Bragh!
Haru menghentam ujung sepatunya ke hidung Rania, membuat hidung Rania menjadi mengeluarkan darah. Rania merintih kesakitan, bahkan dia sudah bersujud di bawah sana, bersujud di depan Haru. Ada rasa pedih pada rongga hidungnya yang tidak dapat dibendung sekarang.Haru berjongkok dan menjambak rambut Rania ke belakang. "Apa kau dendam padaku? Karena aku telah mengambil jantung ibumu?" Mendengar kalimat yang dilontarkan pria paruh baya tersebut, membuat Rania menggelengkan kepalanya."T-tidak ... a-aku kesi-""Ayah?" panggil Raihan yang datang bersama Jihan ke tempat sewaan ayahnya. Mereka datang dengan pakaian yang rapi dan tentu saling berpegangan tangan. Harusnya, hari ini Jihan dan Raihan akan melakukan makan malam bersama Haru Atmadja dan ayah Jihan. Namun, tadi ayah Raihan menemukan Rania dan mengajaknya bertemu, setelah itu menyeret wanita itu ke tempat sewaan yang ayah Raihan sewa untuk makan malam nantinya.Tapi, siapa sangkaRania membuka laci meja kerjanya dan mengeluarkan kaca matanya yang patah. Dengan berhati-hati ia menyatukan kembali patahan itu dengan menempelkan lakban di patahan tersebut. "Bulan ini aku tetap dapat gaji, kan?" gumamnya tak yakin akan hal itu. Dia sudah janji pada David dan Renan akan membeli mainan mahal itu. Menurutnya, kaca matanya tidak lebih penting daripada mainan Vano dan mainan David. Apalagi, saat memikirkan bagaimana David dan Vano yang selalu menghitung kalender dan akan bersorak ria jika waktu mendekati tanggal muda sudah di depan mata. "Dapat," sahut seseorang yang sedang berdiri di depan meja kerjanya dengan menaruh dokumen keterikatan kontrak. Memandangi Rania yang sejak tadi berkutik dengan kacamata buluknya yang sudah pantas untuk diganti dengan yang baru, dari pada melakbani seperti itu. Rania mendongakkan kepalanya, seketika dia langsung berdiri dan membungkukkan tubuhnya sesopan mungkin. Dia menyesal telah menjadi karya
"Rania, maafkan aku. Aku memikirkan perasaan Ibu. Kenapa kau berpikir seperti itu? Ibu tidak akan memisahkan kau dengan Vano ...." "Renan, kau tak paham dengan perasaanku, bagaimana bisa aku membiarkan putraku bersama mereka, mereka pasti akan menjauhkanku dengan putraku. Aku benar-benar kecewa padamu, Ren." "Kau egois! Ibu juga menderita selama ini. Jangan merasa kau yang paling tersakiti. Ibu juga tersakiti Rania!" Nada bicara Renan tiba-tiba meninggi dengan maksud agar Rania sedikit untuk tidak egois dengan membiarkan Hani tau bahwa Vano adalah cucu kandungnya. Rania menarik nafasnya dalam-dalam, berusaha mengontrol emosinya agar tidak meledak-ledak. "Kembalikan putraku sekarang juga! Aku tidak mau tahu!" "Jika kau masih ingin melihat putramu, datanglah ke apartemenku, Rania. Jika tidak, berdiamlah kau dengan pekerjaanmu itu," balas Renan tidak mau kalah. "Ren!" "Pikirkanlah, kau egois Rania!" tampik Renan dengan semakin
Rania dengan langkah ragu-ragu menekan tombol bell pada apartemen milik Renan. Bukan tidak siap, dia hanya takut dan malu bertemu Hani. Rasanya dia memiliki banyak dosa dan merasa bersalah pada wanita paruh baya itu. Memang nasibnya, Renan menunggu kehadiran wanita itu dengan berdiri di dekat rak sepatu. Saat dia membuka pintunya, terlihat wajah gemetar dan panik yang ditampilkan sang pujaan hati. Renan menyentuh pergelangan tangan Rania dan menariknya sedikit agar wanita itu masuk ke dalam apartemennya. Namun, Rania tidak bergeming sedikitpun dari tempatnya, membuat Renan menaikkan kedua alisnya. "Ayo, ibu menunggu di dalam," ucap Renan meyakinkan Rania. "A-aku takut ...." jawab Rania. "Takut apa? Ibu tidak gigit, Kok." "Bukan itu," balas Rania lagi, matanya mencoba melirik ke arah dalam apartemen Renan. "Lantas?" "Takut ibu akan marah padaku," tukasnya kemudian. Bahkan, kepalanya tertunduk menjadi tidak percaya diri. Renan menaruh telapak tangannya di atas kepala Rania dan m
"Sumsum tulang belakangmu tidak cocok dengan Vano. Aku rasa kau harus menghubungi ayahnya," ucap dokter Shin sambil menyerahkan surat keterangan hasil lab pada Rania. Sempat ragu memberikannya, namun tidak mungkin kan tidak diberitahu? Demi keselamatan Vano kedepannya. Rania tertegun memandangi sebuah amplop putih bersih dengan seksama. Dia tidak siap dengan isi di dalamnya. Tidak siap dengan tulisan yang ada di dalamnya, bahkan jantungnya berdegup tidak karuan. Perlahan, Rania membuka amplopnya dengan hati-hati. Membuka lipatan kertas dengan tangan yang bergetar hebat. Saat netranya menangkap tulisan di dalamnya, di saat itulah bahu Rania terjatuh dalam. Air matanya turun tanpa izin, membasahi pipi si wanita pekerja keras ini. "Harus bertindak cepat. Anakmu mengalami gejala leukimia. Cepat atau lambat bisa berdampak dengan organ tubuh yang lain," kilah Dokter Shin, dia menyentuh punggung tangan Rania dengan lembut dan diusap pelan. Baginya, tidak ada yang lebih menyakitkan ketika
Rania menatap Raihan dengan nyalang, bisa-bisanya laki-laki itu berbicara yang buruk kepada seorang ibu seperti Rania. Sungguh, bukan menunjukkan sikap seseorang yang berpendidikan. "K-kau sepertinya sangat membenci anakku karena perbuatanku di masa lalu. Tapi, terlepas dari itu ... apa kau tidak punya hati berbicara seolah-olah anakku nakal dan Tuhan sedang menghukumnya. Apa yang anakku lakukan sampai kau sebenci ini kepadanya? Apa dia meminta uangmu? Apa dia berkata tidak sopan kepadamu? Apa keberadaanya sangat mengusik kehidupanmu, Tuan Raihan Atmadja?" Deg! Hati Raihan bergetar hebat, perkataan Rania sungguh tidak bisa ditebak. Wanita itu dengan emosinya yang membuncah mampu membuat seorang Raihan terdiam, dia tidak menyangka jika Rania bisa semarah ini atas perkataannya yang kelewatan. "Rania, mas Raihan adalah bosmu," tekan Jihan memperingati. Jihan tidak suka ada bawahan yang sekenanya berbicara layaknya memiliki derajat yang tinggi dari pad
The day. Hari terakhir Rania bekerja di perusahaan keluarga Atmadja. Dia sudah mengemasi barang-barangnya dan diletakkan dalam dua buah kardus. Tidak ada yang tersisa, hanya ada sebuah vas bunga kecil yang bukan kepunyaannya. Seseorang berlari menghampiri Rania dengan tergesa-gesa. Tampak, napasnya tersengal-sengal karena berlarian sepanjang jalan koridor menuju ruangan staff yang ditempati Rania. "Kakak! Kakak. Vano sedang menangis diluar. Bos memarahinya karena Vano dan Dean memecahkan pot bunga keramik di dekat ruang vip," ucap Rahayu sambil menarik-narik lengan Rania tidak sabaran. Mengajak seniornya itu untuk segera menghampiri Vano. Rania membulatkan matanya dan kaget atas perkataan Rahayu. "Dimana anakku sekarang?" Rania bergegas memakai sepatu haknya dan mengikuti jalan Rahayu. "Masih disana. Ada si Jihan Jihan itu juga Kak, cepatlah! Vano menangis keras." Rahayu terus menarik-narik lengan Rania dengan tidak sabaran.
Hari-hari dilewati Rania dengan perasaan yang lebih baik, tidak ada tekanan dalam pekerjaan maupun tuntutan pengerjaan laporan dalam jangka singkat. Rania bahagia walau efek keuangannya jadi menurun drastis. Namun, Rania masih tetap bersyukur saat ini. Lima hari setelah Rania resmi dipecat, wanita itu bekerja di sebuah restaurant dan menjabat sebagai koki. Seperti sebelumnya, Rania mendapatkan kebebasan untuk membawa putranya bekerja. Hari-harinya, dia habiskan berkutik pada pisau dan dapur, skill masaknya memang tidak sebagus saat ia berkutik dengan pensil gambarnya. Tentu, Rania sudah terbiasa dengan alat gambar. Di lain sisi, Raihan juga disibukkan dengan pekerjaannya yang semakin hari semakin memadat. Ditambah dengan kekacauan akibat tidak terkontrolnya pekerjaan yang sebelumnya hal itu menjadi tanggung jawab Rania. Mereka belum menemukan pengganti Rania. Bahkan, Renan sudah tidak acuh lagi dengan apa yang terjadi di perusahaan ini. Dia bahkan tidak
Hani memejamkan matanya, air matanya menyelinap begitu saja dari pelupuk matanya yang cantik. Berderaian jatuh tanpa henti. Namun, dia juga perlahan lega karena rahasia yang selama ini ia tutup rapat-rapat akhirnya terkuak dari mulutnya sendiri. "I-ibu ...." Raihan memegangi pergelangan tangan ibunya. Dia sangat syok, sampai dia sendiri kebingungan sekarang. Semua perkataan Hani terasa begitu cepat berputar di kepalanya. Bahkan, lidahnya seperti mati rasa untuk berkata sesuatu. Hani kembali melanjutkan. "Raniaku t-tidak pernah menggoda ayahmu ... hahhh ... d-dia tidak pernah menerima uang itu R-raihan ... dia menolaknya. Maafkan aku ...." Hani memukul dadanya dengan tangan kanan, rasanya sudah tidak sanggup lagi berbicara. Ia benar-benar ingin semuanya selesai dan hidup dengan tenang setelah ini. Ia ingin bisa dengan bebas bertemu cucunya dan mengasuh Vano dengan tangannya sendiri. Takdir sudah membawanya kesini dan di titik ini dirinya harus membayar w