Share

2. Perjuangan ibu tunggal

Vinza menyapu rumah tempat nenek yang ia jaga. Sudah dua tahun lebih dia tinggal di negara ini. Tugasnya mengurus seorang nenek yang sudah tua dan tak bisa lagi berjalan hingga duduk di kursi roda. Vinza bantu memandikan, menyuapi dan memberi obat yang sudah dokter resepkan. Jika malam sebelum nenek tidur, Vinza akan memijiti kakinya.

Musim panas di Taiwan sangat terasa hingga tulang. Keringat bercucuran. Kadang suhunya bisa mencapai empat puluh derajat celcius hingga kipas angin seakan tak berfungsi. Padahal di rumah ini tidak ada AC. Kadang kalau malam, Vinza nekat tidur di lantai agar tak merasa gerah.

Sudah bersih lantai rumah yang berbentuk ruko itu. Vinza mengusap keringat yang jatuh ke pipi hingga menuju leher. Di atas sana, matahari begitu terik.

"Lelah banget, Ya Allah." Punggung terasa seperti patah. Kerongkongan kering. Apalagi saat melihat semangka berbaris di toko yang tak jauh dari rumah.

Tuk! Sapu di tangan Vinza jatuh begitu saja ke lantai. Wanita itu tertegun. Ia usap kening yang basah lagi. Dalam pikirannya masih terekam ucapan Rufy. “Kasian anakku. Dia pasti ingin kayak anak lain.” Bahkan di saat tubuh terasa tak nyaman, pikiran tetap tertuju pada ucapan anaknya.

“Vin!” panggil Nenek dari dalam kamar. Vinza lekas mengambil sapu dan menyimpannya di sisi dinding. Ia berlari ke kamar Nenek.

“Ada apa?” tanya Vinza dalam bahasa Taiwan.

“Punggungku sakit,” adu Nenek. Ia berusaha bangkit dari posisi merebah. Vinza lekas mendekat dan membantu Nenek bangun. Tubuh wanita tua itu gemetaran. “Sakit,” keluhnya lagi sambil memegang punggung.

Vinza bantu mengambil plester panas dan menempelkannya di sana. Plester ini tak terlalu panas sehingga tak sampai membuat efek samping di kulit Nenek yang sudah keriput.

“Siapa yang telpon tadi?” tanya Nenek. Dia sangat ramah pada Vinza dan itu membuat Vinza nyaman kerja di sini.

“Anakku. Dia ingin aku segera pulang. Mungkin karena rindu,” jelas Vinza.

“Bayi itu? Rasanya baru kemarin.” Nenek terkekeh.

“Iya, dia sekarang sudah besar. Sudah bisa telpon dan bicara. Mainnya juga sudah mulai ke luar rumah,” jawab Vinza.

Setelah Nenek merasa nyaman, ia kembali tertidur. Waktunya Vinza membawa cucian ke laundry. Ia tak lupa menitipkan Nenek sebentar ke tetangga. Rumah itu berbentuk ruko, sehingga saling berdekatan dan tak punya teras. Begitu keluar rumah langsung ke trotoar.

Keranjang cucian cukup berat. Alhasil, dia harus berhenti beberapa saat untuk meregangkan otot tangan yang pegal. Vinza bertemu pemilik toko di seberang rumah yang tengah menuntun anaknya pulang sekolah.

“Aku juga mau ketemu Rufy,” pikirnya. Ia ambil ponsel dan melihat wajah putranya yang lucu.

Rufy punya mata yang cokelat. Rambutnya lurus dan hitam. Pipinya tembem dan bibirnya merah muda. Jika tersenyum, matanya melengkung seperti bulan sabit. Vinza usap foto itu.

“Harusnya aku selalu ada sama dia. Harusnya dia ada yang bela kalau dijahati temannya.”

Lagi, Vinza teringat kata ayah yang dilontarkan mulut Upi untuk pertama kali. Ia tepuk dada. “Kamu ke mana? Anak kamu nanyain kamu! Kenapa kamu enggak nyoba kembali dan ketemu dia? Aku bisa kasih makan dia kalau kamu enggak sanggup. Anakku cuman butuh ayah yang bisa dia panggil dan gendong. Kenapa susah?” batin Vinza.

Ia remas tangannya. Kenapa bisa ia begitu lemah hingga jatuh dalam rayuan gombal yang dulu ia percaya disebut cinta? Cuih! Cinta yang sekarang tidak hanya membuat Vinza menderita, tapi juga anak kecil yang tak tahu apa-apa.

Sedang lelaki itu, di sana mungkin dia sudah menemukan wanita baru yang ia goda untuk memuaskan nafsu. “Kenapa anakku harus punya ayah kayak dia?”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Devi Pramita
kayak apa ya ayah nya upi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status