Rachel POV
Aku menundukkan kepala sembari meremas jari- jariku. Menahan air mata yang sudah membendung di pelupuk mataku. Aku tidak sanggup menjawab pertanyaan Noah. Maka dari itu aku langsung mematikan sambungan teleponnya, dan mengatakan kepadanya jika aku akan terbang sekarang juga, jadi ponsel harus dimatikan.
“Tinggal bilang aja kalau ayahnya mati. Apa susahnya?”
Aku tak mempedulikan ucapan Alan. Ku masukkan ponselku ke dalam tas, lalu berjalan menuju toilet umum. Masih ada waktu selama dua puluh menit sebelum take off, jadi aku masih punya kesempatan untuk menumpahkan tangisanku di toilet.
Sesampainya di toilet, aku langsung masuk ke dalam salah satu bilik, dan menumpahkan semua tangisanku di sana. Sungguh sakit sekali, ketika mendengar pertanyaan yang selama ini ku hindari. Aku tidak tahu, apa yang sedang terjadi pada anakku. Hingga tiba- tiba menanyakan keberadaan sang Ayah yang selama ini tidak ada dikehidupannya.
Tok tok tok.
“Masih lama?” teriak seseorang dari luar.
Dengan cepat, aku langsung menghapus air mataku. Lalu keluar dari bilik dengan kepala yang tertunduk.
Sebelum balik ke ruang tunggu, aku mencuci wajahku di wastafel terlebih dahulu. Sambil menambah sedikit riasan di wajahku, agar tidak terlihat jika aku baru saja menangis.
“Semangat, Rachel. Keep smiling, stay cheerful and be happy,” ucapku. Menyemangati diriku sendiri.
Kemudian aku lantas berjalan keluar dari toilet. Dari kejauhan, aku melihat Alan yang sedang berbicara dengan seseorang. Namun ketika aku hampir sampai di tempat dudukku tadi, orang tersebut sudah pergi terlebih dahulu.
“Siapa, Pak?” tanyaku pada Alan.
“Siapa apanya?” balasnya.
“Yang tadi ngomong sama Bapak.”
“Oh, teman lama saya.”
“Dia mau flight juga?” tanyaku lagi.
“Iya, dia Pilot.”
Aku mengangguk- anggukkan kepalaku sambil ber-oh ria. Namun sedetik kemudian, aku langsung terdiam membatu. Ketika mengingat sebuah kenangan burukku dengan seseorang yang berprofesi sebagai Pilot.
“Chel, are you okay?” tanya Alan. Yang berhasil membuatku langsung tersadar dari lamunan.
“Hah? I-iya,” jawabku gugup.
Setelah bertanya seperti itu, Alan kembali bersikap dingin seperti semula. Hingga tak lama kemudian, kami diarahkan untuk segera masuk ke dalam pesawat. Karena sebentar lagi pesawat akan lepas landas.
***
Karena kursi yang diduduki oleh Rachel dan Alan sangat empuk dan nyaman untuk ditiduri, mereka tidak mau menyia- nyiakan kesempatan untuk beristirahat walaupun cuma sebentar.
Ini adalah pertama kalinya, Rachel menaiki pesawat dengan kelas bisnis. Biasanya, ia selalu duduk di kelas ekonomi, atau paling bagus di kelas ekonomi premium. Ia sendiri juga heran, kenapa lelaki ini tiba- tiba menjadi dermawan dan mengajaknya duduk di kelas bisnis. Padahal biasanya selalu pelit dan perhitungan kepadanya. Bahkan gajinya saja masih stuck di angka lima juta, setelah empat tahun bekerja.
“Chel, mau tidur?” tanya Alan.
“Iya. Kenapa?”
“Boleh minta tolong sebentar? Tolong pindahin semua file ini ke G****e drive,” ujar Alan. Seraya menyerahkan iPadnya pada Rachel.
Rachel menurut. Meskipun dalam hatinya sedang menggerundel, karena ia sudah bersiap- siap untuk tidur. Bahkan ia sudah memasang selimut di tubuhnya dan memasang headphone di telinganya. Ingin protes, tapi ini sudah menjadi tanggung jawabnya.
Sebagai Asisten pribadi, ia harus siap sedia membantu bosnya. Mulai dari mengatur semua jadwal harian, hingga jadwal perjalanannya. Mengurus semua hal yang berkaitan dengan pekerjaannya. Serta mengorganisir dan merencanakan pertemuan dengan kliennya.
Bahkan untuk sekedar mengangkat telepon dari keluarganya saja, tetap harus Rachel yang melakukannya. Karena lelaki itu tidak mau diganggu oleh orang tuanya yang selalu menyuruhnya untuk segera menikah.
“Loh, kok ada fotoku?” gumam Rachel, ketika menemukan satu fotonya di akun G****e drive milik Alan.
Sepertinya foto tersebut diambil sekitar dua tahun yang lalu. Ketika rambut Rachel masih pendek sebahu. Dan yang membuat Rachel bingung adalah, foto tersebut bukan foto selfie atau semacamnya, melainkan foto candid. Jadi, apakah waktu itu Alan diam- diam memotretnya?
“Udah?” tanya Alan, seraya mengintip Rachel yang masih terdiam memandangi iPadnya.
Seketika Alan langsung membulatkan matanya lebar, ketika menyadari jika Rachel sedang memandangi fotonya sendiri di iPadnya. Sontak saja, ia langsung merebut iPad tersebut dengan kasar. Hingga membuat Rachel terkesiap kaget.
“Eh, filenya belum saya pindah semua, Pak,” ujar Rachel.
“Nanti saya pindah sendiri,” ketus Alan. Membuat Rachel semakin terheran- heran melihatnya.
Tak mau pusing- pusing memikirkannya, Rachel pun memilih untuk memejamkan matanya saja. Sambil mendengarkan musik lewat headphone yang sudah disediakan oleh pihak Maskapai.
***
“Noah... makan dulu. Eyang buatin telur dadar nih,” ujar Ida. Seraya menghampiri Noah yang masih tengkurap di atas kasur.
Sejak panggilannya diputus oleh bundanya tadi, Noah menjadi semakin murung. Bocah itu tidak mau keluar dari kamar, dan tidak mau berbicara dengan Ida.
“Kenapa sih? Ada apa? Sini, cerita sama Eyang,” ujar Ida. Seraya berusaha merentangkan badan Noah. Namun bocah itu malah mengamuk, dan menendang- nendangkan kakinya ke tubuh Ida.
“Bunda kan masih di pesawat, Nak. Nanti kalau udah sampai, ditelepon lagi sama Bunda,” ucapnya lagi. Berusaha untuk menenangkan cucu tampannya tersebut.
“NOAH MALAH SAMA BUNDA!” teriak Noah, dengan air mata yang berlinang di pipinya.
“Kok gitu sih? Kasian Bunda loh. Udah cape- cape kerja buat Noah, tapi Noahnya malah kayak gini.” Ida mengangkat tubuh Noah ke atas pangkuannya. Meskipun usianya sudah tergolong tua, namun energi Ida masih sangat besar. Jangankan mengangkat tubuh Noah, mengangkat galon saja dia masih kuat.
“Coba bilang ke Eyang. Kenapa Noah tadi nangis di sekolah?”
Sambil menangis terisak- isak, bocah itupun menjawab.
“Hiks, kata teman Noah, Noah anak pungut. Noah nggak punya Bunda sama Ayah,” ucapnya.
“Kata siapa, Noah nggak punya Ayah? Noah kan punya Papa Alan.”
“Tapi kata Bunda, Papa Alan itu bukan ayahnya Noah.”
Ida terdiam. Ia bingung, harus menjelaskan seperti apa lagi. Noah masih terlalu kecil untuk mengetahui semuanya. Lagi pula, ia tidak berani memberi tahu Noah, sebelum bundanya sendiri yang bercerita.
“Eh, tadi Noah dicari sama Bian. Katanya mau diajak mancing ke danau,” ujar Ida. Berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.
“Noah nggak mau mancing. Noah maunya ketemu Bunda,” balasnya. Membuat Ida langsung menghembuskan napasnya kasar.
Tak mau menyerah, Ida pun lantas memikirkan cara lain untuk membujuk cucu angkat kesayangannya ini.
***
Sudah hampir tiga jam, Rachel dan Alan berada di dalam pesawat. Sedari tadi, Rachel menghabiskan waktunya untuk tidur. Sedangkan Alan sibuk mengerjakan sesuatu di laptopnya.
Tak lama kemudian, Rachel terbangun. Wanita itu lantas mencepol rambutnya, dan mengintip Alan yang masih sibuk dengan laptopnya.
“Pak Alan nggak tidur?” tanya Rachel.
“Enggak,” jawabnya cuek. Tanpa melihat ke arah Rachel.
“Filenya udah dipindahin semua?” tanya Rachel lagi. Yang hanya dibalas oleh lelaki itu dengan anggukan saja.
Tak berselang lama, seorang Pramugara dan Pragumari datang mengantarkan makanan ke bangku Rachel dan juga Alan.
Rachel yang memang sudah lapar sedari tadi, tentu saja sangat bersemangat menerima makanannya. Namun ketika matanya tak sengaja bertatapan dengan mata sang Pramugara, seketika tubuh Rachel langsung menegang.
“Rachel, serius ini kamu?” tanya lelaki itu. Sedangkan Rachel masih terdiam membatu, dengan pandangan yang tak lepas dari wajah lelaki itu.
Sudah ada lima polisi yang melakukan pemeriksaan di taman belakang rumah Santi. Menurut Polisi, terjadinya ledakan tersebut dikarenakan ada sebuah bom kecil yang dilempar ke taman tersebut. Dan setelah di cek di CCTV, ternyata benar. Ada sebuah benda bulat kecil yang dilempar dari arah luar. Akan tetapi, orang yang melempar tersebut tidak terlihat di kamera CCTV. Jadi mereka semua belum tahu, siapa pelaku pelemparan bom tersebut.“Tante, masuk dulu yuk. Ada yang mau aku omongin. Itu biar diatur sama Pak Polisi.” Alan mengajak Cindy untuk masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Rachel dan Santi yang ikut berjalan di belakang mereka.Mereka duduk di ruang keluarga. Rachel berdampingan dengan Alan, dan Cindy berdampingan dengan Santi. Sementara itu, Noah asik bermain sendiri.Sebelum berbicara, Alan menghela napasnya terlebih dahulu. “Dalang dari pelaku yang memukul Rachel udah tertangkap,” ucapnya.“SIAPA?” tanya mereka berbarengan.Alan kembali menghela napasnya lagi. Melihat wajah Santi, i
Alan mengepalkan tangannya kuat dengan wajah yang memerah menahan amarah. Kemudian tanpa basa- basi, ia langsung keluar dari ruangan tersebut dan berjalan menuju tempat di mana mobil sewanya terparkir.Alan mengendarai mobilnya seperti orang kesurupan. Ia sudah tidak peduli lagi, jika dirinya akan ditangkap oleh Polisi ataupun dimarahi orang lain. Lagi pula jalanan juga sedang sepi, hanya ada beberapa kendaraan saja yang lewat.“Vid, lo ke Bali ya, sekarang. Gue pesenin tiket.” Alan berbicara dengan temannya lewat telepon sambil terus menyetir.“Ngapain?” tanya orang itu, yang tak lain adalah David. “Ada urusan penting. Gue butuh bantuan lo.”“Ck. Gue males. Lagi nggak mood ke mana- mana.” “Gue kasih uang saku sejuta.”“Kurang.” “Dua juta.”“Tambahin dikit.” Alan berdecak kesal. “Sialan lo! Lama- lama jadi ngelunjak.”“Yaudah, kalau nggak mau nambahin ya gue ogah ke sana.” “Dua juta setengah.”“Nanggung amat. Tiga juta kek.”Alan mendesis kesal. Karena malas bernegoisasi lama-
Rachel merintih kesakitan sambil memegangi punggungnya. Ia bahkan sampai tidak sanggup berdiri karena saking sakitnya. Ia tidak tahu, siapa orang jahat yang baru saja memukulnya, karena wajah kedua orang itu ditutupi oleh topeng berwarna hitam.“To- long ...” rintih Rachel dengan suara yang terputus- putus. Berharap ada orang yang melihatnya lalu menolongnya.Ia menoleh ke belakang dan melihat kedua orang itu mulai mengangkat tongkat yang dipegangnya lagi. Seolah bersiap untuk kembali menghajar Rachel. Melihat itu, Rachel sontak mengeluarkan semua energinya untuk berteriak.“AAAAA!” teriaknya kencang dengan mata yang terpejam erat.Bersamaan dengan itu, terdengar suara gebukan berkali- kali yang begitu kencang. Namun anehnya, ia tak merasakan sakit sama sekali. Karena penasaran, Rachel pun akhirnya membuka matanya dengan perlahan. Tongkat tersebut tidak mendarat di tubuhnya, melainkan tergeletak di bawah bersama sang pemiliknya. Entah apa yang sudah terjadi, sampai kedua penjahat itu
Aku tentu saja terkejut mendengar perkataan Nena. Ah tidak, bukan aku saja. Semua orang yang berada di dalam ruangan ini juga terkejut mendengarnya. Bahkan Airin saat ini sudah menatapku dengan tatapan yang sangat tajam.“Maksud Nena?” tanyaku. Aku ingin memastikan, apakah ia salah berbicara atau tidak.“Nena nggak mau harta benda Nena jatuh ke tangan orang yang salah. Cukup mereka bertiga aja yang membuat Nena hampir jatuh miskin,” ucapnya sambil melirik Mama, Papa dan juga Airin yang sedang menundukkan kepala.“Tapi─” Aku ingin memprotes, tapi Nena langsung memotong ucapanku.“Cuma kamu, satu- satunya orang yang Nena percaya. Nena tau, kamu bukan orang yang gila harta. Maka dari itu, Nena percayakan semuanya ke kamu. Tolong dijaga dengan baik, karena itu hasil dari kerja keras Kakek kamu dulu.”Aku menundukkan kepala. Diberi tanggung jawab sebesar ini tentu saja membuatku merasa sangat terbebani. Apalagi masih ada pewaris yang lebih layak mendapatkannya, yaitu Mama. Kalau Om Radit s
Tatapan tajam dan penuh kebencian saling dilempar oleh Airin dan Rachel layaknya singa yang bertemu dengan harimau. Raut wajah Rachel menyiratkan sebuah emosi yang begitu besar, begitu juga dengan Airin, wanita itu juga tampak sangat kesal dengan wanita di depannya yang berstatus sebagai adiknya ini.Sementara itu, sang Mama hanya menatap mereka pilu. Menyaksikan pertengkaran yang akan terjadi antara dua bersaudara yang lahir dalam rahim yang sama. Sedih? Tentu saja. Ia merasa gagal menjadi orang tua karena tidak bisa mendidik anak- anaknya dengan baik. Seharusnya mereka berdua bisa tumbuh menjadi saudara yang saling menyayangi satu sama lain. Namun apa daya, mereka berdua sudah terlanjur saling membenci satu sama lain.“Gue rasa, lo nggak perlu ikut campur urusan gue sama Mama,” ujar Airin.“Gue rasa, gue juga punya hak buat ikut campur urusan ini,” balas Rachel. Kemudian Rachel berdiri, menghadap Airin dengan tangan yang dilipat di depan dada, tak lupa dengan senyuman miring yang me
“Halo ...”Panggilan sudah tersambung, tapi Rachel hanya mendengar suara kebisingan. Ya, setelah membaca pesan yang dikirim oleh Alan, wanita itu langsung bergegas menghubunginya.Khawatir? Tentu saja. Siapa yang tidak khawatir ketika mendapat kabar seperti itu dari orang yang kita sayang. Rasanya Rachel ingin terbang ke Singapore sekarang juga.“Halo ...” Panggil Rachel sekali lagi. Namun belum ada sahutan dari Alan.“Alan, are you okay?” Nada bicara Rachel terdengar mulai panik, lantaran pria itu tak kunjung membalas ucapannya. Ia takut sesuatu yang buruk terjadi pada pria itu.Hingga satu menit kemudian, panggilan masih tersambung tapi yang Rachel dengar hanyalah suara bising. Ia tidak mau mematikan sambungan teleponnya, ia akan menunggu sampai suara pria itu terdengar di telinganya.Beberapa menit kemudian ....“Chel?” Rachel yang sedang melamun refleks langsung menegakkan tubuhnya ketika mendengar suara Alan yang memanggil namanya.“Kamu di mana? Gimana keadaan kamu sekarang? K