Gudang tua terletak di pinggiran kota, jauh dari hiruk pikuk kehidupan sehari-hari. Di dalamnya, sekelompok orang berkumpul, wajah-wajah mereka terlihat tegang dan waspada. Mereka adalah anggota komplotan rahasia yang telah lama beroperasi di kota, dan malam ini mereka berkumpul untuk melakukan transaksi obat-obatan terlarang dengan jumlah yang sangat besar.
Bos komplotan, seorang pria berwajah keras dan mata tajam, dengan tatto bintang di punggung tangan berdiri di tengah-tengah ruangan, mengamati barang yang telah dibawa oleh pedagang. Namun, saat dia membuka paket-paket tersebut, wajahnya semakin mengerut dan matanya menyempit.
"Apa ini?" Dia bertanya dengan nada yang rendah dan mengancam. "Kamu bilang ini adalah barang kelas A, tapi yang aku lihat ini adalah sampah. Kamu mencoba menipuku?"
Si pedagang yang berdiri di depannya terlihat gemetar, dia tahu bahwa dia berada dalam bahaya. "Saya... saya tidak tahu apa yang terjadi, bos. Saya hanya bertugas mengantarnya. Saya yakin ini adalah barang yang Anda pesan."
Bos komplotan itu tertawa, suara yang dingin dan tidak menyenangkan. "Kamu tidak tahu apa yang terjadi? Kamu tidak tahu bahwa kamu telah menandatangani surat kematianmu sendiri?"
Dengan gerakan yang cepat dan tidak terduga, bos komplotan itu mengeluarkan pistol dari balik jaketnya dan menodongkan ke arah pedagang. Ruangan seketika menjadi sunyi, hanya terdengar suara napas yang berat dan jantung yang berdebar kencang.
Pedagang itu terlihat sangat ketakutan, dia berusaha untuk berbicara dengan suara gemetar. "Tolong, bos... saya tidak bermaksud menipu Anda. Saya bisa mengganti barangnya atau mengembalikan uang Anda."
Bos komplotan itu tertawa, suara yang dingin ditambah tatapan mata tidak bersahabat. "Kamu pikir bisa mengganti barang ini dengan mudah? Kamu telah menipu saya dan itu adalah kesalahan yang fatal!"
Tanpa berbasa-basi sang bos komplotan itu menarik pelatuk pistol yang sudah ditodongkan. Suara tembakan menggema di ruangan, dan pedagang itu terjatuh ke lantai dengan mata terbuka lebar.
Anggota komplotan lain tidak bergerak, mereka tampak sudah terbiasa dengan kekerasan yang dilakukan oleh bos mereka. Bos komplotan berdiri di atas mayat pedagang, matanya masih menatap bengis banyak murka ke arah mayat.
"Buang mayatnya," katanya dengan nada yang dingin. "Dan cari tahu siapa yang menjual barang palsu ini. Saya ingin tahu siapa yang bertanggung jawab atas kesalahan ini."
Saat hendak meninggalkan gudang tua, justru terdengar suara derap kaki yang heboh. Disusul dengan teriakan.
"Polisi! Tempat ini telah dikepung! Angkat tangan dan serahkan diri kalian!" teriak kepala Polisi yang bertugas.
"Sial! Berani-beraninya dia membodohiku! Brengsek!" Ia tendang dinding rapuh di sampingnya.
"Dalam hitungan ketiga kalian harus keluar!"
Mendengar suara ricuh yang tidak terkendali dari balik alat komunikasinya, bos besar yang ada di seberang jauh, justru mematikan salurannya. Diikuti dengan helaan napas geram.
"Bajingan! Siapa yang berani bermain-main denganku?!" umpatnya lantas melemparkan alat komunikasi seringan gawai ke arah dinding. Terpental dan hancur berkeping-keping.
"Shofia!" teriak memanggil salah seorang anggota yang dia percaya.
"Saya, Bos!"
"Ungkap semua ini! Aku telah ditipu ratusan juta! Brengsek! Cari dan kuliti siapapun yang berada di balik insiden ini. Cepat!" Kalap, tidak lagi bisa membendung kemarahan yang sudah mencuat.
*
"Misi kita berhasil, Migel!"
"Terima kasih atas bantuanmu. Tunjukkan dirimu dan aku siap melindungimu."
"Kau tidak butuh ragaku. Cukup dengan informasi dariku dan jalankan tugasmu, Migel. "
Setelah berujar demikian orang misterius nan jauh di sana justru mengakhiri sambungan teleponnya. Bahkan sebelum Migel menjawab.
Sebuah percakapan besar yang terjadi lewat seluler inilah yang harus menjadi bukti untuk sang bos gembong kejahatan itu. Siapa di balik kejadian merugikan ini?
Komplotan dari gedung tua telah diringkus dan siap menerima interogasi dari sang detektif yang sudah geram dengan transaksi mereka.
Malam ini berkat telepon anonim, dia sungguh berhasil meringkus beberapa dari besarnya organisasi Hitam ini.
"Katakan siapa bos kalian? Aku muak melihat simbol ini! Seberapa besar organisasi pengecut ini?" cemoohnya seraya meludah tepat di kaki bos pertemuan malam ini.
Pasalnya sudah puluhan orang dia tangkap memiliki tatto bintang yang sama dengan tempat yang berbeda-beda. Ia seringkali bertanya seberapa hebat orang di balik semua jalannya kejahatan yang terjadi di kota ini.
"Cih! Bahkan meringkus keluargamu mampu dengan mudah dilakukannya!"
Plak!
Tamparan keras dilayangkan sang detektif untuk lawan bicara kurang ajar itu. Satu tindakan berhasil membuat ujung bibir pria bertatto bintang di punggung tangan berdarah.
"Bahkan sampai aku mati pun, kau tidak akan pernah tahu siapa dia, brengsek!"
"Kau!" Kali ini sang detektif menendang dada pelaku. Sehingga membuat kursi yang diduduki terjungkal.
"Baik! Berdiri." Seorang petugas polisi lain menegakkan kembali kursi itu.
Dengan kaki diangkat dan diletakkan pada pinggiran kursi pelaku, Migel bertanya kembali, "jangan pernah bermain-main denganku! Tidak ada sejarah dalam dunia, kejahatan menang melawan orang-orang sepertiku. Jika aku temukan luka dalam tubuh keluargaku, aku pun bisa melakukan hal yang lebih tragis untuk anggotamu!"
Bukannya menjawab pria yang menerima ancaman itu justru meludahi muka Migel.
"Bullshit!" ungkapnya kemudian dengan senyum jahat. Kendati sudah diambang kematian, dia tidak menampakkan rasa takut.
Sumpah dan janjinya saat masuk dalam organisasi Hitam itu tidak akan membuat dia membuka suara. Siapa dan di mana bos besarnya berada. Seberapa banyak anggota komplotan pun, tidak akan ada yang mau bersua.
"Miris! Bahkan kau tidak tahu apa-apa tentang kami. Berusaha menyakiti anggota yang telah bersumpah tunduk padanya? Kau hanya bagai debu jalanan, Migel. Kau bisa dengan mudah dikuliti atau mungkin dijadikan santapan hewan piaraannya, " ocehannya mampu membuat sang detektif geram.
*
"Ya?" Belum sempat Shofia mencari kabar tentang pengkhianat itu, seseorang telah menghubunginya. Ternyata anak buah bosnya jauh lebih cerdas dibanding dirinya.
"Aku butuh bantuanmu. Dengarkan baik-baik karena aku tidak bisa mengidentifikasi pelaku," ucapnya cepat dan berbisik lantas mengakhiri telepon.
Beberapa detik kemudian ponsel Shofia berdenting pelan. Sebuah pesan suara ia terima. Percakapan antara penelepon anonim dengan Migel bocor di telinga Shofia. Gadis itu tersenyum puas kendati belum menemukan pelaku. Namun, dia pasti bahwa orang itu tidak jauh dari anggota sesamanya.
"Sial! Kenapa kemampuanku mlempem! Siapa dia?" Berulangkali dia dengarkan pesan suara itu. segera ia matikan ponselnya dan letakkan sembarang arah.
"Kau sibuk, Shofia?" Seseorang mengejutkan dan bergelayut menyentuh baju wanita yang berpakaian seksi itu. Mendaratkan sebuah ciuman panas pada leher Shofia.
"Berhenti menggodaku!" Ia singkirkan tangan pria itu dengan kasar dan lantas mendorong tubuh pria menjauh darinya.
Namun, belum hilang kekesalan yang dirasa oleh Shofia dia menyadari sesuatu.
"Tapi, tampaknya kau berhasil membuatku bangkit, Orlando." Ia dekati kembali laki-laki berotot lencir tersebut. Membalas sikap binal laki-laki itu dengan bergelayut manja serta melingkarkan tangan pada leher Orlando.
"Aku selalu berhasil dalam hal apa pun, Shofia. Ragaku diciptakan untuk memuaskan keinginan dan kemauanku," bisiknya.
Shofia mendekatkan wajahnya, merayapi muka itu dengan tangan lentik secara nakal hingga pada akhirnya—
Langkah kaki kecil terdengar menjejak pelan di tangga kayu beranda.Tuk. Tuk. Tuk.Hazel terdiam seketika. Dadanya mencuat naik-turun dalam irama yang tidak beraturan. Ia menoleh cepat ke arah jendela, lalu berdiri secepat kilat dan berlari ke arah pintu.Lalu terdengar suara yang selama ini ia rindukan lebih dari apa pun."Ibu! Ibu! "Hazel membuka pintu dengan kedua tangan yang bergetar. Cahaya matahari musim panas menyilaukan sejenak, tapi bayangan tubuh kecil yang berdiri di ambang pintu langsung mengisi seluruh ruang dalam jiwanya."Arrow!" serunya, nyaris tersedak oleh isak tangis yang tertahan.Tanpa menunggu waktu, Hazel berlari dan merengkuh anak itu ke dalam pelukannya. Ia menunduk, menciumi kepala bocah itu berkali-kali seolah tidak ingin melewatkan satu inci pun dari kehadirannya. Tubuh kecil Arrow menggigil pelan, namun balas memeluk erat, seakan mencari tempatnya kembali dalam dunia yang sempat terasa asing
Udara pagi mulai menghangat, menyiratkan pertanda musim panas yang akan segera tiba. Cahaya mentari menyusup pelan melalui celah-celah tirai ruang tamu, menari di antara debu-debu halus yang melayang di udara. Aroma kopi dan kayu tua menguar di dalam rumah itu, namun tak cukup menenangkan kegelisahan yang menggantung di dalam dada Hazel.Ia duduk di tepi sofa, jemarinya meremas bagian bawah sweater tipis yang mulai terasa terlalu panas untuk musim yang sebentar lagi berubah."Sudah pukul sembilan lewat dua puluh. Mereka seharusnya tiba sebelum tengah hari," gumam Hazel dengan suara nyaris tak terdengar.Luca duduk di seberangnya, tangannya menggenggam cangkir kopi yang sudah hampir dingin. Ia memperhatikan wanita itu dengan diam, membaca setiap gerak kecil dari tubuh yang dipenuhi kecemasan. Sejak semalam, Hazel nyaris tidak tidur. Dan pagi ini, kegelisahannya tak mampu ditutupi, bahkan oleh senyum tipis yang beberapa kali berusaha ia paksakan."Don Alvero orang yang tepat, Hazel. Dia
Layar monitor menyala redup di ruangan yang nyaris tak bernyawa.Cahaya biru memantul di mata Shofia, yang duduk membungkuk di depan empat layar sekaligus. Jari-jarinya menari cepat di atas keyboard mekanik, menciptakan irama ketukan yang bersahut dengan deru lembut dari kipas prosesor yang dipacu melampaui batas wajar.Satu jendela sistem terbuka. Lalu satu lagi. Shofia memasukkan barisan kode yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang hidup di dunia tanpa nama—dunia tempat data adalah mata uang, dan identitas bisa dipalsukan hanya dengan satu klik.Dia tidak bicara. Bahkan tidak bernapas terlalu keras. Hanya sorot matanya yang membara, seperti bara dalam kelam."Anakmu... di mana kau menyembunyikannya, Jack?" bisik Shofia dalam hati.Ini bukan kali pertama ia menyusup ke dalam jaringan internal organisasi. Tapi malam ini berbeda. Ia tidak sekadar mencari celah. Ia mencari seseorang. Satu nama yang bisa mengubah segalanya.Seseorang yang mungkin adalah pewaris darah Jack.Seseorang ya
Luca terdiam beberapa detik, lalu membuang napas perlahan. “Aku pernah mendengar sesuatu…” katanya , suaranya nyaris seperti gumaman di antara denting jam dinding yang tak berdosa.Hazel menoleh, menunggu lanjutan kalimat itu seolah hidupnya bergantung padanya.“Mungkin. Tapi aku yakin itu bukan kebohongan. Dulu, ketika aku masih berada di jaringan lama... sebelum semua ini berantakan... ada satu nama yang terus dibisikkan. Tentang Jack yang ternyata punya keluarga.”Hazel menyipitkan mata. “Keluarga?”Luca mengangguk. “Seorang istri. Dan seorang anak. Tapi... bukan kisah keluarga seperti yang kita tahu. Bukan kisah yang bisa kau bayangkan di meja makan atau pelukan sebelum tidur.”Ia mengusap wajahnya sejenak, lalu menatap Hazel dengan sorot mata yang menyimpan luka yang tak pernah benar-benar sembuh.“Jack membunuh istrinya sendiri.”Jantung Hazel seperti tersangkut di tenggorokan. “Apa?”“Ya,” Luca menjawab pelan. “Dia menghabisi perempuan yang dinikahinya. Dan alasannya... adalah
Luca menatap Hazel yang masih menunduk. Di hadapannya, gadis itu seperti mencari makna dari setiap patah kalimat yang baru saja dia dengar. Tapi sebelum ia sempat bicara, Luca menghela napas dalam.“Aku tahu kau ingin tahu semuanya,” ujarnya pelan. “Dan kalau kita bicara tentang ayahmu... kita harus kembali jauh. Ke masa ketika aku masih cukup muda untuk percaya bahwa kepercayaan bisa menyelamatkan dunia. Tapi hari itu... dunia mengajarkan hal yang berbeda.”Hazel mendongak perlahan.“Saat kau masih bayi—mungkin satu tahun. Mereka pergi menjalankan misi. Waktu itu, dia tidak hanya seorang ayah, Hazel. Dia masih Moretti. Tapi bukan yang membunuh tanpa alasan. Dia... seorang pemimpin yang dipilih bukan karena darah, tapi karena prinsip. Dan itu yang membuatnya paling dibenci. Oleh musuh. Siapa sangka bahwa musuhnya juga ada di dalam lingkaran.”Luca memejamkan mata sejenak, membiarkan pikirannya menarik kembali malam berdarah itu.“Brian memimpin satu operasi besar. Kami menyebutnya Ope
"Siapa ayahmu?" Dua kata yang mampu membuat Hazel menoleh ke arah pria di sampingnya. Duduk sedikit lebih jauh. Ia menatap Luca. Alisnya sedikit bertaut. Suara itu begitu dalam—seperti milik seseorang yang ingin memastikan kebenaran yang selama ini ditolak oleh pikirannya sendiri.“Brian Moretti…” bisiknya. “Oh my God.”Hazel mengerutkan kening. Ia bergeser sedikit ke depan, mendekat, matanya menatap Luca semakin intens dengan bara penasaran yang kini menyala penuh.“Tidak. Tidak ada orang itu di foto. Tidak ada Brian Moretti. Hanya Brian Lanchester. Ayahku bukan seorang Moretti.”Luca perlahan menggeleng. Bibirnya terbuka, tapi tak segera ada suara keluar. Ia menatap Hazel seperti melihat sesuatu yang rapuh—sebuah keping teka-teki yang telah lama hilang tapi kini ada di depan matanya, utuh namun belum sepenuhnya bisa dia genggam.“Hazel…” suara Luca akhirnya terdengar, pelan, dalam, penuh bebannya sendiri. “Ayahmu adalah Brian Moretti Lanchester. Aku… harusnya lebih yakin sejak awal