"Sumsum tulang belakangmu tidak cocok dengan Vano. Aku rasa kau harus menghubungi ayahnya," ucap dokter Shin sambil menyerahkan surat keterangan hasil lab pada Rania. Sempat ragu memberikannya, namun tidak mungkin kan tidak diberitahu? Demi keselamatan Vano kedepannya. Rania tertegun memandangi sebuah amplop putih bersih dengan seksama. Dia tidak siap dengan isi di dalamnya. Tidak siap dengan tulisan yang ada di dalamnya, bahkan jantungnya berdegup tidak karuan. Perlahan, Rania membuka amplopnya dengan hati-hati. Membuka lipatan kertas dengan tangan yang bergetar hebat. Saat netranya menangkap tulisan di dalamnya, di saat itulah bahu Rania terjatuh dalam. Air matanya turun tanpa izin, membasahi pipi si wanita pekerja keras ini. "Harus bertindak cepat. Anakmu mengalami gejala leukimia. Cepat atau lambat bisa berdampak dengan organ tubuh yang lain," kilah Dokter Shin, dia menyentuh punggung tangan Rania dengan lembut dan diusap pelan. Baginya, tidak ada yang lebih menyakitkan ketika
Rania menatap Raihan dengan nyalang, bisa-bisanya laki-laki itu berbicara yang buruk kepada seorang ibu seperti Rania. Sungguh, bukan menunjukkan sikap seseorang yang berpendidikan. "K-kau sepertinya sangat membenci anakku karena perbuatanku di masa lalu. Tapi, terlepas dari itu ... apa kau tidak punya hati berbicara seolah-olah anakku nakal dan Tuhan sedang menghukumnya. Apa yang anakku lakukan sampai kau sebenci ini kepadanya? Apa dia meminta uangmu? Apa dia berkata tidak sopan kepadamu? Apa keberadaanya sangat mengusik kehidupanmu, Tuan Raihan Atmadja?" Deg! Hati Raihan bergetar hebat, perkataan Rania sungguh tidak bisa ditebak. Wanita itu dengan emosinya yang membuncah mampu membuat seorang Raihan terdiam, dia tidak menyangka jika Rania bisa semarah ini atas perkataannya yang kelewatan. "Rania, mas Raihan adalah bosmu," tekan Jihan memperingati. Jihan tidak suka ada bawahan yang sekenanya berbicara layaknya memiliki derajat yang tinggi dari pad
The day. Hari terakhir Rania bekerja di perusahaan keluarga Atmadja. Dia sudah mengemasi barang-barangnya dan diletakkan dalam dua buah kardus. Tidak ada yang tersisa, hanya ada sebuah vas bunga kecil yang bukan kepunyaannya. Seseorang berlari menghampiri Rania dengan tergesa-gesa. Tampak, napasnya tersengal-sengal karena berlarian sepanjang jalan koridor menuju ruangan staff yang ditempati Rania. "Kakak! Kakak. Vano sedang menangis diluar. Bos memarahinya karena Vano dan Dean memecahkan pot bunga keramik di dekat ruang vip," ucap Rahayu sambil menarik-narik lengan Rania tidak sabaran. Mengajak seniornya itu untuk segera menghampiri Vano. Rania membulatkan matanya dan kaget atas perkataan Rahayu. "Dimana anakku sekarang?" Rania bergegas memakai sepatu haknya dan mengikuti jalan Rahayu. "Masih disana. Ada si Jihan Jihan itu juga Kak, cepatlah! Vano menangis keras." Rahayu terus menarik-narik lengan Rania dengan tidak sabaran.
Hari-hari dilewati Rania dengan perasaan yang lebih baik, tidak ada tekanan dalam pekerjaan maupun tuntutan pengerjaan laporan dalam jangka singkat. Rania bahagia walau efek keuangannya jadi menurun drastis. Namun, Rania masih tetap bersyukur saat ini. Lima hari setelah Rania resmi dipecat, wanita itu bekerja di sebuah restaurant dan menjabat sebagai koki. Seperti sebelumnya, Rania mendapatkan kebebasan untuk membawa putranya bekerja. Hari-harinya, dia habiskan berkutik pada pisau dan dapur, skill masaknya memang tidak sebagus saat ia berkutik dengan pensil gambarnya. Tentu, Rania sudah terbiasa dengan alat gambar. Di lain sisi, Raihan juga disibukkan dengan pekerjaannya yang semakin hari semakin memadat. Ditambah dengan kekacauan akibat tidak terkontrolnya pekerjaan yang sebelumnya hal itu menjadi tanggung jawab Rania. Mereka belum menemukan pengganti Rania. Bahkan, Renan sudah tidak acuh lagi dengan apa yang terjadi di perusahaan ini. Dia bahkan tidak
Hani memejamkan matanya, air matanya menyelinap begitu saja dari pelupuk matanya yang cantik. Berderaian jatuh tanpa henti. Namun, dia juga perlahan lega karena rahasia yang selama ini ia tutup rapat-rapat akhirnya terkuak dari mulutnya sendiri. "I-ibu ...." Raihan memegangi pergelangan tangan ibunya. Dia sangat syok, sampai dia sendiri kebingungan sekarang. Semua perkataan Hani terasa begitu cepat berputar di kepalanya. Bahkan, lidahnya seperti mati rasa untuk berkata sesuatu. Hani kembali melanjutkan. "Raniaku t-tidak pernah menggoda ayahmu ... hahhh ... d-dia tidak pernah menerima uang itu R-raihan ... dia menolaknya. Maafkan aku ...." Hani memukul dadanya dengan tangan kanan, rasanya sudah tidak sanggup lagi berbicara. Ia benar-benar ingin semuanya selesai dan hidup dengan tenang setelah ini. Ia ingin bisa dengan bebas bertemu cucunya dan mengasuh Vano dengan tangannya sendiri. Takdir sudah membawanya kesini dan di titik ini dirinya harus membayar w
Andai …. "Ano, mamamnya dihabiskan dulu, Nak, baru pakai sepatunya. Handa tidak akan kemana-mana. Iya kan, Handa?" Rania memandang Raihan yang sedang duduk di kursi meja makan dengan sepiring nasi goreng di hadapannya. "Benar, Buna benar," jawab Raihan dengan terus tersenyum lebar memperhatikan istri cantiknya yang kelewat mempesona. "Tapi, Ano udah kenyang Bun," timpal anak laki-laki yang berumur tiga tahun itu. "Sedikit lagi, ayo habiskan, Sayang," bujuk Rania kembali dengan tatapannya yang sedikit merajuk pada Vano. "Iya, anak Handa harus banyak makan biar cepat tumbuh besar," ucap Raihan menambahi perkataan istrinya. "Memang kenapa Handa kalau Ano tubuh besar?" "Biar bisa tidur sendiri," jawab Raihan dengan takut-takut memandang istrinya yang menatap memicing tajam. "Itu loh, kan kasurnya sempit kalo ada Ano di tengahnya." "Oooo," respon si kecil dengan kepala yang mengangguk-ngangguk paham. "Handa s
"Jadi, ini restaurant tempatnya bekerja?" Raihan melihat sekeliling bangunan restaurant tempat Rania bekerja. Bukan restaurant bintang lima, pasti gajinya juga tidak besar. Terlihat juga dari tempatnya yang kurang luas, namun tidak sepi pelanggan. "Restaurant ini masih terbilang kecil ukurannya," sambungnya lagi sambil mengusap lehernya yang sedikit merinding karena cuaca dingin. Laki-laki itu juga semakin mengeratkan jaket ke tubuh kekarnya. Hoek! Hoek!Terdengar suara wanita yang sedang muntah dari pintu belakang restaurant, Raihan dapat melihat dari tempat berdirinya. Sosok wanita yang beberapa hari ini memenuhi isi pikirannya. "R-rania …," lirih Raihan saat Rania memuntahkan isi perutnya begitu saja. Wanita itu berjongkok sambil menekan perutnya yang sakit. Tampak, gadis yang kelihatan lebih muda dari Rania mengusap leher Rania dan memberikan segelas air putih untuk bunanya Vano itu. Si gadis muda tampak khawatir dan berbicara pada Rania. Terlih
"Rania," panggil Raihan yang membuat Rania menolehkan kepalanya ke belakang. Dia hapal betul siapa pemilik suara lembut yang khas seperti itu. Suara itu juga sama persis seperti empat tahun yang lalu. "B-bapak? Ada apa Bapak di tempat seperti ini?" Rania kebingungan dan agak kaget dengan tatapan Raihan yang sangat teduh dan terlihat putus asa. "Memangnya kenapa jika aku berada disini?" tanya Raihan, dirinya tidak melepaskan pandangan matanya pada Rania sedetik pun, rasanya sangat berharga bisa terus memandang Rania seperti ini, tanpa jeda. "I-ini kan bukan unit elit. T-tidak mungkin teman atau investormu tinggal di tempat sempit seperti ini," balas Rania lagi dengan tatapan mata yang bergetar nyaris memerah. "Kau sendiri sedang apa?" "Aku ingin ke unitku sendiri." Rania mengambil bawaannya yang tergeletak di bawah lantai dan menentengnya seperti awal tiba di depan lift. "Kenapa kau mengajak anakmu tinggal di tempat seperti