Share

Bab. 6 Mengunjungi Luna

Tak lama setelah penolakan yang bertubi-tubi. Rayyanza diketahui berpindah ke Amerika. Ia tinggal bersama sang paman untuk melanjutkan study di sana.

Kepindahannya yang sangat tiba-tiba, menjadi berita terpanas di kampus tersebut.

Amanda merasa patah hati. Baru saja dirinya berkenalan dengan Rayyanza, kini harus menelan pil pahit karena pujaan hatinya itu meninggalkan Indonesia untuk waktu yang cukup lama.

Empat tahun berlalu. Setelah lulus kuliah, Luna bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang advertising. Ia menjabat sebagai staf administrasi di perusahaan tersebut. Sedangkan Amanda bekerja di perusahaan milik sang Ayah.

Secara kebetulan, Amanda dan Rayyanza dipertemukan kembali ketika Amanda ditugaskan mengurusi urusan penanaman saham di perusahaan milik Ayah Rayyanza. Yang dimana Rayyanza menjabat sebagai CEO di perusahaan tersebut.

Setelah pertemuan itu. Amanda mengungkapkan kekagumannya terhadap Rayyanza kepada Ibunya. Hingga akhirnya, terjadi kesepakatan di antara orang tua Rayyanza dan Amanda untuk menjodohkan kedua putra putrinya. Tanpa bisa menolak permintaan sang ibu, Rayyanza dengan terpaksa menikahi Amanda.

"Sayang ..., aku sedang malas menyetir. Bisa tolong antar aku ke rumah Luna? Aku khawatir padanya!" pinta Amanda pada Rayyanza.

Pria yang baru saja terbangun dari tidurnya itu mengangguk pelan. Ini adalah kesempatan bagi dirinya untuk bisa mengetahui dimana tempat tinggal Luna yang sekarang. Karena, sedari dulu wanita itu selalu berpindah-pindah. Jika dirasa sudah tidak cocok, biasanya Luna langsung mencari rumah kontrakan yang baru.

"Tunggu sebentar. Aku mandi dulu!"

Dengan penuh semangat, Rayyanza bersiap-siap. Namun, ia tidak ingin memperlihatkan semangat membaranya pada Amanda karena takut istrinya itu menaruh curiga padanya.

"Ayo, Sayang!" ajak Rayyanza yang baru saja keluar dari kamar.

Amanda menoleh. Memindai penampilan Rayyanza yang menurutnya terlihat sangat keren dan tampan. Wangi parfumnya pun seketika menyeruak memenuhi indra penciuman Amanda.

"Tumben rapih sekali. Biasanya jika mengantarku, kamu hanya memakai celana pendek."

"Eum ..., baiklah. Aku akan menggantinya."

Rayyanza berbalik badan, hendak masuk kembali ke dalam kamar. Namun, belum sempat kakinya melangkah, Amanda langsung menghentikannya.

"Jangan! Sudah, tidak apa-apa. Lagi pula, aku sangat menyukai penampilanmu," ucapnya sembari mengelus dada bidang dengan tatapan menggoda.

"Ayo ...!" Pria yang terkadang bersikap dingin itu tak mengindahkan sentuhan mesra dari sang istri. Amanda pun tidak merasa heran. Karena dari semenjak menikah, sikapnya memang sudah seperti itu.

Keduanya berjalan menuju area parkir, kemudian masuk ke dalam mobil. Seorang penjaga rumah dengan cepat membuka pintu pagar. Mobil sport berwarna merah milik Rayyanza melaju dengan elegan keluar dari rumah yang bernuansa minimalis namun mewah.

Amanda memberi petunjuk jalan pada Rayyanza. Pria yang duduk di balik kemudi itu diam-diam mengingat jalan yang dilaluinya. Agar, jika suatu hari dirinya akan menemui Luna, ia tidak akan kesusahan untuk menemukan rumahnya.

"Nah ..., itu rumahnya!" tunjuk Amanda pada sebuah rumah berdinding putih dan berpagar hitam pendek. Rumah yang terlihat sangat sederhana sekali bahkan jauh dari kata mewah.

"Aku menunggu di mobil saja, ya!" cetus Rayyanza.

Melihat rumah yang ditunjuk oleh Amanda, seketika jantungnya berdegup dengan kencang. Perasaanya menjadi sangat gelisah.

"Loh ..., ayo masuk. Sebentar saja, kok!" Amanda memaksa suaminya itu untuk ikut bersamannya. Masuk ke dalam rumah Luna.

Rayyanza berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. Berjalan mendekati rumah dengan menundukan wajahnya.

Tok. Tok. Tok.

"Amanda?!" Luna membuka pintu. Memasang raut tak senang.

"Luna, bagaimana keadaanmu?" tanya Amanda khawatir. Tangannya langsung memegang bagian kening Luna yang ternyata bersuhu normal.

"Aku baik-baik saja kok Man!"

"O-ya, aku datang kemari bersama suamiku," ucap Amanda sembari memutar setengah badannya ke belakang.

Pria yang berdiri di belakang tubuh amanda itu menunduk, kemudian sedikit mengangguk.

Melihat penampakan pria yang semalam telah mengagahinya. Jantungnya tiba-tiba berdegup sangat kencang. Kedua tangan mengepal dengan erat. Untung saja, Amanda tidak menyadari perubahan mimik tersebut. Ia malah menerobos masuk ke dalam rumah Luna, kemudian menjatuhkan bokongnya di atas Sofa.

Rayyanza berdiri mematung. Kepalanya masih menunduk, ia merasa tak kuasa untuk menatap Luna. Sedangkan Luna tak mengalihkan pandangannya sedikitpun. Ia menatap tajam pria di hadapannya dengan raut penuh kebencian.

Amanda menoleh ke arah keduanya. "Loh ..., kok kalian malah diam disitu?!"

Mendengar perkataan Amanda. Luna langsung mengerjapkan kedua matanya. Mencoba menenangkan perasaanya. Ia tak ingin sahabatnya itu menaruh curiga padanya. Maka dari itu, Luna langsung berusaha terlihat biasa-biasa saja pada Rayyanza.

"Silahkan masuk!" Luna mempersilahkan Rayyanza untuk masuk. "Kalian mau minum apa?"

"Tidak perlu repot-repot, Lun. Aku hanya mampir sebentar, kok!"

Seperti biasa, kedua manusia yang telah lama bersahabat itu berbincang kesana kemari membicarakan hal yang sebetulnya tidak penting.

Rayyanza mengangkat wajahnya. Memberanikan diri menatap Luna yang tengah duduk di hadapannya. Matanya tertuju pada leher jenjang milik wanita cantik itu. Beberapa noda merah terlihat mengintip dari balik kerah baju yang dikenakannya.

"Benar. Itu semua bukan mimpi. Aku benar-benar melakukannya!" monolog pria itu dalam hati.

Setelah puas berbincang, Amanda berpamitan pada Luna. "Lekas sehat ya, Lun!"

Kedua pipi wanita cantik itu saling beradu. "Daaaah ...." Amanda melambaikan tangan pada Luna. Yang kemudian disambut oleh lambaian tangan Luna dan senyum tipis.

Setelah mobil merah saksi bisu dari kejadian semalam menghilang di ujung jalan. Luna menutup pintu kemudian bersandar di baliknya. Kedua tangan menutup wajah cantik yang kian memerah menahan marah. Wanita itu kembali menangis terisak. Perasaannya bercampur menjadi satu. Antara merasa bersalah pada Amanda dan marah pada Rayyanza.

CEKLEK ....

Suara gagang pintu dibuka oleh seseorang dari luar. Luna terperanjat. Tubuhnya terdorong ketika daun pintu itu terbuka. Wanita yang tengah menangis itu langsung menyeka air matanya.

"Kak Luna?" Nikita mengeryitkan dahi, menatap sang kakak yang tengah menangis dengan tatapan bingung. Kedua telapak tangannya mendarat di bahu Luna. "Kak Luna kenapa? Cerita padaku, Kak?"

Pertanyaan Nikita membuat tangis Luna kian pecah. Wanita itu menangis tersedu-sedu. Nikita langsung memeluk erat sang kakak kemudian mengajaknya duduk di atas sofa.

"Sudah, Kak. Tenang ..., tenangkan diri Kakak." Nikita mengelus pelan punggung Luna untuk menenangkannya.

Setelah tangisnya mereda. Gadis cantik yang baru berumur 17 tahun itu melayangkan pertanyaan pada Luna. "Sebenarnya ada apa ini, kak? Cerita sama aku! Kaka ga boleh memendam masalah sendirian."

Sembari terisak, Luna mencoba menceritakan kejadian yang tengah menimpanya.

"Aku-." Kata-katanya menggantung di udara. Lidahnya terasa kelu. Ia menatap Nikita sekilas sebelum kembali menundukan wajahnya.

Nikita benar-benar merasa penasaran. Ia terus bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi pada Luna. Tak seperti biasanya, Kakak yang selalu tegar dan kuat itu, kini terlihat begitu rapuh.

"Aku sudah mengkhianati sahabat terbaiku!" ucap Luna dengan terbata-bata.

"Hah, bagaimana maksudnya?" Nikita menatap penuh tanya.

"Aku-. Aku dan Rayyanza melakukan hubungan intim semalam!" terang Luna sembari terisak.

Mendengar pengakuan itu. Nikita terbelalak. Ia sama sekali tak percaya dengan perkataan Luna.

"Kakak tidak sedang mengarang cerita, kan?" tanyanya dengan tatapan intimidasi.

Luna menggeleng. Kedua tangan langsung menutup wajahnya. Tangis yang sudah mereda, kini kembali pecah.

"Aku jahat! Aku adalah teman yang sangat jahat!" Teriak Luna memecah keheningan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status