Ada masanya seseorang lelah, dan logika mengirim sinyal pada hati agar lekas menyerah. Sebab merdunya bisikan cinta tak 'kan pernah terdengar, pada sebelah tangan yang bertepuk di udara.
.
Setelah membeli sarapan untuk Senja dan Danish di kantin rumah sakit, Fais pamit pulang, karena harus ke kantor. Dan berjanji pada bocah kecil itu untuk menjenguknya sepulang kerja.
Meski Senja sudah melarang, nurani Fais masih berfungsi dengan baik. Melihat sepasang mata sipit milik Danish yang mulai berkaca, Fais tidak tega.
"Kenapa Ayah Fais nggak boleh ke sini lagi, Bunda? Apa karena Danish nakal?"
"Bukan nggak boleh, Sayang. Tapi, Om Fais, kan sibuk ...."
"Nggak kok. Ayah nggak sibuk, nanti pulang kerja, Ayah pasti ke sini buat jenguk Danish. Danish anak yang baik, siapa bilang Danish nakal?"
"Tapi, Ayah Gibran selalu bilang Danish nakal kan, Bunda?"
Dalam mobil, Fais tidak mampu menahan kesedihannya. Danish terlalu menyedihkan. Anak itu haus akan kasih sayang seorang ayah. Sayangnya, Danish punya ayah yang berbeda dari teman-temannya.
Bukan tak sering Fais mendengar suara bentakan di rumah sebelah. Yang ditujukan untuk wanita yang indahnya laksana fenomena alam saat petang. Atau untuk si kecil tampan, yang baru saja meminta izin untuk memanggilnya 'Ayah.'
'Hatiku saja bergetar mendengar Danish memanggilku seperti itu. Lalu, terbuat dari apa hati laki-laki itu.'
Setiba di rumah, Fais yang baru saja keluar dari mobil, sedikit memperlambat langkahnya, saat mendapati Gibran sedang mondar mandir tak jelas di teras, sembari menempelkan ponsel di ujung telinga, lalu mengumpat kasar.
Fais melirik ke tepi jalan, mobil SUV warna hitam terparkir di sana, bukan di garasi. Berarti suami Senja baru saja pulang. Entah tadi malam menghabiskan waktu di mana, saat Senja mengetuk pintu rumah Fais dengan wajah penuh air mata di tengah malam buta.
'Apa dia sedang mengkhawatirkan anak istrinya? Heh.'
Tak berniat menegur, Fais segera mengambil kunci pintu dalam saku celananya. Namun, tangannya tertahan pada gagang pintu, saat seseorang menyebut namanya.
"Fais," panggil Gibran ragu-ragu. Rumah mereka hanya dipisah oleh tembok rendah setinggi dada.
"Apa?" tanya Fais sembari memutar bola matanya malas.
Belakangan, hubungan mereka sedikit menegang. Gibran menilai Fais terlalu ikut campur, karena kerap memberi nasehat atas sikapnya yang dinilai tidak wajar pada keluarganya.
Tak hanya Fais, tetangga lain juga mulai mencium bagaimana gelagat serorang Gibran, meski Senja tak pernah membuka aib suaminya.
"Senja, kamu kenapa sih, mau bertahan dengan laki-laki seperti Gibran? Kenapa nggak langsung minta cerai aja?"
"Iya, Mbak Senja. Mbak itu cantik, masih muda, buat apa nyiksa diri sendiri dengan laki-laki seperti itu?"
"Kalau aku mah, ogah!"
Komentar- komentar semacam itu atau bahkan lebih parah, hampir setiap hari Senja dengar dari mulut ibu-ibu yang berkumpul di tukang sayur, dan hanya ditanggapi dengan senyum oleh wanita itu.
Saat itu, Senja hanya belum ingin menyerah, pernikahan sampai ke surga masih menjadi impiannya. Gibran masih Senja perjuangkan di sepertiga malam, besar harapannya bahwa sang suami akan berubah dan terbuka cara berpikirnya.
Hanya karena tidak meninggalkan jejak di atas peraduan saat malam pertama, kesucian Senja diragukan, meski wanita itu bersumpah atas nama Tuhan, Gibran tak lagi sama. Laki-laki itu berubah sehari setelah pernikahan, enam tahun yang lalu.
"Eum, lo lihat Senja sama Danish, nggak?" tanya Gibran tanpa menatap ke arah lawan bicara.
"Lo nggak lihat gue baru pulang? Lagian Senja sama Danish, siapa lo?" Fais tertarik memancing suasana.
"Ya istri sama anak guelah, pake nanya lagi!"
"Apa? Gue nggak salah dengar? Sejak kapan mereka jadi istri anak, lo? Udah ya, gue buru-buru, mau ke kantor.
Belum sempat Gibran menjawab, Fais sudah menghilang di balik pintu.
"Sialan! Lagin ke mana sih, mereka? Ibu dan anak sama saja."
'Rasain! Emang enak!'
Fais yang diam-diam mengintip lewat jendela samping, tersenyum puas. Bukan bermaksud menyembunyikan istri dan anak orang. Tapi, mengingat penderitaan Senja dan Danish selama ini. Fais juga ingin Gibran merasakannya. Meski tak sebanding.
.
Sepulang dari kantor, Fais bergegas langsung ke rumah sakit untuk menepati janjinya pada Danish. Bocah kecil itu seperti magnet, yang membuat Fais selalu ingin dekat dengannya, bersamaan dengan rasa ingin melindungi yang tiba-tiba muncul begitu saja.
"Sayang, Bunda mau nanya sesuatu sama Danish. Tapi, Danish jawab jujur ya?"
"Iya, Bunda."
"Sayang, kalau misal kita ... nggak tinggal bareng Ayah lagi, Danish nggak apa-apa?"
Deg.
Di balik pintu, Fais juga menunggu jawaban bocah kecil itu dengan hati berdebar.
.
Next?
Silahkan dikrisan sepuasnya.
Bergetar tubuh Senja, getaran hebat begitu terasa sampai ke urat nadinya. Jantung wanita itu bertalu laksana genderang perang saat langkah Gibran perlahan semakin mendekatinya.Hanya beberapa puluh senti saja ruang yang tersisa. Bahkan saat Bunda Danish belum sempat bersiap-siap untuk bangkit, mantan suaminya itu sudah membungkukkan diri di hadapannya. Tentu saja dengan tatapan penuh amarah dan menghina.See, kamu tidak akan benar-benar bisa lolos dariku. Seolah begitu pesan tersirat dari tatapan elang milik Gibran."M-mas," lirih Senja terbata."Apa? Kau ingin bermain-main denganku, hem?""Kumohon jangan seperti ini, Mas. Tolong biarkan aku pulang untuk bertemu anakku" pinta wanita yang kerudungnya mulai basah tersebab deraian air mata."Tentu saja kita akan bertemu dengan anak kita. Tapi, setelah urusan kita berdua selesai, Senja. Bagaiman
Hawa nafsumu adalah induk segala berhala: berhala jasmani adalah ular, namun, berhala ruhani adalah naga.~Jalaluddin Rumi~.Dalam sebuah kamar tidur bernuansa kayu, Senja mengerjab perlahan. Pikirannya berkerja keras untuk mendapat jawaban bagaimana bisa dia berada di dalam ruangan itu.Kamar yang nyaman, yang pada lantainya, dinding serta ranjang yang sedang Senja tempati mengandung unsur kayu dari beberapa jenis pilihan, seperti jati, mahoni, cedar, pinus dan beberapa lainnya.Tiap-tiap dari mereka memiliki ciri khas masing-masing. Hingga wanita itu sampai terkesima untuk beberapa detik lamanya, karena aroma khas dari kayu yang menusuk indra penciumannya. Senja termasuk penyuka suasana alam, sehingga aroma itu menjadi candu.Pada dindingnya didominasi oleh kayu olahan sebagai panel dinding yang mengingatkan pada gaya Mid
Happy reading ❤️💝"Mas Gibran?" Wanita yang baru saja muncul di balik punggung laki-laki paruh baya itu terlihat panik."M—mas Gibran ... kenapa bisa ada di sini?"Dalam suaranya yang tergagap, terdapat getaran yang terdengar jelas menembus telinga dua laki-laki yang sedang bersitegang itu.Gibran menatap Natasya dengan mata menyala-nyala. Sementara paruh baya di sampingnya, tampak biasa saja. Tidak ada raut keterkejutan sama sekali di wajahnya yang terlihat mulai banyak garis kerutan.Kini Gibran menyadari satu hal, tentang suatu pertanda yang sebelumnya tidak pernah disangka akan terjadi, bahwa di sini hanya dirinya yang tidak tahu apa-apa. Hanya dia yang dibodohi, hanya dia yang dibohongi. Hanya dia yang diperlakukan dengan tidak layak begini. Tidak manusiawi. Begitu.Hingga satu pertanyaan sempat muncul d
Happy reading 💗💓❤️Hukum tabur tuai sedang berlaku. Semesta sedang menunjukkan pembalasannya..Gibran menegang di tempatnya. Perasaannya campur aduk, antara takut dan penasaran.Benar. Meski sudah mendengar penjelasan Natasya sebelumnya tentang laki-laki yang kini berdiri di hadapannya, tapi hati kecil Gibran tidak bisa menyangkal. Ia ... ragu dengan wanita itu. Tidak yakin kalau bayi itu darah dagingnya."Maksud kamu apa?" tanya Gibran tak lagi menggunakan bahasa formal. Meski begitu, sorot matanya semakin tajam."Wah, rasa penasaran ternyata bisa membuat seseorang semakin akrab, ya?" ejek laki-laki asing itu.Laki-laki misterius yang menemui Natasya dan mengunjungi toko bunga milik Senja, tadi. Laki-laki yang berhasil membuat Fais harus merasa cemburu. Sebab belum pernah Fais temukan pembeli yang memberi bunga yang
"Jika kamu menemukan seseorang yang kamu cinta dalam hidup, kamu harus mempertahankan dan merawatnya. Dan jika kamu cukup beruntung menemukan orang yang mencintaimu, kamu harus melindunginya."~Lady Diana~.Bugh!"Ayah!" pekik Danish saat melihat Fais yang tiba-tiba terkapar di atas tanah berpaving."Aissh!" Fais meringis merasakan nyeri di tulang rahangnya, sembari berusaha bangkit.Betapa terkejutnya laki-laki itu, setelah mengetahui siapa yang baru saja mendaratkan pukulan di wajahnya."Gibran?!"Sementara Danish, sudah berkacak pinggang dan mata yang menghunus tajam pada orang yang selama ini bocah kecil itu ketahui, benci dipanggil Ayah olehnya."Kenapa kamu memukul ayahku?!" teriak anak itu menggelegar. Terdapat amarah yang cukup besar dalam sepasang bola matan
HAPPY READING 💕💖Selain musim penghujan, juga sedang musim seseorang sangat jatuh cinta. Lalu, rasa cemburu juga ikut-ikutan ingin berbicara.Segalanya baru dimulai, hujan, cemburu, dan cinta.Sayangnya, hanya berlaku untuk satu pihak saja. Cinta tidak akan sempurna, kecuali dua telapak tangan bertemu dan menghasilkan suara dari tepukan mesra.."Maaf, Anda siapanya Natasya?"Terhenyak Natasya. Matanya menatap takut ke arah laki-laki yang baru saja menyapa mereka.Natasya menggeleng, saat laki-laki itu mengangkat sebelah alisnya. Seolah meminta persetujuan pada istri Gibran sebelum membuka suara."Saya ...."" Ibu Natasya!" Panggilan suster dari balik kaca transparan menandakan keberuntungan sedang berpihak pada wanita itu."Ayo, Sayang, sekarang giliranku."