Home / Romansa / Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam / 1: Senyum Di Antara Luka

Share

Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam
Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam
Author: Az Zidan

1: Senyum Di Antara Luka

Author: Az Zidan
last update Last Updated: 2025-04-26 16:28:13

“Ibu! Kenapa banyak sekali orang di sini?”

“Ibu, apakah di sini juga ada tempat untuk bermain?”

“Apakah aku bisa ambil apa pun yang aku mau tanpa mengurangi uang Ibu? Apakah bisa, Ibu?”

Belum selesai dengan satu soal yang terlontar dari mulut bocah tersebut, sudah harus disusul introgasi berikutnya. Tidak heran, anak-anak selalu ingin mengetahui dunia dengan segala pertanyaan yang acak.

Meski begitu cerewet, ia tetap berjalan dengan disiplin tepat di sisi sang Ibu yang masih menanggapi keingintahuan sang anak dengan senyuman.

Mereka berada di pusat perbelanjaan terbesar di kota. Kali pertama bagi bocah itu memiliki waktu bahagia layaknya hari ini. Sang ibu yang harus dituntut untuk menghidupi bocah itu sendirian membuatnya tidak mampu meluangkan waktu untuk mengajak jalan-jalan meski hanya sekadar ke tempat bermain.

“Baik. Dengarkan Ibu. Pertama. Kenapa di sini banyak sekali orang karena, ini adalah tempat umum. Di mana, kita harus menjaga sikap. Kurang baik jika, kita berteriak, membuang sampah sembarangan juga menyerobot antrian dan menatap orang lain secara berlebih, oke?” Bocah enam tahun itu menatap manik mata sang ibu dengan jeli kemudian mengangguk tanda bahwa dia sangat memahami aturan pertama.

“Bagus. Great Boy! Kedua.” Sang Ibu mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya. Masih setia berjongkok agar tinggi mereka setara dan ia bisa menatap wajah sang anak.

“Di tempat seluas ini sudah pasti ada arena bermain untuk para anak-anak baik sepertimu. Banyak wahana yang bisa kamu mainkan hingga puas dengan catatan, kamu harus berbagi bersama mereka. Kamu bisa mempertahankan mainanmu jika kamu belum merasa puas dengan permainan atau benda yang kamu mainkan saat itu tapi, catatan pentingnya, kamu harus menjelaskan pada temanmu atau pengunjung lain bahwa, kamu masih ingin memainkan itu. Bisa di pahami?”

Kepala bocah itu bergerak naik turun. Dia setuju dengan gagasan yang dilontarkan sang ibu. Lantas ia membuka suaranya kembali, “aku paham, Ibu.”

“Good Boy. Lalu pertanyaan ketiga. Seperti penjelasan ibu di awal bahwa, ini adalah tempat umum. Sudah jelas kalau kita harus menjaga sikap. Mengambil barang milik orang lain adalah hal buruk, bukan? Setiap yang terpampang di balik ruangan kaca besar-besar itu adalah milik orang lain. Pantaskah kita mengambil tanpa memberikan uang senilai barang tersebut?”

“Aku kira tidak.” Kepala bocah itu tertunduk. Ia merasa bahwa pertanyaannya sangat buruk. Merasa bersalah kepada sang ibu.

“It’s okay, Boy. Keingintahuanmu itu benar. Tidak ada yang salah dengan apa yang ingin kamu pahami. Ini tidak ada salahnya. Buang wajah menyesal itu, Bubblebee. Berikan ibu senyum paling manis yang kamu miliki kemudian, kita akan bermain sepuas yang kamu mau!” serunya.

Tanpa menunggu lama, laki-laki cilik itu menarik kedua bibirnya dan melompat kegirangan. Mempererat pegangannya pada jemari sang ibu lantas melanjutkan langkah bersama.

Menikmati setiap wahana bermain yang ada di time zone. Tawa riang anaknya membawa kabur rasa lelah dan lesu sang ibu. Pikiran yang setiap hari menumpuk membebani jiwa dan raga seolah sirna.

Tidak akan ia biarkan pandangannya lusuh dari buah hatinya. Janin yang dulu hampir ia gugurkan. Bayi yang setiap malam ia tangisi karena takut kalau tidak bisa dirawat dengan baik. Bocah yang selalu bertanya keberadaan sosok ayah.

Air mata tidak bisa dibendung saat kenangan pahit malam itu terlintas kembali dalam benaknya. Sudah enam tahun terlewat. Namun, luka dan bekasnya masih melekat. Sudah enam tahun dia berusaha untuk mengubur dalam pahitnya kenyataan, tetapi hasilnya nihil.

Ia tidak pernah bisa berdamai dengan masa lalunya hingga saat ini. Kendati, segalanya tampak baik-baik saja. Ia hanya berjanji pada diri sendiri. Memupuk kewarasan, bahwa apa pun yang terjadi dulu, sang anak sama sekali tidak bersalah. Dia tidak bisa memilih dari rahim siapa ia dilahirkan. Bagaimana dia bisa ada di dunia ini, laki-laki kecil itu tidak pernah mengetahuinya.

“Ibu! Aku ingin ke kamar mandi. Bisakah Ibu mengantarku?” Suara lucu itu membuyarkan lamunan sang ibu.

Secara cepat kesadarannya terseret. Ia menatap anaknya kemudian mengangguk dan menarik pantatnya dari kursi. Berjalan menggenggam tangan sang anak menuju ke toilet yang ada di ujung lorong.

“Ibu tunggu di sini saja. Ini toilet pria, ibu dilarang masuk. Benarkan?” Lagi-lagi sang ibu memberikan senyum bangga pada buah hatinya.

“Itu benar. Ingat pesan ibu, oke?” Anggukan untuk kesekian kalinya, ia layangkan pada sang ibu. Bocah itu lantas merangsek masuk ke kamar mandi pria.

“Kemaluan, dada, dan bokong tidak boleh disentuh tanpa izin. Apalagi oleh orang yang tidak dikenal. Jangan pernah berbicara dengan orang asing atau mengikuti kemauan aneh orang tidak dikenal.” Begitu sekiranya dia selalu memberi wejangan pada sang anak.

Sementara itu di dalam toilet. Arrow terus menatap pria asing yang berada di sampingnya. Mencuci tangan dan merapikan rambutnya sama seperti yang dilakukan olehnya. Gerakan dan gaya mereka mirip.

“Om mengikutiku?” tanyanya pada pria asing. Ia bahkan telah melupakan satu dari banyaknya aturan yang telah dia dan ibunya sepakati.

“Hei, bocah! Yang ada kamulah yang menirukanku.”

Arrow mencebikkan mulutnya. Dia tidak ingin berdebat karena, fokusnya sudah teralihkan dengan tatto yang ada di tangan laki-laki itu.

“Om nyata, ya?”

Pandangan pria dengan rambut pirang yang nyata itu terarah pada bocah yang dirasa sangat cerewet itu. “Apa maksudmu?” timpalnya.

“Ibu selalu menggambar banyak pria. Tapi gambarnya selalu sama. Tanpa wajah yang jelas, namun fokus pada tatto yang seperti milik Om. Apakah Om juga punya tatto lain selain di tempat itu?”

Menanti terlalu lama membuat sang ibu khawatir pada anaknya. Sudah lebih dari lima menit Arrow berada di dalam sana. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Hazel mendorong pintu dan beberapa langkah sebelum menemukan anaknya. Ia bisa mendengar perbincangan yang dilakukan oleh sang anak dengan sosok yang Hazel tidak ketahui.

“Maksudmu, Ibumu adalah seniman yang suka menggambar objek gaib?”

“Tidak. Ibu selalu bilang kalau aku harus berhati-hati dengan orang yang memiliki tatto seperti milik Om. Aku tidak tahu maksudnya. Apakah Om orang jahat? Aku...”

Bahunya terangkat dengan tubuh sedikit bergetar, saat ia dengar lebih jelas anaknya berbicara dengan orang lain di dalam sana.

“Arrow!” panggil Hazel. Napasnya menderu ketakutan saat semakin jelas dia dengar ucapan sang anak.

Sesuatu terjatuh tanpa Arrow sadari.

“Kamu sudah terlalu lama. Kita harus keluar dan segera pulang!” Ia seret pergelangan tangan Arrow. Melangkah dengan lebar keluar dari toilet tanpa melihat dengan jelas rupa dari pria yang baru saja berbicara dengan anaknya.

“Apa maksud dari semua itu, Arrow?! Jelaskan pada ibu! Kita sudah membuat kesepakatan. Tidak ada obrolan dengan orang asing. Tidak ada basa-basi atau bahkan berbagi hal pribadi dengan orang lain kecuali antara kita berdua, bukan? Kamu melupakan itu semua?” Hazel memberondong tuduhan pada bocah berusia enam tahun itu. Begitu mereka tiba di tempat parkir.

Ia hanya tidak ingin anaknya terluka atau bahkan celaka akibat dari keteledoran dan over sharing pada orang yang tidak dikenal.

Arrow sadar bahwa tindakannya salah. Hanya mampu tertunduk. Menatap ujung sepatu. Belum berani menimpali omelan sang ibu hingga wanita berjasa itu meminta penjelasan padanya.

“Huh! Maafkan, Ibu.” Helaan napas frustasi. Hazel pun menyadari bahwa dia sungguh keterlaluan. Mengoceh sebelum mendengar penjelasan Arrow.

“Ibu hanya tidak ingin kamu kenapa-kenapa, Arrow. Hanya kamu yang ibu punya. Hanya kamu alasan ibu ada. Berjanjilah tidak akan mengulang hal yang sama. Janji?”

Arrow memeluk ibunya. “Aku berjanji, Ibu. Maafkan, aku.”

“It’s okay. Semua sudah berakhir. Kita pulang, ya. Sudah sore.”

Dalam perjalanan Hazel masih memikirkan siapa dan benarkah sosok dilihat Arrow adalah orang yang memiliki tatto sama dengan orang enam tahun lalu?

“Arrow. Bolehkah ibu tanya sesuatu padamu?”

“Tentu saja.”

“Apakah kamu benar-benar melihat laki-laki yang ibu gambar?”

“Ya. Versi nyata dengan wajah yang jelas. Kenapa ibu tidak menggambar wajahnya? Dia tidak buruk.”

Andaikan kamu tahu alasannya, Nak.

“Kenapa Ibu selalu menggambarnya? Kenapa juga setelah selesai melukis sosoknya, Ibu selalu merusak gambar itu? Apakah ada yang salah dengannya, Bu? Atau ada yang salah dengan Ibu?”

“Tidak, Nak. Sudahlah, lupakan.” Hazel kembali fokus pada motor yang ia kemudikan. Kembali menuju kediaman.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Laila Qodariah
bab pertama yang cukup nenantang
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   69 : Bertemu Kembali

    Langkah kaki kecil terdengar menjejak pelan di tangga kayu beranda.Tuk. Tuk. Tuk.Hazel terdiam seketika. Dadanya mencuat naik-turun dalam irama yang tidak beraturan. Ia menoleh cepat ke arah jendela, lalu berdiri secepat kilat dan berlari ke arah pintu.Lalu terdengar suara yang selama ini ia rindukan lebih dari apa pun."Ibu! Ibu! "Hazel membuka pintu dengan kedua tangan yang bergetar. Cahaya matahari musim panas menyilaukan sejenak, tapi bayangan tubuh kecil yang berdiri di ambang pintu langsung mengisi seluruh ruang dalam jiwanya."Arrow!" serunya, nyaris tersedak oleh isak tangis yang tertahan.Tanpa menunggu waktu, Hazel berlari dan merengkuh anak itu ke dalam pelukannya. Ia menunduk, menciumi kepala bocah itu berkali-kali seolah tidak ingin melewatkan satu inci pun dari kehadirannya. Tubuh kecil Arrow menggigil pelan, namun balas memeluk erat, seakan mencari tempatnya kembali dalam dunia yang sempat terasa asing

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   68 : Janji

    Udara pagi mulai menghangat, menyiratkan pertanda musim panas yang akan segera tiba. Cahaya mentari menyusup pelan melalui celah-celah tirai ruang tamu, menari di antara debu-debu halus yang melayang di udara. Aroma kopi dan kayu tua menguar di dalam rumah itu, namun tak cukup menenangkan kegelisahan yang menggantung di dalam dada Hazel.Ia duduk di tepi sofa, jemarinya meremas bagian bawah sweater tipis yang mulai terasa terlalu panas untuk musim yang sebentar lagi berubah."Sudah pukul sembilan lewat dua puluh. Mereka seharusnya tiba sebelum tengah hari," gumam Hazel dengan suara nyaris tak terdengar.Luca duduk di seberangnya, tangannya menggenggam cangkir kopi yang sudah hampir dingin. Ia memperhatikan wanita itu dengan diam, membaca setiap gerak kecil dari tubuh yang dipenuhi kecemasan. Sejak semalam, Hazel nyaris tidak tidur. Dan pagi ini, kegelisahannya tak mampu ditutupi, bahkan oleh senyum tipis yang beberapa kali berusaha ia paksakan."Don Alvero orang yang tepat, Hazel. Dia

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   67 : Anak Kecil

    Layar monitor menyala redup di ruangan yang nyaris tak bernyawa.Cahaya biru memantul di mata Shofia, yang duduk membungkuk di depan empat layar sekaligus. Jari-jarinya menari cepat di atas keyboard mekanik, menciptakan irama ketukan yang bersahut dengan deru lembut dari kipas prosesor yang dipacu melampaui batas wajar.Satu jendela sistem terbuka. Lalu satu lagi. Shofia memasukkan barisan kode yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang hidup di dunia tanpa nama—dunia tempat data adalah mata uang, dan identitas bisa dipalsukan hanya dengan satu klik.Dia tidak bicara. Bahkan tidak bernapas terlalu keras. Hanya sorot matanya yang membara, seperti bara dalam kelam."Anakmu... di mana kau menyembunyikannya, Jack?" bisik Shofia dalam hati.Ini bukan kali pertama ia menyusup ke dalam jaringan internal organisasi. Tapi malam ini berbeda. Ia tidak sekadar mencari celah. Ia mencari seseorang. Satu nama yang bisa mengubah segalanya.Seseorang yang mungkin adalah pewaris darah Jack.Seseorang ya

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   66 : Laki-laki Biadab

    Luca terdiam beberapa detik, lalu membuang napas perlahan. “Aku pernah mendengar sesuatu…” katanya , suaranya nyaris seperti gumaman di antara denting jam dinding yang tak berdosa.Hazel menoleh, menunggu lanjutan kalimat itu seolah hidupnya bergantung padanya.“Mungkin. Tapi aku yakin itu bukan kebohongan. Dulu, ketika aku masih berada di jaringan lama... sebelum semua ini berantakan... ada satu nama yang terus dibisikkan. Tentang Jack yang ternyata punya keluarga.”Hazel menyipitkan mata. “Keluarga?”Luca mengangguk. “Seorang istri. Dan seorang anak. Tapi... bukan kisah keluarga seperti yang kita tahu. Bukan kisah yang bisa kau bayangkan di meja makan atau pelukan sebelum tidur.”Ia mengusap wajahnya sejenak, lalu menatap Hazel dengan sorot mata yang menyimpan luka yang tak pernah benar-benar sembuh.“Jack membunuh istrinya sendiri.”Jantung Hazel seperti tersangkut di tenggorokan. “Apa?”“Ya,” Luca menjawab pelan. “Dia menghabisi perempuan yang dinikahinya. Dan alasannya... adalah

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   65 : Terungkap

    Luca menatap Hazel yang masih menunduk. Di hadapannya, gadis itu seperti mencari makna dari setiap patah kalimat yang baru saja dia dengar. Tapi sebelum ia sempat bicara, Luca menghela napas dalam.“Aku tahu kau ingin tahu semuanya,” ujarnya pelan. “Dan kalau kita bicara tentang ayahmu... kita harus kembali jauh. Ke masa ketika aku masih cukup muda untuk percaya bahwa kepercayaan bisa menyelamatkan dunia. Tapi hari itu... dunia mengajarkan hal yang berbeda.”Hazel mendongak perlahan.“Saat kau masih bayi—mungkin satu tahun. Mereka pergi menjalankan misi. Waktu itu, dia tidak hanya seorang ayah, Hazel. Dia masih Moretti. Tapi bukan yang membunuh tanpa alasan. Dia... seorang pemimpin yang dipilih bukan karena darah, tapi karena prinsip. Dan itu yang membuatnya paling dibenci. Oleh musuh. Siapa sangka bahwa musuhnya juga ada di dalam lingkaran.”Luca memejamkan mata sejenak, membiarkan pikirannya menarik kembali malam berdarah itu.“Brian memimpin satu operasi besar. Kami menyebutnya Ope

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   64 : Hampir Terkuak

    "Siapa ayahmu?" Dua kata yang mampu membuat Hazel menoleh ke arah pria di sampingnya. Duduk sedikit lebih jauh. Ia menatap Luca. Alisnya sedikit bertaut. Suara itu begitu dalam—seperti milik seseorang yang ingin memastikan kebenaran yang selama ini ditolak oleh pikirannya sendiri.“Brian Moretti…” bisiknya. “Oh my God.”Hazel mengerutkan kening. Ia bergeser sedikit ke depan, mendekat, matanya menatap Luca semakin intens dengan bara penasaran yang kini menyala penuh.“Tidak. Tidak ada orang itu di foto. Tidak ada Brian Moretti. Hanya Brian Lanchester. Ayahku bukan seorang Moretti.”Luca perlahan menggeleng. Bibirnya terbuka, tapi tak segera ada suara keluar. Ia menatap Hazel seperti melihat sesuatu yang rapuh—sebuah keping teka-teki yang telah lama hilang tapi kini ada di depan matanya, utuh namun belum sepenuhnya bisa dia genggam.“Hazel…” suara Luca akhirnya terdengar, pelan, dalam, penuh bebannya sendiri. “Ayahmu adalah Brian Moretti Lanchester. Aku… harusnya lebih yakin sejak awal

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status