Share

4. Ketika es batu mencair

Rachel mematikan sambungan teleponnya dengan Noah. Kemudian ia turun dari kasur dan berjalan menghampiri Alan.

“Ada apa, Pak? Kok Bapak yang nganterin breakfastnya?” tanya Rachel.

“Tadinya saya mau ngambil iPad yang kamu bawa. Terus nggak sengaja papasan sama petugas hotel. Jadi sekalian saya bawain aja,” jelas Alan. Sedangkan Rachel hanya mengangguk- anggukkan kepalanya saja.

“Kamu ini ceroboh banget. Masa pintu kamarnya nggak dikunci. Nanti kalau ada orang jahat masuk gimana?” omel Alan. Membuat Rachel langsung membulatkan matanya terkejut. Ia sendiri tidak sadar, jika pintu kamarnya tidak terkunci.

“Yaudah, sana siap- siap. Jam delapan kita langsung ketemu klien,” ucapnya lagi.

“Baik Pak,” balas Rachel.

“Jangan lupa, pintunya dikunci.”

“Iya.”

“Makanannya dihabisin. Nanti kalau lapar nggak bisa fokus kerja.”

“Siap,” balas Rachel. Seraya mendorong pelan tubuh Alan, agar segera keluar dari kamarnya.

Bukannya kurang ajar atau bagaimana. Hanya saja Rachel baru menyadari, jika saat ini dirinya hanya menggunakan daster mini tanpa lengan. Ia takut terjadi hal yang tak diinginkan. Apalagi mereka sama- sama orang dewasa.

“Kenapa ya, Pak Alan makin ke sini makin ganteng,” gumam Rachel. Seraya menyandarkan punggungnya di pintu, dengan kedua tangan yang memegangi dadanya.

“Tau ah, bodo amat. Percuma ganteng, kalau pelit. Mana kaku banget lagi,” ucapnya lagi. Seraya berjalan menuju kamar mandi.

***

Sementara itu, Alan yang baru saja memasuki kamarnya pun langsung membanting tubuhnya di atas kasur. Matanya menatap langit- langit kamar, dengan tangan yang ia jadikan sebagai tumpuan kepalanya.

“San, masa iya sih, aku udah move on dari kamu?” gumamnya.

“Aku ngerasa kayak gak rela gitu, kalau ada orang yang menggantikan posisi kamu.”

Di tengah- tengah asiknya mengobrol sendiri, tiba- tiba ponsel Alan berdering. Dengan cepat, lelaki itu langsung mengangkatnya. Karena panggilan tersebut datang dari orang tuanya.

“Kenapa, Ma?” tanya Alan tanpa basa- basi.

“Salam dulu kek. Nggak ada sopan- sopannya banget jadi anak,” cibir sang Mama. Membuat Alan langsung memutarkan bola matanya malas.

“Assalamualaikum,” ketus Alan.

“Mama sekolahin kamu dari TK sampai S3, tapi masih kayak gini kelakuan kamu? Ngomong sama orang tua itu yang sopan, yang baik, yang lembut. Jangan kayak orang nggak punya sopan santun,” omelnya lagi.

“Ck. Ribet banget,” kesal Alan.

“Tuh, kan. Kamu itu kenapa sih, nggak bisa kayak Adek kamu? Bisanya cuma buat Mama emosi aja.”

Alan menghembuskan napasnya kasar. Beginilah jika ia berkomunikasi dengan mamanya. Selalu ada pertengkaran kecil diantara mereka. Itulah kenapa, Alan jarang pulang ke rumah orang tuanya dan jarang mengangkat panggilannya. Karena kepribadian mereka sangat tidak cocok untuk disatukan.

Alan cenderung cuek, moody, dan gengsian. Sedangkan orang tuanya tipe orang yang cerewet, suka mengatur, dan ceplas- ceplos ketika berbicara.

“Alan lagi nggak mood berantem. Cepet ngomong, Mama ada perlu apa,” ketus Alan.

“Mama punya list calon menantu lagi. Nanti Mama kirimin fotonya. Kamu pilih, mana yang paling cocok buat kamu.”

Seketika Alan langsung memijat pelipisnya seraya menghembuskan napasnya lelah. Ia sudah lelah. Lelah menghadapi mamanya yang selalu mengatur kehidupannya.

“Ma, berapa kali Alan harus bilang? Nggak usah repot- repot cari jodoh buat Alan. Alan bakal bawa pasangan Alan pulang ke rumah Mama, kalau misalnya Alan udah siap nikah.”

“Emang kamu udah punya pacar sekarang?”

“Udah.”

“Siapa namanya? Orang mana? Umur berapa? Kerja apa?” cecarnya. membuat Alan langsung berdecak kesal.

“Namanya Sutarmi. Orang Bojong gede. Umur 40. Kerjanya jadi penjual es dawet,” jawab Alan asal. Ia sudah terlampau muak dengan mamanya.

“ALAAAN!”

Klik.

Alan langsung mematikan panggilannya tanpa berbicara apapun. Kepalanya akan pusing, jika terus- terusan mendengarkan mamanya berceloteh.

Kemudian ia lantas mengambil handuknya, dan berjalan menuju kamar mandi.

***

Sore harinya, setelah menyelesaikan pertemuan dengan kliennya, Alan mengajak Rachel untuk menikmati udara sore hari di Avenue of Stars, salah satu spot wisata di Hong Kong yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan.

“Selama empat tahun kerja sama saya, Negara mana aja yang udah pernah kamu kunjungi?” tanya Alan.

Saat ini mereka sedang berjalan- jalan santai di tepi laut Tsim Sha Tsui, sambil menikmati segarnya minuman yang mereka beli di tengah- tengah kencangnya angin sore.

“Emm... Thailand, Hong Kong, Singapura, Vietnam, Brazil, Jepang, Malaysia, Denmark, Timor leste, sama Filipina,” jawab Rachel. Mengabsen beberapa Negara yang sudah pernah ia kunjungi.

“Negara mana yang paling pengen kamu kunjungi, tapi belum kesampaian?”

“Emm... banyak sih. Tapi yang paling pengen itu ke Maladewa. Saya pengen banget family time sama Noah di sana. Kayaknya seru, berenang di pantai yang suasananya kayak di surga.”

“Apa harapan terbesar kamu, selain pergi ke Maladewa?” tanya Alan lagi, membuat Rachel langsung menghentikan langkahnya dan menatap lelaki itu dengan saksama.

Rachel tak langsung menjawab. Ia terdiam dahulu selama beberapa detik. Memikirkan jawaban yang akan ia ucapkan sekarang juga.

“Saya pengen wujudin cita- cita Noah. Tapi kayaknya mustahil,” ujar Rachel.

“Kenapa mustahil? Emang apa, cita- cita Noah?” tanya Alan.

Rachel menarik napasnya, lalu dihembuskan secara perlahan. Dari ekspresinya, terlihat jika wanita itu sedikit keberatan untuk menjawab pertanyaan Alan.

“Noah pengen punya Ayah,” jawabnya. Seraya memalingkan wajahnya ke samping.

“Terus apanya yang mustahil? Kamu masih muda, masih pantas buat menikah.”

“Masalahnya, saya udah nutup diri buat siapapun. Saya udah mati rasa. Sama sekali nggak tertarik buat berhubungan sama cowo lagi.”

Alan membulatkan matanya terkejut. Namun sedetik kemudian, ia langsung mengangguk- anggukkan kepalanya. Memaklumi Rachel yang memang memiliki rasa trauma terhadap laki- laki di masa lalu.

Kemudian mereka lanjut berjalan santai, sambil menikmati indahnya Negara Hong Kong di sore hari.

“Bapak sendiri gimana? Udah bisa move on dari Mbak Sania?” tanya Rachel.

“Nggak tau. Saya bingung,” jawab Alan.

“Loh, kok bingung?”

“Ada orang yang hampir aja berhasil buat saya move on dari Sania. Tapi saya masih ragu.”

“Ragu? Ragu kenapa?”

“Saya takut cinta sepihak.”

“Emang Bapak udah pernah mengungkapkan perasaan secara langsung?”

“Belum sih.”

“Yaudah, dicoba aja dulu. Siapa tau sama- sama suka.”

Alan menghentikan langkahnya. Membuat Rachel ikut berhenti juga. Kemudian ia menatap Rachel dengan tatapan yang begitu intens.

“Kamu yakin, kalau dia juga suka sama saya?” tanyanya.

“Ya saya nggak tau, Pak! Tapi kalau dipikir- pikir, siapa sih yang nggak mau sama Bapak? Udah pintar, kaya, berwibawa lagi,” puji Rachel.

“Ganteng, nggak?”

“Emm... sedikit sih,” celetuk Rachel. Membuat Alan langsung berdecak kesal.  

“Ya masa harus jujur, sih? Nanti kepedean dong,” batin Rachel.

“Kira- kira saya cocok nggak, jadi ayahnya Noah?” tanya Alan. Membuat Rachel langsung membulatkan matanya terkejut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status