Share

1. Ada apa dengan Bali?

Rachel menarik koper kecilnya keluar dari rumah, dengan tangan kiri yang menggandeng tangan mungil Noah.

Seperti biasa, wanita itu selalu menitipkan anaknya pada tetangga sebelum berangkat bekerja. Noah juga sudah berpakaian sekolah dengan rapi. Nanti tinggal diantar oleh tetangganya saja.

“Bu, Rachel berangkat dulu ya. Titip Noah. Ini uang jajannya, sama uang belanja buat Ibu,” ujar Rachel, seraya memberikan lima lembar uang berwarna merah. Namun wanita lansia berumur 60 tahun itu malah menolaknya.

“Udah, nggak usah repot- repot. Sana, berangkat kerja! Ibu masih mampu beliin Noah jajan,” tolaknya, seraya mendorong tangan Rachel.

“Jangan gitu, Bu. Rachel nggak pulang selama tiga hari. Jangan buat Rachel merasa nggak enak. Noah itu jajannya banyak.”

“Halah, banyak berapa sih? Paling cuma lima puluh ribu.”

Rachel menghembuskan napasnya kasar. Kemudian tanpa banyak bicara lagi, wanita itu langsung meletakkan uangnya di atas meja, dan langsung berlari keluar rumah.

“Noah, Bunda berangkat dulu ya! Yang pinter! Jangan buat Eyang marah,” teriaknya. Membuat wanita lansia itu hanya bisa geleng- geleng kepala.

Namanya Ida. Seorang janda sebatang kara yang ditinggal mati oleh suami dan juga anaknya. Aktivitas Ida sehari- hari diisi dengan mengasuh Noah saja. Ia sudah tidak perlu bekerja lagi, karena peninggalan Almarhum suaminya sudah banyak. Termasuk rumah kontrakan yang sedang ditempati oleh Rachel saat ini.

Karena sudah selama lima tahun menemani Rachel dan juga Noah, ia sudah menganggap mereka seperti keluarga sendiri. Noah adalah penghibur hatinya, di saat ia merasa kesepian dan merasa tidak punya siapa- siapa di dunia ini.

***

“Barangnya udah dimasukin ke dalam mobil semua?” tanya Rachel pada sang Bos yang masih sibuk merapikan bajunya di depan kaca.

“Udah,” jawabnya singkat. Dengan wajah yang sangat datar seperti biasanya.

Menurut Rachel, dari pada disebut manusia, lelaki satu ini lebih pantas disebut kulkas seribu pintu. Karena sikapnya yang selalu dingin melebihi kutub utara.

“Udah jam delapan lebih lima menit, Pak. Pesawat kita berangkat jam sepuluh lebih dua menit,” ujar Rachel. Memperingatkan lelaki itu agar segera menyelesaikan urusan pribadinya. Karena perjalanan menuju Bandara membutuhkan waktu yang cukup lama.

“Tolong bawakan iPad saya,” suruhnya.

Rachel lantas mengambil iPad yang tergeletak di atas meja. Kemudian setelah itu, ia langsung berjalan keluar rumah. Menyusul Alan yang sudah keluar duluan.

Buru- buru, Rachel langsung memasuki mobil yang sudah terparkir di depan rumah. Karena sang Bos dan sopirnya sudah berada di dalam, dan mesin mobil sudah dinyalakan. Kemudian setelah itu, mobil langsung melaju pergi meninggalkan pekarangan rumah Alan.

“Pulang dari Hong Kong, saya mau ngajak Noah liburan ke Bali,” ujar Alan. Mulai membuka pembicaraan.

“Tapi sekolah Noah belum libur,” balas Rachel.

“Sebentar aja. Cuma dua hari. Kalau kamu nggak ada kesibukan lain, mau ikut juga nggak papa.”

“Nggak usah, Pak. Noah aja. Saya udah janji, mau ngantar Ibu check up ke Rumah sakit.”

“Emang kamu nggak kangen sama Bali?”

Rachel menundukkan kepalanya. Siapa yang tidak rindu dengan kampung halaman yang sudah ia tinggalkan selama bertahun- tahun? Rachel rindu, rindu sekali. Rindu ketika berenang di pantai bersama kakaknya, rindu ketika bersepeda disekitar pantai dengan teman- temannya. Dan masih banyak lagi, kenangan- kenangan indah yang telah ia buat selama hidup di sana.

Namun sayangnya, selain menyimpan banyak kenangan indah, Bali juga menyimpan banyak luka yang membuatnya trauma hingga saat ini.

“Udah hampir enam tahun, kamu lost contact sama keluarga kamu. Emang kamu nggak pengen cari mereka dan berdamai sama masa lalu?” tanya Alan. Membuat Rachel langsung menatapnya sinis.

“Keluarga yang mana maksud Bapak? Saya nggak punya keluarga lain. Keluarga saya cuma Noah sama Ibu,” ketus Rachel.

Seketika Alan langsung memilih untuk bungkam. Ia tidak bermaksud untuk menyinggung masa lalu Rachel, ia hanya berusaha untuk membujuk wanita itu agar mau ikut berlibur ke Bali. Namun sepertinya ia salah berbicara.

Setelah selama satu jam lebih berada di perjalanan dengan situasi yang sangat canggung, akhirnya mereka tiba di Bandara Soekarno Hatta. Dengan segera, Rachel langsung mengeluarkan kopernya dan koper Alan. Kemudian ia mengambil troli, lalu meletakkan kopernya di sana. Setelah itu, ia langsung mendorong trolinya dan berjalan mengikuti Alan di belakangnya.

***

Sementara itu di sisi lain, Noah yang tadinya asik bermain dengan teman- temannya di sekolah, tiba- tiba menangis dan berlari menghampiri eyangnya yang sedang duduk menunggunya bersama Ibu- ibu yang lain.

“Loh, kenapa nangis?” tanya salah satu Ibu- ibu tersebut.

Noah tidak menjawab. Wajahnya disembunyikan di leher sang Eyang sembari menangis terisak.

“Kenapa? Siapa yang nakal? Biar Eyang marahin,” ujar Ida.

“Dipukul sama Kiano?” tanya Ibu- ibu berkacamata. Lantaran anak yang bernama Kiano itu memang terkenal sangat nakal.

Noah menggelengkan kepala. Hingga membuat Ibu- ibu tersebut semakin penasaran. Karena tidak biasanya, Noah menangis seperti ini. Bocah itu selalu terlihat ceria di depan orang lain. Sekalipun dipukul oleh temannya, bocah itu akan tetap tersenyum.

“Kangen bundanya mungkin,” sahut Ibu- ibu yang lain.

“Nggak mungkinm lah. Orang bundanya baru berangkat tadi pagi,” bantah Ida.

“Emang bundanya ke mana sih? Perasaan nggak pernah ada di rumah.”

“Kerja. Cari duit,” sahut Ida.

“Kerjanya di mana? Kok jarang pulang.”  

“Kerjanya itu bolak- balik ke Luar negeri. Makanya jarang pulang ke rumah,” jelas Ida.

“Jadi apa? Pramugari?”

“Bukan. Jadi Asisten pribadinya orang kaya,” jawab Ida.

“Oh, kirain jadi Pramugari. Berarti banyak dong duitnya, kalau jadi Asisten pribadi kayak gitu.”

“Ya mana saya tau. Orang saya nggak pernah nanya,” balas Ida sedikit ketus.

“Bisa kali Nek, pinjamin uang ke bundanya Noah. Saya lagi butuh duit nih, buat bayar cicilan motor.”

Nah kan, sudah Ida duga jika endingnya akan seperti ini. Ia sudah hapal dengan kelakuan Ibu- ibu di sekolah ini, yang hobi berhutang dan susah untuk membayar.

“Saya nggak berani. Kalau butuh, pinjam aja sendiri,” ketus Ida.

“Eyang... teleponin Bunda,” rengek Noah.

“Tuh, kan. Kangen sama bundanya,” sahut Ibu- ibu berkacamata.

Ida tak menanggapinya. Kemudian ia mengajak Noah untuk pulang ke rumah, karena ia lupa tidak membawa ponselnya.

Beruntungnya, jarak antara sekolah dengan rumahnya tidak terlalu jauh. Jadi bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Sesampainya di rumah, Ida lantas membuka ponselnya dan menghubungi nomor Rachel. Setelah panggilannya berhasil tersambung, ia langsung memberikan ponsel tersebut pada bocah itu.

“Bunda...” panggil Noah, dengan nada bicara yang memelas.

“Kenapa, Nak?”

“Noah mau nanya, boleh?”

“Boleh dong, Sayang. Mau nanya apa emang?”

“Ayah Noah di mana?” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status