanya dan berjalan keluar kamar tanpa berkata apa-apa.Beberapa menit kemudian, mereka sudah berdiri di tengah kerumunan siswa baru di lapangan utama. Di depan mereka, panggung semi-permanen berdiri megah dengan latar bertuliskan:“Selamat Datang, Angkatan Baru Akademi Superhuman Indo.”Sorot lampu panggung mulai menyala. Seorang instruktur naik ke atas panggung, diikuti oleh para murid unggulan dari angkatan at