Share

Bab 3 Pertengkaran Orangtua?

"Sayang, kalau misal kita ... nggak tinggal bareng Ayah lagi, Danish nggak apa-apa?"

Deg.

Di balik pintu, Fais juga menunggu jawaban bocah kecil itu dengan hati berdebar. Entah kenapa, rasa khawatir tiba-tiba bersarang? Entah atas dasar apa, Fais merasa tidak rela jika Danish memilih bertahan.

"Bener, nanti kita nggak akan tinggal bareng Ayah lagi, Bun?" tanya bocah kecil itu yang sudah tampak lebih sehat dari sebelumnya. 

"Ya ... menurut Danish gimana? Pokoknya ya Sayang, apapun keputusan Danish, Bunda ikut aja. Tapi, Danish harus jawab jujur ya, Danish masih mau tinggal bareng Ayah atau enggak?" 

Senja mengusap tangan putranya sembari tersenyum, seolah memberi tanda, Danish punya hak penuh untuk memutuskan pa yang akan mereka jalani selanjutnya.

"Eum, itu ... nggak apa-apa, kan Bunda?" tanya Danish sekali lagi sembari berusaha untuk duduk.

"Sini, Bunda bantu."

"Enggak, Sayang. Mulai sekarang, Bunda cuma pengen lihat Danish bahagia. Nggak apa-apa, jawab aja. Heum?"

Bocah itu masih meragu. Namun, anggukan Senja membuatnya tersadar, sang Bunda memang sepenuhnya memberi restu.

"Sebenarnya ... Danish nggak mau tinggal sama Ayah. Danish nggak suka, Ayah suka jahat sama Danish sama Bunda. Danish nggak mau kita tinggal di sana, Bun. Ayah nggak pernah sayang sama kita. Ayo, kita pindah aja, Bun. Danish nggak mau punya Ayah jahat. Huhu!" 

Deg.

Tangisan Danish seketika pecah dalam ruangan serba putih itu. Membuat Senja panik bukan kepalang. Tak terkecuali seseorang yang tengah berdiri di luar. 

'Seiblis itukah Gibran selama ini?'

"Danish nggak mau punya Ayah jahat, Bunda. Danish takut. Huhu!" 

"Sayang, maafin Bunda. Sekarang tenang ya, jangan nangis lagi. Danish nggak usah takut, ada Bunda di sini," bujuk Senja sembari memeluk erat buah hatinya. 

'Maaf, Sayang. Selama ini Bunda bertahan, karena Bunda kira setidaknya kamu punya orang tua yang utuh, Nak. Bunda nggak tahu, ternyata kamu lebih menderita dari Bunda. Maafin, Bunda, Nak.' 

Saat dirasa Danish mulai tenang, Senja melepas pelukannya dengan perlahan. Tangan Senja bergerak, menghapus sisa-sisa air mata di pipi chubby putranya. Hampir 80% wajah Danish fotokopi ayahnya. Tapi, akibat salah sangka pada sang istri, membuat Gibran tidak mau mengakui Danish sebagai putranya. 

Memang tak sampai bermain tangan, tapi makian dan suara bentakan yang menggelegar sudah lebih dari cukup membuat Danish membenci ayahnya. 

"Bunda janji, kan. Kita bakal pergi jauh dari hidup Ayah?" 

'Segitu parahnya efek buruk kelakuanmu untuk anak kita, Mas. Benar-benar tidak punya hati,' batin Senja tidak menyangka.  

"Iya, Sayang. Bunda janji, tapi Danish juga janji harus cepat sembuh, ya?" 

"Danish udah sembuh tuh. Kan, tadi kata Bu dokter besok Danish udah boleh pulang," sahut Danish sembari mengangkat sebelah tangannya. 

"Oh iya, Bunda lupa. Pinter banget, sih, anak Bunda. Hehe." 

"Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam," jawab ibu dan anak itu bersamaan sembari menoleh ke arah pintu yang baru terbuka. 

"Mas Fais?" tanya Senja terkejut. 

"Horeee! Ayah Fais beneran datang!" 

"Iya, dong. Kan, tadi Ayah Fais udah janji sama Danish." Fais mendekat ke samping ranjang yang berseberangan dengan Senja. 

"Kata Bu Dokter, besok Danish udah boleh pulang loh, Yah," celoteh bocah itu tampak bersemangat. Dengan khadiran Fais, putra semata wayang Senja dapat merasakan, seperti inikah memiliki Ayah. 

"Oh, ya? Bagus, dong. Ni, Ayah Fais bawain sesuatu sebagai hadiah. Karena Fais baru saja menang melawan penyakit." Fais menyodorkan paper bag berisi kotak berukuran sedang pada Danish. 

"Apa ini, Yah?"

"Coba dibuka, Danish pasti suka."

"Wah, robot spiderman! Bagus banget, Yah! Danish suka!" Danish menatap benda di tangannya dengan mata berbinar. 

Melihat interaksi keduanya, hati Senja menghangat seketika. 'Andaikan itu Mas Gibran.'

"Oh iya. Besok Ayah Fais bakal ke sini lagi, nggak? Jemput Danish pulang." Pertanyaan Danish yang tampak sibuk dengan mainan barunya, membuat Senja terkejut. Dia merasa tidak enak pada Fais. Menurutnya, Danish sudah sangat berlebihan. 

"Danish! Nggak boleh gitu, Sayang. Om Fais kerja, kita nggak boleh ngerepotin Om Fais terus," tegas Senja terdengar sedikit membentak. 

Otomatis Fais terkejut, apalagi putranya. Bocah itu menatap takut pada Senja. Belum pernah Danish melihat bundannya semarah itu.

"Maaf, Bunda. Danish janji nggak bakalan bikin Ayah Fais repot lagi," ujar Danish sembari menunduk, menahan tangis. 

"Nggak kok, Sayang. Danish sama sekali nggak ngerepotin, Ayah Fais. Besok Ayah pasti ke sini buat jemput Danish."

"Mas."

Wanita dalam balutan hijab instan itu seketika terbungkam. Saat Fais menatap tajam ke arahnya. Layaknya seorang ayah yang tidak terima ketika sang anak dimarahi ibunya. 

"Beneran, Yah? Tapi, nanti Bunda marah," keluh Danish dengan sembari memanyunkan bibir. Seketika Fais merasa kasihan, namun juga merasa pemandangan di depannya tampak menggemaskan. 

"Enggak kok, Sayang. Bunda nggak marah. Maaf ya, tadi Bunda nggak sengaja. Danish tunggu di sini dulu ya, Bunda mau ngomong sama Om Fais," bujuk Senja. 

"Ayah Fais, Bunda. Bukan Om Fais," protes bocah kecil itu. Tanpa Senja sadari, Fais menyunggingkan senyumnya sekilas. 

"Mas, sebaiknya kita bicara di luar."

.

"Mau ngomong, apa?" tanya Fais setelah mereka berada di luar, yang sedikit menjauh dari ruangan Danish di rawat. Agar pembicaraan mereka tidak sampai terdengar olehnya.

Terlihat Senja menarik nafas beberapa kali sebelum memulai pembicaraan, sementara Fais menunggu dengan bersedekap dada. 

"Eum, sebelum makasih banyak ya, Mas, udah bantu aku sama Danish. Maaf, udah banyak ngerepotin Mas Fais dari semalam. Dan aku juga minta maaf sekali atas sikap Danish. Mas pasti ngerasa nggak nyaman. Eum, gimana ya ngomongnya ... sebaiknya Mas jangan terlalu dekat dengan Danish. Bukannya aku nggak suka, tapi Mas tahu sendiri, kan, Mas Gibran gimana? Aku cuma nggak mau Mas Fais dalam masalah," jelas Senja hati-hati, agar laki-laki pemilik wajah paripurna itu tidak tersinggung. 

"Kalau cuma itu yang mau diomongin, kamu nggak usah khawatir, aku bisa mengatasinya." 

"Tapi, Mas ...."

Senja memundurkan langkahnya,saat Fais berjalan mendekat. 

"Aku juga mau ngomong sesuatu, Senja. Aku tahu aku bukan siapa-siapa, dan nggak berhak atas Danish. Tapi, aku cuma mau minta satu hal, tolong jangan bicara seperti tadi di depan Danish. Apalagi sampai meninggikan suara. Dia itu masih kecil, belum ngerti apa-apa," tegas Fais. 

"Mas, aku tahu yang terbaik untuk Danish. Jadi, ...."

"Kamu nggak tahu, Senja. Danish cuma ingin merasakan gimana rasanya punya ayah. Di usianya segitu dia sangat butuh figur seorang ayah. Dan aku ingin menjadi sosok yang dibutuhkan Danish. Jadi, tolong jangan hancurkan lagi kebahagiaannya."

"Jadi, maksud Mas Fais, selama ini aku telah menghancurkan kebahagiaan Danish. Aku tidak tahu apa yang Danish butuhkan,begitu?!" cerca Senja yang mulai emosi. Tidak terima Fais menuduhnya seperti itu. Jahat sekali, pikir Senja.

"Kalau kamu tahu apa yang Danish butuhkan, kamu tidak akan bertahan dengan laki-laki br**ngsek seperti Gibran. Asal kamu tahu, Senja, itu saja sudah lebih dari cukup untuk menghancurkan kebahagiaan Danish."

Pembicaraan mereka mulai memasuki tahap yang menegangkan. Dan apa yang baru saja Fais lontarkan, sangat menyakiti Senja. 

'Benarkah aku yang telah menghancurkan kebahagiaan Danish?' tanya wanita itu dalam hati. 

"Tidak! Aku tidak menghancurkan kebahagiaan Danish. Aku tidak melakukan itu, ibu macam apa yang tega menghancurkan kebahagiaan anaknya sendiri," ujar Senja sembari menggeleng-geleng kepala. 

"Ya Tuhan, Senja!"

"Aku jahat kan, Mas?"

Wanita itu terus meracau dengan tatapan kosong dan berkaca. Senja seperti kehilangan dirinya. Seperti bukan Senja. Fais yang merasa khawatir, tanpa berpikir panjang langsung meraihnya ke dalam pelukan. 

"Hei, tidak Senja. Bukan begitu maksudku. Maaf, aku salah bicara. Kamu ibu yang sangat baik untuk Danish."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status