Share

8. tertinggal di pasar

Tak ada yang curiga Rufy dibuang di sana. Anak itu malah terpaku akan banyaknya hal yang ia lihat. Ada tukang ayam, ia ikuti. Tak lama ia diam di lapak ikan. “Ouh, auk (lauk=ikan) item!” seru Rufy menunjuk ikan mas.

Rufy yang tadinya ditinggal di sisi sepi pasar itu, kini berpetualang ke keramaian pasar. Klotek ... klotek ... Sebuah suara memancing rasa penasaran. Anak itu berbalik dan melihat ada helikopter dari dus dan kayu. Benda itu kalau digesekan ke tanah berbunyik klotek-klotek dan baling-balingnya berputar.

“Heli!” seru Rufy menghampiri penjual itu. “Pak, mo eli!” pinta Rufy.

“Ibunya mana?” tanya Bapak itu.

Rufy mengusap kepala. “Bunda Insa? Dak ada. Tugu sana!” tunjuk Rufy ke kejauhan. Penjual itu melihat ke arah yang Rufy tunjuk. Ada seorang ibu tengah duduk di sisi lapak sayur sambil meminum es kelapa.

“Minta uang dulu. Baru nanti dikasih,” jelas penjual heli.

“Uang, ya?” pikir Rufy. Ia menggaruk kepala. “Emak dak ada uang.”

“Kalo gitu enggak boleh.” Penjual Heli itu lekas pergi. Rufy duduk di lantai pasar sambil menendang-nendang kaki. “Mau heli! Mau heli! Emak! Mana? Upi mo Heli!” rengek Rufy.

Namun, tak satu pun sadar anak itu hanya sendiri. Beberapa hanya melihat lalu pergi begitu saja. Sampai seorang ibu yang tengah berbelanja sayur menemukan kejanggalan. “Ibunya mana?” tanya ibu itu.

Rufy menggeleng. “Dak da. Uguin. Dak dateng ja!” Rufy usap air matanya.

“Kamu ke sini sama siapa?”

“Abah,” jawab Rufy. Pipinya kotor akibat noda jalanan menempel pada air mata.

“Abahnya ke mana?”

“Aik obin pegi. Upi cendili ja,” jawab Rufy.

“Ikut sama Ibu saja, ya? Kita cari ibunya sama-sama. Jangan di sini. Nanti ada orang jahat yang culik,” ajak ibu itu.

Rufy tahu apa itu penculik yang katanya jahat dan akan memisahkan Rufy dengan Emak. “Ini Upi culik dali Emak,” jawab Rufy tak nyambung dengan obrolan.

“Iya, makanya Rufy ikut sama Ibu. Takut culik.”

Ibu itu terus menuntun Rufy keluar pasar hingga naik angkot. Mereka tiba di sebuah rumah besar dan mewah. Itu bukan rumahnya. Perempuan paruh baya berdaster itu bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sana yang khusus menyediakan makanan untuk pelayan.

"Umahnya besal. Lumah Pak Aji gede lagi." Di kampung Upi tinggal ada rumah yang besar juga hanya saja tak sebesar ini. Anak itu sampai mendongak dan membuka lebar mata saking kagumnya.

“Rufy cuci kaki dulu, ya? Di rumah ini harus selalu bersih,” saran pembantu itu. Rufy menganggukan kepala. Ia ikut ke kamar mandi dan mencuci kaki.

Satu hal yang membuat Rufy tertahan di sana. Ia diberi roti dan selai cokelat yang dulu jika makan itu harus menunggu sampai ibunya mengirimkan uang.

“Jadi enggak jelas siapa orang tuanya?” tanya Erlan, dia suami pembantu yang menemukan Rufy tadi.

Mawar, nama ibu yang menolong Rufy itu mengangguk. “Dari ceritanya, kayaknya dia dibuang. Enggak tahu kenapa,” jelas Mawar.

“Kasihan,” ucap Erlan.

Pasangan itu tak punya anak. Bertahun-tahun menikah mereka hanya tinggal berdua di sini. Erlan dipekerjakan oleh Angga, ayah kandung Biru Bamantara. Dia diperbolehkan menetap untuk memberi makanan para pelayan. Sedang untuk pemilik rumah, ada koki khusus.

“Pak, kita angkat saja jadi anak bagaimana? Mungkin dia dititip Allah untuk kita, Pak.”

“Tetap saja, kita harus lapor polisi. Mungkin dia korban penculikan, tapi karena penculiknya panik lalu dibuang. Nanti malah kita yang kena masalah.”

“Tapi, Pak. Aku tanya-tanya dia dijalan. Katanya Emaknya sudah meninggal. Ibunya enggak jemput juga di tempat dia ditinggal. Kayaknya memang ini anak dibuang.”

Erlan pantas merasa ragu. Di zaman sekarang ini ada saja modus kejahatan. Takutnya ada orang yang menggunakan anak ini untuk mengambil barang-barang mahal atau mungkin memberikan tuduhan palsu agar diberikan imbalan tertentu.

"Ibu yakin? Soalnya Bapak masih enggak enak. Apalagi kalau sampai Tuan Besar keberatan. Lebih baik kita meminta izin beliau dulu, Bu." Erlan memberikan saran.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status