Sepanjang perjalanan menuju kantor, hanya deru mesin yang terdengar. Baik Rose maupun Brian tidak banyak bicara. Brian tahu jika Rose harus menata hatinya saat ini. “Mau aku ambilkan tisu?” Brian menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Ia menyodorkan selembar tisu untuk, Rose.Perempuan itu menoleh dengan ekspresi yang datar. “Buat apa ….?”Brian pun mengurungkan niatnya, ia mengembalikan tisu tersebut ke dalam kotak di atas dashboard. Pria muda itu menghembuskan napas untuk membuang kesal.“Aku bukan perempuan lemah, Bri. Yang ada mereka akan menginjak harga diriku lebih dari ini,” ujar Rose tanpa memperhatikan pria tersebut. Ia lebih memilih untuk melihat senyapnya jalanan karena diguyur hujan dari pagi.“Jadi, dia ayahnya Dania?” Brian masih menatapnya tanpa berkedip. Ia memiringkan tubuhnya agar bisa bicara dari hati ke hati.Rose mengangguk kecil, ada suara dengusan dari dirinya. “Hem, ya! Dia masa laluku, dan sekarang menjadi CEO di tempat kerja Kita. Lucu bukan? Apa sebaiknya
Brak!“Apa ini, Rose?” Zain melempar berkas bersampul merah darah di atas meja kubikel milik, Rose.Wanita muda itu sedikit terkejut dengan kedatangan sang CEO yang secara tiba-tiba. Rose berdiri dengan tenang, ia harus bisa menstabilkan gemuruh di dadanya. “Bisa tidak, jika sikap Bapak sedikit saja lebih sopan pada saya?” Rose menghela napas dengan berat, lalu menyilangkan tangannya di depan dada. Ia melihat Zain dengan dagu yang mendongak, sangat kontras dengan tatapan matanya yang sangat tajam.“Seharusnya aku yang bertanya, apa yang sudah Kamu lakukan?” tunjuk Zain pada berkas yang baru saja dilemparnya secara kasar.“Bukankah sudah jelas, Pak Zain yang terhormat? Saya mengajukan resign dari perusahaan ini. Apakah saya harus menjelaskan kembali pada Anda, Pak?” Rose melirik pada berkas yang baru saja dia masukkan pada pihak HRD.“Tidak perlu, karena Kamu sudah pasti tahu jawabannya.” Zain menolak mentah-mentah surat pengunduran diri dari, Rose. Ia tidak menyetujui jika perempuan
“Apa maksud Kamu membawaku kemari?” Rose menuntut penjelasan dari, Zain. Pria itu tetap bungkam, ia turun dari dalam mobil setelah memarkirkan Roll Royce berjenis wraith tersebut di tepi trotoar.“Turun!” perintahnya dengan tegas, sehingga terlihat dengan jelas jika pria tersebut tidak sedang main-main.“Turuti perintahku atau aku ambil putrimu!” pilihan sulit itu terucap dari bibir, Zain. CEO di tempatnya bekerja tersebut, secara tidak sengaja mendapati dirinya menjadi bagian dari perusahaan yang telah ia pimpin. Sial bagi Rose yang telah meremehkan kekuasaan Zain, rahasia yang telah ia simpan rapat-rapat selama 5 tahun terkuak begitu saja.“Kau ….” tunjuk Rose tepat di depan pria berperawakan 179 centimeter tersebut.“Kamu sering ke sini? Bagaimana bisa?” kali ini Rose banyak bertanya.“Kamu menemui anakku?!” dengan sedikit berteriak, Rose berdiri tepat di sisi pintu mobil karena merasa terabaikan.“Zain!” Rose menarik lengan jas yang digunakan oleh pria tersebut.“Dia juga anakku,
“Pulanglah! Sekarang sudah larut,” Rose berdiri di ambang pintu dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.“Apa dia sudah tidur?” Zain menengok ke arah dalam sekilas. Pria tersebut tengah duduk di kursi teras depan.“Ya, Dania sudah tidur dengan pulas. Mungkin dia sangat lelah hari ini,” Rose mengedikkan sebelah bahunya.“Atau dia merasa sangat bahagia seharian ini?” ralat Zain yang membuat Rose memanyunkan bibirnya.“Apa kau tidak mendengarkanku, Pak Zain?” kali ini ia membuka kedua tangannya, agar Zain mengerti dengan apa yang baru saja diucapkannya.“A-Apa ….?” Zain balik bertanya. Ia pun membuka kedua telapak tangannya dengan bebas.“Apakah Nadia tidak akan curiga padamu? Kenapa hari ini Kamu pulang larut?” sepertinya pria itu lupa jalan pulang, atau lebih tepatnya lupa jika dirinya sudah mempunyai seorang istri.“O, oh, ya! Tentu saja,” ia jadi gugup, kebersamaannya dengan sang putri membuat Zain benar-benar lupa waktu. Ia beranjak dari tempat duduk dan berdiri tepat bebe
Deru mesin terdengar begitu kentara, akan tetapi Rose tidak bisa membuka kedua kelopak matanya dengan lebar. Tubuhnya mendadak lemas seperti tanpa tulang. Ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya sedikitpun. Perlahan perempuan itu kembali memejamkan kelopak matanya. Ia merasa kepalanya berputar-putar seperti sebuah gasing. Rose seperti sedang melayang ke udara tanpa adanya sepasang sayap, persis seperti cerita dongeng Maleficent.Kondisi Rose tersungkur di atas kursi mobil, dengan posisi tengkurap. Kedua tangannya terikat ke belakang tubuh, mulutnya sudah tersumpal oleh kain. Perempuan itu, tidak bisa melakukan apapun selain menunggu keajaiban dari Tuhan. ***"Aku sudah memiliki seorang putri dari wanita lain," ucap Zain tanpa basa basi. Ruangan itu semakin terasa dingin, tanpa ada cinta di dalamnya. Nadia menatap ke arah balkon yang kini terbuka bebas di hadapannya. Perempuan cantik yang kini mengenakan setelan kemeja lengan pendek berwarna broken white dan skinny jeans itu, terlihat m
“Uhuk, uhuk, uhuk ….!” Rose merasa jika kerongkongannya sangat kering. Entah kenapa ia begitu susah ketika hendak membuka kelopak matanya. Perempuan berusia 25 tahun tersebut merasakan sakit di seluruh tubuhnya. “Ah, ….!” mulutnya yang sudah tidak disumpal oleh kain, sedikit melenguh karena tidak bisa bergerak dengan bebas.“Oh, sial! Dimana aku sekarang?” umpatnya yang telah mengetahui jika saat ini dirinya terikat di atas sebuah kursi.Ia berusaha mengumpulkan kesadarannya, Rose mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada apapun yang ia dapatkan di sana. Hanya ada satu ventilasi di atas berukuran 10 x 20 centimeter, yang mengalirkan sirkulasi udara dan cahaya matahari. Sepertinya hari sudah pagi, atau lebih tepatnya siang hari. Terlihat dari adanya satu ruas sinar yang masuk ke dalam ruangan pengap tersebut. Sinar itu menerpa tepat pada wajahnya, dan membangunkan Rose dengan paksa.Rose mencoba untuk mengingat kejadian semalam, “D-Dania ….!” ia sedikit terpekik ketika memoriny
“Maaf, Pak!” tanpa permisi, Nadine masuk menerobos ruangan sang CEO. Napasnya terengah-engah, gadis berusia 25 tahun itu terlihat begitu panik.Zain langsung berdiri dari tempat duduk, ia terkejut dengan kedatangan Nadine yang masuk dengan tiba-tiba. Sehingga membuat beberapa relasi yang tengah berdiskusi dengannya ikut menengok ke asal sumber suara.“M-Maaf, ….” ia pun membungkukkan badan untuk meminta maaf pada tamu yang masih duduk dan memandang aneh atas kehadirannya.“Ada apa ini ….?” Zain membuka kedua telapak tangannya dengan lebar. Ia menatap Nadine dengan pandangan penuh tanda tanya.“Bisa Kamu jelaskan padaku, Nona Nadine?” tanya Zain yang telah memiringkan wajahnya ke samping. Pria muda berusia 27 tahun tersebut merasa, jika para tamunya sedikit terganggu dengan ketidaknyamanan yang telah Nadine lakukan.Nadine berdiri dengan wajah gugup, ia gelisah dengan tatapan yang tidak fokus. “Bisakah Kita bicara di tempat lain?” ujar Nadine dengan gestur tubuh yang cemas.Zain meliha
“Aku menginginkan wanita itu. Bawa dia kepadaku!” perintah Zain dengan menunjuk ke arah, Ramon.“Baik, Pak!” Ramon mengangguk patuh tanpa banyak bicara.“Tunggu apa lagi? Cepat kerjakan, Ramon!” bentak Zain dengan nada tinggi, tentu saja wajahnya sekarang sudah merona karena terbakar emosi.“Baik, Pak Zain. Saya akan melaksanakan perintah Anda, permisi ….” akhirnya Ramon beranjak dari tempatnya. Ia pergi tanpa menunggu jawaban dari sang majikan, Tuan Zain yang terhormat.Zain melonggarkan letak dasinya, lalu membuka pintu balkon yang menghubungkan langsung menuju teras luar ruangan CEO. Sepertinya ia membutuhkan pasokan oksigen lebih dari biasanya, Zain menghirup udara bersih itu dalam-dalam. Ia menopangkan kedua tangannya di atas pagar balkon. Pria tersebut menunduk sebentar sebelum menghembuskan napas dengan kuat. “Sial! Kenapa aku bisa kecolongan seperti ini?” gumamnya dengan memukul pinggir pagar balkon.Pertemuannya dengan Nadine membuat isi kepalanya semakin penuh. Sehingga Zai