“Pak, saya sudah menyiapkan ruang rapatnya.” Tikta baru saja sampai ke kantor dan sudah di sambut oleh Wisnu yang membawa banyak berkas di tangannya. Pria itu masuk ke dalam ruangannya, melepas mantel yang dia kenakan dan meninggalkan jas di gantungan.Dengan cekatan dia mengambil beberapa berkas yang dibawa oleh Wisnu dan keluar dari ruangannya menuju ruang rapat. Wisnu mengekor di belakang.Rapat hari ini cukup serius, mereka membicarakan anggaran untuk pabrik baru yang kemungkinan besar akan di bangun akhir tahun ini. Anggaran yang begitu besar, lokasi, dan banyak hal lainnya yang perlu dibicarakan.Tikta melirik ke arah ponselnya. Ponsel itu menyala beberapa kali menampilkan notifikasi dari beberapa orang atau grup pekerjaan, tapi tidak ada satupun dari Nina.Setiap kali layarnya menyala, dia meliriknya, terus dan berulang.Tidak ada satupun dari Nina.Menengok ke arah jam, ini sudah pukul sebelas siang.“Apa Nina tidur ya?” Dia bergumam, membolak balik berkas di tangannya.Pukul
Tikta menatap pria yang berdiri di depanya. Pria itu mengenakan kaos putih bertangan pendek, dipadu dengan celana bahan berwarna hitam serta sepatu pantofel. Rambutnya yang gondrong itu ikat ke belakang sebagian.Dari tatapannya, tidak ada tatapan persahabatan yang terlihat.Jelas, dia datang bukan untuk menawarkan kebaikan.“Ini penting?” Tikta bertanya, meyakinkan kalau kemungkinan apa yang akan dibicarakan tidak bisa di dengar oleh orang lain.“Tentang Nina.”“Ikut ke ruangan gue.”Tikta berkata, kembali menatap pintu lift yang masih menutup. Catur mendekat padanya, tidak mengatakan apapun lagi. Mereka berdua masuk ke dalam lift dalam hening, lift menuju lantai empat tempat dimana kantornya berada.Di dalam benak Tikta banyak tanya bermunculan, spekulasi mengenai apa yang akan Catur bicarakan mengenai Nina.Sebelum dia menyelesaikan pikiran-pikiran itu pintu lift sudah terbuka. Keduanya keluar dari dalam lift, tidak ada orang di ruangan ini memang sudah waktunya pulang kantor dan T
Nina menguap dengan lebar, perutnya terasa lapar setelah dia mendapatkan panggilan dari Tikta dia hanya tidur-tiduran dan membuka media social sampai akhirnya merasa kelaparan. Bayinya di dalam perut tidak sabar ingin makan malam.Dia membuka pintu kamar dan mendapati seluruh rumahnya bersih dan wangi. Dia mengecek makanan yang tersaji di meja, mengecek isi kulkasnya, dia sudah menduga ibu mertuanya akan mengganti strategi untuk makan hariannya.Semua makanan yang telah di stock diambil kembali oleh si pelayan.Di dalam tudung saji berwarna coklat muda itu berisi makanan yang baru saja di masak dan diantaranya adalah makanan khusus untuk Nina.Wanita itu tersenyum, ponselnya tiba-tiba berdering dan nama ibu mertuanya tertera disana.“Ya bu?”“Oh sudah bangun, tadi mbak Siska mau pulang katanya Nina lagi tidur.”“Ya bu, Nina sampai gak tahu kapan mbaknya pulang.” Ujar Nina sembari menuju dapur, mengambil piring. Duduk di kursi meja makan, dia kemudian mengambil nasi porang yang sudah s
Catur kembali ke apartemen menjelang tengah malam. Setelah bertemu Tikta dia tidak langsung pulang melainkan mampir dulu ke warehouse miliknya, untuk membuat isi kepalanya lebih jernih dia melakukan beberapa pekerjaan.Isi kepalanya hanya dipenuhi bagaimana angkuhnya jawaban-jawaban Tikta padanya.Setelah dia berusaha untuk menyadarkan Tikta bahwa bukan hanya pria itu yang memiliki kartu matinya, pria itu malah tertawa dengan kencang, menjawab dengan nada angkuh kalau dia tidak peduli dengan hal itu.“Kalau lo bilang sama Nina tentang hal itu, bukan cuma gue yang kenapa-kenapa, Nina juga.”Catur memencet nomor lantai di lift aparetmennya, tidak ada sepuluh menit lift sudah berhenti di depan pintu apartemennya. Dia masuk dan mendapati Gata tengah berdiri di balkon, pria itu tengah merokok dengan bir kalengan yang telah terbuka di dekatnya.Catur menggeser pintu balkon, Gata menoleh.“Malam banget baliknya?” Gata melempar senyumnya pada Catur sembari menghisap rokoknya.Catur berdiri di
Seminggu berlalu setelah akhirnya Nina berada di rumah selama cuti. Dia sudah terbiasa ditinggalkan Tikta untuk bekerja, menghabiskan waktunya di rumah dan sesekali menghubungi Julie meskipun wanita itu akan selalu mengoceh, mengomeli Nina yang selalu ingin tahu keadaan butik.Dia sudah bisa tidur dengan secara teratur di siang hari karena di malam hari Nina sudah tidak bisa tidur nyenyak.Dia merasa bersalah juga pada Tikta, karena dia gelisah ketika tidur malam, pria itu juga jadi tidak bisa tidur dengan nyenyak. Beberapa kali Tikta terbangun dan bertanya apa keinginan Nina.Suatu malam Nina menangis, dia tidak bisa menahan rasa sedih yang tengah dia rasakan. Dia duduk di ujung kasur, menangis tersedu. Tikta terbangun dan dengan panik mendekat ke arah Nina bertanya mengapa wanita itu menangis.“Punggung aku sakit Ta, perut bawahnya sakit banget juga, dan panas…”Tikta mengecek suhu AC central tapi tidak ada yang salah dengan itu, itu sudah suhu paling dingin bahkan Tikta tidur denga
Remo baru saja keluar dari dalam kamar suaminya, dia baru saja mengobrol dengan pria paruh baya itu. Obrolan yang tidak terlalu penting, membicarakan bagaimana anggreknya mekar dan bunga-bunga lain yang suaminya cintai.Akhir-akhir ini kesehatan suaminya agak menurun, dia tidak berani menceritakan hal-hal buruk yang mengintai keluarga mereka pada pria itu. Tidak ingin kondisi suaminya jauh lebih buruk dari ini.Pernikahan mereka memasuki usia empat puluh tahun.Mereka menunggu kehadiran Tikta selama delapan tahun sebelum akhirnya bayi itu tumbuh di dalam rahimnya dan besar. Kehadiran Tikta yang melengkapi sepi dalam kehidupan mereka, Tikta adalah sumber kebahagiaan keduanya.Remo selalu berhati-hati selama mendidik dan membesarkan Tikta, selalu ingin memberikan yang terbaik untuk anak satu-satunya yang dia miliki meskipun mungkin apa yang dia dan suaminya lakukan adalah kesalahan sehingga Tikta tumbuh dengan membenci keduanya.Remo masuk ke dalam ruang kerja suaminya, menyusuri rak bu
Tikta menatap ponselnya, ini sudah kesekian kalinya dia mengabaikan pesan dari Gata. Tidak ada niatan baginya untuk membalas pesan, tidak juga ada rasa bersalah karena tidak membalasnya.Dia jadi bertanya-tanya, apakah benar dia ingin kembali kepada Gata setelah perceraiannya dengan Nina?Bohong kalau Tikta tidak mengerti apa yang tengah dia rasakan pada Nina. Dia bukan anak sekolah, bukan juga anak kemarin sore. Dia laki-laki dewasa. Tidak ingin memungkiri perasaannya tapi dia juga bingung dengan apa yang tengah ia rasakan.Rencana awal menikah dengan Nina hanyalah untuk menutupi kebobrokannya sebagai seorang biseksual, ingin kabur dari apa yang sudah ayahnya bebankan kepadanya.Tapi entah kenapa semakin bersama Nina, dia semakin terbiasa, rasa nyaman yang Nina timbulkan untuknya membuatnya ingin terus bersama wanita itu. Impian menjadi seorang ayah yang sejak dulu tidak pernah ingin dia wujudkan menjadi menggebu semenjak kehamilan Nina.Tidak ada lagi getaran yang dulu dia rasakan k
“Apa maksud kamu?” Tikta menatap tajam ke arah Gata yang kini juga menatapnya, pria itu tampak marah. “Sudah aku bilang, kamu tahu aku nekat. Aku akan pakai segala cara untuk tetap menjaga kamu disisi aku.” Gata bangun dari duduknya, mendekat ke arah Tikta. “Aku yakin kamu hanya sedang bingung sekarang, pernikahan bodoh ini membuat kamu kebingungan mana perasaan yang sebenarnya.” “Ga..” “Aku yakin kamu bahkan tidak mencintai Nina. Itu bukan cinta, kamu hanya kasihan padanya.” Gata mendekatkan dirinya pada Tikta, mengangkat tangannya untuk menyentuh wajah Tikta. Pria di depannya menghindar dengan wajah penuh kerut, ekspresinya tidak suka dengan perlakuan tersebut. “Berhenti melakukan hal buruk, saya sudah gak mau sama kamu.” Tikta berkata, menekankan setiap kalimatnya untuk meyakinkan Gata kalau apa yang tengah dia rasakan adalah valid. “Kalau begitu akan aku hancurkan semuanya…..” Gata menatap Tikta, bibirnya menampilkan senyum tipis yang menjijikan. “Bukan cuma keluarga kamu yang