Share

Bab 2 Panggilan yang Membuat Hati Bergetar

Ada masanya seseorang lelah, dan logika mengirim sinyal pada hati agar lekas menyerah. Sebab merdunya bisikan cinta tak 'kan pernah terdengar, pada sebelah tangan yang bertepuk di udara. 

.

Setelah membeli sarapan untuk Senja dan Danish di kantin rumah sakit, Fais pamit pulang, karena harus ke kantor. Dan berjanji pada bocah kecil itu untuk menjenguknya sepulang kerja.

Meski Senja sudah melarang, nurani Fais masih berfungsi dengan baik. Melihat sepasang mata sipit milik Danish yang mulai berkaca, Fais tidak tega.

"Kenapa Ayah Fais nggak boleh ke sini lagi, Bunda? Apa karena Danish nakal?" 

"Bukan nggak boleh, Sayang. Tapi, Om Fais, kan sibuk ...."

"Nggak kok. Ayah nggak sibuk, nanti pulang kerja, Ayah pasti ke sini buat jenguk Danish. Danish anak yang baik, siapa bilang Danish nakal?"

"Tapi, Ayah Gibran selalu bilang Danish nakal kan, Bunda?" 

Dalam mobil, Fais tidak mampu menahan kesedihannya. Danish terlalu menyedihkan. Anak itu haus akan kasih sayang seorang ayah. Sayangnya, Danish punya ayah yang berbeda dari teman-temannya.

 Bukan tak sering Fais mendengar suara bentakan di rumah sebelah. Yang ditujukan untuk wanita yang indahnya laksana fenomena alam saat petang. Atau untuk si kecil tampan, yang baru saja meminta izin untuk memanggilnya 'Ayah.' 

'Hatiku saja bergetar mendengar Danish memanggilku seperti itu. Lalu, terbuat dari apa hati laki-laki itu.'

Setiba di rumah, Fais yang baru saja keluar dari mobil, sedikit memperlambat langkahnya, saat mendapati Gibran sedang mondar mandir tak jelas di teras, sembari menempelkan ponsel di ujung telinga, lalu mengumpat kasar.

Fais melirik ke tepi jalan, mobil SUV warna hitam terparkir di sana, bukan di garasi. Berarti suami Senja baru saja pulang. Entah tadi malam menghabiskan waktu di mana, saat Senja mengetuk pintu rumah Fais dengan wajah penuh air mata di tengah malam buta.

'Apa dia sedang mengkhawatirkan anak istrinya? Heh.' 

Tak berniat menegur, Fais segera mengambil kunci pintu dalam saku celananya. Namun, tangannya tertahan pada gagang pintu, saat seseorang menyebut namanya. 

"Fais," panggil Gibran ragu-ragu. Rumah mereka hanya dipisah oleh tembok rendah setinggi dada. 

"Apa?" tanya Fais sembari memutar bola matanya malas. 

Belakangan, hubungan mereka sedikit menegang. Gibran menilai Fais terlalu ikut campur, karena kerap memberi nasehat atas sikapnya yang dinilai tidak wajar pada keluarganya.

Tak hanya Fais, tetangga lain juga mulai mencium bagaimana gelagat serorang Gibran, meski Senja tak pernah membuka aib suaminya.  

"Senja, kamu kenapa sih, mau bertahan dengan laki-laki seperti Gibran? Kenapa nggak langsung minta cerai aja?" 

"Iya, Mbak Senja. Mbak itu cantik, masih muda, buat apa nyiksa diri sendiri dengan laki-laki seperti itu?"

"Kalau aku mah, ogah!" 

Komentar- komentar semacam itu atau bahkan lebih parah, hampir setiap hari Senja dengar dari mulut ibu-ibu yang berkumpul di tukang sayur, dan hanya ditanggapi dengan senyum oleh wanita itu. 

Saat itu, Senja hanya belum ingin menyerah, pernikahan sampai ke surga masih menjadi impiannya. Gibran masih Senja perjuangkan di sepertiga malam, besar harapannya bahwa sang suami akan berubah dan terbuka cara berpikirnya. 

Hanya karena tidak meninggalkan jejak di atas peraduan saat malam pertama, kesucian Senja diragukan, meski wanita itu bersumpah atas nama Tuhan, Gibran tak lagi sama. Laki-laki itu berubah sehari setelah pernikahan, enam tahun yang lalu. 

"Eum, lo lihat Senja sama Danish, nggak?" tanya Gibran tanpa menatap ke arah lawan bicara. 

"Lo nggak lihat gue baru pulang? Lagian Senja sama Danish, siapa lo?" Fais tertarik memancing suasana. 

"Ya istri sama anak guelah, pake nanya lagi!" 

"Apa? Gue nggak salah dengar? Sejak kapan mereka jadi istri anak, lo? Udah ya, gue buru-buru, mau ke kantor. 

Belum sempat Gibran menjawab, Fais sudah menghilang di balik pintu. 

"Sialan! Lagin ke mana sih, mereka? Ibu dan anak sama saja."

'Rasain! Emang enak!' 

Fais yang diam-diam mengintip lewat jendela samping, tersenyum puas. Bukan bermaksud menyembunyikan istri dan anak orang. Tapi, mengingat penderitaan Senja dan Danish selama ini. Fais juga ingin Gibran merasakannya. Meski tak sebanding. 

.

Sepulang dari kantor, Fais bergegas langsung ke rumah sakit untuk menepati janjinya pada Danish. Bocah kecil itu seperti magnet, yang membuat Fais selalu ingin dekat dengannya, bersamaan dengan rasa ingin melindungi yang tiba-tiba muncul begitu saja.

"Sayang, Bunda mau nanya sesuatu sama Danish. Tapi, Danish jawab jujur ya?" 

"Iya, Bunda."

"Sayang, kalau misal kita ... nggak tinggal bareng Ayah lagi, Danish nggak apa-apa?" 

Deg.

Di balik pintu, Fais juga menunggu jawaban bocah kecil itu dengan hati berdebar.

.

Next?

Silahkan dikrisan sepuasnya. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
AnaπŸ’ž
nyesek banget thoor ......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status