Home / Romansa / Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam / 3 : Malam Pengkhianatan

Share

3 : Malam Pengkhianatan

Author: Az Zidan
last update Last Updated: 2025-04-26 16:35:43

Gudang tua terletak di pinggiran kota, jauh dari hiruk pikuk kehidupan sehari-hari. Di dalamnya, sekelompok orang berkumpul, wajah-wajah mereka terlihat tegang dan waspada. Mereka adalah anggota komplotan rahasia yang telah lama beroperasi di kota, dan malam ini mereka berkumpul untuk melakukan transaksi obat-obatan terlarang dengan jumlah yang sangat besar.

Bos komplotan, seorang pria berwajah keras dan mata tajam, dengan tatto bintang di punggung tangan berdiri di tengah-tengah ruangan, mengamati barang yang telah dibawa oleh pedagang. Namun, saat dia membuka paket-paket tersebut, wajahnya semakin mengerut dan matanya menyempit.

"Apa ini?" Dia bertanya dengan nada yang rendah dan mengancam. "Kamu bilang ini adalah barang kelas A, tapi yang aku lihat ini adalah sampah. Kamu mencoba menipuku?"

Si pedagang yang berdiri di depannya terlihat gemetar, dia tahu bahwa dia berada dalam bahaya. "Saya... saya tidak tahu apa yang terjadi, bos. Saya hanya bertugas mengantarnya. Saya yakin ini adalah barang yang Anda pesan."

Bos komplotan itu tertawa, suara yang dingin dan tidak menyenangkan. "Kamu tidak tahu apa yang terjadi? Kamu tidak tahu bahwa kamu telah menandatangani surat kematianmu sendiri?"

Dengan gerakan yang cepat dan tidak terduga, bos komplotan itu mengeluarkan pistol dari balik jaketnya dan menodongkan ke arah pedagang. Ruangan seketika menjadi sunyi, hanya terdengar suara napas yang berat dan jantung yang berdebar kencang.

Pedagang itu terlihat sangat ketakutan, dia berusaha untuk berbicara dengan suara gemetar. "Tolong, bos... saya tidak bermaksud menipu Anda. Saya bisa mengganti barangnya atau mengembalikan uang Anda."

Bos komplotan itu tertawa, suara yang dingin ditambah tatapan mata tidak bersahabat. "Kamu pikir bisa mengganti barang ini dengan mudah? Kamu telah menipu saya dan itu adalah kesalahan yang fatal!"

Tanpa berbasa-basi sang bos komplotan itu menarik pelatuk pistol yang sudah ditodongkan. Suara tembakan menggema di ruangan, dan pedagang itu terjatuh ke lantai dengan mata  terbuka lebar.

Anggota komplotan lain tidak bergerak, mereka tampak sudah terbiasa dengan kekerasan yang dilakukan oleh bos mereka. Bos komplotan berdiri di atas mayat pedagang, matanya masih menatap bengis banyak murka ke arah mayat.

"Buang mayatnya," katanya dengan nada yang dingin. "Dan cari tahu siapa yang menjual barang palsu ini. Saya ingin tahu siapa yang bertanggung jawab atas kesalahan ini."

Saat hendak meninggalkan gudang tua, justru terdengar suara derap kaki yang heboh. Disusul dengan teriakan.

"Polisi! Tempat ini telah dikepung! Angkat tangan dan serahkan diri kalian!" teriak kepala Polisi yang bertugas.

"Sial! Berani-beraninya dia membodohiku! Brengsek!" Ia tendang dinding rapuh di sampingnya.

"Dalam hitungan ketiga kalian harus keluar!"

Mendengar suara ricuh yang tidak terkendali dari balik alat komunikasinya, bos besar yang ada di seberang jauh, justru mematikan salurannya. Diikuti dengan helaan napas geram.

"Bajingan! Siapa yang berani bermain-main denganku?!" umpatnya lantas melemparkan alat komunikasi seringan gawai ke arah dinding. Terpental dan hancur berkeping-keping.

"Shofia!" teriak memanggil salah seorang anggota yang dia percaya.

"Saya, Bos!"

"Ungkap semua ini! Aku telah ditipu ratusan juta! Brengsek! Cari dan kuliti siapapun yang berada di balik insiden ini. Cepat!" Kalap, tidak lagi bisa membendung kemarahan yang sudah mencuat.

*

"Misi kita berhasil, Migel!"

"Terima kasih atas bantuanmu. Tunjukkan dirimu dan aku siap melindungimu."

"Kau tidak butuh ragaku. Cukup dengan informasi dariku dan jalankan tugasmu, Migel. "

Setelah berujar demikian orang misterius nan jauh di sana justru mengakhiri sambungan teleponnya. Bahkan sebelum Migel menjawab.

Sebuah percakapan besar yang terjadi lewat seluler inilah yang harus menjadi bukti untuk sang bos gembong kejahatan itu. Siapa di balik kejadian merugikan ini?

Komplotan dari gedung tua telah diringkus dan siap menerima interogasi dari sang detektif yang sudah geram dengan transaksi mereka.

Malam ini berkat telepon anonim, dia sungguh berhasil meringkus beberapa dari besarnya organisasi Hitam ini.

"Katakan siapa bos kalian? Aku muak melihat simbol ini! Seberapa besar organisasi pengecut ini?" cemoohnya seraya meludah tepat di kaki bos pertemuan malam ini.

Pasalnya sudah puluhan orang dia tangkap memiliki tatto bintang yang sama dengan tempat yang berbeda-beda. Ia seringkali bertanya seberapa hebat orang di balik semua jalannya kejahatan yang terjadi di kota ini.

"Cih! Bahkan meringkus keluargamu mampu dengan mudah dilakukannya!"

Plak!

Tamparan keras dilayangkan sang detektif untuk lawan bicara kurang ajar itu. Satu tindakan berhasil membuat ujung bibir pria bertatto bintang di punggung tangan  berdarah.

"Bahkan sampai aku mati pun, kau tidak akan pernah tahu siapa dia, brengsek!"

"Kau!" Kali ini sang detektif menendang dada pelaku. Sehingga membuat kursi yang diduduki terjungkal.

"Baik! Berdiri." Seorang petugas polisi lain menegakkan kembali kursi itu.

Dengan kaki diangkat dan diletakkan pada pinggiran kursi pelaku, Migel bertanya kembali, "jangan pernah bermain-main denganku! Tidak ada sejarah dalam dunia, kejahatan menang melawan orang-orang sepertiku. Jika aku temukan luka dalam tubuh keluargaku, aku pun bisa melakukan hal yang lebih tragis untuk anggotamu!"

Bukannya menjawab pria yang menerima ancaman itu justru meludahi muka Migel.

"Bullshit!" ungkapnya kemudian dengan senyum jahat. Kendati sudah diambang kematian, dia tidak menampakkan rasa takut.

Sumpah dan janjinya saat masuk dalam organisasi Hitam itu tidak akan membuat dia membuka suara. Siapa dan di mana bos besarnya berada. Seberapa banyak anggota komplotan pun, tidak akan ada yang mau bersua.

"Miris! Bahkan kau tidak tahu apa-apa tentang kami. Berusaha menyakiti anggota yang telah bersumpah tunduk padanya? Kau hanya bagai debu jalanan, Migel. Kau bisa dengan mudah dikuliti atau mungkin dijadikan santapan hewan piaraannya, " ocehannya mampu membuat sang detektif geram.

*

"Ya?" Belum sempat Shofia mencari kabar tentang pengkhianat itu, seseorang telah menghubunginya. Ternyata anak buah bosnya jauh lebih cerdas dibanding dirinya.

"Aku butuh bantuanmu. Dengarkan baik-baik karena aku tidak bisa mengidentifikasi pelaku," ucapnya cepat dan berbisik lantas mengakhiri telepon.

Beberapa detik kemudian ponsel Shofia berdenting pelan. Sebuah pesan suara ia terima. Percakapan antara penelepon anonim dengan Migel bocor di telinga Shofia. Gadis itu tersenyum puas kendati belum menemukan pelaku. Namun, dia pasti bahwa orang itu tidak jauh dari anggota sesamanya.

"Sial! Kenapa kemampuanku mlempem! Siapa dia?" Berulangkali dia dengarkan pesan suara itu. segera ia matikan ponselnya dan letakkan sembarang arah.

"Kau sibuk, Shofia?" Seseorang mengejutkan dan bergelayut menyentuh baju wanita yang berpakaian seksi itu. Mendaratkan sebuah ciuman panas pada leher Shofia.

"Berhenti menggodaku!" Ia singkirkan tangan pria itu dengan kasar dan lantas mendorong tubuh pria menjauh darinya.

Namun, belum hilang kekesalan yang dirasa oleh Shofia dia menyadari sesuatu.

"Tapi, tampaknya kau berhasil membuatku bangkit, Orlando." Ia dekati kembali laki-laki berotot lencir tersebut. Membalas sikap binal laki-laki itu dengan bergelayut manja serta melingkarkan tangan pada leher Orlando.

"Aku selalu berhasil dalam hal apa pun, Shofia. Ragaku diciptakan untuk memuaskan keinginan dan kemauanku," bisiknya.

Shofia mendekatkan wajahnya, merayapi muka itu dengan tangan lentik secara nakal hingga pada akhirnya—

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   8 : Saat Pelukan Mengalahkan Ketakutan

    Tangan itu mencengkeram kerah jaket kecil Arrow—bukan untuk menculik, tapi untuk menariknya mundur, menjauh dari bayangan gelap yang hampir merenggutnya. Sekejap, tubuh kecil itu ditarik dengan kekuatan halus tapi tegas, lalu dipeluk erat ke dada seseorang, di bawah sinar matahari sore yang mulai meredup.“Arrow!”Suara itu lembut namun penuh kemarahan. Arrow mengenal aroma tubuh itu. Bau parfum khas yang biasa tercium saat Zoe memeluknya sepulang kerja ibunya, campuran wangi kayu dan sedikit rempah yang hangat.Mata Arrow melebar. “Zoe…”Kata itu nyaris tak percaya, namun penuh harapan.Zoe tak menunggu. Ia berdiri dengan tubuh menghalangi pria bertato yang secara bersamaan menemukan Arrow, membentuk bayangan pelindung yang kokoh di antara mereka.“Apa kau sudah gila?” desis Zoe dengan napas tersengal, sorot matanya membara menatap pria asing itu.Pria itu membeku, seperti terkejut oleh ke

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   7 : Langkah Kecil Di Tengah Bahaya

    Tak jauh dari tempatnya duduk, seorang pria tua menarik gerobak penuh bunga melewati jalan setapak di sisi lain. Mawar merah, merah muda, lili putih, dan seruni kuning tampak mekar dengan aroma yang menguar samar ke udara. Aroma itu begitu lembut, mengisi ruang dengan kesan hangat dan damai, kontras dengan riuh rendah langkah kaki dan suara kendaraan di sekitar.Arrow berdiri. Matanya berbinar, menatap bunga-bunga itu dengan harapan yang tumbuh di hatinya. Ibu pasti suka bunga itu, pikirnya dengan suara hati yang kecil tapi penuh keyakinan.“Ibu pasti suka,” ucapnya lagi dengan suara lembut, hampir seperti berbisik untuk dirinya sendiri, penuh harap.Tanpa ragu, ia melepas ransel kecilnya dan mulai mengobrak-abrik isinya. Tangannya kecil yang gemetar menyentuh kantong koin kecil yang disembunyikan Hazel untuk

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   6 : Ketika Dunia Hampir Runtuh

    Bagian 6Pagi itu, matahari bersinar malu-malu di balik awan, seolah tahu bahwa hari ini bukan hari biasa bagi Hazel dan Arrow. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, Hazel mengambil hari libur dan terhindar dari tekanan kerja, dengan senyum yang belum pudar sejak bangun tidur, ia menggenggam tangan kecil Arrow yang tak henti melompat kegirangan. Kebun binatang selalu berhasil membuat bocah itu tertawa paling kencang."Kita betul mau ke kebun binatang, Ibu?" tanya Arrow, matanya bersinar. Berjalan di samping sang ibu dengan jaket biru yang menghangatkan tubuh mungilnya.Hazel tertawa. "Betul, dong. Tapi kamu harus janji satu hal.""Apa?""Jangan lari-lari sendiri, ya. Pegang tangan Ibu terus."Arrow mengangguk keras-keras. "Janji, demi es krim!"Hazel mencubit pipinya pelan. “Dasar bocah es krim.”**Kebun binatang itu ramai oleh keluarga yang datang untuk menikmati akhir

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   5 : Surat Kecil Di Ujung Lelah

    Keringat belum sempat mengering dari pelipis Hazel ketika suara bel restoran kembali berdenting. Aroma keju panggang dan sup krim yang mengepul menguar ke udara, disambut dengan langkah-langkah pelanggan yang datang silih berganti. Jam menunjukkan pukul sembilan petang, tapi restoran masih ramai seperti siang tadi. Hazel menarik napas panjang, menekan rasa letih yang mulai merayap naik ke tengkuknya. Satu per satu, ia mencatat pesanan, menyeka meja, dan menyambut tamu dengan senyum tipis yang ia ciptakan secara otomatis—senyum yang kini terasa seperti topeng yang melekat permanen di wajahnya.Ia tidak punya waktu untuk sekadar duduk. Bahkan saat rekan-rekannya bergantian mengambil waktu istirahat, Hazel tetap sibuk bergerak dari meja ke meja. Di dalam dirinya, ada rasa bersalah yang terlalu akrab: ia sudah terlambat menjemput Arrow tadi. Surat kecil dari anaknya masih tersimpan rapi dalam saku celemek, menunggu dibaca di waktu yang belum ia miliki.Menjelang waktu tutup, restoran perl

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   4 : Neraka Untuk Pengkhianat

    "Apa maksudmu, Shofia? Tuduhan macam apa yang kau layangkan padaku itu, huh?" Saat ini, Orlando telah diringkus dan harus puas dengan ikatan di tangan juga luka di wajah.Jemari nakal yang sebelumnya menggoda justru memberi hadiah istimewa. Menonjok, dan memuntir kedua tangan Orlando mengikis pergerakan dari laki-laki pengkhianatan itu.Shofia menyadari bahwa suara Orlando benar-benar mirip dengan penelepon anonim. Seorang duri dalam daging organisasi mereka."Tutup mulutmu dan nikmati saja bercinta denganku. Bos sudah memerintahku untuk mengulitimu, Sayang. So, ada pesan terakhir yang ingin kau sampaikan?" Shofia mengasah pisau kecil yang sudah ia kantongi saban waktu.Tangan lentik mulus meraih pemantik yang tergeletak di meja kaca. Shofia menyalakan rokok dengan ujung jari bergetar, lalu mengisapnya dalam-dalam. Matanya menatap kosong ke arah tubuh Orlando yang kini terkulai tak berdaya di lantai. Darah menodai ujung gaun hitamnya—jeans robek milik Orlando itu juga berlumuran merah

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   3 : Malam Pengkhianatan

    Gudang tua terletak di pinggiran kota, jauh dari hiruk pikuk kehidupan sehari-hari. Di dalamnya, sekelompok orang berkumpul, wajah-wajah mereka terlihat tegang dan waspada. Mereka adalah anggota komplotan rahasia yang telah lama beroperasi di kota, dan malam ini mereka berkumpul untuk melakukan transaksi obat-obatan terlarang dengan jumlah yang sangat besar.Bos komplotan, seorang pria berwajah keras dan mata tajam, dengan tatto bintang di punggung tangan berdiri di tengah-tengah ruangan, mengamati barang yang telah dibawa oleh pedagang. Namun, saat dia membuka paket-paket tersebut, wajahnya semakin mengerut dan matanya menyempit."Apa ini?" Dia bertanya dengan nada yang rendah dan mengancam. "Kamu bilang ini adalah barang kelas A, tapi yang aku lihat ini adalah sampah. Kamu mencoba menipuku?"Si pedagang yang berdiri di depannya terlihat gemetar, dia tahu bahwa dia berada dalam bahaya. "Saya... saya tidak tahu apa yang terjadi, bos. Saya hanya bertugas mengantarnya. Saya yakin ini ad

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   2 : Peluh, Air Mata, dan Janji

    "Maafkan Ibu, Arrow. Tidak jarang kamu harus tidur sendirian. Apakah ada dendam untuk ibu di hati kecilmu, Bubblebee?" Jari-jari kurus dan kasar milik Hazel mengusap rambut lembut sang anak.Mata berkaca-kaca setiap kali dia harus mendapatkan shif malam. Waktu di mana seharusnya ia bisa berbaring dan menghidu aroma wangi anak. Namun, dia kudu menembus dingin malam demi sebuah kehidupan layak untuk buah hati.Mendaratkan satu kecupan begitu dalam di dahi Arrow, lantas ia menarik diri dan menjauh. Menutup pintu bersiap untuk ke restoran. Melirik jarum jam yang masih menuding angka 21.30."Jika dia tidak bangun, tolong jangan masuk ke kamarnya. Lebih baik kamu tidur saja," titahnya pada seseorang yang saban malam menemani anaknya di rumah, sembari menyambar tas di meja."Baik, Hazel.""Terima kasih, Isabell. Maaf masih terus merepotkanmu.""Jangan sungkan. Anggap saja aku butuh kerja dan kamu butuh aku untuk anakmu. Arrow beruntung memilikimu, Hazel. Jangan menyerah."Bersamaan dengan ta

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   1: Senyum Di Antara Luka

    “Ibu! Kenapa banyak sekali orang di sini?”“Ibu, apakah di sini juga ada tempat untuk bermain?”“Apakah aku bisa ambil apa pun yang aku mau tanpa mengurangi uang Ibu? Apakah bisa, Ibu?”Belum selesai dengan satu soal yang terlontar dari mulut bocah tersebut, sudah harus disusul introgasi berikutnya. Tidak heran, anak-anak selalu ingin mengetahui dunia dengan segala pertanyaan yang acak.Meski begitu cerewet, ia tetap berjalan dengan disiplin tepat di sisi sang Ibu yang masih menanggapi keingintahuan sang anak dengan senyuman.Mereka berada di pusat perbelanjaan terbesar di kota. Kali pertama bagi bocah itu memiliki waktu bahagia layaknya hari ini. Sang ibu yang harus dituntut untuk menghidupi bocah itu sendirian membuatnya tidak mampu meluangkan waktu untuk mengajak jalan-jalan meski hanya sekadar ke tempat bermain.“Baik. Dengarkan Ibu. Pertama. Kenapa di sini banyak sekali orang karena, ini adalah tempat umum. Di mana, kita harus menjaga sikap. Kurang baik jika, kita berteriak, memb

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status