Share

Bab 1 Dilarang Memanggil Ayah

"Mas Fais, tolong bantu aku, Mas. Danish demamnya tinggi banget. Aku mau membawanya ke rumah sakit, tapi nggak tau mau minta tolong sama siapa," mohon seorang wanita dengan menangkupkan dua tangan di dada, setelah pintu rumah yang di ketuk terbuka.

"Senja? Ya ampun, emangnya Gibran ke mana? Nggak pulang?"

"Nggak, Mas," geleng Senja lemah.

Rasa malu dan bersalah bercampur jadi satu. Menganggu orang lain tengah malam begini, bukan keinginan Senja, melainkan terpaksa. 

"Keterlaluan!" Fais mengusap wajahnya kasar membayangkan kelakuan tetangga sekaligus rekan kerjanya, yang tidak pernah peduli pada anak dan istrinya. 

"Sebentar, aku keluarin mobilnya."

"Iya, Mas. Aku lihat Danishnya dulu." 

Fais sempat menoleh ke arah wanita yang setengah berlari untuk kembali ke rumah. Sebelum gegas mengambil kunci mobil dan mengeluarkannya dari garasi. 

Tidak tega.

Otak Faiz buntu mencerna jalan pikiran suami Senja. Ternyata laki-laki se-tidak berguna seperti itu masih ada di bumi ini. Sialnya, itu orang di sekitar Fais sendiri.

.

Sembari menunggu Danish yang tengah ditangani dokter di UGD, Fais terus menghubungi nomor Gibran sampai beberapa kali. Namun, hanya suara operator yang terdengar meminta maaf.

"Sudahlah, Mas. Tidak perlu dihubungi," ujar Senja yang ternyata mengetahui apa yang laki-laki itu lakukan.

"Kenapa?! Dia ayahnya, harusnya dia di sini, bukan malah bersenang-senang saat anaknya sedang sekarat!" sentak Fais emosi. Sampai suster yang tengah mendampingi dokter untuk memeriksa Danish menatap ke arah mereka.

"Pak, Bu, kalau mau bicara sebaiknya di luar saja, supaya tidak mengganggu ketenangan pasien."

"Maaf, Sus," jawab Faiz lesu.

.

Danish sudah dipindahkan ke ruang perawatan, dan suhu badannya berangsur menurun. Setelah mendapat penjelasan dari dokter, bahwa tidak ada hal serius dengan putra semata wayangnya, Senja sedikit lega. Meski tak sedetik pun beranjak dari sisi bocah berusia lima tahun tersebut. 

"Sayang, cepat sembuh ya, Bunda takut kamu sampai kenapa-kenapa. Bunda nggak punya siapa-siapa selain kamu, Nak," lirih wanita itu pelan, namun, masih sampai ke telinga Fais yang duduk di sofa.

Melihat interaksi wanita dalam balutan hijab warna peach itu dengan buah hatinya, keinginan Fais untuk berkeluarga mulai terbesit tiba-tiba. Aneh. 

Ya, laki-laki itu belum menikah, meski usia sudah berkepala tiga. Belum siap. Alasan paling klise yang pemilik rahang tegap itu utarakan, tiap kali ada yang bertanya perihal kapan mengakhiri status lajangnya. Namun, entah kenapa dengan malam ini.

Menyadari mulai ada yang aneh dengan diri sendiri, Fais geleng-geleng kepala. Sampai tidak menyadari seseorang telah berdiri di hadapannya.

"Mas, nggak pulang? Kan, besok harus ke kantor?" tanya Senja.

Dalam jarak sedekat ini, Fais masih bisa melihat jejak-jejak kesedihan yang tertinggal di sana. 

"Nggak. Aku di sini aja. Besok pagi baru pulang." 

"Tapi, aku nggak apa-apa sendirian."

"Tanggung kalau harus pulang sekarang. Beberapa jam lagi juga udah pagi." Fais menunjukkan layar ponselnya yang menyala pada Senja.

"Maaf ya, Mas, udah ngerepotin," ujar ibu muda itu penuh rasa bersalah. 

" Kamu santai aja, sesama tetangga udah seharusnya saling bantu membantu, kan? Sekarang, mending kamu istirahat, biar besok bisa ngurus Danish." 

"Iya, Mas. Makasih banyak atas bantuannya." 

"Sama-sama."

Fais menatap iba pada wanita yang sudah kembali mendekat ke ranjang Danish. 'Kenapa wanita sebaik Senja harus berjodoh sama manusia iblis," batinnya.

.

"Hai, kamu udah bangun?" tanya Fais yang sudah berdiri di samping ranjang Danish.

"Om Fais, Bunda mana?" Bocah itu bertanya dengan nada lirih. 

"Bunda tadi ke musalla, solat subuh. Gimana, apa ada yang sakit?" Fais menempelkan punggung tangannya di dahi Danish, untuk memastikan suhu tubuh anak itu.

"Enggak, Om. Makasih ya om, udah peduli sama Danish. Padahal, Ayah, aja nggak peduli."

Seketika dada Fais sesak, mendengar celotehan Danish dengan logat khas anak kecil. 

" Om," panggil bocah itu ragu-ragu

"Iya, Sayang."

"Boleh nggak Danish panggil Om, Ayah. Soalnya, Ayah Danish selalu marah kalau Danish panggil Ayah. Danish juga pengen kaya teman-teman, Om. Mereka ada yang dipanggil Ayah, Danish nggak ada." 

Nyes.

Laki-laki tinggi tegap itu, seketika membeku di tempatnya. Sementara di balik pintu, seseorang membekap mulutnya dengan kedua tangan, agar suara tangisnya tak sampai terdengar. Wanita itu tidak menyangka, anak sekecil Danish bisa berkata seperti itu.

"Boleh, Kok. Danish boleh panggil Om Fais, Ayah."

"Asik, makasih ya, Yah." 

Senja mengurungkan niatnya untuk masuk, dan memilih berlari ke toilet rumah sakit untuk menumpahkan sesak hatinya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status