Rachel menarik koper kecilnya keluar dari rumah, dengan tangan kiri yang menggandeng tangan mungil Noah.
Seperti biasa, wanita itu selalu menitipkan anaknya pada tetangga sebelum berangkat bekerja. Noah juga sudah berpakaian sekolah dengan rapi. Nanti tinggal diantar oleh tetangganya saja.
“Bu, Rachel berangkat dulu ya. Titip Noah. Ini uang jajannya, sama uang belanja buat Ibu,” ujar Rachel, seraya memberikan lima lembar uang berwarna merah. Namun wanita lansia berumur 60 tahun itu malah menolaknya.
“Udah, nggak usah repot- repot. Sana, berangkat kerja! Ibu masih mampu beliin Noah jajan,” tolaknya, seraya mendorong tangan Rachel.
“Jangan gitu, Bu. Rachel nggak pulang selama tiga hari. Jangan buat Rachel merasa nggak enak. Noah itu jajannya banyak.”
“Halah, banyak berapa sih? Paling cuma lima puluh ribu.”
Rachel menghembuskan napasnya kasar. Kemudian tanpa banyak bicara lagi, wanita itu langsung meletakkan uangnya di atas meja, dan langsung berlari keluar rumah.
“Noah, Bunda berangkat dulu ya! Yang pinter! Jangan buat Eyang marah,” teriaknya. Membuat wanita lansia itu hanya bisa geleng- geleng kepala.
Namanya Ida. Seorang janda sebatang kara yang ditinggal mati oleh suami dan juga anaknya. Aktivitas Ida sehari- hari diisi dengan mengasuh Noah saja. Ia sudah tidak perlu bekerja lagi, karena peninggalan Almarhum suaminya sudah banyak. Termasuk rumah kontrakan yang sedang ditempati oleh Rachel saat ini.
Karena sudah selama lima tahun menemani Rachel dan juga Noah, ia sudah menganggap mereka seperti keluarga sendiri. Noah adalah penghibur hatinya, di saat ia merasa kesepian dan merasa tidak punya siapa- siapa di dunia ini.
***
“Barangnya udah dimasukin ke dalam mobil semua?” tanya Rachel pada sang Bos yang masih sibuk merapikan bajunya di depan kaca.
“Udah,” jawabnya singkat. Dengan wajah yang sangat datar seperti biasanya.
Menurut Rachel, dari pada disebut manusia, lelaki satu ini lebih pantas disebut kulkas seribu pintu. Karena sikapnya yang selalu dingin melebihi kutub utara.
“Udah jam delapan lebih lima menit, Pak. Pesawat kita berangkat jam sepuluh lebih dua menit,” ujar Rachel. Memperingatkan lelaki itu agar segera menyelesaikan urusan pribadinya. Karena perjalanan menuju Bandara membutuhkan waktu yang cukup lama.
“Tolong bawakan iPad saya,” suruhnya.
Rachel lantas mengambil iPad yang tergeletak di atas meja. Kemudian setelah itu, ia langsung berjalan keluar rumah. Menyusul Alan yang sudah keluar duluan.
Buru- buru, Rachel langsung memasuki mobil yang sudah terparkir di depan rumah. Karena sang Bos dan sopirnya sudah berada di dalam, dan mesin mobil sudah dinyalakan. Kemudian setelah itu, mobil langsung melaju pergi meninggalkan pekarangan rumah Alan.
“Pulang dari Hong Kong, saya mau ngajak Noah liburan ke Bali,” ujar Alan. Mulai membuka pembicaraan.
“Tapi sekolah Noah belum libur,” balas Rachel.
“Sebentar aja. Cuma dua hari. Kalau kamu nggak ada kesibukan lain, mau ikut juga nggak papa.”
“Nggak usah, Pak. Noah aja. Saya udah janji, mau ngantar Ibu check up ke Rumah sakit.”
“Emang kamu nggak kangen sama Bali?”
Rachel menundukkan kepalanya. Siapa yang tidak rindu dengan kampung halaman yang sudah ia tinggalkan selama bertahun- tahun? Rachel rindu, rindu sekali. Rindu ketika berenang di pantai bersama kakaknya, rindu ketika bersepeda disekitar pantai dengan teman- temannya. Dan masih banyak lagi, kenangan- kenangan indah yang telah ia buat selama hidup di sana.
Namun sayangnya, selain menyimpan banyak kenangan indah, Bali juga menyimpan banyak luka yang membuatnya trauma hingga saat ini.
“Udah hampir enam tahun, kamu lost contact sama keluarga kamu. Emang kamu nggak pengen cari mereka dan berdamai sama masa lalu?” tanya Alan. Membuat Rachel langsung menatapnya sinis.
“Keluarga yang mana maksud Bapak? Saya nggak punya keluarga lain. Keluarga saya cuma Noah sama Ibu,” ketus Rachel.
Seketika Alan langsung memilih untuk bungkam. Ia tidak bermaksud untuk menyinggung masa lalu Rachel, ia hanya berusaha untuk membujuk wanita itu agar mau ikut berlibur ke Bali. Namun sepertinya ia salah berbicara.
Setelah selama satu jam lebih berada di perjalanan dengan situasi yang sangat canggung, akhirnya mereka tiba di Bandara Soekarno Hatta. Dengan segera, Rachel langsung mengeluarkan kopernya dan koper Alan. Kemudian ia mengambil troli, lalu meletakkan kopernya di sana. Setelah itu, ia langsung mendorong trolinya dan berjalan mengikuti Alan di belakangnya.
***
Sementara itu di sisi lain, Noah yang tadinya asik bermain dengan teman- temannya di sekolah, tiba- tiba menangis dan berlari menghampiri eyangnya yang sedang duduk menunggunya bersama Ibu- ibu yang lain.
“Loh, kenapa nangis?” tanya salah satu Ibu- ibu tersebut.
Noah tidak menjawab. Wajahnya disembunyikan di leher sang Eyang sembari menangis terisak.
“Kenapa? Siapa yang nakal? Biar Eyang marahin,” ujar Ida.
“Dipukul sama Kiano?” tanya Ibu- ibu berkacamata. Lantaran anak yang bernama Kiano itu memang terkenal sangat nakal.
Noah menggelengkan kepala. Hingga membuat Ibu- ibu tersebut semakin penasaran. Karena tidak biasanya, Noah menangis seperti ini. Bocah itu selalu terlihat ceria di depan orang lain. Sekalipun dipukul oleh temannya, bocah itu akan tetap tersenyum.
“Kangen bundanya mungkin,” sahut Ibu- ibu yang lain.
“Nggak mungkinm lah. Orang bundanya baru berangkat tadi pagi,” bantah Ida.
“Emang bundanya ke mana sih? Perasaan nggak pernah ada di rumah.”
“Kerja. Cari duit,” sahut Ida.
“Kerjanya di mana? Kok jarang pulang.”
“Kerjanya itu bolak- balik ke Luar negeri. Makanya jarang pulang ke rumah,” jelas Ida.
“Jadi apa? Pramugari?”
“Bukan. Jadi Asisten pribadinya orang kaya,” jawab Ida.
“Oh, kirain jadi Pramugari. Berarti banyak dong duitnya, kalau jadi Asisten pribadi kayak gitu.”
“Ya mana saya tau. Orang saya nggak pernah nanya,” balas Ida sedikit ketus.
“Bisa kali Nek, pinjamin uang ke bundanya Noah. Saya lagi butuh duit nih, buat bayar cicilan motor.”
Nah kan, sudah Ida duga jika endingnya akan seperti ini. Ia sudah hapal dengan kelakuan Ibu- ibu di sekolah ini, yang hobi berhutang dan susah untuk membayar.
“Saya nggak berani. Kalau butuh, pinjam aja sendiri,” ketus Ida.
“Eyang... teleponin Bunda,” rengek Noah.
“Tuh, kan. Kangen sama bundanya,” sahut Ibu- ibu berkacamata.
Ida tak menanggapinya. Kemudian ia mengajak Noah untuk pulang ke rumah, karena ia lupa tidak membawa ponselnya.
Beruntungnya, jarak antara sekolah dengan rumahnya tidak terlalu jauh. Jadi bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
Sesampainya di rumah, Ida lantas membuka ponselnya dan menghubungi nomor Rachel. Setelah panggilannya berhasil tersambung, ia langsung memberikan ponsel tersebut pada bocah itu.
“Bunda...” panggil Noah, dengan nada bicara yang memelas.
“Kenapa, Nak?”
“Noah mau nanya, boleh?”
“Boleh dong, Sayang. Mau nanya apa emang?”
“Ayah Noah di mana?”
Rachel POV Aku menundukkan kepala sembari meremas jari- jariku. Menahan air mata yang sudah membendung di pelupuk mataku. Aku tidak sanggup menjawab pertanyaan Noah. Maka dari itu aku langsung mematikan sambungan teleponnya, dan mengatakan kepadanya jika aku akan terbang sekarang juga, jadi ponsel harus dimatikan. “Tinggal bilang aja kalau ayahnya mati. Apa susahnya?” Aku tak mempedulikan ucapan Alan. Ku masukkan ponselku ke dalam tas, lalu berjalan menuju toilet umum. Masih ada waktu selama dua puluh menit sebelum take off, jadi aku masih punya kesempatan untuk menumpahkan tangisanku di toilet. Sesampainya di toilet, aku langsung masuk ke dalam salah satu bilik, dan menumpahkan semua tangisanku di sana. Sungguh sakit sekali, ketika mendengar pertanyaan yang selama ini ku hindari. Aku tidak tahu, apa yang sedang terjadi pada anakku. Hingga tiba- tiba menanyakan keberadaan sang Ayah yang selama ini tidak ada dikehidupannya. Tok tok tok. “Masih lama?” teriak seseorang dari luar.
“Chel, udah lama banget kita nggak ketemu. Kamu masih ingat aku, kan?” ujar lelaki itu dengan sedikit heboh. Sedangkan Rachel masih terdiam tak merespon. “Aku Reza. Teman kamu,” ucapnya lagi. Rachel menundukkan kepalanya seraya mengangguk kecil. Responnya yang kurang baik tersebut, sukses membuat senyuman lelaki itu perlahan memudar. Sementara itu, Alan yang menyadari jika Rachel terlihat tak nyaman. Sontak saja langsung melancarkan aksinya. “Sorry, Sir. But my wife looks uncomfortable,” ujar Alan. Membuat Rachel langsung membulatkan matanya kaget. “Ah, sorry. I'm just glad to see her again,” balas lelaki itu seraya tersenyum canggung. Alan membalasnya dengan senyuman tipis. Sedangkan Rachel masih plonga- plongo tidak mengerti. “Can you leave us alone? We are already hungry and want to eat right now,” ujar Alan lagi. “Ah, of course. Sorry to interrupt.” Setelah lelaki itu pergi menjauh, Rachel langsung menatap Alan dengan tatapan yang begitu dalam. Sementara itu, Alan malah be
Rachel mematikan sambungan teleponnya dengan Noah. Kemudian ia turun dari kasur dan berjalan menghampiri Alan. “Ada apa, Pak? Kok Bapak yang nganterin breakfastnya?” tanya Rachel. “Tadinya saya mau ngambil iPad yang kamu bawa. Terus nggak sengaja papasan sama petugas hotel. Jadi sekalian saya bawain aja,” jelas Alan. Sedangkan Rachel hanya mengangguk- anggukkan kepalanya saja. “Kamu ini ceroboh banget. Masa pintu kamarnya nggak dikunci. Nanti kalau ada orang jahat masuk gimana?” omel Alan. Membuat Rachel langsung membulatkan matanya terkejut. Ia sendiri tidak sadar, jika pintu kamarnya tidak terkunci. “Yaudah, sana siap- siap. Jam delapan kita langsung ketemu klien,” ucapnya lagi. “Baik Pak,” balas Rachel. “Jangan lupa, pintunya dikunci.” “Iya.” “Makanannya dihabisin. Nanti kalau lapar nggak bisa fokus kerja.” “Siap,” balas Rachel. Seraya mendorong pelan tubuh Alan, agar segera keluar dari kamarnya. Bukannya kurang ajar atau bagaimana. Hanya saja Rachel baru menyadari, jika s
Dua hari telah berlalu. Saat ini, Rachel sudah berada di Indonesia lagi. Alan memberinya libur selama satu minggu, lantaran jadwalnya yang tidak terlalu padat dalam minggu ini. Berhubung hari ini sekolah Noah libur, Rachel berniat untuk mengajak Noah berlibur ke Dufan dan Atlantis Water Adventures yang terletak di kawasan Taman Impian Jaya Ancol. Alan batal mengajak Noah ke Bali, karena takut terjadi apa- apa di sana, setelah diberi tahu oleh teman Rachel di Hong Kong kemarin. “Nanti Noah belenang ya.” Bocah yang sedang dipakaikan baju oleh bundanya tersebut terus berceloteh sedari tadi. Membicarakan segala hal yang berkaitan dengan liburannya kali ini. Ingin beli ini, ingin beli itu. Ingin naik ini, ingin naik itu. Ingin pergi ke sini, dan ingin pergi ke situ. Semuanya dibicarakan. Hingga membuat sampai Rachel pusing sendiri mendengarnya. “Bunda belani nggak, naik kola- kola?” tanya bocah itu. “Nggak berani. Bunda punya tekanan darah rendah. Nanti pingsan, kalau naik kora- kora,
"Juna!” Lelaki yang bernama Juna itu pun langsung menghentikan langkahnya, ketika Alan meneriaki namanya sembari menarik kaos yang dipakainya. “Lepas, Lan! Gue harus ngejar cewe itu,” kesal Juna seraya menepis tangan Alan. “Ikut gue!” Alan mencengkeram tangan Juna. Lalu menariknya menuju kolam renang lagi. Membiarkan Rachel dan Noah pergi menjauh terlebih dahulu. Ia paham, Rachel tak nyaman dengan kehadiran lelaki ini. Ia juga bisa menyimpulkan, jika mereka berdua saling mengenal satu sama lain. “Lo kenal sama dia?” tanya Juna, dengan raut wajah yang terlihat menahan kesal. “Dia Aspri gue,” jawab Alan. Membuat lelaki itu langsung berdecak kesal. “Ck. Kenapa lo nggak bilang ke gue kalau lo kenal sama dia?! Gue nyari dia selama bertahun- tahun, asal lo tau!” “Ya mana gue tau, kalau lo juga kenal dia. Lo aja nggak pernah cerita ke gue,” balas Alan sewot. Juna mengusap wajahnya kasar. Napasnya mulai memburu, dan wajahnya terlihat sangat gusar. Seolah menahan emosi yang tidak tersa
“Apa iya, saya harus jelasin dari awal?” Rachel mengangguk dengan semangat. Senyumnya yang manis, dan ekspresi wajahnya yang sangat imut, nyaris membuatnya terlihat seperti remaja belasan tahun. Padahal umurnya sudah menginjak dua puluh lima tahun, dan statusnya sudah berubah menjadi Ibu- ibu. Alan berdecak kesal. Dengan wajah yang terlihat sangat bad mood, ia pun mulai menjelaskan semuanya pada wanita ini. “Saya juga nggak terlalu ingat. Intinya, foto itu diambil tanpa sengaja. Dan saya pindahin ke G****e Drive karena waktu itu saya emang lagi bersih- bersih album kamera,” jelas Alan. Sedangkan Rachel hanya manggut- manggut sambil ber-oh ria. “Kenapa? Kamu berharap saya suka kamu gitu?” tanya Alan, seraya tersenyum menyeringai. “Enggak,” balas Rachel santai tanpa beban. “Karena percuma juga, kalau Pak Alan suka sama saya. Saya nggak bakal bisa balas cintanya Pak Alan,” ucapnya lagi. Membuat ekspresi wajah Alan langsung berubah menjadi datar. “Kenapa gitu?” tanyanya. “Because my
Malam harinya, Rachel, Noah dan Ida menikmati waktu kebersamaan mereka dengan menonton televisi bersama di ruang tamu rumah Rachel. Karena kontrakan yang ditempati Rachel ini hanya tiga petak, jadi televisinya diletakkan di ruang tamu yang ukurannya memang lebih luas dari kamarnya. Dengan menggelar karpet di depan sofa, ketiga manusia beda generasi itu pun membaringkan tubuhnya di sana sambil menutupi tubuhnya dengan selimut. Karena di luar sedang hujan gerimis, jadi udara terasa lebih dingin dari sebelumnya. Tak lama kemudian, mereka dikejutkan dengan kemunculan Alan yang tiba- tiba sudah berdiri di depan pintu sambil membawa dua kantong yang entah berisi apa. Sontak saja, Rachel langsung bangun dari tidurnya dan menghampiri pria itu yang masih berdiri di depan pintu dengan baju yang sedikit basah karena terkena air hujan. “Ada perlu apa, Pak? Kenapa hujan- hujan datang ke sini?” tanya Rachel. “Mau ngantar ini,” jawabnya seraya menyerahkan kedua kantong tersebut pada Rachel. “
“Nih, habisin dulu es krimnya. Nanti baru Om antar ke rumah Om Alan.” “Yeay... makasih, Om. Tapi jangan bilang Papa Alan ya! Nanti Papa Alan bilang ke Bunda. Bunda suka malah kalau Noah makan es klim.” “Emang Bunda kamu galak?” Sambil memakan es krimnya, bocah itu pun mengangguk. “Bunda kalau malah, selam banget. Kayak singa kelapalan,” ucapnya. Membuat lelaki itu langsung terkekeh pelan. “Kamu pernah dimarahin?” “Pelnah, tapi habis itu Bunda nangis.” “Kenapa nangis?” “Katanya nyesel, udah malahin Noah.” “Kalau ayahnya Noah, galak nggak?” “Noah nggak punya Ayah,” jawabnya enteng. Membuat lelaki itu langsung terdiam kaget. “Emang ayahnya Noah ke mana?” “Nggak tau. Bunda nggak pelnah jawab kalau Noah tanya.” Lelaki itu mengangguk- anggukkan kepalanya. Agak sedikit kasihan, melihat wajah Noah yang berubah menjadi cemberut. “Eh, kalau boleh tau, Noah sekarang sekolah kelas berapa?” tanya lelaki itu mengalihkan pembicaraan. Ia sadar, jika pertanyaannya tadi sangat sensitif bagi