Share

2. Tak mampu menjawab

Rachel POV

Aku menundukkan kepala sembari meremas jari- jariku. Menahan air mata yang sudah membendung di pelupuk mataku. Aku tidak sanggup menjawab pertanyaan Noah. Maka dari itu aku langsung mematikan sambungan teleponnya, dan mengatakan kepadanya jika aku akan terbang sekarang juga, jadi ponsel harus dimatikan.

“Tinggal bilang aja kalau ayahnya mati. Apa susahnya?”

Aku tak mempedulikan ucapan Alan. Ku masukkan ponselku ke dalam tas, lalu berjalan menuju toilet umum. Masih ada waktu selama dua puluh menit sebelum take off, jadi aku masih punya kesempatan untuk menumpahkan tangisanku di toilet.

Sesampainya di toilet, aku langsung masuk ke dalam salah satu bilik, dan menumpahkan semua tangisanku di sana. Sungguh sakit sekali, ketika mendengar pertanyaan yang selama ini ku hindari. Aku tidak tahu, apa yang sedang terjadi pada anakku. Hingga tiba- tiba menanyakan keberadaan sang Ayah yang selama ini tidak ada dikehidupannya.

Tok tok tok.

“Masih lama?” teriak seseorang dari luar.

Dengan cepat, aku langsung menghapus air mataku. Lalu keluar dari bilik dengan kepala yang tertunduk.

Sebelum balik ke ruang tunggu, aku mencuci wajahku di wastafel terlebih dahulu. Sambil menambah sedikit riasan di wajahku, agar tidak terlihat jika aku baru saja menangis.

“Semangat, Rachel. Keep smiling, stay cheerful and be happy,” ucapku. Menyemangati diriku sendiri.

Kemudian aku lantas berjalan keluar dari toilet. Dari kejauhan, aku melihat Alan yang sedang berbicara dengan seseorang. Namun ketika aku hampir sampai di tempat dudukku tadi, orang tersebut sudah pergi terlebih dahulu.

“Siapa, Pak?” tanyaku pada Alan.

“Siapa apanya?” balasnya.

“Yang tadi ngomong sama Bapak.”

“Oh, teman lama saya.”

“Dia mau flight juga?” tanyaku lagi.

“Iya, dia Pilot.”

Aku mengangguk- anggukkan kepalaku sambil ber-oh ria. Namun sedetik kemudian, aku langsung terdiam membatu. Ketika mengingat sebuah kenangan burukku dengan seseorang yang berprofesi sebagai Pilot.

“Chel, are you okay?” tanya Alan. Yang berhasil membuatku langsung tersadar dari lamunan.

“Hah? I-iya,” jawabku gugup.

Setelah bertanya seperti itu, Alan kembali bersikap dingin seperti semula. Hingga tak lama kemudian, kami diarahkan untuk segera masuk ke dalam pesawat. Karena sebentar lagi pesawat akan lepas landas.

***            

Karena kursi yang diduduki oleh Rachel dan Alan sangat empuk dan nyaman untuk ditiduri, mereka tidak mau menyia- nyiakan kesempatan untuk beristirahat walaupun cuma sebentar. 

Ini adalah pertama kalinya, Rachel menaiki pesawat dengan kelas bisnis. Biasanya, ia selalu duduk di kelas ekonomi, atau paling bagus di kelas ekonomi premium. Ia sendiri juga heran, kenapa lelaki ini tiba- tiba menjadi dermawan dan mengajaknya duduk di kelas bisnis. Padahal biasanya selalu pelit dan perhitungan kepadanya. Bahkan gajinya saja masih stuck di angka lima juta, setelah empat tahun bekerja.

“Chel, mau tidur?” tanya Alan.

“Iya. Kenapa?”

“Boleh minta tolong sebentar? Tolong pindahin semua file ini ke G****e drive,” ujar Alan. Seraya menyerahkan iPadnya pada Rachel.

Rachel menurut. Meskipun dalam hatinya sedang menggerundel, karena ia sudah bersiap- siap untuk tidur. Bahkan ia sudah memasang selimut di tubuhnya dan memasang headphone di telinganya. Ingin protes, tapi ini sudah menjadi tanggung jawabnya.

Sebagai Asisten pribadi, ia harus siap sedia membantu bosnya. Mulai dari mengatur semua jadwal harian, hingga jadwal perjalanannya. Mengurus semua hal yang berkaitan dengan pekerjaannya. Serta mengorganisir dan merencanakan pertemuan dengan kliennya.

Bahkan untuk sekedar mengangkat telepon dari keluarganya saja, tetap harus Rachel yang melakukannya. Karena lelaki itu tidak mau diganggu oleh orang tuanya yang selalu menyuruhnya untuk segera menikah.

“Loh, kok ada fotoku?” gumam Rachel, ketika menemukan satu fotonya di akun G****e drive milik Alan.

Sepertinya foto tersebut diambil sekitar dua tahun yang lalu. Ketika rambut Rachel masih pendek sebahu. Dan yang membuat Rachel bingung adalah, foto tersebut bukan foto selfie atau semacamnya, melainkan foto candid. Jadi, apakah waktu itu Alan diam- diam memotretnya?

“Udah?” tanya Alan, seraya mengintip Rachel yang masih terdiam memandangi iPadnya.

Seketika Alan langsung membulatkan matanya lebar, ketika menyadari jika Rachel sedang memandangi fotonya sendiri di iPadnya. Sontak saja, ia langsung merebut iPad tersebut dengan kasar. Hingga membuat Rachel terkesiap kaget.

“Eh, filenya belum saya pindah semua, Pak,” ujar Rachel.

“Nanti saya pindah sendiri,” ketus Alan. Membuat Rachel semakin terheran- heran melihatnya.

Tak mau pusing- pusing memikirkannya, Rachel pun memilih untuk memejamkan matanya saja. Sambil mendengarkan musik lewat headphone yang sudah disediakan oleh pihak Maskapai.

***

“Noah... makan dulu. Eyang buatin telur dadar nih,” ujar Ida. Seraya menghampiri Noah yang masih tengkurap di atas kasur.

Sejak panggilannya diputus oleh bundanya tadi, Noah menjadi semakin murung. Bocah itu tidak mau keluar dari kamar, dan tidak mau berbicara dengan Ida.

“Kenapa sih? Ada apa? Sini, cerita sama Eyang,” ujar Ida. Seraya berusaha merentangkan badan Noah. Namun bocah itu malah mengamuk, dan menendang- nendangkan kakinya ke tubuh Ida.

“Bunda kan masih di pesawat, Nak. Nanti kalau udah sampai, ditelepon lagi sama Bunda,” ucapnya lagi. Berusaha untuk menenangkan cucu tampannya tersebut.

“NOAH MALAH SAMA BUNDA!” teriak Noah, dengan air mata yang berlinang di pipinya.

“Kok gitu sih? Kasian Bunda loh. Udah cape- cape kerja buat Noah, tapi Noahnya malah kayak gini.” Ida mengangkat tubuh Noah ke atas pangkuannya. Meskipun usianya sudah tergolong tua, namun energi Ida masih sangat besar. Jangankan mengangkat tubuh Noah, mengangkat galon saja dia masih kuat.

“Coba bilang ke Eyang. Kenapa Noah tadi nangis di sekolah?”

Sambil menangis terisak- isak, bocah itupun menjawab.

“Hiks, kata teman Noah, Noah anak pungut. Noah nggak punya Bunda sama Ayah,” ucapnya.

“Kata siapa, Noah nggak punya Ayah? Noah kan punya Papa Alan.”

“Tapi kata Bunda, Papa Alan itu bukan ayahnya Noah.”

Ida terdiam. Ia bingung, harus menjelaskan seperti apa lagi. Noah masih terlalu kecil untuk mengetahui semuanya. Lagi pula, ia tidak berani memberi tahu Noah, sebelum bundanya sendiri yang bercerita.

“Eh, tadi Noah dicari sama Bian. Katanya mau diajak mancing ke danau,” ujar Ida. Berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.

“Noah nggak mau mancing. Noah maunya ketemu Bunda,” balasnya. Membuat Ida langsung menghembuskan napasnya kasar.

Tak mau menyerah, Ida pun lantas memikirkan cara lain untuk membujuk cucu angkat kesayangannya ini. 

***

Sudah hampir tiga jam, Rachel dan Alan berada di dalam pesawat. Sedari tadi, Rachel menghabiskan waktunya untuk tidur. Sedangkan Alan sibuk mengerjakan sesuatu di laptopnya.

Tak lama kemudian, Rachel terbangun. Wanita itu lantas mencepol rambutnya, dan mengintip Alan yang masih sibuk dengan laptopnya.

“Pak Alan nggak tidur?” tanya Rachel.

“Enggak,” jawabnya cuek. Tanpa melihat ke arah Rachel.

“Filenya udah dipindahin semua?” tanya Rachel lagi. Yang hanya dibalas oleh lelaki itu dengan anggukan saja.  

Tak berselang lama, seorang Pramugara dan Pragumari datang mengantarkan makanan ke bangku Rachel dan juga Alan.

Rachel yang memang sudah lapar sedari tadi, tentu saja sangat bersemangat menerima makanannya. Namun ketika matanya tak sengaja bertatapan dengan mata sang Pramugara, seketika tubuh Rachel langsung menegang.

“Rachel, serius ini kamu?” tanya lelaki itu. Sedangkan Rachel masih terdiam membatu, dengan pandangan yang tak lepas dari wajah lelaki itu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status