Share

Bab 8. Apa Kamu Ingat Wanita yang Pernah Kamu Tiduri!

Nitara berpamitan pada Amelia, segera wanita ini meninggalkan gedung untuk menemui kekasihnya yang sudah menunggu di halaman. “Dari kapan di sini?”

“Barusan sih. Gimana wawancaranya?” tanya William-putra pengusaha paling hebat di negara ini yang semalam menjadi bahan pencarian Amelia di dalam internet.

“Aku keterima kerja, mulai besok aku punya jadwal di sini,” riang Nitara.

“Syukurlah ..., tapi tadi papa bilang lagi, katanya papa siap menerima kamu kapanpun.”

“Aku di sini saja ya ..., soalnya malu kalau bekerja di perusahaan papa kamu.”

“Iya sudah.” William mengusap puncak kepala Nitara sangat lembut dan penuh kasih. Kala mereka berlalu, barulah Amelia keluar dari gedung perusahaan untuk mencari udara segar.

“Pusing dan BT. Itu yang Amei rasakan di perusahaan papa. Harusnya papa biarkan Amei melakukan hobby yang dijadikan mata pencaharian!” Wanita ini duduk di kursi taman di halaman gedung. Handphone sudah dirogohnya, tetapi hanya dipandangi saja. “Kalau aku menanyakan Kenzo lagi pasti Mbak semakin berpikir kalau Kenzo anak aku. Identitas Kenzo tidak boleh kebobolan!” Maka, niatnya menghubungi segera diurungkan.

Sementara, William yang Amelia ketahui adalah Erland sedang membawa Nitara menuju kediamannya yang super mewah dan formal. “Tadi aku bertemu sahabat di masa kuliah, loh,” riang Nitara.

“Oh iya, dia juga melamar kerja kesana?” sahut hangat William bersama wajah teduh.

“Iya, tapi Amelia sudah menjadi bagian dari perusahaan, dia sudah diterima kerja sebelum aku. Senangnya ... bisa satu tempat kerja sama Amei!” keceriaan tergambar jelas dalam wajah Nitara.

“Baguslah, jadi kamu ada teman.” William sangat menyayangi Nitara bahkan kemarin dirinya terang-terang mengatakan pada media akan melamar kekasihnya yang adalah wanita di sampingnya walau wajah si wanita tidak dipublikasikan.

Nitara hanyalah seorang keturunan dari rakyat biasa, bahkan keluarganya bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Amelia apalagi dengan William. Semasa sekolah Nitara hanya mengandalkan beasiswa atas kecerdasannya hingga akhirnya menjadi lulusan terbaik di kampusnya dulu. Jika membandingkannya dengan harta dia kalah telak dari orang-orang di sekitarnya, tetapi jika dari segi kepintaran, Nitara juaranya bahkan Amelia bukan apa-apa.

Bagaswara menyambut hangat kedatangan Nitara-calon menantunya. Tidak ada kasta dalam penglihatannya, asalkan kedua putranya memilih wanita berpendidikan itu sudah cukup. “Bagaimana persiapan lamarannya? Jangan hanya membuat calon menantu papa menunggu harapan kosong,” kekeh pria berdasi dengan kekayaan tanpa batas.

“William sudah menyiapkan semuanya, tinggal menunggu hari yang sudah ditentukan saja.”

“Baiklah, papa tidak sabar,” kekeh Bagaswara lagi. Sebenarnya Nitara selalu merasa kecil saat berada dalam lingkaran keluarganya William, tetapi takdir memertemukan mereka tiga tahun lalu di sebuah gym. Namun, karena nama William terlalu besar maka Nitara tidak pernah mengenalkannya selain pada keluarga bahkan sahabatnya sendiri-Amelia tidak pernah tahu.

***

Hari ini sangat melelahkan untuk Amelia, tetapi sekali lagi dirinya mencoba mengunjungi kediaman Erland, berbicara secara langsung pada penjaga yang kemarin. “Apa Anda sudah mengatakan pesan saya kemarin pada Erland?”

“Maaf nona, saat ini Tuan Erland tidak bisa diganggu.”

“Apa Anda sudah menyampaikan pesan saya?” ulang Amelia menambah ketegasan.

“Jika nona memaksa, nona bisa meninggalkan nomor handphone, saya akan memberikannya pada Tuan Erland, tapi jangan terlalu berharap dihubungi.”

Amelia tidak lantas memberikan nomor handphonenya, dirinya memandangi penjaga karena mungkin dia adalah pria cabul yang hanya akan memanfaatkan nomor handphonenya. “Saya akan kembali besok, menanyakan hal yang sama.”

“Silakan nona, tapi jawabannya tetap sama, Tuan Erland tidak dapat diganggu.”

“Saya masih punya satu pertanyaan. Apa Erland dan William orang yang sama?”

“Nona, saya mohon jangan terlalu lancang memanggil atasan saya. Nona bisa menambahkan kata tuan di depan nama tuan muda,” teguran kecil pria tinggi besar ini.

“Mengapa sangat merepotkan!” gerutu Amelia, tetapi dirinya tidak dianjurkan menyerah, apalagi ibu asuh Kenzo hanya sampai dua minggu saja. “Saya minta kertas dan bolpoint!”

“Maaf nona, saya tidak punya.”

“Lalu bagaimana cara saya memberikan nomor handphonenya?”

“Silakan nona mencatatnya lalu berikan pada saya.” Datar pria ini yang dituntut propesional hingga harus selalu mengikuti aturan.

“Saya tidak punya bolpoint!” Sejenak Amelia mendengus, kemudian kembali ke dalam mobil untuk mengambil lisptik dan selembar tissue, menggoreskan deretan angka di sana. Terakhir menyerahkannya pada si pria. “Jangan sampai sobek, dan pastikan sampai pada Erland. Jangan anda salah gunakan!” Bola matanya bergerak ke atas ke bawah, mencurigai si pria.

“Baik, nona.”

Amelia memandangi kediaman Erland sesaat. “Seharusnya kamu pria biasa saja jadi mudah menemui kamu!” gerutunya kemudian pergi.

Baru saja mobil Amelia berlalu, mobil yang menaungi William dan Nitara keluar. “Maaf tuan. Seorang wanita meninggalkan nomor handphonenya,” sodor si pria yang sangat jujur, tetapi bisa saja menjadi mata pisau kala menghadapi bahaya.

William menerimanya, kemudian melirik Nitara. “Sayang, jangan salah paham ya, aku tidak tahu wanita ini siapa, tapi dia sudah datang sejak kemarin.”

Nitara membentuk senyuman hangat. “Tidak apa, toh kamu adalah orang penting, aku rasa banyak orang yang berkepentingan sama kamu.”

“Terimakasih pengertiannya, sayang.” William melajukan mobilnya menuju kediaman Nitara yang berada di pinggiran danau. Bagaswara sedang membangunkan tempat lebih layak untuk keluarga Nitara, tetapi belum sempurna maka rumah sederhana di pinggiran danau masih menjadi tempat bernaung mereka.

Beberapa jam kemudian langit berubah gelap, William sudah kembali ke kediamannya, menatap deretan angka yang ditulis menggunakan lipstik merah. “Siapa gadis ini, dia bersikeras ingin menemui Erland?” Panggilan di udara segera dihubungkan hanya saja William memprivat nomornya.

“Iya, siapa ya?” Suara indah seorang wanita menjadi penyambut panggilan William.

“Maaf, dengan siapa saya bicara?” Suara bariton William sangat indah di ruang dengar Amelia.

“Amelia. Siapa di sana?” Keyakinanya segera mencambuk jika pria ini yang dicarinya. Sebenarnya Amelia tidak terlalu mengingat suara pria memabukan dua tahun lalu, tetapi suara pria ini terdengar sangat indah sama halnya dengan Erland.

“Hanya seseorang. Apa kamu yang meninggalkan nomor handphone pada satpam?”

Segera, kedua mata Amelia membelalak. “Ka-kamu Erland!” lantangnya saking senang dan terkejutnya Amelia karena akhirnya bisa berinteraksi dengan pria yang sudah beberapa hari ini dicari.

“Iya.” Datar William.

“Erland please ..., kamu ingat aku kan. Wanita yang dua tahun lalu tidur sama kamu saat mabuk!”

Tut ....

Panggilan segera diputus sepihak oleh William. “Wanita gila. Siapa yang akan ingat kejadiaan menjijikan dua tahun lalu. Paling dia hanyalah wanita murahan yang menjebak setiap pria demi uang. Buktinya dia mencari setelah dua tahun berlalu, alasan apa lagi jika bukan karena uang!”

“Halo. Halo?” Amelia tidak terima dirinya diabaikan begitu saja, “kenapa dia mematikan telepon, apa dia tidak ingat aku atau dia sengaja menghindar?”

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status