Tak ada yang curiga Rufy dibuang di sana. Anak itu malah terpaku akan banyaknya hal yang ia lihat. Ada tukang ayam, ia ikuti. Tak lama ia diam di lapak ikan. “Ouh, auk (lauk=ikan) item!” seru Rufy menunjuk ikan mas.
Rufy yang tadinya ditinggal di sisi sepi pasar itu, kini berpetualang ke keramaian pasar. Klotek ... klotek ... Sebuah suara memancing rasa penasaran. Anak itu berbalik dan melihat ada helikopter dari dus dan kayu. Benda itu kalau digesekan ke tanah berbunyik klotek-klotek dan baling-balingnya berputar.“Heli!” seru Rufy menghampiri penjual itu. “Pak, mo eli!” pinta Rufy.“Ibunya mana?” tanya Bapak itu.Rufy mengusap kepala. “Bunda Insa? Dak ada. Tugu sana!” tunjuk Rufy ke kejauhan. Penjual itu melihat ke arah yang Rufy tunjuk. Ada seorang ibu tengah duduk di sisi lapak sayur sambil meminum es kelapa.“Minta uang dulu. Baru nanti dikasih,” jelas penjual heli.“Uang, ya?” pikir Rufy. Ia menggaruk kepala. “Emak dak ada uang.”“Kalo gitu enggak boleh.” Penjual Heli itu lekas pergi. Rufy duduk di lantai pasar sambil menendang-nendang kaki. “Mau heli! Mau heli! Emak! Mana? Upi mo Heli!” rengek Rufy.Namun, tak satu pun sadar anak itu hanya sendiri. Beberapa hanya melihat lalu pergi begitu saja. Sampai seorang ibu yang tengah berbelanja sayur menemukan kejanggalan. “Ibunya mana?” tanya ibu itu.Rufy menggeleng. “Dak da. Uguin. Dak dateng ja!” Rufy usap air matanya.“Kamu ke sini sama siapa?”“Abah,” jawab Rufy. Pipinya kotor akibat noda jalanan menempel pada air mata.“Abahnya ke mana?”“Aik obin pegi. Upi cendili ja,” jawab Rufy.“Ikut sama Ibu saja, ya? Kita cari ibunya sama-sama. Jangan di sini. Nanti ada orang jahat yang culik,” ajak ibu itu.Rufy tahu apa itu penculik yang katanya jahat dan akan memisahkan Rufy dengan Emak. “Ini Upi culik dali Emak,” jawab Rufy tak nyambung dengan obrolan.“Iya, makanya Rufy ikut sama Ibu. Takut culik.”Ibu itu terus menuntun Rufy keluar pasar hingga naik angkot. Mereka tiba di sebuah rumah besar dan mewah. Itu bukan rumahnya. Perempuan paruh baya berdaster itu bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sana yang khusus menyediakan makanan untuk pelayan."Umahnya besal. Lumah Pak Aji gede lagi." Di kampung Upi tinggal ada rumah yang besar juga hanya saja tak sebesar ini. Anak itu sampai mendongak dan membuka lebar mata saking kagumnya.“Rufy cuci kaki dulu, ya? Di rumah ini harus selalu bersih,” saran pembantu itu. Rufy menganggukan kepala. Ia ikut ke kamar mandi dan mencuci kaki.Satu hal yang membuat Rufy tertahan di sana. Ia diberi roti dan selai cokelat yang dulu jika makan itu harus menunggu sampai ibunya mengirimkan uang.“Jadi enggak jelas siapa orang tuanya?” tanya Erlan, dia suami pembantu yang menemukan Rufy tadi.Mawar, nama ibu yang menolong Rufy itu mengangguk. “Dari ceritanya, kayaknya dia dibuang. Enggak tahu kenapa,” jelas Mawar.“Kasihan,” ucap Erlan.Pasangan itu tak punya anak. Bertahun-tahun menikah mereka hanya tinggal berdua di sini. Erlan dipekerjakan oleh Angga, ayah kandung Biru Bamantara. Dia diperbolehkan menetap untuk memberi makanan para pelayan. Sedang untuk pemilik rumah, ada koki khusus.“Pak, kita angkat saja jadi anak bagaimana? Mungkin dia dititip Allah untuk kita, Pak.”“Tetap saja, kita harus lapor polisi. Mungkin dia korban penculikan, tapi karena penculiknya panik lalu dibuang. Nanti malah kita yang kena masalah.”“Tapi, Pak. Aku tanya-tanya dia dijalan. Katanya Emaknya sudah meninggal. Ibunya enggak jemput juga di tempat dia ditinggal. Kayaknya memang ini anak dibuang.”Erlan pantas merasa ragu. Di zaman sekarang ini ada saja modus kejahatan. Takutnya ada orang yang menggunakan anak ini untuk mengambil barang-barang mahal atau mungkin memberikan tuduhan palsu agar diberikan imbalan tertentu."Ibu yakin? Soalnya Bapak masih enggak enak. Apalagi kalau sampai Tuan Besar keberatan. Lebih baik kita meminta izin beliau dulu, Bu." Erlan memberikan saran.Vinza mencoba menelpon untuk kesekian kali dan tak juga diangkat. Di sana perasaan dia semakin aneh. Vinza lekas menghubungi agennya. “Iya, Mang Udin enggak bisa dihubungi. Tolong, Mbak. Cek kondisi keluargaku di sana. Ini sudah minggu kedua. Aku kerja pun enggak tenang.”Menunggu beberapa hari, Vinza hanya mendapat kabar jika agen sendiri tak menemukan siapa-siapa di rumahnya. Mereka berjanji akan kembali dan menanyakan pada tetangga. “Enggak. Aku gak bisa nunggu. Tolong bantu aku pulang. Kontrakku tahun ini sudah selesai, ‘kan? Bisakah dipercepat? Perasaanku enggak enak, Mbak,” tegas Vinza. “Batalin kontrak itu susah, Vin,” jawab humas agen yang mengirim Vinza ke sana. “Gimana pun caranya. Aku mau pulang. Ada yang enggak beres.”Benar saja, keesokan harinya Vinza dapat kabar jika ibunya meninggal. Di sana Vinza merasa dunianya kembali runtuh. “Ibu! Ya Allah, Ibu! Kenapa enggak ada yang kasih tahu aku? Kenapa?” tanya Vinza. Ia duduk memeluk lutut di sudut ruangan sambil memegang t
“Jadi selama ini Si Udin itu nipu? Astaghfirullah, tega sekali dia. Kok bisa kamu enggak nanyain berapa uang yang ibu kamu terima?” tanya Pak Hamid syok. “Aku pikir Mang Udin enggak gitu. Habis Ibu enggak ngomong apa-apa. Ternyata dia cuman enggak mau bebanin aku. Kasian Ibu. Rufy juga gimana?” Vinza berderai air mata. Ia tepuk-tepuk dadanya. “Kita lapor polisi. Mana kejadiannya sudah lama. Si Udin bilangnya mau diantar ke kamu. Katanya kamu pulang dari Taiwan lanjut kerja di Bandung. Makanya mau bawa Rufy ke sana,” jelas Pak Hamid. Vinza membuat laporan ke polsek setempat. Ia pun bingung hendak mencari Rufy ke mana. Polisi sendiri masih mencoba menyelidiki kasusnya. Selain sudah sangat lama pun tak banyak saksi saat kejadian. Vinza duduk di makam ibunya. “Bu, Rufy belum juga ketemu. Aku takut, Bu. Takut kalau anakku jatuh ke orang yang salah. Gimana kalau dia disakiti?” tangan Vinza mengusap nisan ibunya. Air mata berderai. Hasil kerjanya selama dua tahu lebih lenyap tak bersisa
Mobil itu menepi di sebuah desa. Selama tiga tahun ia pergi, kampung itu tak banyak berubah. Jalanannya masih bebatuan dan rimbun pepohonan tinggi di mana warga mengaitkan kehidupan, ada pohon jati, kemiri, petai, jengkol hingga melinjo. Mengenakan hoodie, ia berjalan menyusuri jalan kampung. Beberapa anak-anak kagum melihat betapa mengkilat mobil yang ia parkir di sana. Hitam dan bersih pun bodynya besar juga garang. Beberapa ada yang berubah. Kandang kambing yang biasa digunakan siswa-siswa SMP dekat kampung itu untuk buang air kini tak ada. Sawah berganti menjadi rumah dan lahan cabe rawit. Kini ia berhenti di depan sebuah rumah yang sudah reot. Kacanya pecah dan halaman terlihat kotor penuh debu dan daun berserakan. “Mereka pindah?” pikir David. Ia berbalik. Kembali David berjalan ke rumah besar tak jauh dari sana. Ada rumah gedung berlantai dua dengan cat jingga. Ada seorang perempuan tengah mengandung. Ia menyapu halaman dengan sapu lidi. “Ini rumah Pak Dedih?” tanya David.
“Assalamu’alaikum, Bu Ifa?” tanya Vinza. “Neng, David ke sini tadi. Dia nitipin surat ke satpam. Tapi Ibu enggak sempat ketemu. Tapi dari surat yang dia tinggalin katanya mungkin nanti ada orangnya datang ke sini kasih sumbangan. Ibu nanti akan titip pesan ke mereka, ya?” ungkap Bu Ifa. “Iya, Bu. Makasih. Sekalian ngomong sama Si Berengsek itu kalau anaknya ilang!” timpal Vinza. “Iya, Neng. Gimana? Belum ada kabar soal Rufy?”“Boro-boro, Bu. Ada yang nelpon malah orang aneh semua. Kemarin Vizna di PHPin. Katanya nemuin Rufy dan ajak ketemuan di alun-alun. Vinza tungguin sampai berjam-jam, orangnya enggak ada, Bu.”“Astaghfirullah. Kasian sekali kamu. Yang tabah, Neng.”“Iya, Bu. Makasih banyak.”Setelah menutup telpon. Vinza menghentakan kaki ke lantai. “Emang enggak tahu diri dia! Harusnya dia tanya-tanya sama orang! Andai saja aku ketemu sama dia! Sudah aku lelepin ke balong (kolam)!” pekik Vinza kesal. David tiba di apartemennya. Ia melepas hoodie dan melempar ke atas meja. Tub
Hari itu diadakan acara makan bersama di rumah Biru. David datang dengan setelan kemejanya. Sudah ada teman-teman Biru di sana. Rencananya David hendak pamitan sebelum pulang ke Hongkong. “Sekarang Ara sudah segede gini, tapi Oomnya masih jomlo saja,” ledek Randy, teman Biru. Jelas itu hantaman terbesar bagi Miki dan Roland, teman mereka. “Itu takdir, woy. Mana mungkin aku bisa melawan,” alasan Rolan. “Inget, Bro. Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, tanpa kaum itu merubah nasibnya sendiri,” ceramah Biru. Rolan tak mampu berkata-kata lagi. Ia hanya menerima nasibnya. Jadi jomlo di antara teman yang sudah menikah memang menyakitkan. “Dengar kawan. Bukannya aku tak berjuang merubah nasib. Hanya saja mencari wanita baik itu seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Contoh saja David, kurang apa coba? Ganteng dan mulus kayak panci masih dalam dus, masih jomlo. Apalagi aku yang kayak panci gosong.” Miki bisa saja membuat alasan. Sedang orang yang ia sebut hanya senyum. David sel
David pamitan lebih dulu. Ia berjalan keluar setelah mendengar kedatangan Viane ke Indonesia. “Pastikan jangan sampai dia tahu aku tinggal di mana. Aku tak mau dia ganggu aku!” tegas David. Di teras ia hampir menabrak anak kecil yang tadi mengintip di tiang."Kenapa juga aku harus berurusan dengan bocah?" David memutar bola mata. Tak tahu kenapa dia merasa anak kecil itu ribet dan berisik. Meski dia pernah menjadi anak kecil. Mungkin karena dia tinggal di panti dan terpaksa jadi mandiri, karena itu dia tak memaklumi sikap manja anak lainnya.“Kamu bisa, tidak berkeliaran di rumah ini sembarangan, ‘kan? Kalau aku nabrak kamu, aku bisa disalahkan!” omel David sambil berkacak pinggang. Matanya melotot dengan sedikit merah di bagian bawah kelopak mata.Rufy menunduk. “Maaf,” timpal Rufy. Dia masiu terlalu kecil sehingga mudah merasa takut. Tubuhnya yang mungil dipaksa menghadapi dunia yang penuh dengan orang dewasa yang tinggi dan besar.“Mana orang tua kamu? Biar aku bicara dengan mereka
“Dak mau, Upi mo cali Bunda Insa,” rengeknya. Tangisnya pecah di dalam mobil David. Anak itu sampai menendang-nendang sisi jok sambil terduduk meluruskan kaki. David bingung bagaimana harus menghadapi anak sekecil ini. Dia tak punya pengalaman dan tak ingin mengalami.“Gini, Oom kasih kamu permen? Cokelat? Mobil-mobilan?” tanya David mencoba melakukan berbagai cara. Dia tak tahan dengan keberisikan ini.“Upi mo Bunda .... Mo Bunda .... Cali Bunda ....” Rufy masih terus saja merengek tiada henti. Bahkan sampai merosot dia ke lantai mobil lalu memanjat lagi ke jok.Ini bukan pertama kalinya Rufy kabur dari rumah Bamantara. Ia tak pernah berhasil. Kadang baru sampai gerbang sudah ketahuan. Baru kali ini dia berhasil kabur sangat jauh. Mana mungkin anak ini mau dipulangkan kembali. Apalagi jika kesempatan bertemu dengan ibunya hilang lenyap karena itu.“Orang tua angkat kamu sangat sayang kamu.” David mencoba memberikan anak itu pengertian. Paling tidak dia bisa menghargai apa yang dimili
David tertegun. Matanya terbelalak. Ia tatap anak di hadapannya yang tengah duduk menghadap polisi. “Iya. Bunda Insa. Keja jauh. Upi bayi, Bunda Insa keja jauh,” jawab anak itu. David sampai mundur. Ia berpegangan ke tembok takut terjungkal. “Vinza?” pikirnya. Sejenak David ingat ucapan Minara. “Anak ini mirip Oom David.”“Bunda Vinza cari Rufy. Nanti Oom telpon Bunda Vinza supaya jemput Rufy ke sini, ya?” Polisi mengangkat tangan agar Rufy mau ‘tos’. Anak itu menanggapi sebagai rasa persetujuan. “Vinza? Jadi Vinza masih hidup. Istri Hadi yang meninggal itu bukan Vinza. Terus anak ini?” batin David. “Pak, boleh saya lihat data ibunya?” David mendekat pada polisi yang tengah menanyai Rufy. Polisi mengangguk. Ia perlihatkan data Rufy di layar komputer. Foto ibu Rufy benar wanita yang putus dengannya tiga tahun lalu. David tersenyum sinis. Ia tatap anak yang kini tengah duduk sambil memeluk ember es krim. Rufy melihat-lihat ke sekitar. David duduk berlutut agar sejajar dengan mata R