“Gak mungkin kenapa, Mba?” tanya Dean dengan tatapan bingung.“Hah? Apa kenapa, De?” tanya Clarita terkejut dengan ucapan Dean.Dean pun menghela napas. “Mba tadi bilang gak mungkin, nah itu kenapa?”Clarita menatap Dean ia pun terdiam sejenak memikirkan jawaban apa yang tepat tanpa harus mengatakan yang sebenarnya pada Dean. “Ah itu, gak mungkin mba bisa hidup kalau gak ada kamu. Bagaimana pun juga kamu banyak membantu mba dan kamu bak malaikat yang dikirim Tuhan untuk membantu dan menolong, Mba,” alibi Clarita pada Dean yang kini menatapnya penuh haru.Dean tak merespon ucapan Clarita, wanita itu hanya mengusap sebelah tangan Clarita. Setelah itu Clarita kembali terdiam, ia memikirkan mobil yang ia lihat beberapa menit lalu. Ia merenung dan mencoba menggabungkan semua kejadian yang terjadi hari ini.Mulai dari telepon dari n
“Apa tujuan mereka datang ke sini? Apa mereka ingin … ah tidak mungkin. Mereka saja membuangku mana mungkin mereka datang ke sini hanya untuk mengajak aku pulang lagi. Tetapi –““Assalamualaikum, aku pulang‼” pekik Dean seraya mengetuk pintu rumah.Clarita pun menghentikan ucapannya, menyimpan kembali ponsel miliknya dan bergegas membuka pintu rumah. “Walaikumsalam,” sahut Clarita seraya membuka pintu.Dean tersenyum, ia berjalan masuk ke dalam rumah dengan tangan yang penuh belanjaan. Clarita pun bergerak membantu membawakan barang belanjaan Dean. Setelah itu menutup pintu dan kembali menguncinya. Kini kedua wanita terpaut tiga tahun itu duduk di ruang tengah dan membuka belanjaannya.“Ini ovennya mba, trus ini alat-alatnya. Nah yang di situ bahan-bahan kuenya. Kalau ada yang kurang nanti mba bilang aja yah, biar De carikan sepulang kerja nanti.
Atma merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel berlogo apel tergigit kemudian mengetikkan deretan angka kemudian mendial nomor teersebut. Bertepatan dengan nada sambung ketiga sebuah suara berat khas bangun tidur terdengar di telinganya. “Cari rumah Clarita, kutunggu sebelum jam makan siang,” ujar Atma tanpa basa-basi. “Bisa gak sih, Jay lu tuh kalau telepon ucap salam dulu, basa-basi dulu. To the point bener,” keluh sang lawan bicara. “Lagian ngapain seorang Atma Wijaya Mahendra nyariin alamatnya Clarita. Bukannya lu gak ada apa-apa sama mereka ya? Kesannya lu kayak suaminya saja, Jay.” “Ck!” Atma memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak. Membiarkan sahabat sekaligus assistennya itu mengumpat tertahan atas sikapnya. Ia termenung beberapa saat, memikirkan ucapan Bara. ‘Kesannya lu kayak suaminya’ perkataan itu terus terngiang di benaknya, ia mencoba mencerna ucapan Bara. “Permisi, ada yang bisa saya bantu?” tanya salah seorang suster membuyarkan lamunan Atma. Atma menoleh
Clarita ragu, ia bingung harus membukakan pintu atau mengabaikannya. Ketukan pintu dari arah luar terdengar lagi, Clarita semakin gugup. Ia bingung dari mana pria itu tahu alamat rumahnya, padahal tak ada satupun orang yang tahu di mana rumahnya.Tubuhnya semakin bergetar, ia takut terjadi sesuatu pada baby twinnya, ia tak menyangka jika pria itu nekad mencarinya hingga ke rumah barunya. Sepuluh menit berlalu, terdengar sayup-sayup perbincangan dari sosok pria di depan rumahnya.“Hallo, bu ini alamatnya benar? Kok tidak ada kehidupan ya? Ibu yakin wanita itu pindah ke sini? Ibu dapat informasi dari siapa?” tanya pria itu pada seseorang di dalam telepon. Clarita membungkam mulutnya ia terkejut, ternyata pria itu adalah suami dari mantan ibu kostnya. Ibu kost yang mengincar baby twin menjadi anaknya sebagai alat mendapatkan warisan keluarga sang Suami.Clarita menutup gorden kala pria itu menoleh menatap pintu
“Saya apa? Katakan yang jelas!” bentak salah seorang warga dengan lengan bertato itu. Melihat lengan pria itu ternyata membuat nyali pria misterius itu menciut. Ia sebenarnya hanya disuruh oleh istrinya tetapi ia tak menyangka jika ternyata istrinya salah mengikuti orang. “Saya salah alamat, saya permisi!” ucap pria misterius dengan cepat dan hendak melangkahkan kaki menjauh. “Tunggu, sekali lagi anda datang ke mari kami tidak segan-segan melapor ke polisi,” peringat Pak Danang dengan tegas. Kemudian pria itu mengangguk dan berlalu meninggalkan rumah Dean dengan motor besar miliknya. Dean mengucapkan terima kasih pada Pak Danang dan juga warga setempat yang dengan baik hati mau menolongnya di malam-malam begitu. Mereka pun berpamitan dan berpesan untuk Dean selalu mengunci pintu rumahnya. Dean mengedarkan pandangannya sejenak, memastikan jika keadaan memang sudah aman dan pria itu tidak mengamati rumahnya lagi. Setelah memastikan jika semuanya aman, barulah Dean membuka pintu rumah
“Gue lagi mikir sejak kapan lu jadi gini?” sahut Atma santai, ia berhasil menetralkan kembali perasannyaa.“Gue? Kenapa jadi gue? Di sini topik utamanya itu lu Jaya. Lu kenapa kepo banget sama Clarita ada apa? Apa yang mendasari sampai lu kepo begini?” balas Bara seraya menatap Atma intens ia berusaha menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang bersemayam di benaknya. “Lu juga belakangan gak main cewek? Kenapa? Tobat atau … lu belok ya?”“Sial!” Atma melempar gumpalan tisu ke arah sahabatnya itu.Keheningan menyapa meja bernomor 12 itu, Atma sibuk memikirkan ucapan Bara sedangkan sahabatnya itu sibuk memainkan ponselnya. Ia menscroll setiap postingan yang melintas di beranda hastagramnya. Jemarinya berhenti pada sebuah posting-an yang menampilkan sosok wanita tengah asyik bermain bersama dua orang bayi.“Ini bukannya Dean
“Aaaa‼” pekik Clarita kala seseorang menyentuh bahunya. Tubuhnya bergetar ketakutan, tangannya mendekap baby twin begitu erat. “Mba ini Dean, Mba.” Ucapan Dean berhasil membuat Clarita sadar dan mendongak. “De … mba takut De. Tadi di depan ada –“ “Iya Mba, Dean sudah tahu tadi juga warga mengusir mereka. Mba kita semakin gak aman di sini, mereka bisa datang kapan saja. Bagaimana jika kita kelabui mereka?” usul Dean pada Clarita. Wanita yang baru saja mengalami teror itu hanya bisa diam menunggu penjelasan Dean. “Kita kelabui mereka saja mba, kita berpura-pura meninggalkan kota ini.” “Bagaimana caranya?” tanya Clarita bingung. Dean pun tersenyum penuh arti, kemudian ia menjelaskan rencananya, awalnya Clarita menolak rencananya, ia takut jika hal tersebut justru gagal dan membuat dirinya semakin dikejar oleh wanita gila itu. Namun berkat seluruh penjelasan dan jaminan yang Dean berikan akhirnya ia menyetujuinya dan menurut pada usulan Dean. Dean pun pamit keluar untuk membeli bebe
Clarita menatap kereta api yang sebentar lagi akan melaju meninggalkan stasiun Tawang. Ia melambai menatap dua orang yang berhasil ia jebak. Mereka menatap Clarita dengan senyum kemenangan karena merasa berhasil mendapatkan baby twin. Sedangkan Clarita ia tersenyum mengejek, ia berhasil menjebak dua orang yang membuatnya ketakutan sepanjang malam. Clarita menatap kereta yang terus menjauh, melaju ke arah malang. Clarita melambaikan tangan untuk terakhir kalinya, kemudian berbalik meninggalkan stasiun bersama dengan tas jinjing yang ia bawa. Ia kemudian mencari taksi dan bergegas menuju ke rumah barunya. Sekilas ia melihat mobil Atma masih terparkir di halaman parkir stasiun, ia pun bergegas masuk ke dalam mobil taksi dan mengarahkan sang supir ke rumah barunya. “Bismillah, semoga setelah ini ia tak lagi menggangguku,” rapal Clarita memohonkan doanya pada sang Pemilik Hidup. Tiga puluh menit berlalu, kini mobil yang ia tumpangi telah tiba di depan gapura komplek, supir taksi menyerah