Nitara berpamitan pada Amelia, segera wanita ini meninggalkan gedung untuk menemui kekasihnya yang sudah menunggu di halaman. “Dari kapan di sini?”
“Barusan sih. Gimana wawancaranya?” tanya William-putra pengusaha paling hebat di negara ini yang semalam menjadi bahan pencarian Amelia di dalam internet.
“Aku keterima kerja, mulai besok aku punya jadwal di sini,” riang Nitara.
“Syukurlah ..., tapi tadi papa bilang lagi, katanya papa siap menerima kamu kapanpun.”
“Aku di sini saja ya ..., soalnya malu kalau bekerja di perusahaan papa kamu.”
“Iya sudah.” William mengusap puncak kepala Nitara sangat lembut dan penuh kasih. Kala mereka berlalu, barulah Amelia keluar dari gedung perusahaan untuk mencari udara segar.
“Pusing dan BT. Itu yang Amei rasakan di perusahaan papa. Harusnya papa biarkan Amei melakukan hobby yang dijadikan mata pencaharian!” Wanita ini duduk di kursi taman di halaman gedung. Handphone sudah dirogohnya, tetapi hanya dipandangi saja. “Kalau aku menanyakan Kenzo lagi pasti Mbak semakin berpikir kalau Kenzo anak aku. Identitas Kenzo tidak boleh kebobolan!” Maka, niatnya menghubungi segera diurungkan.
Sementara, William yang Amelia ketahui adalah Erland sedang membawa Nitara menuju kediamannya yang super mewah dan formal. “Tadi aku bertemu sahabat di masa kuliah, loh,” riang Nitara.
“Oh iya, dia juga melamar kerja kesana?” sahut hangat William bersama wajah teduh.
“Iya, tapi Amelia sudah menjadi bagian dari perusahaan, dia sudah diterima kerja sebelum aku. Senangnya ... bisa satu tempat kerja sama Amei!” keceriaan tergambar jelas dalam wajah Nitara.
“Baguslah, jadi kamu ada teman.” William sangat menyayangi Nitara bahkan kemarin dirinya terang-terang mengatakan pada media akan melamar kekasihnya yang adalah wanita di sampingnya walau wajah si wanita tidak dipublikasikan.
Nitara hanyalah seorang keturunan dari rakyat biasa, bahkan keluarganya bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Amelia apalagi dengan William. Semasa sekolah Nitara hanya mengandalkan beasiswa atas kecerdasannya hingga akhirnya menjadi lulusan terbaik di kampusnya dulu. Jika membandingkannya dengan harta dia kalah telak dari orang-orang di sekitarnya, tetapi jika dari segi kepintaran, Nitara juaranya bahkan Amelia bukan apa-apa.
Bagaswara menyambut hangat kedatangan Nitara-calon menantunya. Tidak ada kasta dalam penglihatannya, asalkan kedua putranya memilih wanita berpendidikan itu sudah cukup. “Bagaimana persiapan lamarannya? Jangan hanya membuat calon menantu papa menunggu harapan kosong,” kekeh pria berdasi dengan kekayaan tanpa batas.
“William sudah menyiapkan semuanya, tinggal menunggu hari yang sudah ditentukan saja.”
“Baiklah, papa tidak sabar,” kekeh Bagaswara lagi. Sebenarnya Nitara selalu merasa kecil saat berada dalam lingkaran keluarganya William, tetapi takdir memertemukan mereka tiga tahun lalu di sebuah gym. Namun, karena nama William terlalu besar maka Nitara tidak pernah mengenalkannya selain pada keluarga bahkan sahabatnya sendiri-Amelia tidak pernah tahu.
***
Hari ini sangat melelahkan untuk Amelia, tetapi sekali lagi dirinya mencoba mengunjungi kediaman Erland, berbicara secara langsung pada penjaga yang kemarin. “Apa Anda sudah mengatakan pesan saya kemarin pada Erland?”
“Maaf nona, saat ini Tuan Erland tidak bisa diganggu.”
“Apa Anda sudah menyampaikan pesan saya?” ulang Amelia menambah ketegasan.
“Jika nona memaksa, nona bisa meninggalkan nomor handphone, saya akan memberikannya pada Tuan Erland, tapi jangan terlalu berharap dihubungi.”
Amelia tidak lantas memberikan nomor handphonenya, dirinya memandangi penjaga karena mungkin dia adalah pria cabul yang hanya akan memanfaatkan nomor handphonenya. “Saya akan kembali besok, menanyakan hal yang sama.”
“Silakan nona, tapi jawabannya tetap sama, Tuan Erland tidak dapat diganggu.”
“Saya masih punya satu pertanyaan. Apa Erland dan William orang yang sama?”
“Nona, saya mohon jangan terlalu lancang memanggil atasan saya. Nona bisa menambahkan kata tuan di depan nama tuan muda,” teguran kecil pria tinggi besar ini.
“Mengapa sangat merepotkan!” gerutu Amelia, tetapi dirinya tidak dianjurkan menyerah, apalagi ibu asuh Kenzo hanya sampai dua minggu saja. “Saya minta kertas dan bolpoint!”
“Maaf nona, saya tidak punya.”
“Lalu bagaimana cara saya memberikan nomor handphonenya?”
“Silakan nona mencatatnya lalu berikan pada saya.” Datar pria ini yang dituntut propesional hingga harus selalu mengikuti aturan.
“Saya tidak punya bolpoint!” Sejenak Amelia mendengus, kemudian kembali ke dalam mobil untuk mengambil lisptik dan selembar tissue, menggoreskan deretan angka di sana. Terakhir menyerahkannya pada si pria. “Jangan sampai sobek, dan pastikan sampai pada Erland. Jangan anda salah gunakan!” Bola matanya bergerak ke atas ke bawah, mencurigai si pria.
“Baik, nona.”
Amelia memandangi kediaman Erland sesaat. “Seharusnya kamu pria biasa saja jadi mudah menemui kamu!” gerutunya kemudian pergi.
Baru saja mobil Amelia berlalu, mobil yang menaungi William dan Nitara keluar. “Maaf tuan. Seorang wanita meninggalkan nomor handphonenya,” sodor si pria yang sangat jujur, tetapi bisa saja menjadi mata pisau kala menghadapi bahaya.
William menerimanya, kemudian melirik Nitara. “Sayang, jangan salah paham ya, aku tidak tahu wanita ini siapa, tapi dia sudah datang sejak kemarin.”
Nitara membentuk senyuman hangat. “Tidak apa, toh kamu adalah orang penting, aku rasa banyak orang yang berkepentingan sama kamu.”
“Terimakasih pengertiannya, sayang.” William melajukan mobilnya menuju kediaman Nitara yang berada di pinggiran danau. Bagaswara sedang membangunkan tempat lebih layak untuk keluarga Nitara, tetapi belum sempurna maka rumah sederhana di pinggiran danau masih menjadi tempat bernaung mereka.
Beberapa jam kemudian langit berubah gelap, William sudah kembali ke kediamannya, menatap deretan angka yang ditulis menggunakan lipstik merah. “Siapa gadis ini, dia bersikeras ingin menemui Erland?” Panggilan di udara segera dihubungkan hanya saja William memprivat nomornya.
“Iya, siapa ya?” Suara indah seorang wanita menjadi penyambut panggilan William.
“Maaf, dengan siapa saya bicara?” Suara bariton William sangat indah di ruang dengar Amelia.
“Amelia. Siapa di sana?” Keyakinanya segera mencambuk jika pria ini yang dicarinya. Sebenarnya Amelia tidak terlalu mengingat suara pria memabukan dua tahun lalu, tetapi suara pria ini terdengar sangat indah sama halnya dengan Erland.
“Hanya seseorang. Apa kamu yang meninggalkan nomor handphone pada satpam?”
Segera, kedua mata Amelia membelalak. “Ka-kamu Erland!” lantangnya saking senang dan terkejutnya Amelia karena akhirnya bisa berinteraksi dengan pria yang sudah beberapa hari ini dicari.
“Iya.” Datar William.
“Erland please ..., kamu ingat aku kan. Wanita yang dua tahun lalu tidur sama kamu saat mabuk!”
Tut ....
Panggilan segera diputus sepihak oleh William. “Wanita gila. Siapa yang akan ingat kejadiaan menjijikan dua tahun lalu. Paling dia hanyalah wanita murahan yang menjebak setiap pria demi uang. Buktinya dia mencari setelah dua tahun berlalu, alasan apa lagi jika bukan karena uang!”
“Halo. Halo?” Amelia tidak terima dirinya diabaikan begitu saja, “kenapa dia mematikan telepon, apa dia tidak ingat aku atau dia sengaja menghindar?”
Bersambung ....
“Eu ... lumayan. Tidak salah kan, Zeel berdekatan sama tantenya.” Saat ini jantung Amelia mulai tidak tenang karena mungkin dirinya salah telah membicarakan hal ini dengan Erland. “Tidak, tidak salah sama sekali. Yang salah adalah jika terlalu dekat. Jangan sampai Zeel menganggap Tara sebagai ibunya. Kamu tahu sendiri seorang bayi akan mengenali aroma ibunya, jika Tara terlalu dekat dan sering berdekatan dengan Zeel bukankah ada kemungkinan Zeel akan nyaman dengan tubuh Tara dan salah mengenali aroma tubuh tantenya sebagai aroma tubuh ibunya.” Tatapan Erland sangat serius kala membahas hal yang tidak disukainya. “I-ya. Tapi itu tidak akan terjadi.” Senyuman hambar Amelia yang mulai gagap hingga Erland mampu membaca hal tidak beres, tetapi dia tidak akan menginterograsi Amelia karena tidak seharusnya seorang istri yang telah melahirkan anak-anaknya mendapatkan pertanyaan memojokan. Justru Erland memberikan kecupan hangat di dahi Amelia. “Beristirahatlah ..., tapi aku tinggal sebenta
Amanda kembali pada Amelia, tetapi tidak mengatakan apapun walaupun mungkin keputusannya kurang tepat. “Kak?” sapa Amelia yang melihat kebingungan di wajah Amanda, “ada apa? Kakak lagi bingung ya, kenapa? Eh, tapi bukan Amei mau ikut campur ya Kak. Hihi ... tapi Kakak bisa berbagi apapun kok sama Amei. Jangan sungkan.”Amanda mendesah. “Iya, ada hal yang membuat Kakak bingung. Apa itu terlihat sangat jelas?” Bukan hanya raut wajahnya saja yang mengatakan isi hatinya, tetapi juga tatapan matanya.Amelia terkekeh sebelum berkata, “Iya Kak, terlihat sangat jelas. Apalagi kita sudah sangat dekat, jadi sepertinya Amei bisa melihat hal sekecil apapun dari Kakak. Hihi ....” Kekeh kecilnya ditambahkan, kemudian memandangi Amanda penuh peduli, “Apa itu, Kak? Cerita saja sama Amei. Jangan sungkan.”Amanda kembali mendesah. “Itu ... tentang hal besar Mei. Kakak masih memikirkannya karena Kakak tidak yakin apa prasangka Kakak benar. Tapi ... Kakak rasa memang benar.”“Ikuti saja kata hati Kakak,
Saat ini Nitara sedang menyaksikan Amelia saat bersama dengan Grizelle. Miranda sudah turun lebih dulu, tetapi wanita ini ingin menyaksikan malaikat kecil dari atas sini karena wajahnya begitu manis dan cantik dengan sentuhan kehangatan. Dia menilai jika bayi perempuan itu akan tumbuh menjadi manusia yang sangat ramah. “Sayang ...,” panggilan Miranda saat beberapa anak tangga sudah dipijaknya seiring menggendong Galaxy. “Eu-iya Ma.” Nitara segera bergegas menuju punggung Miranda. Tangga rumah ini cukup luas, bisa langsung dipijak tiga sampai empat orang sekaligus, hanya saja Nitara tetap ingin berada di belakang mertuanya dibandingkan di sisinya supaya tetap dapat menyaksikan wajah Grizelle. ‘Andai kamu menjadi anakku. Bagaimanapun caranya, jadilah anakku.’Kini, Nitara dan Miranda sudah bergabung dengan Amelia dan Sopia yang asik mengasuh Grizelle. Saat Galaxy tiba, tentunya semua orang merasa lebih bahagia. Saat ini Sopia menyisipkan kata pamitannya pada sang besan. “Saya akan pu
Saat ini hati Cristy bergetar, entah mengapa?“Astaga ... sepertinya karena aku sering bertemu Tio jadi sekalinya tidak bertemu akhirnya seperti ini. Aku memikirkannya. Ck!” Cristy tidak menyukai perasaan seperti ini, tetapi terpaksa harus menjalaninya karena sudah menjadi ketentuan alam. Wanita ini sedang merias bunga kertas di rumahnya untuk nantinya sekalian dijajakan di butik. “Tio bisa melibatkanku dalam acara amalnya, tapi aku tidak mau bukan tidak bisa melibatkan Tio dalam kegiatanku, biarkan saja dia beristirahat di masa pemulihannya.” Udara panjang dibuang.Namun, karena isi kepalanya sering mengarah pada Tio akhirnya Cristy mencoba menghubungi saat menuju butiknya. “Hi, apa kabar hari ini?” kekeh kecilnya.Di luar dugaan Cristy, karena Tio terkekeh ceria, “Aku suka mendapatkan panggilan darimu. Jadi sudah dapat disimpulkan jika aku baik-baik saja.”“Ayolah ... yang serius, jangan menggoda. Bukan waktunya!” Cristy tidak luluh karena saat ini dia sedang ingin mendengar kabar p
Bibi tidak meninggalkan kamar Amelia karena Kenzo asik bermain mobilannya di sana. Maka, saat Amelia menyelesaikan mandinya wanita ini kembali bertemu dengan anak sulungnya. “Kenzo lagi apa ... Mama jemput Zeel ya sebentar biar kalian main berdua,” kekeh bahagianya karena kehidupannya penuh warna dan cerita. Amelia segera menuju anak keduanya setelah wanita ini membersihkan diri, tetapi dia belum memompa asi, lagipula Grizelle barusaja menyusu pada Nitara, asinya juga belum terkumpul banyak, terlalu tanggung jika harus dipompa sekarang. Di ambang pintu, dia kembali menyaksikan jika Nitara bersenandung untuk putrinya walaupun Grizelle terlelap sangat nyenyak. Senyuman melengkung. “Sesayang itu Tara sama Zeel ....” Amelia merasa sosok Nitara tidak akan ditemuinya pada diri orang lain. Saat ini Galaxy menangis, maka Nitara segera menyuruh babysitter menggendong putranya sekalian menghangatkan susu. Saat ini Amelia sedikit keheranan karena seharusnya Galaxy bisa menyusu langsung pada ib
Bibi menghampiri Amelia yang sedang bersiap-siap mandi sekalian memompa asi. “Non, sedang sibuk?” tanya santai wanita ini seiring menuntun Kenzo masuk ke dalam kamar Amelia.“Tidak Bi, ada apa, Kenzo rewel mau sama Amei?” tebak Amelia karena bibi tiba bersama putranya walaupun itu tidak aneh, Kenzo adalah tanggung jawab bibi selama dirinya dan keluarganya tidak dapat memerhatikan malaikat kecil satu ini. “Tidak Non. Bibi hanya mau bicara sebentar, apa Non Amei ada waktu?” Sedekat apapun wanita ini dengan nyonya muda Amelia, dia tetap harus mengingat posisinya, dan walaupun dirinya mendapatkan kepercayaan penuh menjaga Kenzo. Maka, sikapnya tidak pernah berlebihan, selalu di dalam batas. “Silakan, Bi ....” Amelia tidak akan pernah menolak kehadiran wanita itu. Maka, kini keduanya duduk bersebelahan di atas sofa yang sama, sedangkan Kenzo anteng bermain di karpet empuk di dekat kaki ibunya. Tidak lupa, wanita ini menjamu bibi. Jadi, keduanya meminum teh bersama. “Apa yang akan bibi bi