Share

Bab 6. Erland adalah William!

Amelia tidak bisa berhenti begitu saja, dirinya mencoba mencari informasi dari pihak lain yaitu pedagang kaki lima yang tidak jauh dari kediaman Erland. “Pak, maaf bertanya. Rumah yang banyak benderanya itu rumah siapa ya pak?”

“Kalau itu sih rumahnya pengusaha paling hebat neng. Masa neng tidak tahu,” jawaban yang diberikan bapak-bapak ini.

“Rumah pengusaha paling hebat.” Amelia tercengang karena ternyata benar dugaannya jika Erland bukanlah orang sembarangan.

“Iya neng. Terhebat di negara kita!”

“Heuh!” Amelia semakin tercengang saja selama beberapa saat, kemudian terduduk lesu di bangku kayu. “Papa dan mama tidak bisa menerima Kenzo, apalagi keluarganya Erland.” Maka, Amelia kembali ke rumahnya tanpa semangat.

“Mei, ada apa?” bisik Amanda kala dirinya sedang tidak berada di bawah perintah Sopia.

“Erland putra dari seorang pengusaha hebat di negara ini. Apa menurut Kak Amanda, keluarga Erland akan menerima Kenzo?”

“Kalau itu aku juga tidak tahu ....” Amanda ikut terbawa dalam kerisauan Amelia, “apa kamu berhasil menemui Erland?”

Amelia menggeleng lesu. “Sulit sekali menemui Erland,” embusan udara dibuang, “bahkan rasanya mustahil.”

“Jangan menyerah Mei, demi Kenzo!” Semangat yang diberikan Amanda. Dirinya dan bibi pernah berjanji akan selalu ada untuk Amelia dan Kenzo maka sampai detik ini keduanya tetap setia sekaligus peduli.

“Aku tidak akan menyerah, tapi sepertinya memang butuh perjuangan untuk menemui Erland.”

“Amei!” panggilan menggema Sopia yang sudah memakai sanggul dan kebaya. Wanita ini sedang menuruni anak tangga ke sekian hingga segera Amanda membantu memapahnya, “papa bilang kamu tidak melanjutkan pekerjaan, jangan seperti itu Mei, kamu satu-satunya penerus usaha papa!” nasihat tegas Sopia seiring langkah kaki bak putri kraton.

“Ma ..., mana bisa Amei berkonsentrasi saat baru saja meninggalkan Kenzo!” rajuknya.

“Harus bisa, kamu harus propesional Mei!” Sopia kembali mengendus pakaian putrinya, “kenapa bau matahari, kamu dari mana saja?”

“Amei mencari tempat untuk menenangkan diri,” dustanya walau tidak sepenuhnya kebohongan.

“Rumah ini sangat besar, kamu bisa menenangkan diri di rumah, tidak perlu repot-repot mencari tempat.”

“Ma ....” Amelia ingin kembali merajuk, tetapi ibunya tidak dapat dibantah.

“Mei, lupakan Kenzo dan buka lembaran baru!” tegas Sopia kala pakaiannya baru saja selesai dirapihkan oleh Amanda. Wanita muda ini memandangi Amelia, memberikan isyarat anggukan supaya Amelia mengikuti demi membungkam sementara perintah tidak berperasaan Sopia.

“Amei akan coba!” Amelia mengikuti intruksi Amanda.

“Iya, memang harus begitu. Sudah ya, kamu diam di rumah. Mama ada urusan di luar.”

“Iya. Hati-hati di jalan.” Suara Amelia masih sangat lirih, sangat kontras dengan ekspresinya. Sopia dan Amanda berlalu hingga kini teman curhatnya hanya bibi. “Amei sedih, bi,” rengeknya di dalam kamar.

“Bibi mengerti perasaan Non Amei, tapi Non Amei berdoa saja supaya masalah ini segera selesai.”

“Bi, Amei menyesal pulang ke negara ini, andai kemarin Amei tetap di luar negeri Amei sama Kenzo tidak akan berpisah,” rintihan membatinnya.

“Jangan disesali non, kan kalau di sini Non Amei bisa mencari pria itu.”

“Iya sih bi ..., tapi kenapa harus berjauhan sama Kenzo? Coba saja mama dan papa menerima Kenzo, Amei tidak akan sekacau ini.”

Bibi hanya bisa menyodorkan selembar tissue untuk menghapus kesedihan Amelia, tidak banyak yang bisa dilakukannya kini karena rumah ini sudah bukan lagi apartemen yang ditinggali mereka di luar negeri.

***

Matahari telah berpulang, langit gelap hanya ditemani bulan sabit. Adhinatha menyodorkan beberapa kertas penting pada Amelia. “Pelajari, jika sudah mengerti kamu akan papa ajak lagi mengenal perusahaan.”

Amelia membuang udara sendu karena ayahnya begitu terobsesi pada hasil sekolahnya selama ini. “Iya, pa.” Pasrah adalah satu-satunya cara wanita ini mengikis kecewa pada keadaan.

‘Selamat malam, untuk berita malam ini kami memberikan kabar bahagia jika putra dari pengusaha paling hebat di negara ini akan segera meminang kekasihnya bertepatan dengan pengalihan nama anak perusahaan-cabang dari gedung King Company.’

Seketika perhatian Adihanatha tercuri oleh acara berita di dalam televisi. “Itu William, putra dari pengusaha hebat di negara kita, ma!” bangganya adalah kepalsuan karena pria ini sedang memanasi putrinya supaya bisa seperti pria tersebut. Namun, kebanggannya akan semakin berlipat jika Amelia berhasil mencuri hati William.

“William adalah sosok pria hebat. Beruntung sekali wanita yang mendapatkannya, begitupun dengan calon mertuanya!” Sopia melanjutkan sindiran Adhinatha.

Namun, yang menjadi bahan perhatian Amelia bukanlah sindiran tajam ayah dan ibunya melainkan wajah pria bernama William. ‘Dia William, bukankah dia Erland?’ Kedua bola matanya mendelik menyelidik supaya tidak terjadi kekeliruan. ‘Iya, aku yakin itu Erland, tapi kenapa pria itu punya nama lain?’

“Amei, kamu mengenali pria itu, sepertinya kamu memiliki ketertarikan khusus?” Adhinatha segera menyelidik setelah memerhatikan gerak-gerik putrinya.

Amelia menggeleng kecil. “Tidak pa, hanya saja wajahnya tampak familiar.”

“Jelas familiar, dia putra dari pengusaha paling hebat!”

“Begitu ya, pa.” Amelia manggut kecil saat isi kepalanya berputar, kemudian dirinya berpamitan ke kamar untuk membuka internet. ‘William-putra pemilik King Company’ Pencarian yang diketiknya di atas keyboard. Ada banyak artikel yang muncul bersamaan dengan wajah William. Kartu identitas segera dirogoh untuk membandingkan kedua wajah. “Iya, dia Erland, tapi kenapa di sini namanya William? Apa dia mengganti namanya saat sadar KTPnya hilang?”

Isi kepala Amelia kembali dibungkus kebingungan. “Mungkin William adalah nama samarannya karena tertulis jelas jika dia adalah Erland!” Kesimpulan akhir yang dibuat Amelia kala kepalanya ingin berhenti memikirkan hal berat. Internet ditutup, dilanjutkan mencari tahu tentang Kenzo.

“Kenzo sudah tidur, non,” ucap ibu asuhnya di dalam sambungan telepon.

“Sudah dimandikan pakai air hangat?”

“Sudah non, lalu bermain sambil makan, tapi tadi saya memberi Kenzo nasi dengan sayur.”

“Loh, kok Mbak lancang sekali memberi Kenzo yang bukan makanannya? Bagaimana kalau Kenzo sakit, bagaimana kalau ususnya belum bisa mencerna nasi utuh. Selama ini Kenzo makan bubur!” Cemas, panik dan kesal bercampur.

“Maaf non, tadi nasinya sudah dihaluskan walau tidak dalam bentuk bubur, tadi Mbak ke warung membeli bayam, tapi Kenzo mau memakan sayurnya, makannya juga sangat lahap,” penjelasan wanita ini sangat terperinci, “ini sisanya, non.” Makanan sisa Kenzo ditunjukan di depan kamera. Amelia memerhatikan kualitas nasi dan sayurannya yang tampak bagus, pun nasinya memang tidak berbentuk utuh.

“Itu beras yang harga berapa dan merk apa ya?” penasaran Amelia karena nasinya seperti berasal dari beras berkualitas tinggi.

“Beras ini langsung dari sawah non. Saya baru saja panen satu minggu lalu, jadi berasnya sangat putih, pulen dan alami tanpa bahan pengawet maupun pewarna. Merknya juga mungkin merk sawah non,” kekeh wanita ini kala berkelakar.

Amelia berhenti menunjukan kecemasan dan berbagai rasa negatif lainnya yang beberapa detik lalu bersemayam. “Maaf ya Mbak, tadi Amei memerotes cara Mbak memberikan asupan gizi pada Kenzo, Amei pikir Mbak asal-asalan.”

“Tidak apa non, wajar seorang ibu menginginkan yang terbaik untuk anaknya,” celetuk wanita ini hingga membuat Amelia terhenyak kecil, kemudian berpamitan setelah mengatakan kebiasaan menangis Kenzo pada malam hari dan cara mengatasinya. “Kok Mbak tahu sih Kenzo anaknya Amei. Apa bibi yang bicara, bibi bagaimana sih!” kesal kembali merasuki.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status