“Aku menginginkan wanita itu. Bawa dia kepadaku!” perintah Zain dengan menunjuk ke arah, Ramon.“Baik, Pak!” Ramon mengangguk patuh tanpa banyak bicara.“Tunggu apa lagi? Cepat kerjakan, Ramon!” bentak Zain dengan nada tinggi, tentu saja wajahnya sekarang sudah merona karena terbakar emosi.“Baik, Pak Zain. Saya akan melaksanakan perintah Anda, permisi ….” akhirnya Ramon beranjak dari tempatnya. Ia pergi tanpa menunggu jawaban dari sang majikan, Tuan Zain yang terhormat.Zain melonggarkan letak dasinya, lalu membuka pintu balkon yang menghubungkan langsung menuju teras luar ruangan CEO. Sepertinya ia membutuhkan pasokan oksigen lebih dari biasanya, Zain menghirup udara bersih itu dalam-dalam. Ia menopangkan kedua tangannya di atas pagar balkon. Pria tersebut menunduk sebentar sebelum menghembuskan napas dengan kuat. “Sial! Kenapa aku bisa kecolongan seperti ini?” gumamnya dengan memukul pinggir pagar balkon.Pertemuannya dengan Nadine membuat isi kepalanya semakin penuh. Sehingga Zai
“Kau apakan ibuku, hah?!” suara keras itu berasal dari arah luar. Zain dan Maria yang tengah berada di ruang makan saling berpandangan. Dan Zain pun langsung tahu, siapa yang telah membuat keributan pagi-pagi begini.“Siapa ….?” Nadia yang baru saja turun dari tangga, sedikit terganggu. Ia bertanya pada suaminya yang melintas dan tidak mendapatkan tanggapan. Pria itu lebih memilih untuk pergi meninggalkannya begitu saja. Nadia menengok ke arah depan, sepertinya biang rusuh itu datang lagi. Ia lebih memilih untuk diam dan tidak ikut campur perseteruan di dalam keluarga, Dimitri. Apalagi sorot mata Maria menatap ke arahnya dengan tatapan tak suka. “Ck ….!” mulutnya mencebik tanpa menghiraukan wanita yang merundungnya kemarin. Nadia mengejar langkah Zain yang sudah berada di teras depan rumah. Ia berhenti di belakang pintu, sengaja ia menguping percakapan di antara kedua pewaris tersebut.“Ada apa ini, Kak? Kenapa datang marah-marah?” Zain mencoba untuk meredam emosi, Alexander Dimitri
Nadia menutup telepon genggamnya. Di sudut bibirnya tersungging segaris senyuman, ia terlihat begitu senang. Dan tak lama kemudian, ia membuka kembali telepon genggam yang sudah diletakkan di atas meja. Ia mencari nama seseorang, lalu mencoba untuk mengirim satu pesan.[Bagaimana kondisi di sana?] klik, ia menekan tombol send agar pesannya bisa terkirim dengan cepat.Tanpa menunggu lama, ia sudah mendapatkan jawabannya. [Aman, Nona Muda. Semuanya bisa saya kendalikan dengan baik,] jawab seseorang di balik layar telepon itu.Nadia menutup layar ponselnya, ia tidak berniat melanjutkan kembali. Segera ia beranjak dari dapur untuk menuju ke kamarnya. Ia akan menyiapkan sesuatu sebelum pergi untuk melihat beberapa bisnis yang terbilang cukup istimewa.Ia melihat Zain menaiki anak tangga dengan kondisi tergesa. Nadia sudah menduga jika hal tersebut pasti berkaitan dengan, Alex. Saudara iparnya itu, tak henti-hentinya merongrong suaminya demi—uang.“Mau kemana Kamu?” tanya Zain yang melihat
“A,a,a, ….” teriaknya dengan suara yang gagap.Tubuh Pak Rahmat terjengkang ke belakang, sehingga lelaki tua itu terjatuh dalam kondisi terduduk. Jari telunjuk kanannya menunjuk ke arah gulungan karung goni yang teronggok di bawah sebuah pohon yang rindang.“A-Ada apa, Pak?” sarah, putrinya yang berdiri tak jauh dari dirinya pun ikut merasa cemas. Wajahnya terlihat begitu panik ketika mengetahui Pak Rahmat seperti orang yang tengah melihat keberadaan sosok hantu.“I-Itu …. a-ada, m-mayat!” Pak Rahmat masih menunjuk ke arah depan dengan kondisi yang sama.“A-Apa ….?!” Sarah melihat ke arah ayahnya dengan tatapan tak percaya. Kepalanya menggeleng pelan, sedangkan kedua tangannya membekap mulutnya sendiri.“M-Mayat? Ah Bapak, jangan bercanda!” bibir Sarah tersenyum hambar,pasti ada yang salah dengan apa yang diucapkan oleh ayahnya—Pak Rahmat.Tidak ada jawaban dari, Pak Rahmat. Lelaki paruh baya tersebut tak ubahnya seperti sebuah patung hidup. Akhirnya Sarah mendekat dan memegang pundak
"Aduh!" Sarah berguling-guling dari atas bukit. Secara tidak sengaja, ia terperosok di tepi pematang yang licin. Sehingga mengakibatkan dirinya jatuh bersama, dengan sosok misterius yang telah diburu oleh beberapa orang berbadan besar."Argh ….!" ia merasa jika tulang belulangnya telah remuk satu persatu, ketika dirinya menyadari ada luka yang diakibatkan oleh insiden tersebut.Ia membuka matanya perlahan, mencari sosok yang telah membuat dirinya kerepotan seperti ini. "Oh, syukurlah! Ternyata Kamu di sana," gumam Sarah ketika mendapati korban tersebut tak jauh dari tempatnya terjatuh.Sarah sedikit kesusahan ketika hendak berdiri. Ia menahan napas, setiap kali hendak bergerak. Lalu menghembuskan perlahan ketika berhasil berdiri dengan baik.Ia mendekati sosok itu kembali. Kemudian mendekatkan kedua jarinya di sisi urat leher korban. Sarah takut jika ia tidak memenuhi janji, ketika sosok tersebut mati terlebih dahulu akibat kecerobohannya."Fiuh, Kamu pasti wanita hebat! Di saat kond
Suara deru mesin terdengar di sepanjang perjalanan. Baik Marco maupun Lucas sama-sama meredam emosi mereka. Keduanya sudah bisa bernapas dengan baik, setelah beberapa waktu yang lalu mereka harus lari menyelamatkan diri dari kejaran para warga. Tiba-tiba saja, Marco menepikan minivan di pinggir jalan. “Brengsek!” Marco memukul kemudi mobil dengan cukup keras. Hal tersebut membuat Lucas melirik dengan kesal. Mulutnya mencebik, lalu mengalihkan pandangan ke arah luar jendela.“Kacau, kacau, kacau!” sambung Marco yang gemas dengan diri sendiri. Ia membuka kancing atas kemejanya agar bisa bernapas dengan leluasa. Hingga beberapa menit, mereka saling diam untuk mengontrol keadaan. Marco membuka kaca jendela untuk menghirup udara segar. Ia mengeluarkan satu kotak rokok filter, lalu menyalakan api dengan pemantik. Marco menghisapnya, dan tak lama kemudian kepulan asap sudah mengudara. Sehingga tercium aroma mint yang khas dari arah, Marco.“Maaf,” kata yang keluar dari mulut Lucas memecah
Elektrokardiograf (EKG), sebuah alat yang bisa mendeteksi irama detak jantung tersebut terdengar memecah keheningan. Di sebuah kamar Rumah Sakit Umum Daerah, di dalam kamar berukuran yang tidak seberapa besar. Terbaring seseorang dengan selang infus di pergelangan urat nadi sebelah kanannya. Seseorang yang berjenis kelamin perempuan tersebut, semakin terlihat menyedihkan dengan selang oksigen yang terpasang di bagian hidungnya.“Apa tidak ditemukan identitas apapun pada pasien ini, Sus?” tanya dokter umum yang datang berkunjung pagi ini. “Tidak ada, Dok. Kebetulan pasien ditemukan dalam kondisi yang …." kalimat suster mengambang, ia menghentikan ucapannya. Suster tersebut ragu, lalu menggigit bibir bawahnya karena takut salah bicara."Kenapa, Sus? Apa ada masalah?" tanya dokter yang baru saja selesai masa magangnya tersebut dengan mengernyitkan kedua alisnya."Kebetulan pasien di kamar ICU yang menyelamatkannya, Dok,” jelas suster jaga pada Dokter yang berperawakan 175 centimeter ter
Attala Zain Dimitri, atau yang lebih akrab dipanggil Zain meraih tangan, Rose. Keduanya lebih memilih untuk menepi dari hingar bingar dan hentakan musik dari atas panggung yang digelar. Pesta kelulusan sekolah, membuat muda mudi itu harus mengadakan satu perhelatan akbar di luar kota. Tepatnya di pulau Dewata, Bali. Sebuah pulau yang sangat indah dengan panoramanya.Ya, di sinilah mereka sekarang. Di sebuah resort tepi pantai Kuta, yang sangat indah dengan sunsetnya. Banyak hal yang mereka ukir di tempat tersebut, tak terkecuali mereka berdua—Zain dan Rose."Aku harus meneruskan sekolah ke Australia. Papa, menginginkan aku agar kelak bisa memimpin perusahaan keluarga." Zain, yang berdiri di depan balkon sedang memandang indahnya pantai Kuta. Dimana saat malam seperti ini, air laut sedang pasang dan ombaknya berlomba-lomba saling menggulung untuk mencapai ketepian."Lalu, bagaimana dengan hubungan Kita Zain?" Rose, seorang gadis bernama lengkap Diana Rosalina itu terlihat muram."Aku