Rachel mematikan sambungan teleponnya dengan Noah. Kemudian ia turun dari kasur dan berjalan menghampiri Alan.
“Ada apa, Pak? Kok Bapak yang nganterin breakfastnya?” tanya Rachel.
“Tadinya saya mau ngambil iPad yang kamu bawa. Terus nggak sengaja papasan sama petugas hotel. Jadi sekalian saya bawain aja,” jelas Alan. Sedangkan Rachel hanya mengangguk- anggukkan kepalanya saja.
“Kamu ini ceroboh banget. Masa pintu kamarnya nggak dikunci. Nanti kalau ada orang jahat masuk gimana?” omel Alan. Membuat Rachel langsung membulatkan matanya terkejut. Ia sendiri tidak sadar, jika pintu kamarnya tidak terkunci.
“Yaudah, sana siap- siap. Jam delapan kita langsung ketemu klien,” ucapnya lagi.
“Baik Pak,” balas Rachel.
“Jangan lupa, pintunya dikunci.”
“Iya.”
“Makanannya dihabisin. Nanti kalau lapar nggak bisa fokus kerja.”
“Siap,” balas Rachel. Seraya mendorong pelan tubuh Alan, agar segera keluar dari kamarnya.
Bukannya kurang ajar atau bagaimana. Hanya saja Rachel baru menyadari, jika saat ini dirinya hanya menggunakan daster mini tanpa lengan. Ia takut terjadi hal yang tak diinginkan. Apalagi mereka sama- sama orang dewasa.
“Kenapa ya, Pak Alan makin ke sini makin ganteng,” gumam Rachel. Seraya menyandarkan punggungnya di pintu, dengan kedua tangan yang memegangi dadanya.
“Tau ah, bodo amat. Percuma ganteng, kalau pelit. Mana kaku banget lagi,” ucapnya lagi. Seraya berjalan menuju kamar mandi.
***
Sementara itu, Alan yang baru saja memasuki kamarnya pun langsung membanting tubuhnya di atas kasur. Matanya menatap langit- langit kamar, dengan tangan yang ia jadikan sebagai tumpuan kepalanya.
“San, masa iya sih, aku udah move on dari kamu?” gumamnya.
“Aku ngerasa kayak gak rela gitu, kalau ada orang yang menggantikan posisi kamu.”
Di tengah- tengah asiknya mengobrol sendiri, tiba- tiba ponsel Alan berdering. Dengan cepat, lelaki itu langsung mengangkatnya. Karena panggilan tersebut datang dari orang tuanya.
“Kenapa, Ma?” tanya Alan tanpa basa- basi.
“Salam dulu kek. Nggak ada sopan- sopannya banget jadi anak,” cibir sang Mama. Membuat Alan langsung memutarkan bola matanya malas.
“Assalamualaikum,” ketus Alan.
“Mama sekolahin kamu dari TK sampai S3, tapi masih kayak gini kelakuan kamu? Ngomong sama orang tua itu yang sopan, yang baik, yang lembut. Jangan kayak orang nggak punya sopan santun,” omelnya lagi.
“Ck. Ribet banget,” kesal Alan.
“Tuh, kan. Kamu itu kenapa sih, nggak bisa kayak Adek kamu? Bisanya cuma buat Mama emosi aja.”
Alan menghembuskan napasnya kasar. Beginilah jika ia berkomunikasi dengan mamanya. Selalu ada pertengkaran kecil diantara mereka. Itulah kenapa, Alan jarang pulang ke rumah orang tuanya dan jarang mengangkat panggilannya. Karena kepribadian mereka sangat tidak cocok untuk disatukan.
Alan cenderung cuek, moody, dan gengsian. Sedangkan orang tuanya tipe orang yang cerewet, suka mengatur, dan ceplas- ceplos ketika berbicara.
“Alan lagi nggak mood berantem. Cepet ngomong, Mama ada perlu apa,” ketus Alan.
“Mama punya list calon menantu lagi. Nanti Mama kirimin fotonya. Kamu pilih, mana yang paling cocok buat kamu.”
Seketika Alan langsung memijat pelipisnya seraya menghembuskan napasnya lelah. Ia sudah lelah. Lelah menghadapi mamanya yang selalu mengatur kehidupannya.
“Ma, berapa kali Alan harus bilang? Nggak usah repot- repot cari jodoh buat Alan. Alan bakal bawa pasangan Alan pulang ke rumah Mama, kalau misalnya Alan udah siap nikah.”
“Emang kamu udah punya pacar sekarang?”
“Udah.”
“Siapa namanya? Orang mana? Umur berapa? Kerja apa?” cecarnya. membuat Alan langsung berdecak kesal.
“Namanya Sutarmi. Orang Bojong gede. Umur 40. Kerjanya jadi penjual es dawet,” jawab Alan asal. Ia sudah terlampau muak dengan mamanya.
“ALAAAN!”
Klik.
Alan langsung mematikan panggilannya tanpa berbicara apapun. Kepalanya akan pusing, jika terus- terusan mendengarkan mamanya berceloteh.Kemudian ia lantas mengambil handuknya, dan berjalan menuju kamar mandi.
***
Sore harinya, setelah menyelesaikan pertemuan dengan kliennya, Alan mengajak Rachel untuk menikmati udara sore hari di Avenue of Stars, salah satu spot wisata di Hong Kong yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan.
“Selama empat tahun kerja sama saya, Negara mana aja yang udah pernah kamu kunjungi?” tanya Alan.
Saat ini mereka sedang berjalan- jalan santai di tepi laut Tsim Sha Tsui, sambil menikmati segarnya minuman yang mereka beli di tengah- tengah kencangnya angin sore.
“Emm... Thailand, Hong Kong, Singapura, Vietnam, Brazil, Jepang, Malaysia, Denmark, Timor leste, sama Filipina,” jawab Rachel. Mengabsen beberapa Negara yang sudah pernah ia kunjungi.
“Negara mana yang paling pengen kamu kunjungi, tapi belum kesampaian?”
“Emm... banyak sih. Tapi yang paling pengen itu ke Maladewa. Saya pengen banget family time sama Noah di sana. Kayaknya seru, berenang di pantai yang suasananya kayak di surga.”
“Apa harapan terbesar kamu, selain pergi ke Maladewa?” tanya Alan lagi, membuat Rachel langsung menghentikan langkahnya dan menatap lelaki itu dengan saksama.
Rachel tak langsung menjawab. Ia terdiam dahulu selama beberapa detik. Memikirkan jawaban yang akan ia ucapkan sekarang juga.
“Saya pengen wujudin cita- cita Noah. Tapi kayaknya mustahil,” ujar Rachel.
“Kenapa mustahil? Emang apa, cita- cita Noah?” tanya Alan.
Rachel menarik napasnya, lalu dihembuskan secara perlahan. Dari ekspresinya, terlihat jika wanita itu sedikit keberatan untuk menjawab pertanyaan Alan.
“Noah pengen punya Ayah,” jawabnya. Seraya memalingkan wajahnya ke samping.
“Terus apanya yang mustahil? Kamu masih muda, masih pantas buat menikah.”
“Masalahnya, saya udah nutup diri buat siapapun. Saya udah mati rasa. Sama sekali nggak tertarik buat berhubungan sama cowo lagi.”
Alan membulatkan matanya terkejut. Namun sedetik kemudian, ia langsung mengangguk- anggukkan kepalanya. Memaklumi Rachel yang memang memiliki rasa trauma terhadap laki- laki di masa lalu.
Kemudian mereka lanjut berjalan santai, sambil menikmati indahnya Negara Hong Kong di sore hari.
“Bapak sendiri gimana? Udah bisa move on dari Mbak Sania?” tanya Rachel.
“Nggak tau. Saya bingung,” jawab Alan.
“Loh, kok bingung?”
“Ada orang yang hampir aja berhasil buat saya move on dari Sania. Tapi saya masih ragu.”
“Ragu? Ragu kenapa?”
“Saya takut cinta sepihak.”
“Emang Bapak udah pernah mengungkapkan perasaan secara langsung?”
“Belum sih.”
“Yaudah, dicoba aja dulu. Siapa tau sama- sama suka.”
Alan menghentikan langkahnya. Membuat Rachel ikut berhenti juga. Kemudian ia menatap Rachel dengan tatapan yang begitu intens.
“Kamu yakin, kalau dia juga suka sama saya?” tanyanya.
“Ya saya nggak tau, Pak! Tapi kalau dipikir- pikir, siapa sih yang nggak mau sama Bapak? Udah pintar, kaya, berwibawa lagi,” puji Rachel.
“Ganteng, nggak?”
“Emm... sedikit sih,” celetuk Rachel. Membuat Alan langsung berdecak kesal.
“Ya masa harus jujur, sih? Nanti kepedean dong,” batin Rachel.
“Kira- kira saya cocok nggak, jadi ayahnya Noah?” tanya Alan. Membuat Rachel langsung membulatkan matanya terkejut.
Dua hari telah berlalu. Saat ini, Rachel sudah berada di Indonesia lagi. Alan memberinya libur selama satu minggu, lantaran jadwalnya yang tidak terlalu padat dalam minggu ini. Berhubung hari ini sekolah Noah libur, Rachel berniat untuk mengajak Noah berlibur ke Dufan dan Atlantis Water Adventures yang terletak di kawasan Taman Impian Jaya Ancol. Alan batal mengajak Noah ke Bali, karena takut terjadi apa- apa di sana, setelah diberi tahu oleh teman Rachel di Hong Kong kemarin. “Nanti Noah belenang ya.” Bocah yang sedang dipakaikan baju oleh bundanya tersebut terus berceloteh sedari tadi. Membicarakan segala hal yang berkaitan dengan liburannya kali ini. Ingin beli ini, ingin beli itu. Ingin naik ini, ingin naik itu. Ingin pergi ke sini, dan ingin pergi ke situ. Semuanya dibicarakan. Hingga membuat sampai Rachel pusing sendiri mendengarnya. “Bunda belani nggak, naik kola- kola?” tanya bocah itu. “Nggak berani. Bunda punya tekanan darah rendah. Nanti pingsan, kalau naik kora- kora,
"Juna!” Lelaki yang bernama Juna itu pun langsung menghentikan langkahnya, ketika Alan meneriaki namanya sembari menarik kaos yang dipakainya. “Lepas, Lan! Gue harus ngejar cewe itu,” kesal Juna seraya menepis tangan Alan. “Ikut gue!” Alan mencengkeram tangan Juna. Lalu menariknya menuju kolam renang lagi. Membiarkan Rachel dan Noah pergi menjauh terlebih dahulu. Ia paham, Rachel tak nyaman dengan kehadiran lelaki ini. Ia juga bisa menyimpulkan, jika mereka berdua saling mengenal satu sama lain. “Lo kenal sama dia?” tanya Juna, dengan raut wajah yang terlihat menahan kesal. “Dia Aspri gue,” jawab Alan. Membuat lelaki itu langsung berdecak kesal. “Ck. Kenapa lo nggak bilang ke gue kalau lo kenal sama dia?! Gue nyari dia selama bertahun- tahun, asal lo tau!” “Ya mana gue tau, kalau lo juga kenal dia. Lo aja nggak pernah cerita ke gue,” balas Alan sewot. Juna mengusap wajahnya kasar. Napasnya mulai memburu, dan wajahnya terlihat sangat gusar. Seolah menahan emosi yang tidak tersa
“Apa iya, saya harus jelasin dari awal?” Rachel mengangguk dengan semangat. Senyumnya yang manis, dan ekspresi wajahnya yang sangat imut, nyaris membuatnya terlihat seperti remaja belasan tahun. Padahal umurnya sudah menginjak dua puluh lima tahun, dan statusnya sudah berubah menjadi Ibu- ibu. Alan berdecak kesal. Dengan wajah yang terlihat sangat bad mood, ia pun mulai menjelaskan semuanya pada wanita ini. “Saya juga nggak terlalu ingat. Intinya, foto itu diambil tanpa sengaja. Dan saya pindahin ke G****e Drive karena waktu itu saya emang lagi bersih- bersih album kamera,” jelas Alan. Sedangkan Rachel hanya manggut- manggut sambil ber-oh ria. “Kenapa? Kamu berharap saya suka kamu gitu?” tanya Alan, seraya tersenyum menyeringai. “Enggak,” balas Rachel santai tanpa beban. “Karena percuma juga, kalau Pak Alan suka sama saya. Saya nggak bakal bisa balas cintanya Pak Alan,” ucapnya lagi. Membuat ekspresi wajah Alan langsung berubah menjadi datar. “Kenapa gitu?” tanyanya. “Because my
Malam harinya, Rachel, Noah dan Ida menikmati waktu kebersamaan mereka dengan menonton televisi bersama di ruang tamu rumah Rachel. Karena kontrakan yang ditempati Rachel ini hanya tiga petak, jadi televisinya diletakkan di ruang tamu yang ukurannya memang lebih luas dari kamarnya. Dengan menggelar karpet di depan sofa, ketiga manusia beda generasi itu pun membaringkan tubuhnya di sana sambil menutupi tubuhnya dengan selimut. Karena di luar sedang hujan gerimis, jadi udara terasa lebih dingin dari sebelumnya. Tak lama kemudian, mereka dikejutkan dengan kemunculan Alan yang tiba- tiba sudah berdiri di depan pintu sambil membawa dua kantong yang entah berisi apa. Sontak saja, Rachel langsung bangun dari tidurnya dan menghampiri pria itu yang masih berdiri di depan pintu dengan baju yang sedikit basah karena terkena air hujan. “Ada perlu apa, Pak? Kenapa hujan- hujan datang ke sini?” tanya Rachel. “Mau ngantar ini,” jawabnya seraya menyerahkan kedua kantong tersebut pada Rachel. “
“Nih, habisin dulu es krimnya. Nanti baru Om antar ke rumah Om Alan.” “Yeay... makasih, Om. Tapi jangan bilang Papa Alan ya! Nanti Papa Alan bilang ke Bunda. Bunda suka malah kalau Noah makan es klim.” “Emang Bunda kamu galak?” Sambil memakan es krimnya, bocah itu pun mengangguk. “Bunda kalau malah, selam banget. Kayak singa kelapalan,” ucapnya. Membuat lelaki itu langsung terkekeh pelan. “Kamu pernah dimarahin?” “Pelnah, tapi habis itu Bunda nangis.” “Kenapa nangis?” “Katanya nyesel, udah malahin Noah.” “Kalau ayahnya Noah, galak nggak?” “Noah nggak punya Ayah,” jawabnya enteng. Membuat lelaki itu langsung terdiam kaget. “Emang ayahnya Noah ke mana?” “Nggak tau. Bunda nggak pelnah jawab kalau Noah tanya.” Lelaki itu mengangguk- anggukkan kepalanya. Agak sedikit kasihan, melihat wajah Noah yang berubah menjadi cemberut. “Eh, kalau boleh tau, Noah sekarang sekolah kelas berapa?” tanya lelaki itu mengalihkan pembicaraan. Ia sadar, jika pertanyaannya tadi sangat sensitif bagi
Setelah sama- sama terdiam selama beberapa menit, Rachel mulai membuka mulutnya untuk berbicara. Karena Alan juga tak kunjung bertanya sedari tadi. “Nggak perlu saya jelasin lagi, kan? Pak Alan pasti udah ngerti,” ujar Rachel dengan kepala yang masih tertunduk. Alan mengangguk- anggukkan kepalanya. Kemudian ia merubah posisi duduknya menjadi menghadap Rachel. “Saya cukup cerdas buat membaca situasi. Jadi nggak perlu kamu jelasin lagi,” balas Alan seraya meminum teh hangat yang tadinya ia siapkan untuk Noah “Tolong jaga rahasia ini ya, Pak. Terutama dari Juna. Saya nggak mau, kalau muncul masalah baru yang bisa mengganggu ketenangan hidup saya dan Noah. Kedepannya, saya bakal lebih berhati- hati lagi,” ucapnya. Membuat Alan langsung menghembuskan napasnya kasar. “Saya tau. Masa lalu biarkan menjadi kenangan. Kamu cukup fokus ke masa depan aja.” Rachel mengangguk. “Kalau nggak ada yang mau ditanyakan lagi, saya pamit pulang,” ucapnya. “Oh iya, barang- barang yang saya kirim uda
Sudah hampir setengah jam lamanya, Rachel menunggu Alan yang sedang rapat dengan para pemegang saham VJ Group. Ia tidak diperbolehkan masuk ke dalam ruangan, karena rapat kali ini sangat tertutup dan hanya orang- orang penting saja yang boleh masuk. Selain menjadi seorang konsultan bisnis, Alan memang suka berinvestasi saham di perusahaan- perusahaan besar. Salah satunya adalah VJ Group, perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan dan perindustrian. Di sini, Alan merupakan pemegang saham tertinggi diurutan ke tiga. Maka dari itu, ia selalu hadir jika ada rapat penting seperti ini. Sebenarnya ia disuruh Alan untuk menunggu di depan ruang rapat. Namun karena ia sudah bosan, akhirnya ia memilih untuk menunggu di cafetaria perusahaan. “Ngantuk, ya?” tanya seseorang, seraya meletakkan satu botol minuman di meja yang sedang di tempati oleh Rachel saat ini. Rachel yang sedang menguap pun seketika langsung menutup mulutnya. Matanya membelalak kaget, saat melihat seseorang yang sedang be
Bekasi, 19.15 Alan dan Rachel melangkah masuk ke dalam sebuah Restoran mewah, tempat diadakannya pertemuan keluarga besar Mama Alan. Bagaikan sepasang kekasih seperti pada umumnya, Alan dan Rachel berjalan bersama dengan bergandengan tangan. Outfit yang mereka pakai juga sangat serasi. Alan memakai celana hitam dengan kemeja panjang berwarna hitam. Sedangkan Rachel memakai dress maroon selutut. “Selamat malam, keluarga Bapak Irawan ya?” tanya seorang pelayan Restoran pada mereka berdua. “Iya,” jawab Alan. “Di lantai dua ya. Sudah ditunggu sama keluarganya,” ucapnya lagi. “Iya, terima kasih.” Setelah itu, mereka lantas menaiki tangga menuju lantai dua. Alan yakin, semua keluarganya sudah datang dan sedang menunggu kedatangannya. “Pak, saya takut,” ujar Rachel. Seraya meremas jari jemari Alan dengan kuat. “Takut kenapa?” “Takut gagal, aktingnya.” “Santai aja. Yang penting nanti kamu lakuin apa yang saya ajarin tadi.” Rachel mengangguk. Kemudian tanpa diduga, Alan melepas ge