Share

7. Upi hilang

“Kok enggak nyambung, sih?” pikir Vinza. Ia sudah coba menelpon pamannya. Namun, tak juga tersambung. Ia mencoba berpikir apa penyebab yang pas kenapa Udin sulit dihubungi. “Mungkin lagi ke sawah Mang Udinnya.”

Vinza menyimpan ponsel di atas nakas dan kembali memasak untuk makanan Nenek sore itu. Sedang di Indonesia, Udin bingung sendiri. Jika ia biarkan Rufy bicara dengan ibunya, Vinza akan tahu soal Romlah dan pulang ke sini. Artinya wanita itu akan tahu gajinya selama ini dilipat oleh Udin untuk biaya hidup keluarganya.

“Terus mau gimana? Mana si Upi dari tadi nangis terus. Aku pusing, Kang!” omel Sulastri, istri Udin.

“Bawa jajan dulu kenapa? Inget, kita butuh duit ibunya!”

“Mau sampai kapan? Nanti kalau sampai si Vinza ngehubungin lewat orang lain gimana? Dia pasti nuntut kita, Kang!” Sulastri sudah ketakutan sendiri. Apalagi bukan sedikit uang yang mereka ambil setiap bulannya.

Dari dua belas juta uang Vinza hanya dua juta yang diberikan. Itupun kadang dipotong dengan alasan uang pulsa. Saat Romlah dan Rufy hidup kekurangan, Udin malah sering berfoya-foya dengan keluarganya.

Setelah lama berpikir panjang, Udin memutuskan untuk melakukan sesuatu paling kejam. Ia jual rumah dan ladang pada Pak Dedih lalu pergi membawa mobil cicilan yang selama ini dibayar dengan gaji Vinza.

“Mau ke mana?” tanya Rufy bingung. Seminggu setelah kepergian Romlah, Rufy sudah mulai tenang. Itu pun dengan diiming-imingi akan bertemu dengan ibunya.

“Bunda kamu sudah nungguin di Bandung. Nanti kami antar ke sana. Emak sudah meninggal, enggak pulang lagi. Jadi sekarang Rufy tinggal sama Bunda,” jelas Sulastri.

“Pokoknya kamu jangan rewel! Kalau enggak, dibuang ke sungai!” omel Riska, anak Udin dan Sulastri.

Menempuh perjalanan dari Cibeber ke Bandung, akhirnya mereka tiba di sebuah terminal. Di sana ada satu sisi yang agak sepi. Dulu Udin sering berjualan di sana, jadi dia tahu seluk beluk terminal itu. Mobil menepi di sisi jalan. Mereka turunkan Rufy di sana.

“Ini pegang mobilnya. Nanti Bunda datang jemput kamu di sini. Jangan ke mana-mana. Nanti ilang kamu!” titah Udin.

Rufy percaya saja. Hanya ketika Udin hendak masuk ke mobil, ia merengek. “Upi dak mo sindili. Ungguin, Bah,” pinta Rufy.

“Duh, Abah sibuk. Di sini simpen mobil enggak boleh lama. Tunggu di sini!” tegas Udin sambil sedikit melotot agar Rufy mau menurut. Karena takut, Rufy lepaskan pegangannya ke kaki Udin.

Anak itu berdiri sambil berkali-kali berkedip melihat mobil Abahnya pergi. Kini Rufy menunggu Vinza di sana yang jelas tak akan datang. Ia tak tahu, hanya bisa berharap dan percaya jika apa yang dikatakan pria tadi benar.

Rufy simpan mainannya di tanah. Ia geser-geser mainan itu. “Bunda epet ateng. Bunda,” ucapnya.

Sesekali Rufy melihat ke seberang. Ada seorang anak kecil sedang dituntun wanita tua. “Emak Upi endak pulang agi, ya? Napa Emak pegi, sih? Upi akal, ya?” Anak itu terus berucap untuk mengusir rasa takutnya.

***

“Siang,” ucap Biru.

“Siang, Pak,” timpal David. Biru nyengir kuda. Ia tak sangka akting Damier bagus juga. Kini David sudah berpakaian rapi dengan jas hitam dan kemeja putih. Kacamata berangka bening dia kenakan. David menunduk menyambut kedatangan Biru.

“Kita mulai saja?” tanya Biru. David mengangguk. Ia pinta staf yang berjaga di luar untuk menutup pintu.

Biru duduk di kursi kebesarannya saling berhadapan dengan David. “Saya melihat ada lalulintas data yang tak lazim di area ini.” David menunjukan blue print dari akses komputer perusahaan.

“Artinya?”

“Seperti yang anda katakan. Ada yang membobol data secara halus. Tentu cara seperti ini terjadi bukan karena perbuatan hacker. Ini orang dalam yang tahu akses masuk ke komputer di zona ini.”

David dan Biru sudah sama-sama terjun di dunia IT sejak lama. Keduanya belajar dari internet, coba-coba hingga berhasil membobol data rahasia perusahaan. Tentu bisa, IQ keduanya berada di tingkat jenius.

Awal pertemuan mereka pun bisa dibilang tak sengaja. David yang saat itu masih SMP membobol komputer milik Biru. Di sana mereka saling serang secara virtual. Walau Biru menang, ia tetap kagum dengan kemampuan David. Karena Biru terhitung lebih tua.

Sejak itu mereka sering mengobrol secara virtual. Mereka berbagi tentang kehidupan mereka yang sulit. David yang tak punya orang tua dan Biru yang seperti tak punya orang tua.

Suatu hari, Biru menemukan sebuah artikel tentang putra pemilik Heaven Grouph yang hilang sejak bayi. Kebetulan tahun bayi hilang sama dengan tahun di mana David ditemukan. Rupanya Biru benar. Saat dilakukan tes DNA, David benar-benar Damier Lau, putra satu-satunya Ethan Lau yang hilang diculik pembantunya sendiri.

Malam itu David pulang dengan punggung yang terasa sakit. Ia duduk di kursi balkon menikmati pemandangan kota Bandung dari ketinggian. Biru memberikan sebuah apartemen di kawasan Dago untuk David tinggali.

Ponsel David berbunyi. Telpon dari Viane, tunangannya. “Ada apa?”

“Kamu di mana? Sekretaris kamu bilang, kamu sedang liburan. Kenapa gak bilang sama aku?” tanya Viane.

“Kamu siapa?” tanya David dengan dinginnya.

“Ingat, aku ini calon istri yang sudah Papa kamu pilihkan!” tegas Viane.

“Calon, belum jadi istri. Jadi jangan bertindak seolah kamu istriku!” timpal David dingin, lalu menutup telpon.

“Dasar wanita!” umpat David. Ia berdiri dan masuk ke dalam kamar. Setelah menutup pintu kaca, David duduk di sisi tempat tidur. Ia usap wajahnya.

“Kenapa wanita sangat suka sekali dengan uang? Cinta? Omong kosong!” ucap David.

Ia masih ingat apa yang Vinza katakan padanya tiga tahun lalu. “Emang uang kamu sebanyak Pak Dedih? Nikah sama kamu, hidupku akan melarat! Aku enggak mau!”

David tarik bantal dan ia lempar ke kaca jendela. “Sial!” pekik pria itu. Tangannya mengepal.

Hari di mana ia pergi dari kampung itu, David melihat saat Hadi, pria yang wajahnya sudah terlihat tua memasangkan cincin pertunangan di jari Vinza. Hatinya sakit. Padahal ia ingin membawa Vinza pergi bersamanya. Ia masih percaya Vinza masih mencintai.

Dengan mata basah, David berjalan tanpa membawa apa pun ke sisi jalan. Tak lama sebuah mobil menjemput. David di bawa dari Cianjur ke Bandung. Di sana ia melakukan tes DNA dan setelah hasilnya keluar, akhirnya ia bisa bertemu dengan pria yang bisa ia panggil Papa.

“Damier!” panggil Ethan melihat putra yang memang dari wajah saja sudah sangat mirip dengannya.

“Maaf, Papa sudah mencari kamu. Mamamu sakit-sakitan dan meninggal. Papa kira tak akan bertemu kamu lagi, putraku,” ucap Papanya. David memeluk pria itu dan menangis dalam pelukannya.

“Ke mana saja, Pa? Aku rindu,” ucap David berurai air mata. Setelah hari itu kehidupannya berubah seratus delapan puluh derajat. Ia kini menjadi pewaris perusahaan besar di Hongkong yang juga memiliki anak perusahaan di Indonesia.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status