Home / Romansa / Ayah untuk Noah / 3. Si cuek yang pengertian

Share

3. Si cuek yang pengertian

Author: Ruby jane
last update Last Updated: 2023-05-20 14:32:50

“Chel, udah lama banget kita nggak ketemu. Kamu masih ingat aku, kan?” ujar lelaki itu dengan sedikit heboh. Sedangkan Rachel masih terdiam tak merespon.

“Aku Reza. Teman kamu,” ucapnya lagi.

Rachel menundukkan kepalanya seraya mengangguk kecil. Responnya yang kurang baik tersebut, sukses membuat senyuman lelaki itu perlahan memudar.

Sementara itu, Alan yang menyadari jika Rachel terlihat tak nyaman. Sontak saja langsung melancarkan aksinya.

Sorry, Sir. But my wife looks uncomfortable,” ujar Alan. Membuat Rachel langsung membulatkan matanya kaget.

Ah, sorry. I'm just glad to see her again,” balas lelaki itu seraya tersenyum canggung.

Alan membalasnya dengan senyuman tipis. Sedangkan Rachel masih plonga- plongo tidak mengerti.

Can you leave us alone? We are already hungry and want to eat right now,” ujar Alan lagi.

Ah, of course. Sorry to interrupt.”

Setelah lelaki itu pergi menjauh, Rachel langsung menatap Alan dengan tatapan yang begitu dalam. Sementara itu, Alan malah bersikap santai. Seolah tidak terjadi apa- apa.

“Kenapa?” tanya Alan, seraya menaikkan sebelah alisnya.

My wife?” gumam Rachel, seraya memandangi wajah Alan tanpa berkedip.

“Saya cuma bantu kamu, biar dia cepat pergi. Tadi kamu kelihatan nggak nyaman soalnya,” balas Alan. Sedangkan Rachel hanya mengangguk- anggukkan kepalanya sembari ber- oh ria.

“Bukan nggak nyaman sih, tapi kaget aja. Nggak nyangka, kalau bakal ketemu dia di sini,” ujar Rachel.

“Dia siapa?” tanya Alan.

“Teman lama,” jawab Rachel. 

“Oh, orang Bali juga?”

Rachel mengangguk. “Tapi makasih ya, Pak, udah bantuin saya. Saya emang nggak mau berhubungan lagi sama orang masa lalu,” ucapnya.

“Sama- sama. Lain kali kalau ketemu sama orang masa lalu lagi, pura- pura amnesia aja,” celetuk Alan. Membuat Rachel langsung melongo tak percaya. Sungguh, saran yang sangat baik untuk diterima.

***

Setelah menempuh perjalanan udara selama kurang lebih sembilan jam, akhirnya Rachel dan Alan sampai di Bandara Hong Kong International Airport. Mereka pun langsung buru- buru keluar, karena mobil jemputan mereka sudah datang.

“Rachel!” teriak seseorang dari arah belakang.

Rachel dan Alan langsung menghentikan langkahnya, dan menoleh ke belakang untuk melihat siapa orang yang memanggilnya.

Rachel memutarkan bola matanya malas. Ternyata orang yang memanggilnya adalah lelaki yang tadi ia temui di dalam pesawat. Ia kira siapa!

Tak ingin menanggapinya, Rachel pun lantas menarik tangan Alan dan mengajaknya untuk kembali berjalan dengan cepat. Namun sayangnya, lelaki itu lagi- lagi mengejarnya dan kali ini mulai berani menarik tangannya.

“Chel, please... minta waktunya sebentar. Ini penting banget,” ujar lelaki itu dengan napas yang terengah- engah.

Rachel menghembuskan napasnya lelah. Sejujurnya ia malas menanggapi lelaki ini. Tapi karena tak mau terus dibuntuti, jadi ia memberinya kesempatan untuk berbicara.

“Cepat,” ketus Rachel.

“Oke. Aku mau nanya dulu sama kamu. Sebelumnya, kamu udah pernah pulang ke Bali atau pernah ketemu sama orang tua kamu lagi?” tanya lelaki itu.

“Orang tua yang mana? Saya nggak punya orang tua,” balas Rachel ketus. Membuat lelaki itu langsung menghembuskan napasnya kasar.

“Aku nggak tau, kamu udah lupa atau pura- pura lupa. Aku cuma mau bilang, kalau orang tua kamu sampai sekarang masih nyari kamu. Mereka tau, kalau kamu nggak jadi gugurin anak kamu waktu itu,” jelas lelaki itu. Membuat Rachel langsung terdiam membatu.

“Kamu tau kan, apa yang bakal dilakuin orang tua kamu kalau misalnya dia berhasil nemuin kamu sama anak kamu? Mereka masih jahat, Chel. Jadi aku harap, kamu lebih hati- hati aja. Batasi penggunaan sosmed, karena ada orang yang diam- diam memantau akun kamu,” jelasnya lagi.

Setelah beberapa menit terdiam, Rachel pun mulai bersuara lagi.

“Emang kamu tau sosmed saya?” tanya Rachel.

Lelaki itu menggelengkan kepalanya. “Kata Papa kamu, Airin yang tau,” jawabnya.

Rachel mengangguk- anggukkan kepalanya. Ternyata keluarganya masih belum puas mencampuri urusan kehidupannya. Setelah membuangnya, mengusirnya, menghinanya, dan menyakiti dirinya. Keluarganya ini masih memiliki keinginan untuk menyakiti dirinya dan juga anaknya. Sungguh sangat kejam sekali.

Di sini, Rachel masih memiliki hak asasi manusia. Jadi ia tidak akan tinggal diam saja, jika keluarganya kembali menyakiti dirinya ataupun anaknya.

“Jangan khawatir. Saya pasti akan melindungi istri dan anak saya,” sahut Alan seraya menepuk- nepuk bahu lelaki itu, dengan disertai senyuman yang begitu manis. Hingga membuat Rachel sampai melongo melihatnya. Karena baru kali ini, ia melihat pria itu tersenyum dengan sangat manis.

***

Pagi mulai menyapa. Cahaya matahari perlahan masuk memenuhi sudut-sudut kamar hotel yang ditempati oleh Rachel. Tebalnya gorden berwarna abu- abu nyatanya tak bisa menghalangi cahaya itu masuk ke dalam ruangan.

Perlahan, Rachel mulai membuka matanya. Tangannya meraba- raba, mencari ponsel yang ia letakkan di atas nakas.

“Baru jam tujuh. Masih ada waktu satu jam lagi,” gumam Rachel. Setelah melihat jam di ponselnya.

Ketika wanita itu akan memejamkan matanya lagi, tiba- tiba ia teringat pada anaknya. Ia lupa belum menghubungi Noah, sejak sampai di hotel tadi malam.

Sontak saja, ia langsung mencari nomor Ida dan langsung menghubunginya saat itu juga.

“Selamat pagi, anak gantengnya Bunda,” sapa Rachel. Ketika panggilannya sudah tersambung.

Noah masih malah sama Bunda,” sahut bocah itu.

“Kok gitu? Bunda sedih nih dengernya,” ujar Rachel. Dengan nada bicara yang memelas. 

“Bunda nggak telepon Noah, kemalin.”

“Bunda kan baru sampai tadi malam, Nak. Terus Bunda ketiduran. Lupa, nggak telepon Noah dulu.”

“Tuh, kan. Masa lupa sama anak sendili?”

Rachel tertawa kecil. Sungguh imut sekali, suara anaknya ini. Jika saat ini berada di sebelahnya, mungkin sudah ia uyel- uyel sampai merah pipinya.

“Yaudah, Bunda minta maaf deh. Noah udah makan belum?”

“Belum.”

“Kok belum? Emang Eyang belum masak?”

“Mau beli bubul katanya.”

“Oh. Noah udah mandi belum?”

“Belum. Nanti aja kalau mau belangkat sekolah.”

“Eyang ke mana?”

“Mandi. Papa di mana?”

“Di kamarnya.”

“Emang Bunda nggak Bobo sama Papa?”

“Ya enggaklah,” balas Rachel sewot.

“Kenapa enggak?”

“Ya nggak boleh.”

“Kenapa nggak boleh?”

“Tau ah, Bunda pusing jawabnya. Noah kayak Dora. Kalau nanya sampai ke akar- akarnya,” kesal Rachel. Membuat Noah langsung tertawa kecil.  

“Bunda ke kamal Papa sekalang! Bangunin Papa. Noah pengen ngomong sama Papa,” perintahnya. Membuat Rachel langsung berdecak kesal. Sedikit menyebalkan memang, anaknya ini.

“Nggak mau. Nanti Papa kamu marah,” ketus Rachel.

“Aaaa... ayolah,” rengek Noah.

“Papa di sini, Noah.”

Seketika Rachel langsung membulatkan matanya lebar, saat melihat Alan yang sudah berdiri di depan pintu kamarnya, sambil membawa nampan yang berisi makanan dan juga minuman. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ayah untuk Noah   58. Akhir dari sebuah cerita

    Sudah ada lima polisi yang melakukan pemeriksaan di taman belakang rumah Santi. Menurut Polisi, terjadinya ledakan tersebut dikarenakan ada sebuah bom kecil yang dilempar ke taman tersebut. Dan setelah di cek di CCTV, ternyata benar. Ada sebuah benda bulat kecil yang dilempar dari arah luar. Akan tetapi, orang yang melempar tersebut tidak terlihat di kamera CCTV. Jadi mereka semua belum tahu, siapa pelaku pelemparan bom tersebut.“Tante, masuk dulu yuk. Ada yang mau aku omongin. Itu biar diatur sama Pak Polisi.” Alan mengajak Cindy untuk masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Rachel dan Santi yang ikut berjalan di belakang mereka.Mereka duduk di ruang keluarga. Rachel berdampingan dengan Alan, dan Cindy berdampingan dengan Santi. Sementara itu, Noah asik bermain sendiri.Sebelum berbicara, Alan menghela napasnya terlebih dahulu. “Dalang dari pelaku yang memukul Rachel udah tertangkap,” ucapnya.“SIAPA?” tanya mereka berbarengan.Alan kembali menghela napasnya lagi. Melihat wajah Santi, i

  • Ayah untuk Noah   57. Dalang sesungguhnya

    Alan mengepalkan tangannya kuat dengan wajah yang memerah menahan amarah. Kemudian tanpa basa- basi, ia langsung keluar dari ruangan tersebut dan berjalan menuju tempat di mana mobil sewanya terparkir.Alan mengendarai mobilnya seperti orang kesurupan. Ia sudah tidak peduli lagi, jika dirinya akan ditangkap oleh Polisi ataupun dimarahi orang lain. Lagi pula jalanan juga sedang sepi, hanya ada beberapa kendaraan saja yang lewat.“Vid, lo ke Bali ya, sekarang. Gue pesenin tiket.” Alan berbicara dengan temannya lewat telepon sambil terus menyetir.“Ngapain?” tanya orang itu, yang tak lain adalah David. “Ada urusan penting. Gue butuh bantuan lo.”“Ck. Gue males. Lagi nggak mood ke mana- mana.” “Gue kasih uang saku sejuta.”“Kurang.” “Dua juta.”“Tambahin dikit.” Alan berdecak kesal. “Sialan lo! Lama- lama jadi ngelunjak.”“Yaudah, kalau nggak mau nambahin ya gue ogah ke sana.” “Dua juta setengah.”“Nanggung amat. Tiga juta kek.”Alan mendesis kesal. Karena malas bernegoisasi lama-

  • Ayah untuk Noah   56. Sang Pahlawan

    Rachel merintih kesakitan sambil memegangi punggungnya. Ia bahkan sampai tidak sanggup berdiri karena saking sakitnya. Ia tidak tahu, siapa orang jahat yang baru saja memukulnya, karena wajah kedua orang itu ditutupi oleh topeng berwarna hitam.“To- long ...” rintih Rachel dengan suara yang terputus- putus. Berharap ada orang yang melihatnya lalu menolongnya.Ia menoleh ke belakang dan melihat kedua orang itu mulai mengangkat tongkat yang dipegangnya lagi. Seolah bersiap untuk kembali menghajar Rachel. Melihat itu, Rachel sontak mengeluarkan semua energinya untuk berteriak.“AAAAA!” teriaknya kencang dengan mata yang terpejam erat.Bersamaan dengan itu, terdengar suara gebukan berkali- kali yang begitu kencang. Namun anehnya, ia tak merasakan sakit sama sekali. Karena penasaran, Rachel pun akhirnya membuka matanya dengan perlahan. Tongkat tersebut tidak mendarat di tubuhnya, melainkan tergeletak di bawah bersama sang pemiliknya. Entah apa yang sudah terjadi, sampai kedua penjahat itu

  • Ayah untuk Noah   55. Gangguan orang jahat

    Aku tentu saja terkejut mendengar perkataan Nena. Ah tidak, bukan aku saja. Semua orang yang berada di dalam ruangan ini juga terkejut mendengarnya. Bahkan Airin saat ini sudah menatapku dengan tatapan yang sangat tajam.“Maksud Nena?” tanyaku. Aku ingin memastikan, apakah ia salah berbicara atau tidak.“Nena nggak mau harta benda Nena jatuh ke tangan orang yang salah. Cukup mereka bertiga aja yang membuat Nena hampir jatuh miskin,” ucapnya sambil melirik Mama, Papa dan juga Airin yang sedang menundukkan kepala.“Tapi─” Aku ingin memprotes, tapi Nena langsung memotong ucapanku.“Cuma kamu, satu- satunya orang yang Nena percaya. Nena tau, kamu bukan orang yang gila harta. Maka dari itu, Nena percayakan semuanya ke kamu. Tolong dijaga dengan baik, karena itu hasil dari kerja keras Kakek kamu dulu.”Aku menundukkan kepala. Diberi tanggung jawab sebesar ini tentu saja membuatku merasa sangat terbebani. Apalagi masih ada pewaris yang lebih layak mendapatkannya, yaitu Mama. Kalau Om Radit s

  • Ayah untuk Noah   54. Keputusan Nena

    Tatapan tajam dan penuh kebencian saling dilempar oleh Airin dan Rachel layaknya singa yang bertemu dengan harimau. Raut wajah Rachel menyiratkan sebuah emosi yang begitu besar, begitu juga dengan Airin, wanita itu juga tampak sangat kesal dengan wanita di depannya yang berstatus sebagai adiknya ini.Sementara itu, sang Mama hanya menatap mereka pilu. Menyaksikan pertengkaran yang akan terjadi antara dua bersaudara yang lahir dalam rahim yang sama. Sedih? Tentu saja. Ia merasa gagal menjadi orang tua karena tidak bisa mendidik anak- anaknya dengan baik. Seharusnya mereka berdua bisa tumbuh menjadi saudara yang saling menyayangi satu sama lain. Namun apa daya, mereka berdua sudah terlanjur saling membenci satu sama lain.“Gue rasa, lo nggak perlu ikut campur urusan gue sama Mama,” ujar Airin.“Gue rasa, gue juga punya hak buat ikut campur urusan ini,” balas Rachel. Kemudian Rachel berdiri, menghadap Airin dengan tangan yang dilipat di depan dada, tak lupa dengan senyuman miring yang me

  • Ayah untuk Noah   53. Khawatir

    “Halo ...”Panggilan sudah tersambung, tapi Rachel hanya mendengar suara kebisingan. Ya, setelah membaca pesan yang dikirim oleh Alan, wanita itu langsung bergegas menghubunginya.Khawatir? Tentu saja. Siapa yang tidak khawatir ketika mendapat kabar seperti itu dari orang yang kita sayang. Rasanya Rachel ingin terbang ke Singapore sekarang juga.“Halo ...” Panggil Rachel sekali lagi. Namun belum ada sahutan dari Alan.“Alan, are you okay?” Nada bicara Rachel terdengar mulai panik, lantaran pria itu tak kunjung membalas ucapannya. Ia takut sesuatu yang buruk terjadi pada pria itu.Hingga satu menit kemudian, panggilan masih tersambung tapi yang Rachel dengar hanyalah suara bising. Ia tidak mau mematikan sambungan teleponnya, ia akan menunggu sampai suara pria itu terdengar di telinganya.Beberapa menit kemudian ....“Chel?” Rachel yang sedang melamun refleks langsung menegakkan tubuhnya ketika mendengar suara Alan yang memanggil namanya.“Kamu di mana? Gimana keadaan kamu sekarang? K

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status