Share

Ayah Mana?
Ayah Mana?
Author: Elara murako

1. ayah gak pernah nelpon

“Rufy?” Akhirnya apa yang ditunggu Vinza sedari tadi terwujud juga.

“Bunda! Upi angen banget!” jawab Rufy dengan nada penuh rindu.

Suara putranya begitu terdengar lucu dan menggemaskan. Tak terasa sudah sekian lama dia sendirian berjuang di Taiwan demi mencukupi kebutuhan hidup mereka. Walau, ia tak bisa bertemu putranya setiap hari. Meski dalam hati ingin mencubit gemas pipi Rufy yang tembem, mendengar celoteh gemasnya pun melihat dia tumbuh semakin mandiri.

“Bunda juga kangen sama Rufy. Rufy sudah makan?” Vinza menahan air mata seperti dia menahan rasanya sebagai ibu yang ingin mengasuh dan mengurus anaknya setiap hari.

“Udah. Api lom maen,” jawab anak itu sambil mengusap perutnya yang mungil.

“Kenapa? Habis telpon Bunda, Rufy main, ya?”

Rufy menggeleng. Anak itu memegang pipi dengan kedua tangannya. “Dak da mo main Upi. Emen dak suka Upi.” Suara anak itu berubah sedih.

“Enggak suka karena apa?” Vinza kembali bertanya.

“Upi anak halam,” jawab anak itu membuat Vinza tersentak. Perih batinnya. Usia Rufy bahkan belum genap tiga tahun, tapi ia sudah harus mendengar hal memilukan seperti itu. Hati Vinza tersayat. Luka yang sudah lama ia coba lupakan, kembali muncul ke permukaan.

“Upi anak Bunda. Anak baik dan soleh. Upi ciptaan Allah, ya?”

“Kan Upi dak ada ayah. Kata emen, dak ada ayah tuh anak halam.”

Vinza meneguk ludah. Tangannya gemetar. “Ayah Rufy lagi kerja. Nanti kalo kerjaan Ayah selesai, ayah pasti pulang.”

Rufy merengut. “Kapan? Dak selece! Lama!” tegas Rufy sambil sedikit berteriak.

Bibir Vinza gemetar. Bagaimana caranya ia menjelaskan pada anak itu kalau Rufy lahir dari kesalahannya? Kesalahan yang mungkin tak pantas untuk dimaafkan. “Rufy sabar, dong. Bunda juga sama lagi kerja, ‘kan?

“Api Bunda tepon Upi, ayah gak? Napa gak tepon?”

Benar, Vinza tak bisa menutupi terus dengan kebohongan. Hanya Rufy masih terlalu kecil untuk memahami jika dia dan lelaki itu sudah lama putus hubungan. “Nanti Bunda suruh ayah telpon,” jawab Vinza. Suaranya gemetar saat mengatakan itu.

Vinza tak punya pilihan. Jika tak dituruti, Rufy akan rewel. Ibunya sudah sepuh, sudah tak kuat untuk menghadapi Rufy jika mengamuk.

“Janji?”

“Iya, janji.” Tak tahu bagaimana janji itu akan ia tepati. Jika pun ia temukan seorang pria nanti, Rufy pasti sadar jika itu bukan ayah kandungnya.

“Bunda puang bawa ayah?”

“Iya. Doain saja, ya? Bunda cepat pulang dan bawa ayah. Nanti Ayahnya Bunda paketin ke sana, ya?”

“Lama, dak?”

“Gimana kurirnya.”

“Yeay! Upi mo paketin Ayah. Makacih, Bunda.”

Senang mendengar seruan Rufy, di satu sisi Vinza bingung. Ayah mana yang akan ia tunjukan pada putranya? “Maafin Bunda, ya? Bunda kerja jauh. Rufy enggak Bunda asuh.”

“Iya. Bunda makana puang, ya? Rufy angen sama Bunda, sama ayah uga, ya?” Rufy melihat ke rumah sebelah. Ada seorang anak tengah disuapi ibunya. “Upi mo suapin Bunda. Makan sayur, ya? Ada yayamnya.”

“Mau makan sayur sama ayam? Nanti buatin Emak, ya?”

“Anti ja, Bunda puang. Kan mo suapin Bunda ma gedong Ayah.”

Kedua kalinya Vinza merasa tertusuk. Apa yang diucapkan Rufy gambaran sebuah keluarga yang sempurna. Keluarga yang mungkin seumur hidup tidak akan Vinza dapatkan. Hidupnya sudah hancur sejak tiga tahun lalu ketika ia tahu dalam perutnya ada janin sedang tumbuh. Janin yang tak ia inginkan, tetapi sekarang menjadi anak yang ia sayangi.

“Iya, Bunda akan cepet pulang buat Rufy. Bunda sayang sama Rufy. Bunda kangen. Rufy di sana jadi anak baik, ya? Jaga Emak sama Abah. Bunda telpon lagi minggu depan. Bunda kerja dulu.”

“Iya, Bunda. Upi ayang Bunda.”

“Bunda juga sayang banget sama Rufy.”

“Angan upa ma Ayah, ya?”

“Iya.” Vinza tak mampu untuk berkata-kata lagi. Ia tutup telponnya dan langsung terisak di sana. Ia duduk di lantai memeluk lutut. “Mau sampai kapan aku bohongi anakku? Mau sampai kapan?” batin Vinza.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Devi Pramita
kasian upi
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status