Share

Bab 7. Terlahir dari Keluarga yang Mengagungkan Kesempurnaan

“Bi, kenapa memberi tahu adiknya bibi kalau Kenzo anaknya Amei?” protesnya disampaikan lewat panggilan di udara karena pasti bibi masih sibuk di dapur.

“Bibi tidak mengatakannya, non.”

“Yang benar bi ....”

“Iya non, bibi berani sumpah.” Wanita ini celingak-celinguk ke persekitaran karena takut jika tuan atau nyonya mendengar percakapannya.

“Tapi tadi adiknya bibi bilang, wajar seorang ibu inginkan yang terbaik untuk anaknya. Apa itu artinya kalau adiknya bibi tahu Kenzo anaknya Amei?”

“Mungkin menebak dari perhatian Non Amei.”

“Iya juga sih ..., hari ini Amei sering menelepon menanyakan Kenzo.”

“Coba Non Amei tenang, percayakan Kenzo pada adiknya bibi, adik bibi bisa dipercaya non karena sudah berpengalaman mengurus dua anak,” nasihatnya karena menyayangi Amelia.

“Iya bi, mungkin Amei terlalu over. Maaf ya bi.”

“Tidak apa non ....” Kalimatnya tidak disahut Amelia karena wanita itu mendapatkan kunjungan tidak terduga dari Sopia.

“Ada apa ma, kok tidak ketuk pintu? Amei kan kaget.” Senyuman kecilnya.

“Habis teleponan sama siapa?”

“Teman, ma.” Habdphone segera dikantongi berjaga-jaga supaya ibunya tidak memeriksa.

“Sekarang teman-teman kamu sudah jadi apa?” Sopia mulai ingin membandingkan Amelia dengan orang lain, tepatnya kawan-kawan putrinya.

“Setahu Amei sih, kalau yang cowoknya langsung bekerja. Ada yang meneruskan usaha orangtua, ada juga yang bekerja di tempat orang lain.”

“Terus yang ceweknya?”

“Kebanyakan jadi sekretaris sih ma. Yang membuat usaha sendiri juga ada.”

“Lalu kamu?” Sebelah alis Sopia terangkat menantang Amelia yang belum menjadi apapun.

“Amei masih di rumah!” Malas wanita ini saat menyahut ibunya.

“Kamu ikuti dong jejak teman-teman kamu, Mei. Jangan mau ketinggalan, memangnya kamu tidak malu saat reonian?” Sisir diraih Sopia.

“Kita baru saja bebas dari urusan kuliah, tidak mungkin juga sih secepatnya reonia, baru saja pisah sebentar.” Amelia mulai menggerutu. Sejak tadi dirinya hanya duduk di depan laptop walau saat ibunya menghampiri.

Sopia segera meraih rambut panjang Amelia. “Besok Amei potong rambut supaya terlihat lebih fress, jangan terlalu panjang begini. Apalagi kamu akan segera berkerja di kantornya papa, berpenampilan rapih itu harus, ubah penampilan karena sekarang sudah bukan mahasiswi.”

“Amei jelek kalau rambut pendek!” Padahal alasan sebenarnya supaya Erland mengenalinya. Dua tahun lalu rambutnya sepanjang sekarang setelah melewati pemotongan rambut kala hamil.

“Mama tahu fashion, mama juga tahu kamu pantasnya berpenampilan seperti apa!”

“Ma, bisa tidak sih jangan menuntut Amei menjadi seperti yang mama dan papa mau. Amei sudah cukup tertekan harus bekerja di kantor papa, tapi Amei tetap akan melakukannya, tapi kalau soal penampilan tubuh Amei, mama dan papa tidak usah mengatur,” protesnya dengan suara biasa saja supaya tidak menyekiti ibunya, tetapi dirinya tetap inginkan ibunya mengerti.

“Semenjak pulang dari luar negeri kamu banyak membantah, apalagi kamu membawa anak tidak jelas!” Tatapan kesal Sopia memang tidak terlihat oleh Amelia karena ibunya berada di depan punggungnya, tetapi dari cara penyampaian kalimatnya sudah jelas.

“Kenzo bukan anak tidak jelas ma, Kenzo anaknya Amei!”

“Kenzo anak orang lain, kamu tidak perlu menyayanginya sedalam itu sampai menggadaikan hidup kamu!” Sopia masih menyisir rambut Amelia dengan lembut walau kalimatnya selalu terdengar pedas, sedangkan Amelia berhenti berbicara. “Mei, besok mama akan memanggil penata rambut ke rumah kalau kamu malas pergi.” Nada suaranya sudah berubah lebih lembut dan santai.

Pun, suara Amelia sudah terdengar lebih santai. “Amei tidak akan memotong rambut ma, biarkan saja panjang seperti ini.”

“Potong nak, kalau peru sebahu, biar wajah kamu terlihat lebih fress, penampilan kamu juga lebih rapih.”

“Tidak ma, Amei tidak akan potong rambut!” Amelia meraih tangan kanan Sopia, menghentikan gerakan ibunya, kemudian bangkit dari duduknya untuk menatap sang ibu, “besok Amei akan mencoba konsentrasi pada perintah papa dan semua hal yang berurusan dengan perusahaan, tapi mama ataupun papa jangan memaksa Amei potong rambut. Amei mohon.”

Sopia membuang udara tipis. “Kamu ini Mei, dikasih tahu yang bagus dan benar tidak mau. Iya sudah, terserah kamu, asalkan penampilan kamu harus sangat rapih.” Wanita ini berlalu.

“God ..., kenapa sih Amei harus dilahirkan dari keluarga yang selalu mengagungkan kesempurnaan, kan capek kalau harus terus mengejar kesempurnaan, keselarasan!”

Hari berganti. Amelia menata rambutnya supaya terlihat rapih, dia memilih mengikatnya menjadi kuncir kuda, pun pakaiannya sangat formal dengan heels secukupnya. “Mei, kamu seperti orang mau wawancara kerja!” Tawanya pada diri sendiri kala melihat pantulan aneh dirinya di dalam cermin.

“Mei ...,” panggilan lembut ibunya. Segera, Amelia membuka pintu kamarnya.

“Amei sudah rapih kok ma. Kalau kurang rapih mama atur saja, tapi jangan rambut Amei!” Wanita ini berdiri santun di hadapan ibunya bersama sedikit senyuman sebagai pemanis, sedangkan Sopia sibuk menilai penampilan putrinya dari bawah hingga ke atas.

“Bagus. Lumayan. Setidaknya penampilan kamu tidak seperti kemarin.” Kini, Sopia menggiring Amelia dengan lembut hingga tiba di ruang makan. “Pa, lihat Amei yang baru, seger ya lihatnya.” Senyuman bangga Sopia.

“Penampilan anak papa sempurna,” pujian Adhinatha seiring menutup korannya, kemudian melanjutkan kalimat kala Amelia sudah duduk dengan anggun, “papa yakin kamu sudah siap menjadi bagian dari bisnis papa.”

“Akan Amei usahakan.”

“Papa anggap itu adalah janji Amei.” Kalimat Adhinatha memang sangat santai diiringi senyuman, tetapi tetap saja maknanya menekan. Namun, bagaimanapun juga Amelia harus memaklumi sekaligus menerima bagaimanapun orangtuanya.

Hari ini Amelia disibukan mengikuti intruksi ayahnya di bidang bisnis hingga tidak ada waktu untuknya menanyakan kabar Kenzo apalagi mencari tahu tentang Erland atau dipanggil juga William. “Loh, Amelia!” Nitara senang melihat kawan semasa kuliah.

“Tara, serius ini kamu!” Begitupun Amelia, bertemu Nitara seolah membuka kembali lembaran di masa kuliah di kampus pertamanya.

“Iya Mei, ini aku Tara. Aku baru saja selesai wawancara di perusahaan ini. Kamu juga ya?”

“Tidak sih, justru aku sudah menjadi bagian dari gedung ini.” Senyuman getir Amelia.

“Jadi duluan kamu dong wawancaranya ....” Nitara menunjukan sikap ramah dan menyenangkan selayaknya Nitara yang dulu, “eh ngomong-ngomong, kamu kan pindah kuliah ke luar negeri, kok tetap bekerja di sini?”

“Ngapain juga kerja di luar negeri. Aku pulang saja deh.” Senyuman kecil Amelia karena ingatannya segera mengarah pada Kenzo.

“Kok kayanya kamu sedih .., kenapa?” Nitara adalah sahabat dari semenjak ospek maka dirinya sangat mengenal Amelia, juga menjadi satu-satunya orang yang sangat peka pada suasana hati sahabatnya ini.

“Ada suatu hal yang buat aku sedih dan bingung, tapi seolah sulit untuk keluar dari situasi ini.”

“Calm down Mei, semua akan membaik pada waktunya.” Nitara mendaratkan pelukan, tetapi tidak lama karena handphonenya berdering. “Iya, Wil. Ini juga baru beres, kamu tunggu saja ya di depan.”

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status