"Maafkan Ibu, Arrow. Tidak jarang kamu harus tidur sendirian. Apakah ada dendam untuk ibu di hati kecilmu, Bubblebee?" Jari-jari kurus dan kasar milik Hazel mengusap rambut lembut sang anak.
Mata berkaca-kaca setiap kali dia harus mendapatkan shif malam. Waktu di mana seharusnya ia bisa berbaring dan menghidu aroma wangi anak. Namun, dia kudu menembus dingin malam demi sebuah kehidupan layak untuk buah hati.
Mendaratkan satu kecupan begitu dalam di dahi Arrow, lantas ia menarik diri dan menjauh. Menutup pintu bersiap untuk ke restoran. Melirik jarum jam yang masih menuding angka 21.30.
"Jika dia tidak bangun, tolong jangan masuk ke kamarnya. Lebih baik kamu tidur saja," titahnya pada seseorang yang saban malam menemani anaknya di rumah, sembari menyambar tas di meja.
"Baik, Hazel."
"Terima kasih, Isabell. Maaf masih terus merepotkanmu."
"Jangan sungkan. Anggap saja aku butuh kerja dan kamu butuh aku untuk anakmu. Arrow beruntung memilikimu, Hazel. Jangan menyerah."
Bersamaan dengan tatapan sayu, Hazel anggukkan kepala. Memberikan seulas senyum sekali lagi sebelum ia benar-benar pergi dari rumah.
Hazel mengemudikan motornya. Membelah jalanan yang masih tampak ramai ditemani kesiur angin malam.
Tiga puluh lima menit terlewat tampak restoran tempatnya bekerja masih cukup ramai padahal sudah waktunya tutup. Ia parkirkan motor dan menghela napas lega. Ketika berbalik, senyum dari kawan telah menyambut.
"Bagaimana harimu?"
"Tidak terkendali. Arrow membuat kejutan."
"Kejutan? Seperti apa?" Ia imbangi langkah Hazel. Bergerak menuju pintu khusus staff.
Berhenti tepat di depan loker. Melepas jaket dan memasukkan pada lokasi penyimpanan khusus tersebut. Menarik keluar pakaian ganti yang harus mereka kenakan.
"Aku takut, Zoe. Bagaimana kalau aku atau Arrow bertemu dengan laki-laki itu?"
"Maksudmu ayahnya?"
"Ya. Pagi tadi aku membawanya ke time zone. Dia izin ke toilet dan— boom! Aku dengar sendiri ia mengatakan bahwa pria itu memiliki tatto di tangan sama seperti yang aku gambar." Merangkus wajah dan menumpukan siku pada lututnya.
"Dia mengatakannya?"
Hazel mengangguk lemah. "Mereka berbincang, Zoe. Tapi, aku tidak tahu wajahnya dengan intens. Aku... Aku hanya berpikir harus mengajak Arrow menjauh dari siapapun orang asing yang memiliki tatto itu."
"Aku tidak bisa membiarkan anakku direbut oleh siapapun, Zoe,” tambahnya. Ia genggam tangan teman dekatnya itu. Berharap dengan sedikit kontak fisik mampu membuatnya tenang.
"Aku tidak akan biarkan siapapun melukai Arrow, Hazel. Kita akan menjaganya." Perempuan itu mengangguk setuju.
Satu-satunya teman cerita yang bisa diandalkan Hazel hanyalah Zoe.
Merasa lebih baik. Keduanya lantas siap untuk memulai bekerja. Tempat itu sudah mulai sepi. Staf kebersihan mulai menggantikan peran di dapur.
Mengelap, mengepel, mencuci kompor, lap, dan lain sebagainya. Piring sisa yang masih menumpuk pun tidak lupa dari tangan Hazel yang bekerja dengan cepat, terampil, dan rajin.
Tidak heran jika rekan kerjanya selalu senang saat mendapatkan pergantian shif bersama dengan Hazel. Wanita istimewa yang tidak mengenal rasa lelah.
Tepat pukul setengah dua dini hari, Hazel sudah tiba di rumah. Bukannya lekas merebahkan tubuhnya, ia selalu membuka kamar Arrow dan menatap wajah tenang nan lucu sang anak saat tidur.
"Ibu akan upayakan apa yang kamu mau, Arrow. Tidak akan aku biarkan kamu merasa kurang. Maaf, jika aku bukan sosok ibu yang baik untukmu. Tapi, aku akan berusaha agar tidak pernah ada luka yang mendewasakanmu." Ia elus lagi rambut cokelat anaknya. Mencium pipinya kemudian kembali keluar.
membuat kopi untuk menemani setiap malam yang selalu terasa sepi. Kesunyian membuat Hazel bak mengorek luka-luka lima tahun lalu.
Duduk di kusen jendela dengan secangkir kopi di tangan. Kepulan asap dengan aroma khas menggelitik hidungnya.
Kertas dan pena setia di tangan. Sadar atau tidak, goresan demi goresan itu selalu membentuk gambar tatto bintang mata angin. Jika tidak begitu, sesosok asing tanpa wajah jelas dengan tangan yang berhias tatto bintang tersebut. Tidak hanya itu, bahkan detail kecil seperti tahi lalat dan tatto lain di tubuh pria itu, Hazel mengingatnya.
Benar apa yang dikatakan oleh Arrow bahwa setelah sketsa itu berhasil dibuat. Ia lantas merusaknya dengan mencoret objek tersebut.
"Jika suatu saat bertemu denganmu, aku pastikan bahwa kamu tidak akan pernah bisa menyentuh atau bahkan melukai Arrow! Kamu harus membayar mahal untuk semua jerih payah yang telah aku lakukan!" Geram sudah tidak tertahan.
Ia hempaskan tubuh yang cukup lelah pada ranjang sempit di kamar. Hingga kantuk melenyapkan kesadaran seketika. Mimpi siap memeluknya. Harapan untuk kehidupan indah anaknya siap menumbuhkan semangat.
*
"Take care, Bubblebee. Maafkan Ibu." Rasa sesal begitu kuat menggerogoti diri Hazel. Pagi-pagi ia harus mengantarkan anaknya ke day care. Ia akan menjemputnya tepat pukul empat sore. Itu pun belum tentu tepat waktu. Terkadang Isabell yang mampir ke sekolah bocah lucu tersebut.
"Untuk?" Sorot mata yang cerah dan bening tanpa dosa menatap netra sang ibu.
Bagaimana bisa Hazel berpikir untuk melenyapkan bocah ini dulu? Bagaimana bisa dia hampir tega menghilangkan nyawa suci ini?
"Untuk segalanya, Boy. Untuk waktu yang tidak bisa kita habiskan bersama. Untuk segala kesalahan Ibu yang selalu memarahimu dan mungkin untuk pelampiasan kekesalan ibu, Bubblebee."
"Ibu adalah wanita terhebat. Aku bangga memilikimu. Justru aku minta maaf. Karenaku kamu tidak bisa beristirahat dengan baik 'kan?"
"No!" Ia peluk bocah mungil di depannya dengan erat. Ia kecup pucuk kepala Arrow sangat dalam.
"Hentikan ucapanmu. Kamu adalah nadiku. Kamu segalanya, Boy."
"I adore you, Ibu." Hazel lepaskan dekapannya. Ia tatap sekali lagi wajah Arrow.
"Okay. Masuklah. Ibu janji akan menjemputmu hari ini. See you again, Bubblebee."
Lambaian tangan Arrow tanda perpisahan sementara mereka telah tiba. Menggendong ransel dan menerobos pagar besi yang memisahkan keduanya.
Usai mengantarkan sang anak, Hazel lekas pergi ke restoran tempat dia bekerja. Saat pagi ia akan melakukan lebih banyak waktu di tempat itu. Bukan hanya menjadi staf kebersihan melainkan juga menjadi pelayan resto yang siap menerima dan mengantarkan pesanan pelanggan.
"Hazel!" panggil seseorang yang tidak biasanya ia ada di jam sepagi ini.
"Ya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?"
"Bisakah kamu hari ini lembur? Maaf, tapi ini mendesak. Dua bagian depan libur dan ini sangat membuatku harus mengandalkan kamu."
Sejenak Hazel terdiam. Dia sudah berjanji pada Arrow akan menjemputnya sore ini. Jika ia lembur artinya jam dua dini hari, ia baru akan melihat anaknya. Ini menyayat hati. Tapi hasil dari dua pekerjaan yang dia lakoni di satu tempat ini sangat menggiurkan apalagi ditambah uang lembur. Hazel tidak tahu harus bertindak seperti apa. Tidak adil bagi Arrow yang terus merasa kesepian tanpa kehadirannya.
"Hei! Bisakah kamu menambah jam kerjamu hari ini?"
"Baik, Pak. Tapi, bolehkah saya izin satu jam saat pergantian shif nanti, Pak?"
"Menjemput Arrow?" Anggukan kepala yang lekas menjawab pertanyaan dari manager restoran.
"Tentu. Anggap saja itu jam istirahatmu. Baiklah, semangat bekerja, jangan sampai ada kesalahan." Lagi-lagi hanya gestur tubuh yang menjawab pernyataan sang manager. Ia kembali pada pekerjaan. Membersihkan seluruh meja. Mengelap kursi, kaca dan juga mengecek dapur sebelum akhirnya digunakan kembali.
Tangan itu mencengkeram kerah jaket kecil Arrow—bukan untuk menculik, tapi untuk menariknya mundur, menjauh dari bayangan gelap yang hampir merenggutnya. Sekejap, tubuh kecil itu ditarik dengan kekuatan halus tapi tegas, lalu dipeluk erat ke dada seseorang, di bawah sinar matahari sore yang mulai meredup.“Arrow!”Suara itu lembut namun penuh kemarahan. Arrow mengenal aroma tubuh itu. Bau parfum khas yang biasa tercium saat Zoe memeluknya sepulang kerja ibunya, campuran wangi kayu dan sedikit rempah yang hangat.Mata Arrow melebar. “Zoe…”Kata itu nyaris tak percaya, namun penuh harapan.Zoe tak menunggu. Ia berdiri dengan tubuh menghalangi pria bertato yang secara bersamaan menemukan Arrow, membentuk bayangan pelindung yang kokoh di antara mereka.“Apa kau sudah gila?” desis Zoe dengan napas tersengal, sorot matanya membara menatap pria asing itu.Pria itu membeku, seperti terkejut oleh ke
Tak jauh dari tempatnya duduk, seorang pria tua menarik gerobak penuh bunga melewati jalan setapak di sisi lain. Mawar merah, merah muda, lili putih, dan seruni kuning tampak mekar dengan aroma yang menguar samar ke udara. Aroma itu begitu lembut, mengisi ruang dengan kesan hangat dan damai, kontras dengan riuh rendah langkah kaki dan suara kendaraan di sekitar.Arrow berdiri. Matanya berbinar, menatap bunga-bunga itu dengan harapan yang tumbuh di hatinya. Ibu pasti suka bunga itu, pikirnya dengan suara hati yang kecil tapi penuh keyakinan.“Ibu pasti suka,” ucapnya lagi dengan suara lembut, hampir seperti berbisik untuk dirinya sendiri, penuh harap.Tanpa ragu, ia melepas ransel kecilnya dan mulai mengobrak-abrik isinya. Tangannya kecil yang gemetar menyentuh kantong koin kecil yang disembunyikan Hazel untuk
Bagian 6Pagi itu, matahari bersinar malu-malu di balik awan, seolah tahu bahwa hari ini bukan hari biasa bagi Hazel dan Arrow. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, Hazel mengambil hari libur dan terhindar dari tekanan kerja, dengan senyum yang belum pudar sejak bangun tidur, ia menggenggam tangan kecil Arrow yang tak henti melompat kegirangan. Kebun binatang selalu berhasil membuat bocah itu tertawa paling kencang."Kita betul mau ke kebun binatang, Ibu?" tanya Arrow, matanya bersinar. Berjalan di samping sang ibu dengan jaket biru yang menghangatkan tubuh mungilnya.Hazel tertawa. "Betul, dong. Tapi kamu harus janji satu hal.""Apa?""Jangan lari-lari sendiri, ya. Pegang tangan Ibu terus."Arrow mengangguk keras-keras. "Janji, demi es krim!"Hazel mencubit pipinya pelan. “Dasar bocah es krim.”**Kebun binatang itu ramai oleh keluarga yang datang untuk menikmati akhir
Keringat belum sempat mengering dari pelipis Hazel ketika suara bel restoran kembali berdenting. Aroma keju panggang dan sup krim yang mengepul menguar ke udara, disambut dengan langkah-langkah pelanggan yang datang silih berganti. Jam menunjukkan pukul sembilan petang, tapi restoran masih ramai seperti siang tadi. Hazel menarik napas panjang, menekan rasa letih yang mulai merayap naik ke tengkuknya. Satu per satu, ia mencatat pesanan, menyeka meja, dan menyambut tamu dengan senyum tipis yang ia ciptakan secara otomatis—senyum yang kini terasa seperti topeng yang melekat permanen di wajahnya.Ia tidak punya waktu untuk sekadar duduk. Bahkan saat rekan-rekannya bergantian mengambil waktu istirahat, Hazel tetap sibuk bergerak dari meja ke meja. Di dalam dirinya, ada rasa bersalah yang terlalu akrab: ia sudah terlambat menjemput Arrow tadi. Surat kecil dari anaknya masih tersimpan rapi dalam saku celemek, menunggu dibaca di waktu yang belum ia miliki.Menjelang waktu tutup, restoran perl
"Apa maksudmu, Shofia? Tuduhan macam apa yang kau layangkan padaku itu, huh?" Saat ini, Orlando telah diringkus dan harus puas dengan ikatan di tangan juga luka di wajah.Jemari nakal yang sebelumnya menggoda justru memberi hadiah istimewa. Menonjok, dan memuntir kedua tangan Orlando mengikis pergerakan dari laki-laki pengkhianatan itu.Shofia menyadari bahwa suara Orlando benar-benar mirip dengan penelepon anonim. Seorang duri dalam daging organisasi mereka."Tutup mulutmu dan nikmati saja bercinta denganku. Bos sudah memerintahku untuk mengulitimu, Sayang. So, ada pesan terakhir yang ingin kau sampaikan?" Shofia mengasah pisau kecil yang sudah ia kantongi saban waktu.Tangan lentik mulus meraih pemantik yang tergeletak di meja kaca. Shofia menyalakan rokok dengan ujung jari bergetar, lalu mengisapnya dalam-dalam. Matanya menatap kosong ke arah tubuh Orlando yang kini terkulai tak berdaya di lantai. Darah menodai ujung gaun hitamnya—jeans robek milik Orlando itu juga berlumuran merah
Gudang tua terletak di pinggiran kota, jauh dari hiruk pikuk kehidupan sehari-hari. Di dalamnya, sekelompok orang berkumpul, wajah-wajah mereka terlihat tegang dan waspada. Mereka adalah anggota komplotan rahasia yang telah lama beroperasi di kota, dan malam ini mereka berkumpul untuk melakukan transaksi obat-obatan terlarang dengan jumlah yang sangat besar.Bos komplotan, seorang pria berwajah keras dan mata tajam, dengan tatto bintang di punggung tangan berdiri di tengah-tengah ruangan, mengamati barang yang telah dibawa oleh pedagang. Namun, saat dia membuka paket-paket tersebut, wajahnya semakin mengerut dan matanya menyempit."Apa ini?" Dia bertanya dengan nada yang rendah dan mengancam. "Kamu bilang ini adalah barang kelas A, tapi yang aku lihat ini adalah sampah. Kamu mencoba menipuku?"Si pedagang yang berdiri di depannya terlihat gemetar, dia tahu bahwa dia berada dalam bahaya. "Saya... saya tidak tahu apa yang terjadi, bos. Saya hanya bertugas mengantarnya. Saya yakin ini ad
"Maafkan Ibu, Arrow. Tidak jarang kamu harus tidur sendirian. Apakah ada dendam untuk ibu di hati kecilmu, Bubblebee?" Jari-jari kurus dan kasar milik Hazel mengusap rambut lembut sang anak.Mata berkaca-kaca setiap kali dia harus mendapatkan shif malam. Waktu di mana seharusnya ia bisa berbaring dan menghidu aroma wangi anak. Namun, dia kudu menembus dingin malam demi sebuah kehidupan layak untuk buah hati.Mendaratkan satu kecupan begitu dalam di dahi Arrow, lantas ia menarik diri dan menjauh. Menutup pintu bersiap untuk ke restoran. Melirik jarum jam yang masih menuding angka 21.30."Jika dia tidak bangun, tolong jangan masuk ke kamarnya. Lebih baik kamu tidur saja," titahnya pada seseorang yang saban malam menemani anaknya di rumah, sembari menyambar tas di meja."Baik, Hazel.""Terima kasih, Isabell. Maaf masih terus merepotkanmu.""Jangan sungkan. Anggap saja aku butuh kerja dan kamu butuh aku untuk anakmu. Arrow beruntung memilikimu, Hazel. Jangan menyerah."Bersamaan dengan ta
“Ibu! Kenapa banyak sekali orang di sini?”“Ibu, apakah di sini juga ada tempat untuk bermain?”“Apakah aku bisa ambil apa pun yang aku mau tanpa mengurangi uang Ibu? Apakah bisa, Ibu?”Belum selesai dengan satu soal yang terlontar dari mulut bocah tersebut, sudah harus disusul introgasi berikutnya. Tidak heran, anak-anak selalu ingin mengetahui dunia dengan segala pertanyaan yang acak.Meski begitu cerewet, ia tetap berjalan dengan disiplin tepat di sisi sang Ibu yang masih menanggapi keingintahuan sang anak dengan senyuman.Mereka berada di pusat perbelanjaan terbesar di kota. Kali pertama bagi bocah itu memiliki waktu bahagia layaknya hari ini. Sang ibu yang harus dituntut untuk menghidupi bocah itu sendirian membuatnya tidak mampu meluangkan waktu untuk mengajak jalan-jalan meski hanya sekadar ke tempat bermain.“Baik. Dengarkan Ibu. Pertama. Kenapa di sini banyak sekali orang karena, ini adalah tempat umum. Di mana, kita harus menjaga sikap. Kurang baik jika, kita berteriak, memb