Nathan masih berdiri di tengah koridor, menatap permen karet rasa leci di lantai seperti itu benda paling mencurigakan yang pernah ia lihat. Angin sore menyapu ujung rambutnya, tapi pikirannya tak bergerak dari satu hal:"Dia bilang... Kak Zhiya?"Alis Nathan mengernyit. Suara bocah itu masih bergema di kepalanya — nada centil, lugu, dan sok imut, tapi mengandung satu frasa penting yang tak seharusnya ia abaikan.“Kak Zhiya ya?”Kenapa anak itu menyebut Zhiya sebagai "kakak"? Lebih penting lagi... kenapa dia keluar dari ruangan ayahnya?Nathan segera menyentuh gelang datanya dan menggeser layar hologram kecil yang muncul dari proyektor mini di pergelangan tangan. Ia membuka basis data akademi — menyaring daftar keluarga murid.Nama: Li XiaohanStatus: Adik kandung Li ZhiyaUsia: 7 tahunHubungan wali: Tidak tercatatPengantar pendaftaran: Surat rekomendasi dari Rong WeihanNathan menatap kol
Ruang Kantor Direktur ASN — Lantai Tertinggi Akademi Superhuman Indo.Cahaya matahari sore menyelinap dari balik jendela kaca tinggi, memantul pada meja kayu jati yang mengkilap. Ruangan itu luas, tenang, dan... menekan. Dindingnya dipenuhi rak buku strategi, arsip misi, dan layar holografik yang terus menampilkan grafik energi para murid.Dharma Wiratmaja berdiri membelakangi jendela, tangannya menyilang, menatap kota yang mulai diliputi awan jingga. Ketika suara ketukan halus terdengar dari pintu.“Masuk,” ucapnya.Pintu terbuka perlahan. Seorang anak laki-laki mungil, rapi dengan kemeja putih dan celana pendek abu-abu, melangkah masuk dengan langkah teratur. Mata tajamnya menatap Dharma tanpa gentar, berlawanan dengan tubuh kecilnya yang tampak terlalu ringan untuk membawa aura sedingin itu.“Direktur Dharma,” ucapnya sopan.Dharma memutar tubuh. “Li Xiaohan...”“Perkenalkan kembali,” ucap bocah itu sambil sedikit membungkuk. “Saya datang membawa pesan dari ayah saya — Rong Weihan.”
Sementara itu, Sekar duduk canggung di ruang kelas A, dikelilingi murid-murid elite yang rambutnya saja kelihatan lebih mahal dari hidupnya."Nama kamu siapa?" tanya Valerie, setengah senyum. "Sekar ya? Kamu... kok bisa masuk Kelas A?"Sekar mengangkat tangan ragu. "Aku juga nggak tahu... tadi pagi kayaknya aku cuma nendang alat pengukur dan... eh, kebetulan langsung nyala 99."Semua menoleh.Valerie tersenyum manis. "Kebetulan yang sangat... luar biasa ya."Reinaldo — entah sejak kapan dia muncul — sudah berdiri di jendela kelas A, teriak dari luar. "KARENA DIA IMUT, BEGO!"Sekar menutup wajah dengan buku. Hari pertamanya... resmi absurd.Beberapa jam setelah sesi penempatan, suasana di ruang Kelas A terasa seperti lounge hotel bintang lima. AC-nya adem, karpetnya tebal, bahkan colokan di dindingnya punya lampu indikator LED biru elegan.Sekar duduk di pojok, berusaha mengecilkan eksistensinya di antara siswa-siswa dengan aura "Saya sudah ikut pelatihan sejak dalam kandungan." Ia bar
Setelah pembacaan daftar penempatan selesai, siswa-siswa baru mulai bergerak menuju kelas masing-masing. Kelas A diantar langsung ke gedung pelatihan utama yang megah, ruangannya full AC, lantainya bersih kinclong, bahkan langit-langitnya punya efek holografik langit biru. Mereka disambut dengan senyum para instruktur terbaik, lengkap dengan kopi gratis dan roti sobek hangat di meja registrasi.Sementara itu, Kelas D?Zhiya berdiri mematung di sisi lapangan, sendirian. Seorang petugas keamanan — bukan instruktur — datang menghampirinya dengan ekspresi datar. "Kelas D? Ikuti saya."Ia dibawa keluar dari jalur umum, menuruni lorong sempit yang bahkan tidak memiliki lampu otomatis. Lantai berdebu, lampu berkedip, dan aroma... sangat tidak akademik. Di ujung lorong, ada pintu besi tua dengan tulisan pudar: Unit Observasi Khusus – Akses Terbatas.Pintu itu terbuka dengan derit menyeramkan, seperti dari film horor berbiaya rendah. Di dalamnya hanya ada satu ruangan latihan sempit beralaskan
Nathan tetap menatap Zhiya yang baru saja turun dari panggung. Tatapannya tajam, penuh kalkulasi. Valerie di sisinya menunggu respons—seperti biasanya—tapi kali ini, yang keluar dari bibir Nathan membuatnya mengerutkan alis.“Aku tidak tertarik,” ujar Nathan datar, akhirnya membuka mulut. Kemudian menjauh dari Valerie.Langit mendung menggantung rendah saat sesi penempatan kelas diumumkan.Di tengah lapangan, instruktur berdiri tegap sambil memegang tablet berisi hasil evaluasi seluruh siswa baru. Suara pengeras menggema, memanggil nama demi nama dan menempatkan mereka ke dalam kelas berdasarkan tingkat kekuatan yang terdeteksi."Kelas A — Valerie Anastasya, Sekar Kinanti, Reinaldo Pranata (khusus perpanjangan mentor), Nathaniel Wiratmaja."Satu per satu tepuk tangan terdengar, beberapa siswa berdecak kagum — terutama saat nama Nathan disebut. Tapi pemuda itu hanya berdiri diam dengan wajah kaku seperti biasa. Valerie melambaikan tangan dengan elegan. Reinaldo melempar cium ke udara. S
Hari berikutnya.Zhiya berdiri mematung di tengah lapangan latihan, diapit puluhan pasang mata yang memandang dengan berbagai reaksi: penasaran, sinis, dan geli. Di atas panggung instruktur, sebuah alat pengukur energi menyala redup di belakangnya. Bola lampu bulat yang tergantung di udara hanya berkedip kecil, lalu padam.Kilatan listrik dari telapak tangan Zhiya barusan hanya cukup membuat bohlam itu bergetar. Tidak menyala. Tidak cukup kuat untuk mencatat angka pada layar.“Li Zhiya, nilai: nol koma nol satu,” ucap instruktur dengan suara monoton. “Kategori: Minor. Stabilitas: lemah.”Terdengar gumaman dari barisan siswa. Di barisan depan, tiga siswi mengenakan jaket khusus akademi yang hanya dimiliki kelas elit saling menahan tawa. Yang paling mencolok, si rambut aksesoris dari insiden kamar kemarin, berbisik dengan suara cukup keras untuk didengar.“Wih, Putri Colokan turun tahta nih,” katanya sambil terkikik. “Geli banget liat nyetrumnya. Kayak digigit semut.”“Lebih kayak ... di