Vinza menyapu rumah tempat nenek yang ia jaga. Sudah dua tahun lebih dia tinggal di negara ini. Tugasnya mengurus seorang nenek yang sudah tua dan tak bisa lagi berjalan hingga duduk di kursi roda. Vinza bantu memandikan, menyuapi dan memberi obat yang sudah dokter resepkan. Jika malam sebelum nenek tidur, Vinza akan memijiti kakinya.Musim panas di Taiwan sangat terasa hingga tulang. Keringat bercucuran. Kadang suhunya bisa mencapai empat puluh derajat celcius hingga kipas angin seakan tak berfungsi. Padahal di rumah ini tidak ada AC. Kadang kalau malam, Vinza nekat tidur di lantai agar tak merasa gerah. Sudah bersih lantai rumah yang berbentuk ruko itu. Vinza mengusap keringat yang jatuh ke pipi hingga menuju leher. Di atas sana, matahari begitu terik. "Lelah banget, Ya Allah." Punggung terasa seperti patah. Kerongkongan kering. Apalagi saat melihat semangka berbaris di toko yang tak jauh dari rumah.Tuk! Sapu di tangan Vinza jatuh begitu saja ke lantai. Wanita itu tertegun. Ia u
Malam itu Vinza tak bisa tidur. Ia masih terus memutar otak bagaimana caranya meminjam seorang pria untuk pura-pura menjadi ayahnya Rufy. Anaknya sangat cerdas, ia bukan anak yang cepat lupa. Vinza jadi mengenang saat dia janji mengirimkan mainan mobil tahun lalu. Karena tergesa-gesa, Vinza lupa membeli mainan itu. Ia pikir minggu depan saat menelpon, Rufy pasti lupa. Tidak, anak itu masih ingat dan menagihnya. Kini tubuh Vinza merebah. Ia tatap langit-langit kamar. Beberapa kali mencoba memejamkan mata, tetap tak bisa. Andai saja dia tak membuat kesalahan, mungkin tak akan ada di posisi ini. Kesalahan terbesar yang membuat masa remajanya runtuh. FLASHBACK“Pulang bareng, Vin?” tawar David, teman satu sekolahnya saat SMA dulu. David seorang yatim piatu dan tinggal di panti asuhan, tak jauh dari rumah tempat Vinza tinggal. “Tumben! Bisanya juga bareng temen kamu.” Vinza melirik ke belakang. Teman David sedang jongkok di gerbang untuk menggoda setiap anak perempuan yang lewat. David
Malam itu diantar Rohanda, Vinza datang ke panti untuk bertemu David. Melihat Vinza di halaman panti, David lekas berlari dan memeluk gadis itu. “Kamu ke mana? Kenapa enggak ke sekolah? Bapak kamu enggak nyakitin kamu, kan?” tanya David. Vinza menggeleng. David memeluknya, tetapi langsung Vinza dorong. “Kita putus saja, Vid,” ungkap Vinza. David diam. Ia kaget. “Kenapa? Aku sayang kamu, Vin. Aku akan ngomong sama Bapak kamu. Aku bakalan kasih dia uang banyak asal kita bisa sama-sama lagi. Aku enggak mau kehilangan kamu,” tegas David. “Sebanyak apa? Apa bisa lebih banyak dari uang Pak Dedih, juragan kambing? Kalau enggak sebanyak itu, mending kamu mundur. Biar aku nikah sama anak Pak Dedih. Masa depan aku lebih kejamin, Vid.”“Apa?” David kaget mendengarnya. “Vin, yang bener! Kamu masih sekolah. Gimana caranya mau nikah. Enggak! Kalau pun kamu mau nikah, aku yang akan nikahin kamu!”Vinza tetap menggeleng. “Aku sadar. Kalau kamu itu anak enggak jelas. Mungkin sudah nikah, aku bakala
Saat itu Vinza merasa hidupnya semakin hancur. Mencoba mengugurkan pun, ia selalu gagal. Akhirnya terpaksa Vinza meneruskan kehamilan. “Nanti kalau lahir, biar Bibi yang rawat dia,” pinta saudara jauh Vinza yang sudah lama tak punya anak. Dibandingkan diasuh ibu muda yang belum punya pengalaman, bibinya berpikir lebih baik dia yang mengasuh dan didik dengan baik agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan orang tua kelak.Awalnya Vinza mengiyakan. Namun, begitu bayinya lahir. Vinza menolak. Ia ingin membesarkan anaknya sendirian. Apalagi ketika bayi mungil itu memegang pipinya dengan lembut. Terlihat lucu hingga tersentuh sisi keibuan Vinza dengan sendirinya. Walau tak lama setelah itu kemalangan kembali bertambah.“Bapakmu sakit, Vin. Ibumu juga sudah terlalu tua untuk meladang. Kamu mau kasih makan anak itu dari mana?” tanya Wati, bibinya. Wanita itu seperti sengaja mengompori Vinza.Udin, paman Vinza menawarkan agar keponakannya itu menjadi TKW di Taiwan melalui temannya yang
“Dia jadi pergi?” “Iyalah, lumayan duitnya puluhan juta. Gaji pabrik saja enggak segitu.” “Lebih gede dari gaji PNS!” “Sayang harus jual aqidah! Di sana pasti makan babi!” “Lha, pakek mikirin aqidah. Keperawanan saja dia kasih gratis. Anaknya saja haram.” Begitulah ucapan tetangga saat Vinza berangkat ke Taiwan. Dia menjadi bahan cemoohan, bahkan sempat diusir karena dianggap membawa petaka di kampung. Vinza tak mau menyalahkan sikap mereka, dia tahu diri. Di sini dia yang salah dan mungkin apa yang ia lakukan dulu akan dicontoh anak lainnya di kampung itu. Biarlah, jadi pembelajaran ke depannya untuk Vinza agar berhati-hati memilih pasangan. Pasangan? Yang seperti apa? Apa bisa orang itu menerima dirinya dan Rufy? “Vin, kamu mau sayur ini?” tawar tetangga. Selama dua tahun tinggal di sini, Vinza mungkin sudah lama lupa rasanya makan daging. Selain takut tanpa sengaja memakan daging babi, ia bersyukur Nenek seorang vegetarian. “Terima kasih, Bu.” Vinza menerima sayuran itu. Ia
“Kok enggak nyambung, sih?” pikir Vinza. Ia sudah coba menelpon pamannya. Namun, tak juga tersambung. Ia mencoba berpikir apa penyebab yang pas kenapa Udin sulit dihubungi. “Mungkin lagi ke sawah Mang Udinnya.”Vinza menyimpan ponsel di atas nakas dan kembali memasak untuk makanan Nenek sore itu. Sedang di Indonesia, Udin bingung sendiri. Jika ia biarkan Rufy bicara dengan ibunya, Vinza akan tahu soal Romlah dan pulang ke sini. Artinya wanita itu akan tahu gajinya selama ini dilipat oleh Udin untuk biaya hidup keluarganya. “Terus mau gimana? Mana si Upi dari tadi nangis terus. Aku pusing, Kang!” omel Sulastri, istri Udin. “Bawa jajan dulu kenapa? Inget, kita butuh duit ibunya!” “Mau sampai kapan? Nanti kalau sampai si Vinza ngehubungin lewat orang lain gimana? Dia pasti nuntut kita, Kang!” Sulastri sudah ketakutan sendiri. Apalagi bukan sedikit uang yang mereka ambil setiap bulannya. Dari dua belas juta uang Vinza hanya dua juta yang diberikan. Itupun kadang dipotong dengan alasan
Tak ada yang curiga Rufy dibuang di sana. Anak itu malah terpaku akan banyaknya hal yang ia lihat. Ada tukang ayam, ia ikuti. Tak lama ia diam di lapak ikan. “Ouh, auk (lauk=ikan) item!” seru Rufy menunjuk ikan mas. Rufy yang tadinya ditinggal di sisi sepi pasar itu, kini berpetualang ke keramaian pasar. Klotek ... klotek ... Sebuah suara memancing rasa penasaran. Anak itu berbalik dan melihat ada helikopter dari dus dan kayu. Benda itu kalau digesekan ke tanah berbunyik klotek-klotek dan baling-balingnya berputar. “Heli!” seru Rufy menghampiri penjual itu. “Pak, mo eli!” pinta Rufy. “Ibunya mana?” tanya Bapak itu. Rufy mengusap kepala. “Bunda Insa? Dak ada. Tugu sana!” tunjuk Rufy ke kejauhan. Penjual itu melihat ke arah yang Rufy tunjuk. Ada seorang ibu tengah duduk di sisi lapak sayur sambil meminum es kelapa. “Minta uang dulu. Baru nanti dikasih,” jelas penjual heli. “Uang, ya?” pikir Rufy. Ia menggaruk kepala. “Emak dak ada uang.”“Kalo gitu enggak boleh.” Penjual Heli itu
Vinza mencoba menelpon untuk kesekian kali dan tak juga diangkat. Di sana perasaan dia semakin aneh. Vinza lekas menghubungi agennya. “Iya, Mang Udin enggak bisa dihubungi. Tolong, Mbak. Cek kondisi keluargaku di sana. Ini sudah minggu kedua. Aku kerja pun enggak tenang.”Menunggu beberapa hari, Vinza hanya mendapat kabar jika agen sendiri tak menemukan siapa-siapa di rumahnya. Mereka berjanji akan kembali dan menanyakan pada tetangga. “Enggak. Aku gak bisa nunggu. Tolong bantu aku pulang. Kontrakku tahun ini sudah selesai, ‘kan? Bisakah dipercepat? Perasaanku enggak enak, Mbak,” tegas Vinza. “Batalin kontrak itu susah, Vin,” jawab humas agen yang mengirim Vinza ke sana. “Gimana pun caranya. Aku mau pulang. Ada yang enggak beres.”Benar saja, keesokan harinya Vinza dapat kabar jika ibunya meninggal. Di sana Vinza merasa dunianya kembali runtuh. “Ibu! Ya Allah, Ibu! Kenapa enggak ada yang kasih tahu aku? Kenapa?” tanya Vinza. Ia duduk memeluk lutut di sudut ruangan sambil memegang t