Dalam kamar yang tidak terlalu besar namun menciptakan banyak kenyamanan dan ketenangan, Hazel terduduk tertegun menatap kalung yang baru saja dia ambil dari leher Arrow. Menatap ke empatnya secara bergantian. Semuanya mirip. Sama. Bahkan tidak dia temukan setitik pun perbedaan di sana. Matanya terus terkunci pada benda-benda yang malam tadi dia temukan. "Aku tidak pernah tahu apa di balik semua ini. Tapi... Ini jelas pesan ibu hanya untukku," racaunya.Menebak segala kemungkinan yang bisa dia pecahkan. Akan tetapi sampai jarum tepat berada di depan angka lima, tidak satu pun jawaban dia temukan. Tidak ada titik terang dari kerasnya dia berpikir semalam utuh. "Bulan sabit. Aku pernah melihatnya. Di mana? Di mana Hazel. Ingat-ingatlah. Ayo!" Suaranya terdengar berbisik pada diri sendiri. "Bu... Kau sudah bangun?""Hei. Boy, perlu sesuatu?""Aku terbangun dan tidak mendapatkan sesuatu di leherku." Mungkin sudah menjadi kebiasaan bocah itu yang
Sudah sembilan hari berlalu sejak insiden penembakan itu.Di dalam kantor yang remang dan beraroma kopi basi, Migel masih menatap papan bukti di depannya. Garis-garis merah yang menghubungkan foto Ethan, sketsa pelaku, dan laporan forensik mulai tampak seperti jaring laba-laba tanpa pusat. Tak ada simpul yang jelas. Tak ada arah. Hanya frustrasi yang makin pekat.Jejak rekaman kamera pengintai juga nihil. Benaknya setuju bahwa pelaku itu adalah orang profesional... Dalam hal kejahatan. Pintu diketuk sekali.Kemudian terbuka tanpa menunggu jawaban.Alex masuk. Langkahnya pelan, namun gelisahnya tak bisa ditutupi. Ia membawa map cokelat yang terlihat sudah kusut di sudutnya, seolah terlalu sering dibuka dan ditutup dalam keraguan.“Ada waktu sebentar?” tanyanya pelan. Meminta izin barangkali Migel tak dapat diganggu untuk sekarang. Migel mendongak tanpa ekspresi. “Kalau ini soal hasil rapat pagi tadi, simpan aja. Aku tidak butuh basa-b
Langkah Hazel terhenti di sudut kamar penuh memori itu. Seolah ada yang menarik ujung jarinya, mendorongnya membuka sebuah laci tua yang sempat ditunjuk sang ibu, dulu... sebelum semua yang ada pada tempat ini berubah.Lacinya macet, penuh debu dan lapuk di bagian tepi. Dengan satu tarikan kuat, laci terbuka—dan di dalamnya, teronggok sebuah kaset kecil berlabel buram:“Untuk Hazel – jika Ibu tak sempat bicara.”Tepat di bawah kaset itu, tersimpan tiga benda identik: sebuah kalung dengan simbol bukan sabit dan bintang kompas. Hazel mengernyit. Jantungnya terasa menggantung. Lambang itu terasa bak menghantui kehidupan Hazel sejak dirinya dilahirkan ke bumi. Secepat kilat, ia berlari ke tempat di mana ia menemukan alat pemutar musik. Beruntung, pemutar kaset tua milik ibunya masih tersimpan di rak bawah. Dengan ragu, Hazel memasukkan kaset itu, menekan tombol “Play”.Suara itu muncul—serak, lemah, tapi penuh cinta.“Haze
Begitu mendongak langit telah berganti warna ketika Hazel melangkah keluar dari minimarket kecil di ujung jalan. Di tangannya tergantung plastik belanja berisi susu dan roti tawar. Udara sore itu hangat, tapi pikirannya dingin. Ia membuka ponsel saat layar menyala, ada satu pesan baru dari Isabel:"Arrow bersamaku. Jangan khawatir. Aku akan menunggunya di rumahku kalau kamu butuh waktu sendiri. Atau, kalau kamu ingin habiskan dengan Zoe~ ;)"Hazel membaca ulang kalimat terakhir dan mendesah. Isabel memang suka menggoda dengan nada setengah bercanda, tapi sore ini, lelucon itu hanya membuat jantung Hazel berdebar—bukan karena Zoe, tapi karena dirinya sendiri yang tak tahu harus ke mana membawa hubungan tanpa status itu.Motornya seakan berjalan tanpa kendari darinya, bukan ke arah rumah, bukan ke arah Zoe. Tapi ke sebuah tempat yang sudah lama ia hindari. Sebuah rumah kecil, di sudut kota tua, berdinding kayu kusam dan beratap seng yang mungkin sudah
Langit malam seperti menahan napasnya. Tidak ada angin kencang, tidak ada suara kendaraan berlalu. Hanya langit kelabu yang menggantung rendah, seolah memberi ruang bagi kota kecil ini untuk sesaat tenang dari hiruk-pikuk dan luka lama.Hazel berdiri di depan jendela, memandangi sosok kecil Arrow yang sudah tertidur pulas di ranjang. Napas anak itu teratur, seperti gelombang kecil yang berayun lembut. Isabel, tetangga yang tinggal tepat di sebelah, tengah duduk di ruang tamu sambil memegang buku dan secangkir teh.“Aku bisa jaga dia,” ujar Isabel dengan senyum lembut. “Pergilah sebentar. Udara malam bagus untuk kepala yang terlalu penuh.”Hazel tersenyum kecil, lalu meraih jaket tipisnya. Hatinya sedikit berat meninggalkan Arrow, tapi entah mengapa, malam ini seperti meminta sesuatu yang berbeda. Dan mungkin, untuk sekali ini, dia bisa percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja.Zoe sudah menunggu di luar, bersandar di samping mobil tuanya, tapi m
Gudang utama Velaro Freight Co. berderet di tepian pelabuhan, menjulang bagai bangunan kosong yang tak penting. Di balik lapisan beton tebal dan pintu baja bergembok elektronik, satu dunia yang jauh dari hukum dan nurani tengah bekerja tanpa jeda.Luca berdiri mematung di depan layar monitor besar, memandangi peta pengiriman dari Hong Kong menuju daerah transit di Balkan. Lintasan titik-titik merah menandai jalur penyelundupan senjata terbaru mereka. Namun matanya kosong. Pikirannya melayang jauh."Kalau kau hanya ingin berdiri diam, seharusnya aku yang memegang kendali sejak kemarin."Suara itu datang dari belakang. Tenang, tapi penuh pisau. Shofia.Luca tidak menoleh. Ia hanya menghela napas. “Aku memperhatikan. Hanya tidak seperti biasanya.”Shofia melangkah mendekat, rambutnya disanggul rapi, mata tajam seperti biasa. Dia membawa sebuah tablet berisi laporan transaksi dengan nama-nama samaran dan kode barang yang hanya mereka yang mengerti