Home / Romansa / Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam / 4 : Neraka Untuk Pengkhianat

Share

4 : Neraka Untuk Pengkhianat

Author: Az Zidan
last update Last Updated: 2025-04-26 16:39:57

"Apa maksudmu, Shofia? Tuduhan macam apa yang kau layangkan padaku itu, huh?" Saat ini, Orlando telah diringkus dan harus puas dengan ikatan di tangan juga luka di wajah.

Jemari nakal yang sebelumnya menggoda justru memberi hadiah istimewa. Menonjok, dan memuntir kedua tangan Orlando mengikis pergerakan dari laki-laki pengkhianatan itu.

Shofia menyadari bahwa suara Orlando benar-benar mirip dengan penelepon anonim. Seorang duri dalam daging organisasi mereka.

"Tutup mulutmu dan nikmati saja bercinta denganku. Bos sudah memerintahku untuk mengulitimu, Sayang. So, ada pesan terakhir yang ingin kau sampaikan?" Shofia mengasah pisau kecil yang sudah ia kantongi saban waktu.

Tangan lentik mulus meraih pemantik yang tergeletak di meja kaca. Shofia menyalakan rokok dengan ujung jari bergetar, lalu mengisapnya dalam-dalam. Matanya menatap kosong ke arah tubuh Orlando yang kini terkulai tak berdaya di lantai. Darah menodai ujung gaun hitamnya—jeans robek milik Orlando itu juga berlumuran merah, tanda luka sayatan di kakinya semakin parah.

Pria itu mengerang pelan, mencoba bergerak, tapi tubuhnya tak kooperatif. Wajahnya penuh lebam, salah satu matanya bengkak dan nyaris tertutup. Shofia mendekat, membuang abu rokok ke lantai dengan sikap seolah tak peduli, lalu mencengkeram kerah kaos lusuh pria itu.

"Aku muak," desisnya. "Muak dengan kebodohanmu, Sayang."

Orlando hanya bisa mengaduh. Tubuhnya sudah terlalu lemah untuk melawan, untuk membela diri, bahkan untuk sekadar memaki.

Shofia mendengus sinis, melempar rokok yang masih menyala ke lantai, tepat di dekat wajah Orlando. Ia berdiri, meraih telepon genggam dari meja, dan mengetik cepat.

[Target aman. Status: sementara diamankan.]

Ia kirim pesan itu ke nomor tanpa nama yang hanya disimpan dengan simbol bintang. Lalu ia kembali duduk, menyilangkan kaki, memandangi langit-langit kamar miliknya yang bau lembap dan catnya sedikit kusam.

“Orang-orang lemah kayak kamu ini cuma jadi beban,” gumamnya pelan, sebelum akhirnya berdiri dan meninggalkan ruangan itu tanpa menoleh.

Tawa kecil Orlando bak bukti kepasrahan yang coba ia bendung. "Apa bukti bahwa aku berkhianat, Shofia? Aku menuntut bukti sebelum kau mengakhiri hidupku."

Segera Shofia memutar pesan suara yang telah ia dengar puluhan kali tadi. Hatinya berbunga saat tahu bahwa siapa yang dicari datang sendiri kepadanya.

Keringat dingin mulai bermunculan di pelipis Orlando. Akan tetapi, ia tetap saja berkilah.

"Itu tidak nyata, Shofia. Di jaman yang serba canggih ini semua bisa dimanipulasi untuk saling menghancurkan."

"Oh, yeah! Tentu saja, di jaman seperti ini juga orang melakukan segala cara untuk memuaskan diri sendiri, termasuk berkhianat!" Tatapan membunuh Shofia menghunus netra Orlando.

Ia gampar wajah pria keparat itu hingga mengerang pedih. Shofia lantas menginjak dada Orlando yang meringis kesakitan karena, ujung sepatu pump menancap.

"Dunia tidak butuh manusia sepertimu, Orlando. Otak sampah dan munafik. Selamat datang di neraka ciptaanmu, Sayang."

Belati kecil yang dimainkan Shofia sedari tadi lekas mengoyak paha sebelah Orlando. Diputar saat posisi masih menancap, darah segar mengalir mengotori tangan gadis ayu berambut pirang panjang tergerai itu.

Teriakan Orlando menggema di ruangan milik Shofia.

"A! Aku sungguh tidak melakukan tuduhanmu itu, Shofia! Aku bersumpah!" teriak Orlando membela diri.

Tanpa mendengar ocehan Orlando, gadis itu lekas merobek sedikit demi sedikit kulit laki-laki berperawakan besar itu.

Saat tangan Shofia berhenti Orlando tertawa, seolah hilang kewarasan. Diserang rasa lara yang luar biasa membuatnya antara pengakuan dan pertahanan.

"Ini akan jauh lebih mudah jika kamu mengakuinya, Orlando. Bos akan memberikan ampunan. Tapi jika kau terus membelot, siksaan dariku tidak berhenti sampai kau merasa bahwa kematian adalah jalan terbaik. Tapi, tidak akan kubiarkan malaikat pencabut nyawa mendatangimu dengan damai. Sejatinya akulah malaikat pencabut nyawamu."

*

"Bagus, Shofia. Kemarilah. Kau patut untuk diberi upeti atas kerja kerasmu."

Suara leguhan tidak lama terdengar keluar Rai mulut Shofia. Gadis itu bak terbang di awan kala tangan sang bos besar berhasil membuatnya nyaman.

Di balik kesuksesan Shofia ada kecerdikan yang dimiliki oleh Alex. Pria yang mengirim pesan pada gadis binal di sisi sang bos saat ini.

"Oh, Tuan. Aku bisa gila," racaunya dengan mata terpejam.

*

Di bagian sisi lain kota. Pukul empat lebih tiga puluh menit. Hazel masih sibuk bergelut dengan segala kesibukan. Restoran hari ini benar-benar padat.

"Hazel! Meja tujuh!" teriak sesorang di balik meja dapur.

Sedang Hazel baru saja keluar membawa nampan pesanan milik lainnya. Gadis itu terpejam beberapa detik dengan helaan napas untuk mengatur diri agar tidak emosi.

"Silakan menikmati. Jika ada yang kurang, Anda bisa memanggil saya," ucapnya seraya menyajikan makanan pada pemesan.

"Huh! Sudah lewat tiga puluh delapan menit, Zoe. Tolong! Aku sudah janji dengan Arrow." Begitu tiba di dapur ia lekas mendekati sahabatnya.

Sayangnya, laki-laki itu tidak berada di shif yang sama. Juga, Zoe tidak melakukan pekerjaan dobel layaknya Hazel.

Ia tatap seluruh karyawan di sana. Tidak satupun orang yang melihat dirinya. Apalagi di tengah kekacauan ini. Mereka menyerukan namanya hanya karena butuh.

"Bisakah kau bekerja dengan benar?! Tidak lihat bagaimana orang-orang menantikan pesanannya lekas tiba, Hazel?!" Lagi-lagi tuntutan pekerjaan itu membuat Hazel patuh. Jika tidak butuh uang, Hazel akan membalas perlakuan mereka.

Sayangnya kesepakatan yang dibuat pagi tadi dengan sang manager hotel benar-benar hanya sebuah ungkapan belaka.

"Izinkan saya menelepon sebentar, Pak. Sudah waktunya Arrow pulang," pintanya pada supervisor.

"Itu bukan bagian tugas dari restoran. Bahkan ini masih jam kerja, Hazel! Kerjakan tugasmu dan tidak ada bantahan!" Ia tinggalkan Hazel tanpa mau tahu bagaimana kondisi hati karyawannya itu.

Wanita berambut pendek sebahu itu hanya mampu menatap punggung sang supervisor. Kemudian berbalik mengulurkan tangan untuk segera mengisi nampan dengan pesanan baru. Ia bekerja hingga jarum jam tepat di depan angka lima.

"Hazel? Kau sudah jemput anakmu?" Suara malaikat yang seharusnya terdengar satu jam yang lalu.

"Pak?!" seru Haxel kegirangan. "Saya harus menjemputnya sekarang. Bolehkah saya izin sebentar?"

"Astaga Hazel? Kau belum menjemputnya?" Gelengan kepada wanita itu adalah jawaban yang signifikan.

"Pergilah Hazel." Mendapatkan lampu hijau.

Melepaskan apron hitam yang dia kenalan, lekas pergi dari tempat itu. Berkendara dengan motor tanpa rasa takut. Mengebut di tengah jalan yang tampak lenggang. Beberapa lampu jalan telah dinyalakan.

Saat tiba di lokasi, Hazel berlari menerobos pintu gerbang pemisah antara dang anak dengannya pagi tadi.

"Arrow!" teriaknya saat telah tiba di lorong dan lebih dekat dengan ruangan di mana sang anak biasanya bermain.

"Ibu!" timpal bocah berpakaian rapi. Berlari dan menyambut pelukan sang penerang hati.

"Maafkan Ibu, Arrow. I'm so sorry, Bubblebee. Ibu benar-benar minta maaf."

"It's okay. Ibu sibuk tapi ibu tidak lupa."

"Hei! Tentu saja ibu tidak akan lupa denganmu. Bagaimana bisa ibu lupa jika kamu adalah napas, ibu, Boy?"

Arrow tertawa. Dia bahagia mendengar ungkapan istimewa dari ibunya.

"Baiklah kita pulang, ya. Miss, maafkan saya."

"Tidak masalah, Hazel. Arrow aman bersama kami."

Hazel bahkan tidak menyebutkan alasan kenapa dia bisa terlambat. Tidak penting orang tahu bagaimana kejam dan tersiksanya dia bekerja di tempat itu. Ini adalah risiko yang harus dia ambil saat bekerja di mana pun. Bukan salah perusahaan melainkan, Hazellah yang seharusnya sadar. Bahwa pekerjaannya memakan lebih banyak waktu yang dimiliki ketimbang dengan keluarganya.

"Ibu, aku membuat surat untukmu. Miss Rain membantuku. Ibu, benarkah jika seorang ibu mau melakukan apa pun demi anaknya? Ibu, di mana ayahku? Setiap hari aku lihat teman-temanku di jemput ibu dan ayah mereka. Kadang juga hanya ayah mereka yang menjemput. Bahkan ada yang bilang kalau tempat aku sekolah itu adalah tempat di mana anak-anak kurang beruntung. Kenapa begitu?"

Hati Hazel bak diremukkan kala itu juga. Banyak sekali pertanyaan dari Arrow yang berulangkali di tanyakan tetapi hingga kini wanita dia puluh delapan tahun itu belum mampu menjawab.

Keduanya mulai berkendara kembali ke rumah. Tidak lupa sebelum mengemudi Hazel bertukar pesan dengan Isabel. Dia butuh bantuan wanita paruh baya itu untuk menjaga anaknya.

Hazel masih bungkam hingga motornya berhenti tepat di bangunan yang dihuni sudah lebih dari lima tahun itu. Rumah susun dengan berbagai macam sifat penghuni.

Isabel menyambut dengan senyum bahagia. Menantikan kehadiran Arrow sejak beberapa jam lalu.

"Hallo, Isabel. Apakah kamu mau keluar?" Wanita berambut putih itu hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Arrow.

"Arrow dengar. Ibu minta maaf padamu. Hari ini Ibu harus lembur. Ibu—" Suaranya terputus. Dia tidak mau meneruskan berbagai alasan. Dia tidak ingin anaknya merasa bahwa dirinya beban.

"Aku suka Isabel menginap. Tapi sebelum pergi...." Arrow turunkan tas ransel yang setia di punggungnya. Mengeluarkan lipatan kertas dengan hiasan yang lucu.

"Ini untuk ibu. Baca, ya. Aku sayang kamu." Sekali lagi Arrow memeluk wanita terhebat baginya. Lalu melambaikan tangan dan meninggalkan Hazel. Bahkan sebelum sang ibu menjawab dan mengecup dahi separuh jiwanya.

Hazel tertunduk dengan jemari memegang erat surat spesial. Tetesa  air mata tidak mampu dia bendung.

Namun, waktu tidak membiarkan ia meratapi kehidupan pahitnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Laila Qodariah
makin menarik
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   69 : Bertemu Kembali

    Langkah kaki kecil terdengar menjejak pelan di tangga kayu beranda.Tuk. Tuk. Tuk.Hazel terdiam seketika. Dadanya mencuat naik-turun dalam irama yang tidak beraturan. Ia menoleh cepat ke arah jendela, lalu berdiri secepat kilat dan berlari ke arah pintu.Lalu terdengar suara yang selama ini ia rindukan lebih dari apa pun."Ibu! Ibu! "Hazel membuka pintu dengan kedua tangan yang bergetar. Cahaya matahari musim panas menyilaukan sejenak, tapi bayangan tubuh kecil yang berdiri di ambang pintu langsung mengisi seluruh ruang dalam jiwanya."Arrow!" serunya, nyaris tersedak oleh isak tangis yang tertahan.Tanpa menunggu waktu, Hazel berlari dan merengkuh anak itu ke dalam pelukannya. Ia menunduk, menciumi kepala bocah itu berkali-kali seolah tidak ingin melewatkan satu inci pun dari kehadirannya. Tubuh kecil Arrow menggigil pelan, namun balas memeluk erat, seakan mencari tempatnya kembali dalam dunia yang sempat terasa asing

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   68 : Janji

    Udara pagi mulai menghangat, menyiratkan pertanda musim panas yang akan segera tiba. Cahaya mentari menyusup pelan melalui celah-celah tirai ruang tamu, menari di antara debu-debu halus yang melayang di udara. Aroma kopi dan kayu tua menguar di dalam rumah itu, namun tak cukup menenangkan kegelisahan yang menggantung di dalam dada Hazel.Ia duduk di tepi sofa, jemarinya meremas bagian bawah sweater tipis yang mulai terasa terlalu panas untuk musim yang sebentar lagi berubah."Sudah pukul sembilan lewat dua puluh. Mereka seharusnya tiba sebelum tengah hari," gumam Hazel dengan suara nyaris tak terdengar.Luca duduk di seberangnya, tangannya menggenggam cangkir kopi yang sudah hampir dingin. Ia memperhatikan wanita itu dengan diam, membaca setiap gerak kecil dari tubuh yang dipenuhi kecemasan. Sejak semalam, Hazel nyaris tidak tidur. Dan pagi ini, kegelisahannya tak mampu ditutupi, bahkan oleh senyum tipis yang beberapa kali berusaha ia paksakan."Don Alvero orang yang tepat, Hazel. Dia

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   67 : Anak Kecil

    Layar monitor menyala redup di ruangan yang nyaris tak bernyawa.Cahaya biru memantul di mata Shofia, yang duduk membungkuk di depan empat layar sekaligus. Jari-jarinya menari cepat di atas keyboard mekanik, menciptakan irama ketukan yang bersahut dengan deru lembut dari kipas prosesor yang dipacu melampaui batas wajar.Satu jendela sistem terbuka. Lalu satu lagi. Shofia memasukkan barisan kode yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang hidup di dunia tanpa nama—dunia tempat data adalah mata uang, dan identitas bisa dipalsukan hanya dengan satu klik.Dia tidak bicara. Bahkan tidak bernapas terlalu keras. Hanya sorot matanya yang membara, seperti bara dalam kelam."Anakmu... di mana kau menyembunyikannya, Jack?" bisik Shofia dalam hati.Ini bukan kali pertama ia menyusup ke dalam jaringan internal organisasi. Tapi malam ini berbeda. Ia tidak sekadar mencari celah. Ia mencari seseorang. Satu nama yang bisa mengubah segalanya.Seseorang yang mungkin adalah pewaris darah Jack.Seseorang ya

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   66 : Laki-laki Biadab

    Luca terdiam beberapa detik, lalu membuang napas perlahan. “Aku pernah mendengar sesuatu…” katanya , suaranya nyaris seperti gumaman di antara denting jam dinding yang tak berdosa.Hazel menoleh, menunggu lanjutan kalimat itu seolah hidupnya bergantung padanya.“Mungkin. Tapi aku yakin itu bukan kebohongan. Dulu, ketika aku masih berada di jaringan lama... sebelum semua ini berantakan... ada satu nama yang terus dibisikkan. Tentang Jack yang ternyata punya keluarga.”Hazel menyipitkan mata. “Keluarga?”Luca mengangguk. “Seorang istri. Dan seorang anak. Tapi... bukan kisah keluarga seperti yang kita tahu. Bukan kisah yang bisa kau bayangkan di meja makan atau pelukan sebelum tidur.”Ia mengusap wajahnya sejenak, lalu menatap Hazel dengan sorot mata yang menyimpan luka yang tak pernah benar-benar sembuh.“Jack membunuh istrinya sendiri.”Jantung Hazel seperti tersangkut di tenggorokan. “Apa?”“Ya,” Luca menjawab pelan. “Dia menghabisi perempuan yang dinikahinya. Dan alasannya... adalah

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   65 : Terungkap

    Luca menatap Hazel yang masih menunduk. Di hadapannya, gadis itu seperti mencari makna dari setiap patah kalimat yang baru saja dia dengar. Tapi sebelum ia sempat bicara, Luca menghela napas dalam.“Aku tahu kau ingin tahu semuanya,” ujarnya pelan. “Dan kalau kita bicara tentang ayahmu... kita harus kembali jauh. Ke masa ketika aku masih cukup muda untuk percaya bahwa kepercayaan bisa menyelamatkan dunia. Tapi hari itu... dunia mengajarkan hal yang berbeda.”Hazel mendongak perlahan.“Saat kau masih bayi—mungkin satu tahun. Mereka pergi menjalankan misi. Waktu itu, dia tidak hanya seorang ayah, Hazel. Dia masih Moretti. Tapi bukan yang membunuh tanpa alasan. Dia... seorang pemimpin yang dipilih bukan karena darah, tapi karena prinsip. Dan itu yang membuatnya paling dibenci. Oleh musuh. Siapa sangka bahwa musuhnya juga ada di dalam lingkaran.”Luca memejamkan mata sejenak, membiarkan pikirannya menarik kembali malam berdarah itu.“Brian memimpin satu operasi besar. Kami menyebutnya Ope

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   64 : Hampir Terkuak

    "Siapa ayahmu?" Dua kata yang mampu membuat Hazel menoleh ke arah pria di sampingnya. Duduk sedikit lebih jauh. Ia menatap Luca. Alisnya sedikit bertaut. Suara itu begitu dalam—seperti milik seseorang yang ingin memastikan kebenaran yang selama ini ditolak oleh pikirannya sendiri.“Brian Moretti…” bisiknya. “Oh my God.”Hazel mengerutkan kening. Ia bergeser sedikit ke depan, mendekat, matanya menatap Luca semakin intens dengan bara penasaran yang kini menyala penuh.“Tidak. Tidak ada orang itu di foto. Tidak ada Brian Moretti. Hanya Brian Lanchester. Ayahku bukan seorang Moretti.”Luca perlahan menggeleng. Bibirnya terbuka, tapi tak segera ada suara keluar. Ia menatap Hazel seperti melihat sesuatu yang rapuh—sebuah keping teka-teki yang telah lama hilang tapi kini ada di depan matanya, utuh namun belum sepenuhnya bisa dia genggam.“Hazel…” suara Luca akhirnya terdengar, pelan, dalam, penuh bebannya sendiri. “Ayahmu adalah Brian Moretti Lanchester. Aku… harusnya lebih yakin sejak awal

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status