“Bi, kenapa memberi tahu adiknya bibi kalau Kenzo anaknya Amei?” protesnya disampaikan lewat panggilan di udara karena pasti bibi masih sibuk di dapur.
“Bibi tidak mengatakannya, non.”
“Yang benar bi ....”
“Iya non, bibi berani sumpah.” Wanita ini celingak-celinguk ke persekitaran karena takut jika tuan atau nyonya mendengar percakapannya.
“Tapi tadi adiknya bibi bilang, wajar seorang ibu inginkan yang terbaik untuk anaknya. Apa itu artinya kalau adiknya bibi tahu Kenzo anaknya Amei?”
“Mungkin menebak dari perhatian Non Amei.”
“Iya juga sih ..., hari ini Amei sering menelepon menanyakan Kenzo.”
“Coba Non Amei tenang, percayakan Kenzo pada adiknya bibi, adik bibi bisa dipercaya non karena sudah berpengalaman mengurus dua anak,” nasihatnya karena menyayangi Amelia.
“Iya bi, mungkin Amei terlalu over. Maaf ya bi.”
“Tidak apa non ....” Kalimatnya tidak disahut Amelia karena wanita itu mendapatkan kunjungan tidak terduga dari Sopia.
“Ada apa ma, kok tidak ketuk pintu? Amei kan kaget.” Senyuman kecilnya.
“Habis teleponan sama siapa?”
“Teman, ma.” Habdphone segera dikantongi berjaga-jaga supaya ibunya tidak memeriksa.
“Sekarang teman-teman kamu sudah jadi apa?” Sopia mulai ingin membandingkan Amelia dengan orang lain, tepatnya kawan-kawan putrinya.
“Setahu Amei sih, kalau yang cowoknya langsung bekerja. Ada yang meneruskan usaha orangtua, ada juga yang bekerja di tempat orang lain.”
“Terus yang ceweknya?”
“Kebanyakan jadi sekretaris sih ma. Yang membuat usaha sendiri juga ada.”
“Lalu kamu?” Sebelah alis Sopia terangkat menantang Amelia yang belum menjadi apapun.
“Amei masih di rumah!” Malas wanita ini saat menyahut ibunya.
“Kamu ikuti dong jejak teman-teman kamu, Mei. Jangan mau ketinggalan, memangnya kamu tidak malu saat reonian?” Sisir diraih Sopia.
“Kita baru saja bebas dari urusan kuliah, tidak mungkin juga sih secepatnya reonia, baru saja pisah sebentar.” Amelia mulai menggerutu. Sejak tadi dirinya hanya duduk di depan laptop walau saat ibunya menghampiri.
Sopia segera meraih rambut panjang Amelia. “Besok Amei potong rambut supaya terlihat lebih fress, jangan terlalu panjang begini. Apalagi kamu akan segera berkerja di kantornya papa, berpenampilan rapih itu harus, ubah penampilan karena sekarang sudah bukan mahasiswi.”
“Amei jelek kalau rambut pendek!” Padahal alasan sebenarnya supaya Erland mengenalinya. Dua tahun lalu rambutnya sepanjang sekarang setelah melewati pemotongan rambut kala hamil.
“Mama tahu fashion, mama juga tahu kamu pantasnya berpenampilan seperti apa!”
“Ma, bisa tidak sih jangan menuntut Amei menjadi seperti yang mama dan papa mau. Amei sudah cukup tertekan harus bekerja di kantor papa, tapi Amei tetap akan melakukannya, tapi kalau soal penampilan tubuh Amei, mama dan papa tidak usah mengatur,” protesnya dengan suara biasa saja supaya tidak menyekiti ibunya, tetapi dirinya tetap inginkan ibunya mengerti.
“Semenjak pulang dari luar negeri kamu banyak membantah, apalagi kamu membawa anak tidak jelas!” Tatapan kesal Sopia memang tidak terlihat oleh Amelia karena ibunya berada di depan punggungnya, tetapi dari cara penyampaian kalimatnya sudah jelas.
“Kenzo bukan anak tidak jelas ma, Kenzo anaknya Amei!”
“Kenzo anak orang lain, kamu tidak perlu menyayanginya sedalam itu sampai menggadaikan hidup kamu!” Sopia masih menyisir rambut Amelia dengan lembut walau kalimatnya selalu terdengar pedas, sedangkan Amelia berhenti berbicara. “Mei, besok mama akan memanggil penata rambut ke rumah kalau kamu malas pergi.” Nada suaranya sudah berubah lebih lembut dan santai.
Pun, suara Amelia sudah terdengar lebih santai. “Amei tidak akan memotong rambut ma, biarkan saja panjang seperti ini.”
“Potong nak, kalau peru sebahu, biar wajah kamu terlihat lebih fress, penampilan kamu juga lebih rapih.”
“Tidak ma, Amei tidak akan potong rambut!” Amelia meraih tangan kanan Sopia, menghentikan gerakan ibunya, kemudian bangkit dari duduknya untuk menatap sang ibu, “besok Amei akan mencoba konsentrasi pada perintah papa dan semua hal yang berurusan dengan perusahaan, tapi mama ataupun papa jangan memaksa Amei potong rambut. Amei mohon.”
Sopia membuang udara tipis. “Kamu ini Mei, dikasih tahu yang bagus dan benar tidak mau. Iya sudah, terserah kamu, asalkan penampilan kamu harus sangat rapih.” Wanita ini berlalu.
“God ..., kenapa sih Amei harus dilahirkan dari keluarga yang selalu mengagungkan kesempurnaan, kan capek kalau harus terus mengejar kesempurnaan, keselarasan!”
Hari berganti. Amelia menata rambutnya supaya terlihat rapih, dia memilih mengikatnya menjadi kuncir kuda, pun pakaiannya sangat formal dengan heels secukupnya. “Mei, kamu seperti orang mau wawancara kerja!” Tawanya pada diri sendiri kala melihat pantulan aneh dirinya di dalam cermin.
“Mei ...,” panggilan lembut ibunya. Segera, Amelia membuka pintu kamarnya.
“Amei sudah rapih kok ma. Kalau kurang rapih mama atur saja, tapi jangan rambut Amei!” Wanita ini berdiri santun di hadapan ibunya bersama sedikit senyuman sebagai pemanis, sedangkan Sopia sibuk menilai penampilan putrinya dari bawah hingga ke atas.
“Bagus. Lumayan. Setidaknya penampilan kamu tidak seperti kemarin.” Kini, Sopia menggiring Amelia dengan lembut hingga tiba di ruang makan. “Pa, lihat Amei yang baru, seger ya lihatnya.” Senyuman bangga Sopia.
“Penampilan anak papa sempurna,” pujian Adhinatha seiring menutup korannya, kemudian melanjutkan kalimat kala Amelia sudah duduk dengan anggun, “papa yakin kamu sudah siap menjadi bagian dari bisnis papa.”
“Akan Amei usahakan.”
“Papa anggap itu adalah janji Amei.” Kalimat Adhinatha memang sangat santai diiringi senyuman, tetapi tetap saja maknanya menekan. Namun, bagaimanapun juga Amelia harus memaklumi sekaligus menerima bagaimanapun orangtuanya.
Hari ini Amelia disibukan mengikuti intruksi ayahnya di bidang bisnis hingga tidak ada waktu untuknya menanyakan kabar Kenzo apalagi mencari tahu tentang Erland atau dipanggil juga William. “Loh, Amelia!” Nitara senang melihat kawan semasa kuliah.
“Tara, serius ini kamu!” Begitupun Amelia, bertemu Nitara seolah membuka kembali lembaran di masa kuliah di kampus pertamanya.
“Iya Mei, ini aku Tara. Aku baru saja selesai wawancara di perusahaan ini. Kamu juga ya?”
“Tidak sih, justru aku sudah menjadi bagian dari gedung ini.” Senyuman getir Amelia.
“Jadi duluan kamu dong wawancaranya ....” Nitara menunjukan sikap ramah dan menyenangkan selayaknya Nitara yang dulu, “eh ngomong-ngomong, kamu kan pindah kuliah ke luar negeri, kok tetap bekerja di sini?”
“Ngapain juga kerja di luar negeri. Aku pulang saja deh.” Senyuman kecil Amelia karena ingatannya segera mengarah pada Kenzo.
“Kok kayanya kamu sedih .., kenapa?” Nitara adalah sahabat dari semenjak ospek maka dirinya sangat mengenal Amelia, juga menjadi satu-satunya orang yang sangat peka pada suasana hati sahabatnya ini.
“Ada suatu hal yang buat aku sedih dan bingung, tapi seolah sulit untuk keluar dari situasi ini.”
“Calm down Mei, semua akan membaik pada waktunya.” Nitara mendaratkan pelukan, tetapi tidak lama karena handphonenya berdering. “Iya, Wil. Ini juga baru beres, kamu tunggu saja ya di depan.”
Bersambung ....
“Eu ... lumayan. Tidak salah kan, Zeel berdekatan sama tantenya.” Saat ini jantung Amelia mulai tidak tenang karena mungkin dirinya salah telah membicarakan hal ini dengan Erland. “Tidak, tidak salah sama sekali. Yang salah adalah jika terlalu dekat. Jangan sampai Zeel menganggap Tara sebagai ibunya. Kamu tahu sendiri seorang bayi akan mengenali aroma ibunya, jika Tara terlalu dekat dan sering berdekatan dengan Zeel bukankah ada kemungkinan Zeel akan nyaman dengan tubuh Tara dan salah mengenali aroma tubuh tantenya sebagai aroma tubuh ibunya.” Tatapan Erland sangat serius kala membahas hal yang tidak disukainya. “I-ya. Tapi itu tidak akan terjadi.” Senyuman hambar Amelia yang mulai gagap hingga Erland mampu membaca hal tidak beres, tetapi dia tidak akan menginterograsi Amelia karena tidak seharusnya seorang istri yang telah melahirkan anak-anaknya mendapatkan pertanyaan memojokan. Justru Erland memberikan kecupan hangat di dahi Amelia. “Beristirahatlah ..., tapi aku tinggal sebenta
Amanda kembali pada Amelia, tetapi tidak mengatakan apapun walaupun mungkin keputusannya kurang tepat. “Kak?” sapa Amelia yang melihat kebingungan di wajah Amanda, “ada apa? Kakak lagi bingung ya, kenapa? Eh, tapi bukan Amei mau ikut campur ya Kak. Hihi ... tapi Kakak bisa berbagi apapun kok sama Amei. Jangan sungkan.”Amanda mendesah. “Iya, ada hal yang membuat Kakak bingung. Apa itu terlihat sangat jelas?” Bukan hanya raut wajahnya saja yang mengatakan isi hatinya, tetapi juga tatapan matanya.Amelia terkekeh sebelum berkata, “Iya Kak, terlihat sangat jelas. Apalagi kita sudah sangat dekat, jadi sepertinya Amei bisa melihat hal sekecil apapun dari Kakak. Hihi ....” Kekeh kecilnya ditambahkan, kemudian memandangi Amanda penuh peduli, “Apa itu, Kak? Cerita saja sama Amei. Jangan sungkan.”Amanda kembali mendesah. “Itu ... tentang hal besar Mei. Kakak masih memikirkannya karena Kakak tidak yakin apa prasangka Kakak benar. Tapi ... Kakak rasa memang benar.”“Ikuti saja kata hati Kakak,
Saat ini Nitara sedang menyaksikan Amelia saat bersama dengan Grizelle. Miranda sudah turun lebih dulu, tetapi wanita ini ingin menyaksikan malaikat kecil dari atas sini karena wajahnya begitu manis dan cantik dengan sentuhan kehangatan. Dia menilai jika bayi perempuan itu akan tumbuh menjadi manusia yang sangat ramah. “Sayang ...,” panggilan Miranda saat beberapa anak tangga sudah dipijaknya seiring menggendong Galaxy. “Eu-iya Ma.” Nitara segera bergegas menuju punggung Miranda. Tangga rumah ini cukup luas, bisa langsung dipijak tiga sampai empat orang sekaligus, hanya saja Nitara tetap ingin berada di belakang mertuanya dibandingkan di sisinya supaya tetap dapat menyaksikan wajah Grizelle. ‘Andai kamu menjadi anakku. Bagaimanapun caranya, jadilah anakku.’Kini, Nitara dan Miranda sudah bergabung dengan Amelia dan Sopia yang asik mengasuh Grizelle. Saat Galaxy tiba, tentunya semua orang merasa lebih bahagia. Saat ini Sopia menyisipkan kata pamitannya pada sang besan. “Saya akan pu
Saat ini hati Cristy bergetar, entah mengapa?“Astaga ... sepertinya karena aku sering bertemu Tio jadi sekalinya tidak bertemu akhirnya seperti ini. Aku memikirkannya. Ck!” Cristy tidak menyukai perasaan seperti ini, tetapi terpaksa harus menjalaninya karena sudah menjadi ketentuan alam. Wanita ini sedang merias bunga kertas di rumahnya untuk nantinya sekalian dijajakan di butik. “Tio bisa melibatkanku dalam acara amalnya, tapi aku tidak mau bukan tidak bisa melibatkan Tio dalam kegiatanku, biarkan saja dia beristirahat di masa pemulihannya.” Udara panjang dibuang.Namun, karena isi kepalanya sering mengarah pada Tio akhirnya Cristy mencoba menghubungi saat menuju butiknya. “Hi, apa kabar hari ini?” kekeh kecilnya.Di luar dugaan Cristy, karena Tio terkekeh ceria, “Aku suka mendapatkan panggilan darimu. Jadi sudah dapat disimpulkan jika aku baik-baik saja.”“Ayolah ... yang serius, jangan menggoda. Bukan waktunya!” Cristy tidak luluh karena saat ini dia sedang ingin mendengar kabar p
Bibi tidak meninggalkan kamar Amelia karena Kenzo asik bermain mobilannya di sana. Maka, saat Amelia menyelesaikan mandinya wanita ini kembali bertemu dengan anak sulungnya. “Kenzo lagi apa ... Mama jemput Zeel ya sebentar biar kalian main berdua,” kekeh bahagianya karena kehidupannya penuh warna dan cerita. Amelia segera menuju anak keduanya setelah wanita ini membersihkan diri, tetapi dia belum memompa asi, lagipula Grizelle barusaja menyusu pada Nitara, asinya juga belum terkumpul banyak, terlalu tanggung jika harus dipompa sekarang. Di ambang pintu, dia kembali menyaksikan jika Nitara bersenandung untuk putrinya walaupun Grizelle terlelap sangat nyenyak. Senyuman melengkung. “Sesayang itu Tara sama Zeel ....” Amelia merasa sosok Nitara tidak akan ditemuinya pada diri orang lain. Saat ini Galaxy menangis, maka Nitara segera menyuruh babysitter menggendong putranya sekalian menghangatkan susu. Saat ini Amelia sedikit keheranan karena seharusnya Galaxy bisa menyusu langsung pada ib
Bibi menghampiri Amelia yang sedang bersiap-siap mandi sekalian memompa asi. “Non, sedang sibuk?” tanya santai wanita ini seiring menuntun Kenzo masuk ke dalam kamar Amelia.“Tidak Bi, ada apa, Kenzo rewel mau sama Amei?” tebak Amelia karena bibi tiba bersama putranya walaupun itu tidak aneh, Kenzo adalah tanggung jawab bibi selama dirinya dan keluarganya tidak dapat memerhatikan malaikat kecil satu ini. “Tidak Non. Bibi hanya mau bicara sebentar, apa Non Amei ada waktu?” Sedekat apapun wanita ini dengan nyonya muda Amelia, dia tetap harus mengingat posisinya, dan walaupun dirinya mendapatkan kepercayaan penuh menjaga Kenzo. Maka, sikapnya tidak pernah berlebihan, selalu di dalam batas. “Silakan, Bi ....” Amelia tidak akan pernah menolak kehadiran wanita itu. Maka, kini keduanya duduk bersebelahan di atas sofa yang sama, sedangkan Kenzo anteng bermain di karpet empuk di dekat kaki ibunya. Tidak lupa, wanita ini menjamu bibi. Jadi, keduanya meminum teh bersama. “Apa yang akan bibi bi
William dan Erland tiba bersamaan ke kediaman Bagaswara. Keduanya membawa makanan buah tangan dari restoran milik Tio hingga Amelia dan Nitara antuasias menyambut karena sudah cukup lama keduanya tidak merasakan cita rasa menu dari restoran berbintang itu. “Aku rasa Tio sukses mengguncang dunia kuliner,” kekeh Erland saat berkelakar. Amelia segera menyahut saat menyuap, “Memangnya kenapa, apa restoran Tio menjadi sangat viral?” Kekeh ditambahkan. “Aku rasa hanya Tio yang mengadakan acara amal di restoran. Itu sangat bagus, gerakan yang dilakukannya sangat bermanfaat untuk banyak orang. Apalagi untuk orang-orang jalanan karena Tio tidak pandang bulu saat memberi,” penjelasan terperinci diberikan Erland bersama pujiannya. “Ya, itu bagus sekali.” Pun, Amelia melanjutkan kalimat pujian suaminya, tetapi saat ini terdapat tatapan tidak suka Sopia.‘Kamu ini Mei. Memuji mantan pacar di hadapan suami!’ Ingin sekali segera menyampaikan kalimat itu, tetapi suasana makan tidak boleh dirusak
Sopia barusaja kembali pada sore hari karena kegiatannya hari ini bukan hanya bertemu dengan ibunya Tio saja. Wanita ini menceritakan aksi sosial pemuda itu pada Amelia, tetapi bukan berarti mengagumi, dirinya hanya merasa heran karena Tio membagikan makanan gratis sebanyak itu. Maka, Amelia menyahut sesuai dengan pandangannya. “Bagus kan, Ma. Lagian tidak aneh kok Tio berbagi. Dari dulu Tio memang begitu. Cuma yang Amei tahu tidak sebanyak dan sebesar itu sikap sosialnya.” “Sayang sih kalau menurut Mama. Terlalu mubajir.”“Ya ampun Ma ... tidak ada kebaikan yang mubajir.” Bukan mencerami ibunya, Amelia hanya sedang mengingatkan.Namun, pembahasan Sopia beralih. “Mama jadi khawatir pada pemuda itu. Bukan Mama menyumpahi, hanya saja apakah usianya masih panjang?” ceplosnya bersama keraguan karena kalimatnya cukup kasar.“Ish, Mama. Jangan bilang begitu dong!” Tentu saja Amelia langsung memerotes.“Tiba-tiba saja Mama kepikiran kesana saat mamanya Tio bercerita.” Sopia sudah bisa mene
Acara amal yang diselenggarakan Tio berlangsung sangat lancar, banyak sekali peminat, tetapi semuanya berbaris dengan rapih bahkan tidak sedikit orang yang tidak mendapatkan meja, maka pihak restoran mengemas makanannya dengan sangat rapih.Cukup lama Sopia berada di sana karena ibunya Tio mengajaknya berbicara ini dan itu termasuk menanyakan Amelia, “Bagaimana kabar Amei sekarang dan anak keduanya?”“Baik-baik saja ... Grizelle tumbuh dengan pesat,” kekeh bahagia Sopia.“Syukurlah ... saya ikut senang mendengarnya.”“Sudah beberapa hari ini Amei dan Grizelle tinggal di kediaman mertuanya, jadi kali ini saya dan suami menginap untuk melepas rindu pada kedua cucu kami,” kekeh bahagia Sopia lagi.“Pasti kalian tidak dapat berjauhan dengan cucu,” kekeh wanita ini, “andai Tio sudah menikah, kami juga akan menimang cucu,” desahnya kemudian.Sopia tersenyum kecil. “Mungkin tidak akan lama lagi.”Saat ini tanpa sengaja Jesica mendengar kalimat ibunya. Maka hatinya kembali bersedih. ‘Kalau ka