Amelia tidak bisa berhenti begitu saja, dirinya mencoba mencari informasi dari pihak lain yaitu pedagang kaki lima yang tidak jauh dari kediaman Erland. “Pak, maaf bertanya. Rumah yang banyak benderanya itu rumah siapa ya pak?”
“Kalau itu sih rumahnya pengusaha paling hebat neng. Masa neng tidak tahu,” jawaban yang diberikan bapak-bapak ini.
“Rumah pengusaha paling hebat.” Amelia tercengang karena ternyata benar dugaannya jika Erland bukanlah orang sembarangan.
“Iya neng. Terhebat di negara kita!”
“Heuh!” Amelia semakin tercengang saja selama beberapa saat, kemudian terduduk lesu di bangku kayu. “Papa dan mama tidak bisa menerima Kenzo, apalagi keluarganya Erland.” Maka, Amelia kembali ke rumahnya tanpa semangat.
“Mei, ada apa?” bisik Amanda kala dirinya sedang tidak berada di bawah perintah Sopia.
“Erland putra dari seorang pengusaha hebat di negara ini. Apa menurut Kak Amanda, keluarga Erland akan menerima Kenzo?”
“Kalau itu aku juga tidak tahu ....” Amanda ikut terbawa dalam kerisauan Amelia, “apa kamu berhasil menemui Erland?”
Amelia menggeleng lesu. “Sulit sekali menemui Erland,” embusan udara dibuang, “bahkan rasanya mustahil.”
“Jangan menyerah Mei, demi Kenzo!” Semangat yang diberikan Amanda. Dirinya dan bibi pernah berjanji akan selalu ada untuk Amelia dan Kenzo maka sampai detik ini keduanya tetap setia sekaligus peduli.
“Aku tidak akan menyerah, tapi sepertinya memang butuh perjuangan untuk menemui Erland.”
“Amei!” panggilan menggema Sopia yang sudah memakai sanggul dan kebaya. Wanita ini sedang menuruni anak tangga ke sekian hingga segera Amanda membantu memapahnya, “papa bilang kamu tidak melanjutkan pekerjaan, jangan seperti itu Mei, kamu satu-satunya penerus usaha papa!” nasihat tegas Sopia seiring langkah kaki bak putri kraton.
“Ma ..., mana bisa Amei berkonsentrasi saat baru saja meninggalkan Kenzo!” rajuknya.
“Harus bisa, kamu harus propesional Mei!” Sopia kembali mengendus pakaian putrinya, “kenapa bau matahari, kamu dari mana saja?”
“Amei mencari tempat untuk menenangkan diri,” dustanya walau tidak sepenuhnya kebohongan.
“Rumah ini sangat besar, kamu bisa menenangkan diri di rumah, tidak perlu repot-repot mencari tempat.”
“Ma ....” Amelia ingin kembali merajuk, tetapi ibunya tidak dapat dibantah.
“Mei, lupakan Kenzo dan buka lembaran baru!” tegas Sopia kala pakaiannya baru saja selesai dirapihkan oleh Amanda. Wanita muda ini memandangi Amelia, memberikan isyarat anggukan supaya Amelia mengikuti demi membungkam sementara perintah tidak berperasaan Sopia.
“Amei akan coba!” Amelia mengikuti intruksi Amanda.
“Iya, memang harus begitu. Sudah ya, kamu diam di rumah. Mama ada urusan di luar.”
“Iya. Hati-hati di jalan.” Suara Amelia masih sangat lirih, sangat kontras dengan ekspresinya. Sopia dan Amanda berlalu hingga kini teman curhatnya hanya bibi. “Amei sedih, bi,” rengeknya di dalam kamar.
“Bibi mengerti perasaan Non Amei, tapi Non Amei berdoa saja supaya masalah ini segera selesai.”
“Bi, Amei menyesal pulang ke negara ini, andai kemarin Amei tetap di luar negeri Amei sama Kenzo tidak akan berpisah,” rintihan membatinnya.
“Jangan disesali non, kan kalau di sini Non Amei bisa mencari pria itu.”
“Iya sih bi ..., tapi kenapa harus berjauhan sama Kenzo? Coba saja mama dan papa menerima Kenzo, Amei tidak akan sekacau ini.”
Bibi hanya bisa menyodorkan selembar tissue untuk menghapus kesedihan Amelia, tidak banyak yang bisa dilakukannya kini karena rumah ini sudah bukan lagi apartemen yang ditinggali mereka di luar negeri.
***
Matahari telah berpulang, langit gelap hanya ditemani bulan sabit. Adhinatha menyodorkan beberapa kertas penting pada Amelia. “Pelajari, jika sudah mengerti kamu akan papa ajak lagi mengenal perusahaan.”
Amelia membuang udara sendu karena ayahnya begitu terobsesi pada hasil sekolahnya selama ini. “Iya, pa.” Pasrah adalah satu-satunya cara wanita ini mengikis kecewa pada keadaan.
‘Selamat malam, untuk berita malam ini kami memberikan kabar bahagia jika putra dari pengusaha paling hebat di negara ini akan segera meminang kekasihnya bertepatan dengan pengalihan nama anak perusahaan-cabang dari gedung King Company.’
Seketika perhatian Adihanatha tercuri oleh acara berita di dalam televisi. “Itu William, putra dari pengusaha hebat di negara kita, ma!” bangganya adalah kepalsuan karena pria ini sedang memanasi putrinya supaya bisa seperti pria tersebut. Namun, kebanggannya akan semakin berlipat jika Amelia berhasil mencuri hati William.
“William adalah sosok pria hebat. Beruntung sekali wanita yang mendapatkannya, begitupun dengan calon mertuanya!” Sopia melanjutkan sindiran Adhinatha.
Namun, yang menjadi bahan perhatian Amelia bukanlah sindiran tajam ayah dan ibunya melainkan wajah pria bernama William. ‘Dia William, bukankah dia Erland?’ Kedua bola matanya mendelik menyelidik supaya tidak terjadi kekeliruan. ‘Iya, aku yakin itu Erland, tapi kenapa pria itu punya nama lain?’
“Amei, kamu mengenali pria itu, sepertinya kamu memiliki ketertarikan khusus?” Adhinatha segera menyelidik setelah memerhatikan gerak-gerik putrinya.
Amelia menggeleng kecil. “Tidak pa, hanya saja wajahnya tampak familiar.”
“Jelas familiar, dia putra dari pengusaha paling hebat!”
“Begitu ya, pa.” Amelia manggut kecil saat isi kepalanya berputar, kemudian dirinya berpamitan ke kamar untuk membuka internet. ‘William-putra pemilik King Company’ Pencarian yang diketiknya di atas keyboard. Ada banyak artikel yang muncul bersamaan dengan wajah William. Kartu identitas segera dirogoh untuk membandingkan kedua wajah. “Iya, dia Erland, tapi kenapa di sini namanya William? Apa dia mengganti namanya saat sadar KTPnya hilang?”
Isi kepala Amelia kembali dibungkus kebingungan. “Mungkin William adalah nama samarannya karena tertulis jelas jika dia adalah Erland!” Kesimpulan akhir yang dibuat Amelia kala kepalanya ingin berhenti memikirkan hal berat. Internet ditutup, dilanjutkan mencari tahu tentang Kenzo.
“Kenzo sudah tidur, non,” ucap ibu asuhnya di dalam sambungan telepon.
“Sudah dimandikan pakai air hangat?”
“Sudah non, lalu bermain sambil makan, tapi tadi saya memberi Kenzo nasi dengan sayur.”
“Loh, kok Mbak lancang sekali memberi Kenzo yang bukan makanannya? Bagaimana kalau Kenzo sakit, bagaimana kalau ususnya belum bisa mencerna nasi utuh. Selama ini Kenzo makan bubur!” Cemas, panik dan kesal bercampur.
“Maaf non, tadi nasinya sudah dihaluskan walau tidak dalam bentuk bubur, tadi Mbak ke warung membeli bayam, tapi Kenzo mau memakan sayurnya, makannya juga sangat lahap,” penjelasan wanita ini sangat terperinci, “ini sisanya, non.” Makanan sisa Kenzo ditunjukan di depan kamera. Amelia memerhatikan kualitas nasi dan sayurannya yang tampak bagus, pun nasinya memang tidak berbentuk utuh.
“Itu beras yang harga berapa dan merk apa ya?” penasaran Amelia karena nasinya seperti berasal dari beras berkualitas tinggi.
“Beras ini langsung dari sawah non. Saya baru saja panen satu minggu lalu, jadi berasnya sangat putih, pulen dan alami tanpa bahan pengawet maupun pewarna. Merknya juga mungkin merk sawah non,” kekeh wanita ini kala berkelakar.
Amelia berhenti menunjukan kecemasan dan berbagai rasa negatif lainnya yang beberapa detik lalu bersemayam. “Maaf ya Mbak, tadi Amei memerotes cara Mbak memberikan asupan gizi pada Kenzo, Amei pikir Mbak asal-asalan.”
“Tidak apa non, wajar seorang ibu menginginkan yang terbaik untuk anaknya,” celetuk wanita ini hingga membuat Amelia terhenyak kecil, kemudian berpamitan setelah mengatakan kebiasaan menangis Kenzo pada malam hari dan cara mengatasinya. “Kok Mbak tahu sih Kenzo anaknya Amei. Apa bibi yang bicara, bibi bagaimana sih!” kesal kembali merasuki.
Bersambung ....
“Bi, kenapa memberi tahu adiknya bibi kalau Kenzo anaknya Amei?” protesnya disampaikan lewat panggilan di udara karena pasti bibi masih sibuk di dapur. “Bibi tidak mengatakannya, non.” “Yang benar bi ....” “Iya non, bibi berani sumpah.” Wanita ini celingak-celinguk ke persekitaran karena takut jika tuan atau nyonya mendengar percakapannya. “Tapi tadi adiknya bibi bilang, wajar seorang ibu inginkan yang terbaik untuk anaknya. Apa itu artinya kalau adiknya bibi tahu Kenzo anaknya Amei?” “Mungkin menebak dari perhatian Non Amei.” “Iya juga sih ..., hari ini Amei sering menelepon menanyakan Kenzo.” “Coba Non Amei tenang, percayakan Kenzo pada adiknya bibi, adik bibi bisa dipercaya non karena sudah berpengalaman mengurus dua anak,” nasihatnya karena menyayangi Amelia. “Iya bi, mungkin Amei terlalu over. Maaf ya bi.” “Tidak apa non ....” Kalimatnya tidak disahut Amelia karena wanita itu mendapatkan kunjungan tidak terduga dari Sopia. “Ada apa ma, kok tidak ketuk pintu? Amei kan kag
Nitara berpamitan pada Amelia, segera wanita ini meninggalkan gedung untuk menemui kekasihnya yang sudah menunggu di halaman. “Dari kapan di sini?” “Barusan sih. Gimana wawancaranya?” tanya William-putra pengusaha paling hebat di negara ini yang semalam menjadi bahan pencarian Amelia di dalam internet. “Aku keterima kerja, mulai besok aku punya jadwal di sini,” riang Nitara. “Syukurlah ..., tapi tadi papa bilang lagi, katanya papa siap menerima kamu kapanpun.” “Aku di sini saja ya ..., soalnya malu kalau bekerja di perusahaan papa kamu.” “Iya sudah.” William mengusap puncak kepala Nitara sangat lembut dan penuh kasih. Kala mereka berlalu, barulah Amelia keluar dari gedung perusahaan untuk mencari udara segar. “Pusing dan BT. Itu yang Amei rasakan di perusahaan papa. Harusnya papa biarkan Amei melakukan hobby yang dijadikan mata pencaharian!” Wanita ini duduk di kursi taman di halaman gedung. Handphone sudah dirogohnya, tetapi hanya dipandangi saja. “Kalau aku menanyakan Kenzo lag
Amelia tidak dapat menghubungi balik karena nomor telepon Erland tidak tertera dalam panggilan. Wanita ini mondar-mandir gelisah seiring menggigit ujung bibirnya. “Erland ..., Kenzo membutuhkan kamu. Please, jangan bersikap seperti ini!” lirih mencambuk batinnya. Wanita ini memutuskan kembali ke kediaman si pria, tetapi dirinya berpapasan dengan Sopia kala menuruni anak tangga. “Sayang, kamu masih belum mandi dan ganti pakaian? Berantakan sekali anak gadis mama!” omelan segera meluncur dari Sopia. “Ma, Amei akan mandi setelah menyelesaikan urusan.” Kalimat grasah-grusuhnya. “Urusan apa sih? Jangan berpura-pura penting deh Mei. Ayo mandi.” Sopia segera menggiring putrinya kembali, hingga Amelia melangkah mundur. “Ma ..., Amei ada urusan sebentar!” “Mandi Mei, kamu bau busuk, mana ada anak gadis berpenampilan seperti kamu!” “Sebentar saja ma ..., Amei janji kok!” “Kalau sudah mandi, mama izinkan kamu keluar. Lagi pula di halaman sedang banyak tamu papa. Mama malu Mei, kalau kamu s
“Amei minta dipijat ma, badan Amei pegal-pegal.” Untungnya isi kepala Amelia cepat tanggap memproduksi kebohongan yang dapat diterima logika. “Kan ada Amanda. Mama juga suka dipijat sama Amanda.” Sopia membuang kecurigaannya seiring menghampiri Amelia, memeriksa tubuh putrinya, “mana yang sakit?” “Kedua tangan Amei sama pundak.” “Makannya jangan keluar menjelang malam, mungkin kamu masuk angin.” Segera, pijatan sayang Sopia mendarat di bagian tubuh yang disebutkan Amelia, “lain kali kalau pegal lagi panggil saja Amanda jangan bibi, bibi harus memasak membantu bibi yang lain.” “Iya, Amei minta maaf. Tadi sekalian minta bibi bawakan camilan.” Mudah sekali untuk Amelia memperpanjang kebohongannya demi menyelamatkan dirinya dan bibi. “Tadi Amei menemui siapa? Kok cepat sekali, katanya akan bertemu teman-teman.” Pijatan Sopia terasa sangat nyaman di tubuh Amelia karena wanita ini memang pintar memijat sama seperti Amanda. “Banyak teman-teman yang cansel pertemuan, tidak asik jadi kita
William memang berpapasan dengan Nitara, keduanya sempat saling menatap walau kemudian Nitara menundukan wajahnya sebagai tanda hormat, dirinya masih ingin menyembunyikan status yang diinginkan banyak kaum wanita jika mereka adalah sepasang kekasih yang sedang bersiap-siap melangkah ke pelaminan. “Mau apa ya, William di sini?” gumam Nitara kala kekasihnya sudah melewatinya, berjalan bersama salah satu karyawan gedung ini guna mengantarkannya pada ruangan Adhinatha. Beberapa lantai dinaiki si pria hingga saat keluar dari lift, dipijaknya lantai yang sama dengan Amelia. Namun, takdir belum memertemukan mereka di detik ini. Segera, William dan Adhinatha berjabat saat tiba di ruangan yang sama. Kedua pria ini sudah melakukan pertemuan sebanyak dua kali, tetapi baru kali ini terjadi kerjasama bisnis. Adhinatha ingin memanggil Amelia supaya menyaksikan kerjasama bersama orang hebat, apalagi Willian adalah putra pengusaha paling hebat di negara ini. Namun, dirasa tanggung dan terlambat maka
“Bagus sekali kamu ingin menemui William!” Bangga Adhinatha yang berpikir jika Amelia mulai menunjukan ketertarikan pada bisnis. “Iya pa. Amei ingin sekali menemui William,” kata Amelia bersama antusias. “Papa akan mengatur jadwal pertemuan kalian, tetapi saat ada keperluan bisnis karena William tidak akan bisa ditemui secara pribadi.” “Kapan itu, pa?” Amelia menunjukan ketidak sabarannya. “Tidak akan lama lagi. Intinya kami akan membangun bisnis besar, kami akan sering bertemu.” “Boleh Amei meminta kontak William?” “Tidak ada sayang, papa hanya memiliki nomor perusahaan.” “Pa, coba katakan pada William jika Amei ingin bertemu untuk membahas bisnis!” “Sayang ..., papa baru saja membahasnya dengan William, lagipula Amei belum tahu apapun tentang kerja sama bisnis.” Sebenarnya Amelia sudah menebak jawaban ayahnya ini, tetapi karena penasaran kalimatnya tetap disampaikan. “Iya sih, iya sudah tidak apa Amei minta nomor kantornya saja, mungkin suatu hari Amei membutuhkannya saat Am
“Iya, siapa?” Suara Amelia sangat lembut saat berjaga-jaga mungkin peneleponnya kali ini adalah William. “Saya pria yang pernah kamu hubungi.” Suara bariton itu hadir lagi karena memang William berinisiatif menghubungi wanita murahan yang pernah menghubunginya. “Apa kamu ....” Amelia sedikit enggan menyebut nama Erland atau William karena panggilannya pernah diputus begitu saja oleh si pria. “Pria yang kamu sebut pernah tidur dengan kamu dua tahun lalu!” “Erland!” Amelia segera menginjak rem saking senang bercampur kaget, tetapi dirinya berhenti di tempat tidak tepat maka segera bunyi-bunyian klakson menamparnya hingga wanita ini segera menyimpan alat komunikasi untuk menepikan mobil sekalian meminta maaf kepada pengguna jalan yang merasa terganggu olehnya hingga wajahnya menyembul di balik jendela. “Erland, apa benar ini kamu? Syukurlah, akhirnya kamu mau merespon aku!” William bergeming sesaat karena dirasa pernah mendengar suara sejenis, tetapi tidak mengingatnya sama sekali pa
“Bagaimana, apa papa sudah mendapatkan informasi tentang wanita itu?” penasaran William. Saat seorang wanita menghubunginya, mengatakan jika dia pernah tidur dengannya dua tahun lalu. Maka, segera pria ini menyadari jika wanita itu yang pernah dicari Erland dua tahun lalu. Namun, karena dirinya harus berhati-hati maka lebih baik panggilan diputus, berpura-pura tak acuh, tetapi nyatanya William menceritakan semuanya pada Bagaswara. “Mudah saja untuk papa menemukannya. Hanya saja apakah Erland masih memiliki minat pada wanita itu. Papa tidak yakin!” “Mengapa, sudah jelas Erland sangat antusias pada wanita itu?” “Lihatlah yang terjadi pada Erland sekarang. Saudara kembar kamu seperti mayat hidup!” Embusan udara cukup panjang dibuang William, kemudian mendengus kasar. “Sepertinya yang lebih dulu harus kita cari adalah si penabrak. William yakin dia melakukannya dengan sengaja!” “Sengaja ataupun tidak, kita tidak menemukan petunjuk apapun. Sepertinya dia sudah memperhitungkan segalanya