Home / Romansa / Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam / 5 : Surat Kecil Di Ujung Lelah

Share

5 : Surat Kecil Di Ujung Lelah

Author: Az Zidan
last update Last Updated: 2025-04-26 16:43:59

Keringat belum sempat mengering dari pelipis Hazel ketika suara bel restoran kembali berdenting. Aroma keju panggang dan sup krim yang mengepul menguar ke udara, disambut dengan langkah-langkah pelanggan yang datang silih berganti. Jam menunjukkan pukul sembilan petang, tapi restoran masih ramai seperti siang tadi. Hazel menarik napas panjang, menekan rasa letih yang mulai merayap naik ke tengkuknya. Satu per satu, ia mencatat pesanan, menyeka meja, dan menyambut tamu dengan senyum tipis yang ia ciptakan secara otomatis—senyum yang kini terasa seperti topeng yang melekat permanen di wajahnya.

Ia tidak punya waktu untuk sekadar duduk. Bahkan saat rekan-rekannya bergantian mengambil waktu istirahat, Hazel tetap sibuk bergerak dari meja ke meja. Di dalam dirinya, ada rasa bersalah yang terlalu akrab: ia sudah terlambat menjemput Arrow tadi. Surat kecil dari anaknya masih tersimpan rapi dalam saku celemek, menunggu dibaca di waktu yang belum ia miliki.

Menjelang waktu tutup, restoran perlahan mulai sepi. Hazel membersihkan meja terakhir, lalu berjalan ke belakang, melepas celemek pelayan dan menggantinya dengan seragam berwarna gelap yang biasa digunakan oleh staf kebersihan. Ia hanya sempat membasuh wajahnya dengan air dingin sebelum melanjutkan pekerjaan kedua hari itu.

Di ruang penyimpanan alat kebersihan, Zoe sudah menunggunya.

"Hei," sapa Zoe, menyender pada gagang pel. Menatap sahabat baik dengan rambut diikat asal, dan ada guratan lelah di bawah mata yang tidak berusaha ia tutupi.

Hazel membalas sapaan itu dengan anggukan kecil dan senyum samar. "Mulai dari mana malam ini?"

Zoe menunjuk lorong dapur. "Ada kotoran membande di sana. Katanya dari shift siang."

“Itu aku.”

“Ups! Tidak aku bergurau,” ujar Zoe menghibur.

Hazel layangkan senyum kecil dengan usaha mengusir rasa lelah yang benar-benar tidak mampu dia singkirkan.

Mereka mulai bekerja dalam diam. Suara pel yang diseret dan gemericik air menjadi latar yang menenangkan, setidaknya bagi Hazel yang mulai merasa sedikit lebih ringan—entah karena rutinitas, atau karena tahu Zoe ada di sana. Meski tidak banyak bicara, kehadiran Zoe selalu membuat Hazel merasa tidak sendirian.

Zoe masih berdiri di tempatnya, memperhatikan Hazel yang kembali menyeka lantai, meski kini lebih pelan dan hati-hati. Seolah kata-kata tadi membuka ruang yang selama ini dikunci rapat.

“Hazel,” Zoe memanggil pelan.

Hazel menoleh, sedikit heran karena suara Zoe berubah jadi lebih lembut, nyaris seperti bisikan rahasia di tengah malam.

“Kamu tahu kan… kamu nggak harus terus-terusan bawa beban itu sendirian?”

Hazel menghela napas, lalu mengangkat wajahnya. Matanya menyimpan luka yang nyaris tak pernah ia biarkan terlihat. Tapi malam ini, Zoe sepertinya melihatnya.

“Aku sudah coba, Zoe,” ucap Hazel lirih. “Tapi kadang masa lalu itu tidak hanya duduk di belakang. Dia mengikuti ke mana pun aku pergi.”

Zoe melangkah lebih dekat, berhenti tepat di samping Hazel. Meraih gagang pel dan menyandarkannya pada dinding. Ia raih jemari Hazel.

“Aku tahu itu berat. Tapi kamu harus mulai berani melupakan,” katanya dengan tegas tapi hangat. “Kalau kamu tidak bisa lakukan untuk dirimu sendiri… ya, lakukan buat Arrow. Dia pantas punya ibunya yang utuh, yang bisa senyum tanpa beban.”

Hazel tertawa kecil, lebih mirip desahan getir. “Aku tidak tahu caranya…”

"Aku takut," gumamnya lirih. "Kadang masih terasa nyata… seolah bisa kembali kapan saja dan ambil semuanya."

Zoe menyentuh lengan Hazel, ringan, seperti penegas bahwa dia nyata di sana.

“Mulai dari sini, mulai dari sekarang. Kamu tidak sendirian, Haz. Aku akan selalu bantu. Aku akan temani kamu dan Arrow. Serius.”

Hazel menatap Zoe. Dalam diam itu, ada sesuatu yang luluh. Ada bagian dari dirinya yang mulai percaya. Hazel memejamkan mata sejenak, menyerap kata-kata itu seperti air di tanah kering.

“Terima kasih, Zoe,” bisiknya.

“Selalu,” balas Zoe sambil tersenyum, kemudian menoleh ke arah jam dinding. “Ayo, sebelum kita tidur berdiri di sini.” Hazel tertawa pelan, dan malam itu terasa sedikit lebih hangat.

Langit sudah menghitam sempurna saat Hazel dan Zoe keluar dari lorong belakang restoran. Aroma minyak bekas dan sabun pembersih masih melekat di seragam mereka.

“Hati-hati sampai rumah, ya,” ujar Zoe, menyentuh lengan Hazel sebentar. “Kalau butuh apa pun, kabari aku.”

Hazel mengangguk kecil. “Iya. Terima kasih, Zoe. Hari ini… aku tidak tahu bagaimana bisa bertahan kalau tidak ada kamu.”

Zoe tersenyum, tapi seperti biasa—senyuman itu punya lapisan yang sulit ditebak. Ada sesuatu di balik tatapan mata cokelatnya yang tak benar-benar lepas dari Hazel, bahkan ketika ia berbalik untuk berjalan ke arah seberang.

Hazel mematung sejenak, memandangi punggung Zoe yang perlahan menghilang di tikungan dengan motor yang ia tunggangi. Angin malam berembus pelan, membuat rambutnya berkibar. Ia menunduk, mengeratkan jaket, lalu menyalakan mesin motor dan tancap gas pulang.

Sesampainya di depan rumah kecilnya, Hazel berhenti. Ia menatap pintu kayu itu sejenak sebelum duduk perlahan di anak tangga pertama. Lampu di beranda menyala redup. Udara malam terasa dingin, tapi tidak menusuk. Keheningan malam menyelimuti lingkungan sekitar. Hazel membuka tas selempangnya yang lusuh, lalu mengeluarkan secarik kertas yang tadi dia dapatkan dari Arrow saat ia berpamitan.

Tangannya sedikit gemetar saat membuka lipatan itu. Aroma krayon masih tersisa samar di permukaannya.

"Ibu, Hari ini Miss Jecca bercerita tentang beruang dan anaknya. Bahwa ibu beruang rela menembus badai demi mencari makan untuk anaknya. Aku pikir Ibu jauh lebih hebat dari Ibu beruang itu. Aku sayang Ibu. Aku janji akan membuat Ibu bangga dan bahagia. Nanti, Ibu yang istirahat di rumah dan Arrow yang akan bekerja. Tapi tunggu Arrow dewasa, ya. I love you, Ibu. Kamu adalah Ibu terbaik dan terhebat di dunia."

Hazel menutup mulutnya dengan tangan. Air matanya jatuh satu-satu, diam-diam, tanpa isak. Ia tertawa kecil dalam tangisnya, menelusuri tulisan tangan kecil yang belum rapi itu, tapi begitu penuh cinta dan kepedulian. Di balik surat itu, ada gambar dirinya dan Arrow, berdiri berdampingan di bawah matahari kuning cerah. Wajah-wajah mereka dibuat bulat, dengan garis senyum sederhana. Ada satu gambar lain, lebih kecil, di pinggir bawah—seseorang dengan topi dan mata yang tersembunyi oleh bayangan, tapi senyumnya samar tergambar. Lalu memeluk kertas itu erat ke dada, seolah ingin menahan semua perasaan yang membuncah dalam hatinya.

Hazel menggigit bibir bawahnya. Entah kenapa gambar kecil itu membuat hatinya berdegup lebih cepat. Apakah itu…?

Surat itu kecil, tapi berat oleh makna. Dalam dunia yang terasa kacau dan melelahkan, Arrow adalah satu-satunya alasan yang membuatnya terus maju, terus bangkit. Dan malam itu, duduk sendirian di tangga rumahnya, Hazel merasa hatinya menghangat—meski tubuhnya lelah, dan pikirannya penuh.

"Aku juga sayang kamu, Nak... lebih dari apa pun di dunia ini," bisiknya pelan, seperti takut mengganggu malam yang tenang.

Ia bangkit perlahan dan membuka pintu rumahnya. Lampu ruang tamu yang dibiarkan menyala menyambutnya dengan hangat. Hazel menatap ke dalam sejenak, lalu masuk dengan napas panjang. Di balik pintu yang tertutup pelan, dunia kembali sunyi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Laila Qodariah
next Thor. lanjut aku tunggu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   69 : Bertemu Kembali

    Langkah kaki kecil terdengar menjejak pelan di tangga kayu beranda.Tuk. Tuk. Tuk.Hazel terdiam seketika. Dadanya mencuat naik-turun dalam irama yang tidak beraturan. Ia menoleh cepat ke arah jendela, lalu berdiri secepat kilat dan berlari ke arah pintu.Lalu terdengar suara yang selama ini ia rindukan lebih dari apa pun."Ibu! Ibu! "Hazel membuka pintu dengan kedua tangan yang bergetar. Cahaya matahari musim panas menyilaukan sejenak, tapi bayangan tubuh kecil yang berdiri di ambang pintu langsung mengisi seluruh ruang dalam jiwanya."Arrow!" serunya, nyaris tersedak oleh isak tangis yang tertahan.Tanpa menunggu waktu, Hazel berlari dan merengkuh anak itu ke dalam pelukannya. Ia menunduk, menciumi kepala bocah itu berkali-kali seolah tidak ingin melewatkan satu inci pun dari kehadirannya. Tubuh kecil Arrow menggigil pelan, namun balas memeluk erat, seakan mencari tempatnya kembali dalam dunia yang sempat terasa asing

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   68 : Janji

    Udara pagi mulai menghangat, menyiratkan pertanda musim panas yang akan segera tiba. Cahaya mentari menyusup pelan melalui celah-celah tirai ruang tamu, menari di antara debu-debu halus yang melayang di udara. Aroma kopi dan kayu tua menguar di dalam rumah itu, namun tak cukup menenangkan kegelisahan yang menggantung di dalam dada Hazel.Ia duduk di tepi sofa, jemarinya meremas bagian bawah sweater tipis yang mulai terasa terlalu panas untuk musim yang sebentar lagi berubah."Sudah pukul sembilan lewat dua puluh. Mereka seharusnya tiba sebelum tengah hari," gumam Hazel dengan suara nyaris tak terdengar.Luca duduk di seberangnya, tangannya menggenggam cangkir kopi yang sudah hampir dingin. Ia memperhatikan wanita itu dengan diam, membaca setiap gerak kecil dari tubuh yang dipenuhi kecemasan. Sejak semalam, Hazel nyaris tidak tidur. Dan pagi ini, kegelisahannya tak mampu ditutupi, bahkan oleh senyum tipis yang beberapa kali berusaha ia paksakan."Don Alvero orang yang tepat, Hazel. Dia

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   67 : Anak Kecil

    Layar monitor menyala redup di ruangan yang nyaris tak bernyawa.Cahaya biru memantul di mata Shofia, yang duduk membungkuk di depan empat layar sekaligus. Jari-jarinya menari cepat di atas keyboard mekanik, menciptakan irama ketukan yang bersahut dengan deru lembut dari kipas prosesor yang dipacu melampaui batas wajar.Satu jendela sistem terbuka. Lalu satu lagi. Shofia memasukkan barisan kode yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang hidup di dunia tanpa nama—dunia tempat data adalah mata uang, dan identitas bisa dipalsukan hanya dengan satu klik.Dia tidak bicara. Bahkan tidak bernapas terlalu keras. Hanya sorot matanya yang membara, seperti bara dalam kelam."Anakmu... di mana kau menyembunyikannya, Jack?" bisik Shofia dalam hati.Ini bukan kali pertama ia menyusup ke dalam jaringan internal organisasi. Tapi malam ini berbeda. Ia tidak sekadar mencari celah. Ia mencari seseorang. Satu nama yang bisa mengubah segalanya.Seseorang yang mungkin adalah pewaris darah Jack.Seseorang ya

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   66 : Laki-laki Biadab

    Luca terdiam beberapa detik, lalu membuang napas perlahan. “Aku pernah mendengar sesuatu…” katanya , suaranya nyaris seperti gumaman di antara denting jam dinding yang tak berdosa.Hazel menoleh, menunggu lanjutan kalimat itu seolah hidupnya bergantung padanya.“Mungkin. Tapi aku yakin itu bukan kebohongan. Dulu, ketika aku masih berada di jaringan lama... sebelum semua ini berantakan... ada satu nama yang terus dibisikkan. Tentang Jack yang ternyata punya keluarga.”Hazel menyipitkan mata. “Keluarga?”Luca mengangguk. “Seorang istri. Dan seorang anak. Tapi... bukan kisah keluarga seperti yang kita tahu. Bukan kisah yang bisa kau bayangkan di meja makan atau pelukan sebelum tidur.”Ia mengusap wajahnya sejenak, lalu menatap Hazel dengan sorot mata yang menyimpan luka yang tak pernah benar-benar sembuh.“Jack membunuh istrinya sendiri.”Jantung Hazel seperti tersangkut di tenggorokan. “Apa?”“Ya,” Luca menjawab pelan. “Dia menghabisi perempuan yang dinikahinya. Dan alasannya... adalah

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   65 : Terungkap

    Luca menatap Hazel yang masih menunduk. Di hadapannya, gadis itu seperti mencari makna dari setiap patah kalimat yang baru saja dia dengar. Tapi sebelum ia sempat bicara, Luca menghela napas dalam.“Aku tahu kau ingin tahu semuanya,” ujarnya pelan. “Dan kalau kita bicara tentang ayahmu... kita harus kembali jauh. Ke masa ketika aku masih cukup muda untuk percaya bahwa kepercayaan bisa menyelamatkan dunia. Tapi hari itu... dunia mengajarkan hal yang berbeda.”Hazel mendongak perlahan.“Saat kau masih bayi—mungkin satu tahun. Mereka pergi menjalankan misi. Waktu itu, dia tidak hanya seorang ayah, Hazel. Dia masih Moretti. Tapi bukan yang membunuh tanpa alasan. Dia... seorang pemimpin yang dipilih bukan karena darah, tapi karena prinsip. Dan itu yang membuatnya paling dibenci. Oleh musuh. Siapa sangka bahwa musuhnya juga ada di dalam lingkaran.”Luca memejamkan mata sejenak, membiarkan pikirannya menarik kembali malam berdarah itu.“Brian memimpin satu operasi besar. Kami menyebutnya Ope

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   64 : Hampir Terkuak

    "Siapa ayahmu?" Dua kata yang mampu membuat Hazel menoleh ke arah pria di sampingnya. Duduk sedikit lebih jauh. Ia menatap Luca. Alisnya sedikit bertaut. Suara itu begitu dalam—seperti milik seseorang yang ingin memastikan kebenaran yang selama ini ditolak oleh pikirannya sendiri.“Brian Moretti…” bisiknya. “Oh my God.”Hazel mengerutkan kening. Ia bergeser sedikit ke depan, mendekat, matanya menatap Luca semakin intens dengan bara penasaran yang kini menyala penuh.“Tidak. Tidak ada orang itu di foto. Tidak ada Brian Moretti. Hanya Brian Lanchester. Ayahku bukan seorang Moretti.”Luca perlahan menggeleng. Bibirnya terbuka, tapi tak segera ada suara keluar. Ia menatap Hazel seperti melihat sesuatu yang rapuh—sebuah keping teka-teki yang telah lama hilang tapi kini ada di depan matanya, utuh namun belum sepenuhnya bisa dia genggam.“Hazel…” suara Luca akhirnya terdengar, pelan, dalam, penuh bebannya sendiri. “Ayahmu adalah Brian Moretti Lanchester. Aku… harusnya lebih yakin sejak awal

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status