Home / Rumah Tangga / Ayah Mana? / 1. ayah gak pernah nelpon

Share

Ayah Mana?
Ayah Mana?
Author: Elara murako

1. ayah gak pernah nelpon

Author: Elara murako
last update Last Updated: 2023-01-27 16:30:54

“Rufy?” Akhirnya apa yang ditunggu Vinza sedari tadi terwujud juga.

“Bunda! Upi angen banget!” jawab Rufy dengan nada penuh rindu.

Suara putranya begitu terdengar lucu dan menggemaskan. Tak terasa sudah sekian lama dia sendirian berjuang di Taiwan demi mencukupi kebutuhan hidup mereka. Walau, ia tak bisa bertemu putranya setiap hari. Meski dalam hati ingin mencubit gemas pipi Rufy yang tembem, mendengar celoteh gemasnya pun melihat dia tumbuh semakin mandiri.

“Bunda juga kangen sama Rufy. Rufy sudah makan?” Vinza menahan air mata seperti dia menahan rasanya sebagai ibu yang ingin mengasuh dan mengurus anaknya setiap hari.

“Udah. Api lom maen,” jawab anak itu sambil mengusap perutnya yang mungil.

“Kenapa? Habis telpon Bunda, Rufy main, ya?”

Rufy menggeleng. Anak itu memegang pipi dengan kedua tangannya. “Dak da mo main Upi. Emen dak suka Upi.” Suara anak itu berubah sedih.

“Enggak suka karena apa?” Vinza kembali bertanya.

“Upi anak halam,” jawab anak itu membuat Vinza tersentak. Perih batinnya. Usia Rufy bahkan belum genap tiga tahun, tapi ia sudah harus mendengar hal memilukan seperti itu. Hati Vinza tersayat. Luka yang sudah lama ia coba lupakan, kembali muncul ke permukaan.

“Upi anak Bunda. Anak baik dan soleh. Upi ciptaan Allah, ya?”

“Kan Upi dak ada ayah. Kata emen, dak ada ayah tuh anak halam.”

Vinza meneguk ludah. Tangannya gemetar. “Ayah Rufy lagi kerja. Nanti kalo kerjaan Ayah selesai, ayah pasti pulang.”

Rufy merengut. “Kapan? Dak selece! Lama!” tegas Rufy sambil sedikit berteriak.

Bibir Vinza gemetar. Bagaimana caranya ia menjelaskan pada anak itu kalau Rufy lahir dari kesalahannya? Kesalahan yang mungkin tak pantas untuk dimaafkan. “Rufy sabar, dong. Bunda juga sama lagi kerja, ‘kan?

“Api Bunda tepon Upi, ayah gak? Napa gak tepon?”

Benar, Vinza tak bisa menutupi terus dengan kebohongan. Hanya Rufy masih terlalu kecil untuk memahami jika dia dan lelaki itu sudah lama putus hubungan. “Nanti Bunda suruh ayah telpon,” jawab Vinza. Suaranya gemetar saat mengatakan itu.

Vinza tak punya pilihan. Jika tak dituruti, Rufy akan rewel. Ibunya sudah sepuh, sudah tak kuat untuk menghadapi Rufy jika mengamuk.

“Janji?”

“Iya, janji.” Tak tahu bagaimana janji itu akan ia tepati. Jika pun ia temukan seorang pria nanti, Rufy pasti sadar jika itu bukan ayah kandungnya.

“Bunda puang bawa ayah?”

“Iya. Doain saja, ya? Bunda cepat pulang dan bawa ayah. Nanti Ayahnya Bunda paketin ke sana, ya?”

“Lama, dak?”

“Gimana kurirnya.”

“Yeay! Upi mo paketin Ayah. Makacih, Bunda.”

Senang mendengar seruan Rufy, di satu sisi Vinza bingung. Ayah mana yang akan ia tunjukan pada putranya? “Maafin Bunda, ya? Bunda kerja jauh. Rufy enggak Bunda asuh.”

“Iya. Bunda makana puang, ya? Rufy angen sama Bunda, sama ayah uga, ya?” Rufy melihat ke rumah sebelah. Ada seorang anak tengah disuapi ibunya. “Upi mo suapin Bunda. Makan sayur, ya? Ada yayamnya.”

“Mau makan sayur sama ayam? Nanti buatin Emak, ya?”

“Anti ja, Bunda puang. Kan mo suapin Bunda ma gedong Ayah.”

Kedua kalinya Vinza merasa tertusuk. Apa yang diucapkan Rufy gambaran sebuah keluarga yang sempurna. Keluarga yang mungkin seumur hidup tidak akan Vinza dapatkan. Hidupnya sudah hancur sejak tiga tahun lalu ketika ia tahu dalam perutnya ada janin sedang tumbuh. Janin yang tak ia inginkan, tetapi sekarang menjadi anak yang ia sayangi.

“Iya, Bunda akan cepet pulang buat Rufy. Bunda sayang sama Rufy. Bunda kangen. Rufy di sana jadi anak baik, ya? Jaga Emak sama Abah. Bunda telpon lagi minggu depan. Bunda kerja dulu.”

“Iya, Bunda. Upi ayang Bunda.”

“Bunda juga sayang banget sama Rufy.”

“Angan upa ma Ayah, ya?”

“Iya.” Vinza tak mampu untuk berkata-kata lagi. Ia tutup telponnya dan langsung terisak di sana. Ia duduk di lantai memeluk lutut. “Mau sampai kapan aku bohongi anakku? Mau sampai kapan?” batin Vinza.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Devi Pramita
kasian upi
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ayah Mana?   116. Ingin nonton (tamat)

    “Begini Bu Guru. Hari Minggu ini Rufy punya acara nonton di rumah. Bunda bolehin Rufy untuk nonton hanya setengah jam. Masalahnya ada dua yang mau Rufy tonton. Rufy suka Tayo juga suka Pocoyo. Baiknya Rufy pilih mana?” Bu Guru berpikir. “Mungkin untuk ini, Rufy bisa melakukan undian,” saran guru. “Undian?” Rufy rasanya belum pernah mendengar kata itu.“Iya, begini.” Guru membuat dua sobekan kertas. Ia tulis kedua nama acara itu di kedua kertas yang berbeda. Guru lipat kedua kertas dan memasukan dalam saku lalu memutar tangannya dalam saku agar kedua kertas itu teracak. Setelah itu, dia kembalikan ke atas meja. “Pilih salah satu,” saran guru dengan begitu detailnya.Rufy pilih salah satu kertas dan membacanya. “Tayo! Jadi Rufy nonton Tayo minggu ini. Yeay! Makasih banyak Bu Guru,” ucap Rufy. Dia senang karena apa yang menjadi beban belakangan ini hilang.Hari Minggu pun tiba. Rufy bangun subuh untuk salat subuh. Dia kenakan pakaian koko dan berjamaah dengan kedua orang tuanya. Selesa

  • Ayah Mana?   115. Galau

    Mr. Hang menahan tawa. “Maaf, Pak. Yang keren itu kalau banyak follower, bukan following.”“Iya, kah? Kalau gitu aku berhenti follow saja,” keluh David. “Pasti banyak yang follow anda, Pak. Apalagi anda seorang Chairman perusahaan besar. Anda tinggal umumkan saja pada media,” jelas Mr. Hang. “Benarkah?”“Iya. Apalagi kalau nama akunnya sudah centang biru. Pasti semakin banyak yang follow.”David menganggukan kepala. Ia lekas kembali memeriksa ponselnya. Tak lama dia berpikir. Jadi nama yang centang biru itu populer. Ia intip profil milik Biru Bamantara yang bercentang Biru. Di sana timbul rasa iri di hati David. “Dia pikir aku enggak bisa kayak dia apa!” Sore itu David pulang ke rumah. Dia sudah disambut pelayan dan istrinya di depan pintu. “Gimana kerjaan hari ini? Kamu sibuk terus main Instragram,” omel Vinza. “Maklum, soalnya akun aku ‘kan centang biru,” jawab David. Vinza menaikan alis. “Follower kamu baru empat biji, gimana bisa centang biru?” tanya Vinza bingung. Saking pen

  • Ayah Mana?   114. postingan

    “Aplod ini, ah!” seru Rufy saat dirinya selesai membuat vlog pribadi saat sedang mengerjakan PR. Dia punya akun instagram sendiri yang terhubung dengan akun Vinza. Jadi, Vinza bisa mengawasi penggunaan media sosial putranya. Zaman semakin maju, bukan artinya anak tak boleh memakai gadget bukan juga boleh memakai gadget. Untuk anak seusia Rufy yang baru menginjak kelas TK, penggunaan gadget hanya boleh selama lima belas menit sehari. Namun perlu diingat, orang tua harus lebih pintar dalam menggunakan teknologi dari pada putranya. Jangan seperti Koko Dapit. “Upload apa?” David mengintip ke layar ponsel Rufy. “Tadi Upi bikin vlog buat PR sendiri. Followers Rufy sudah banyak, Yah,” jawab Rufy. “Ouh. Vlog itu apa?” tanya David. David bukannya gaptek. Dia bisa melakukan peretasan, menggunakan tagar sebagai media komunikasi, bahkan merancang aplikasi. Hanya saja dia tak tahu bahasa media sosial kekinian karena dia hanya punya twitter. Itu pun tidak pernah membuat cuitan. Apalagi instagr

  • Ayah Mana?   113. ageisme

    “Penting bagi kita menambah wawasan dalam berbagai bidang. Ini membantu mencari peluang bisnis baru apalabila bisnis lama terpuruk. Jangan sampai kita main dalam kubangan sampai kita tak sadar seluruh tubuh kita kotor dan kemungkinan badan kita sakit,” jelas David saat ditanya tentang sektor baru yang kini tengah ditekuni Heaven Grouph saat jam rehat seminar. Pengisi seminar itu adalah salah satu pengusaha sukses Indonesia yang perusahaannya sudah menjadi perusahaan kelas dunia di Amerika. Karena itu David sangat bersemangat untuk datang. “Pasti wawasanmu luas sekali ya dengan usia segitu? Sepertinya Papamu sering ajak kamu jalan-jalan ke luar negeri,” ucap salah satu tamu undangan yang juga pengusaha. David melirik sumber suara. “Maaf?” tanya David bingung. “Iya, kadang bicara perubahan memang mudah. Apalagi bagi anak muda yang jiwanya masih menggebu. Hanya saja strategi kalau sedang tak untung ya pasti rugi besar. Banyak yang ingin mencoba sektor baru, justru malah bangkrut. Leb

  • Ayah Mana?   112. Berkembang

    “Bu,” panggil Cyan. “Apa?” tanya Vinza. Cyan menunjuk ke pintu. David sudah berdiri di depan pintu cattery. Kandang kucing Vinza ada di rumah keluarga Lau dan memiliki arena main sendiri. Ruangannya full AC dan ada keeper yang merawat setiap hari. “Assalamu’alaikum,” salam David. “Wa’alaikusalam, Yah,” jawab Rufy dan Vinza. Cyan berdiri lalu berlari mengulurkan tangan minta Ayahnya gendong. David lekas menggendong Cyan dan menciumnya. Lalu menghampiri Rufy pun mencium kening putranya. “Kakak gimana kabarnya?” tanya David. “Baik, Yah. Tadi Upi di sekolah dapat piala. Semua dapat piala, sih. Yang mau bikin origami dikasih piala,” cerita Rufy. “Alhamdulillah. Kakak senang dong di sekolah? Hebat anak Ayah mau belajar bikin origami,” puji Ayahnya. Rufy berjalan ke belakang David dan memeluk Ayahnya dari belakang. “Ayah baru pulang kerja?” tanya Rufy. “Sudah dari tadi. Ke rumah dulu, mandi, ganti baju baru ke sini. Kalau habis dari luar kan kita harus mandi dulu dan ganti baju.”“Iy

  • Ayah Mana?   111. kucing

    “Kucing yang ini sudah dibawa untuk diperiksa belum?” tanya Vinza memastikan kucing peliharaannya. Dia punya rumah kucing sendiri, di mana dia bisa memelihara dan breeding aneka kucing ras. Kucing yang ia pelihara awalnya hanya lima ekor dengan usia satu tahun. Vinza punya dua pasang kucing persia dan tiga ekor Scottish fold berbulu pendek. Kucing-kucing mahal itu David belikan karena tahu istrinya suka memelihara hewan. Benar saja, saat kucing Vinza berusia lebih dari setahun, mereka langsung berkembang biak dan memiliki masing-masing dua anak. Hanya ada satu kucing masih jomlo hingga Vinza jodohkan dengan kucing milik kenalan David. “Cyan, liat Unyil guling-guling,” seru Rufy menunjuk kucing scottish warna abu-abu yang masih berusia tiga bulan. Cyan mencoba berdiri meraih kucing itu, tetapi kucing berlari. Dengan langkah yang masih belum tegar, Cyan masih berusaha menangkap kucing. Akhirnya dia dapat kucing persia jingga. Dipeluk kucing itu, sayang karena salah peluk, kucingnya me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status