Dua hari telah berlalu. Saat ini, Rachel sudah berada di Indonesia lagi. Alan memberinya libur selama satu minggu, lantaran jadwalnya yang tidak terlalu padat dalam minggu ini.
Berhubung hari ini sekolah Noah libur, Rachel berniat untuk mengajak Noah berlibur ke Dufan dan Atlantis Water Adventures yang terletak di kawasan Taman Impian Jaya Ancol. Alan batal mengajak Noah ke Bali, karena takut terjadi apa- apa di sana, setelah diberi tahu oleh teman Rachel di Hong Kong kemarin.
“Nanti Noah belenang ya.”
Bocah yang sedang dipakaikan baju oleh bundanya tersebut terus berceloteh sedari tadi. Membicarakan segala hal yang berkaitan dengan liburannya kali ini. Ingin beli ini, ingin beli itu. Ingin naik ini, ingin naik itu. Ingin pergi ke sini, dan ingin pergi ke situ. Semuanya dibicarakan. Hingga membuat sampai Rachel pusing sendiri mendengarnya.
“Bunda belani nggak, naik kola- kola?” tanya bocah itu.
“Nggak berani. Bunda punya tekanan darah rendah. Nanti pingsan, kalau naik kora- kora,” jawab Rachel.
“Yah, cemen! Noah aja belani,” ledek bocah itu.
“Dih, emang udah pernah naik? Udah tau rasanya?”
“Belum. Hahaha,” jawabnya seraya tertawa terbahak- bahak.
“Papa ikut, nggak?” tanyanya lagi.
“Enggak. Papa sibuk,” jawab Rachel.
“Telus, nanti Noah naik kola- kola sama siapa?”
“Anak kecil nggak boleh naik kora- kora. Ke istana boneka sama berenang aja.”
“Masa udah bayar mahal- mahal, tapi cuma berenang sama ke istana boneka?” sahut Alan yang tiba- tiba sudah berada di rumah Rachel.
Tentu saja Rachel terkejut. Sedari kemarin, pria itu sudah seperti cenayang. Selalu muncul tiba- tiba di saat ia dan Noah sedang asik berbicara.
“Papa!” pekik Noah, seraya berlari memeluk pria itu.
Alan tersenyum. Kemudian ia langsung mengangkat tubuh bocah itu dan mengajaknya untuk duduk di sofa.
“Kenapa, Pak? Ada apa?” tanya Rachel. Ia berpikir jika pria itu datang untuk urusan pekerjaan.
“Nggak ada apa- apa. Cuma ngantar mainannya Noah,” jawab Alan.
“Mainan? Papa beli mainan?” sahut Noah heboh.
“Iya. Tuh, satu kantong isinya mainan semua,” balas Alan. Seraya menunjuk kantong berwarna merah yang ia letakkan di dekat pintu.
Sontak saja, Noah langsung turun dari pangkuan Alan dan berlari menghampiri kantong merah tersebut.
“Yeaayy... makasih, Papa!” seru Noah, seraya membongkar isi di dalam kantong tersebut.
“Wah, ada T- Lex. Ada Supel malio juga. Ada lobot, ada lego, ada mobil lemote. Makasih, Papa!” ucapnya heboh.
Sementara itu, Rachel hanya tersenyum melihatnya. Alan memang selalu memiliki banyak cara untuk menyenangkan hati anaknya. Ia sampai bingung, bagaimana cara membalas budi kebaikan Alan selama ini.
“Bunda mandi dulu ya,” ujar Rachel.
“Jangan lama- lama. Ini udah jam sepuluh. Atlantis tutup jam setengah enam soalnya. Nanti nggak puas kalau cuma sebentar,” sahut Alan seraya memandangi jam tangannya.
“Loh, Bapak mau ikut juga?” tanya Rachel kaget.
“Iya. Kenapa? Nggak boleh?” balas Alan, dengan raut wajah yang seperti biasanya. Datar dan tanpa ekspresi.
“Bukan nggak boleh. Tapi saya nggak enak sama Bapak. Nanti kalau tiba- tiba ada urusan penting, gimana?”
“Hari ini saya free,” balasnya cuek. Membuat Rachel langsung menghembuskan napasnya kasar.
Tentu saja Rachel sedikit keberatan, jika lelaki ini ikut berlibur dengannya. Karena sejujurnya ia sudah sedikit bosan, bertemu dengan Alan setiap hari.
“Pak, please... kasih saya waktu buat family time sama Noah. Ya?! Saya bisa kok, liburan sendiri. Bapak nggak usah khawatir,” pinta Rachel dengan wajah yang memelas.
“Emang siapa yang khawatir? Saya cuma pengen ikut liburan aja. Saya juga bosen, di rumah sendiri. Ya kan, Noah? Boleh nggak, Papa ikut liburan?”
“Boleh!” sahut Noah heboh. Bahkan bocah itu sampai jingkrak- jingkrak, saking senangnya.
Alan tersenyum miring seraya menaik turunkan sebelah alisnya. Seolah mengatakan pada Rachel, jika dialah pemenangnya dalam perdebatan ini.
Seketika Rachel langsung menunjukkan bombastic side eye-nya, disertai dengan decakan kesal yang keluar dari bibirnya. Kemudian tanpa basa- basi, ia langsung pergi dari ruang tamu menuju kamar mandi. Membuat Alan langsung tersenyum melihatnya.
***
“Aaaa... Papa, Noah takut!” teriak Noah heboh.
Saat ini, Noah dan Alan sedang menaiki seluncuran di Atlantis Water Adventures. Sudah hampir setengah jam, mereka berenang di sana. Sedangkan Rachel memilih untuk menunggu di tepi kolam saja, sambil mengawasi Alan dan anaknya dari jauh.
Sudah berkali- kali juga, Rachel menegur Alan supaya tidak mengajak anaknya menaiki seluncuran, karena ia khawatir Noah terjatuh. Namun Alan selalu meyakinkan, jika Noah akan baik- baik saja. Karena bocah itu sudah memakai pelampung, dan selalu berada dalam pengawasan Alan. Bahkan ketika menaiki seluncuran, Alan selalu memeluknya dari belakang dengan erat. Jadi bisa dipastikan, jika Noah akan baik- baik saja.
“Mau lagi, nggak?” tawar Alan. Yang langsung diangguki oleh bocah itu dengan semangat.
Namun sayangnya, belum sempat Noah menjauh dari depan seluncuran, sudah ada orang yang mendarat di air dan kakinya tidak sengaja menendang tubuh Noah dengan kencang. Akibatnya, Noah terjatuh dan kepalanya sempat tenggelam sebentar.
Beruntungnya, Alan langsung sigap menyelamatkan Noah dengan mengangkat tubuhnya dan membawanya ke tepi kolam.
“Ada yang sakit, nggak? Airnya masuk ke hidung? Kepalanya ada yang luka?” tanya Alan panik, seraya mengecek seluruh tubuh Noah.
Sedangkan bocah itu hanya terdiam dengan wajah yang masih menegang. Namun sedetik kemudian, bocah itu langsung menangis dengan kencang. Hingga membuat Alan semakin panik dan khawatir.
“Om, maafin saya ya, Om. Saya nggak sengaja, sumpah.”
Orang yang tadi tidak sengaja menendang Noah itupun meminta maaf dengan wajah yang panik. Dari wajahnya, terlihat jika bocah itu masih duduk di bangku SMP.
Alan tak menghiraukannya. Ia sudah kebingungan sendiri karena tangisan Noah tak kunjung reda. Ia tidak mungkin membawa Noah kembali ke Rachel dengan posisi masih menangis seperti ini. Bisa- bisa wanita itu marah dan menyalahkan dirinya.
Hingga tiba- tiba, terdengar suara seseorang yang menyapa dirinya, disertai dengan menepuk pundaknya pelan.
“Alan?”
Alan menoleh terkejut. Menatap seorang pria bertubuh tinggi yang sudah berdiri di sampingnya, sambil menatap Noah tanpa berkedip. Beberapa hari yang lalu, mereka bertemu di Bandara. Dan sekarang, mereka bertemu lagi di sini.
“Loh, Jun? Kok bisa ada di sini?” tanya Alan.
“Iya, nih. Nemenin cewe gue berenang,” balas pria itu.
“Nggak kerja?” tanya Alan lagi.
“Libur,” jawabnya.
“Ini anak lo?” tanyanya pada Alan.
“Bukan. Anak orang,” jawab Alan.
“Oh. Lo ke sini sama siapa?” tanyanya lagi.
“Sama Aspri gue.”
“Oh, kirain sama Sania.”
“Stress lo! Orang Sania udah nggak ada.”
“Lah, nggak ada ke mana?”
“Meninggal dari setahun yang lalu. Masa lo nggak tau? Perasaan beritanya udah disebar ke grup angkatan,” jelas Alan. Membuat pria itu langsung membulatkan matanya terkejut.
“Serius? Gue nggak dengar apa- apa, sumpah!”
“Yakali gue bohong,” ketus Alan.
“Lo jomblo dong, sekarang?”
“Iya.”
“Nggak ada niatan cari cewe lagi?”
“Ya lo bayangin aja, gue sama Sania pacaran dari SMA. Terus tiba- tiba ditinggal begitu aja. Masa iya, gue segampang itu lupain dia?”
“Halah, nggak percaya gue. Pasti habis ini udah gandeng cewe lagi,” cibir pria itu. Membuat Alan langsung terdiam seketika.
Kemudian mereka berdua melanjutkan perbincangannya sambil duduk di tepi kolam. Membiarkan Noah berenang sendiri di depannya, namun tentunya masih berada di dalam pengawasannya.
“Pak Alan!”
Alan langsung refleks menoleh ke belakang, saat mendengar suara Rachel yang memanggilnya. Namun ketika pria yang duduk di sebelahnya ini ikut menoleh ke belakang, Rachel dan pria itu sama- sama membulatkan matanya terkejut, ketika tatapan mereka tak sengaja bertemu.
Setelah terdiam mematung selama beberapa detik, Rachel lantas masuk ke dalam kolam renang. Ia angkat tubuh anaknya, lalu ia bawa ke tepi kolam. Kemudian setelah itu, ia langsung membawanya berlari menjauh, tanpa berbicara sepatah katapun pada Alan.
“Rachel, tunggu!” teriak pria itu. Membuat Alan semakin mengerutkan keningnya bingung.
Sudah ada lima polisi yang melakukan pemeriksaan di taman belakang rumah Santi. Menurut Polisi, terjadinya ledakan tersebut dikarenakan ada sebuah bom kecil yang dilempar ke taman tersebut. Dan setelah di cek di CCTV, ternyata benar. Ada sebuah benda bulat kecil yang dilempar dari arah luar. Akan tetapi, orang yang melempar tersebut tidak terlihat di kamera CCTV. Jadi mereka semua belum tahu, siapa pelaku pelemparan bom tersebut.“Tante, masuk dulu yuk. Ada yang mau aku omongin. Itu biar diatur sama Pak Polisi.” Alan mengajak Cindy untuk masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Rachel dan Santi yang ikut berjalan di belakang mereka.Mereka duduk di ruang keluarga. Rachel berdampingan dengan Alan, dan Cindy berdampingan dengan Santi. Sementara itu, Noah asik bermain sendiri.Sebelum berbicara, Alan menghela napasnya terlebih dahulu. “Dalang dari pelaku yang memukul Rachel udah tertangkap,” ucapnya.“SIAPA?” tanya mereka berbarengan.Alan kembali menghela napasnya lagi. Melihat wajah Santi, i
Alan mengepalkan tangannya kuat dengan wajah yang memerah menahan amarah. Kemudian tanpa basa- basi, ia langsung keluar dari ruangan tersebut dan berjalan menuju tempat di mana mobil sewanya terparkir.Alan mengendarai mobilnya seperti orang kesurupan. Ia sudah tidak peduli lagi, jika dirinya akan ditangkap oleh Polisi ataupun dimarahi orang lain. Lagi pula jalanan juga sedang sepi, hanya ada beberapa kendaraan saja yang lewat.“Vid, lo ke Bali ya, sekarang. Gue pesenin tiket.” Alan berbicara dengan temannya lewat telepon sambil terus menyetir.“Ngapain?” tanya orang itu, yang tak lain adalah David. “Ada urusan penting. Gue butuh bantuan lo.”“Ck. Gue males. Lagi nggak mood ke mana- mana.” “Gue kasih uang saku sejuta.”“Kurang.” “Dua juta.”“Tambahin dikit.” Alan berdecak kesal. “Sialan lo! Lama- lama jadi ngelunjak.”“Yaudah, kalau nggak mau nambahin ya gue ogah ke sana.” “Dua juta setengah.”“Nanggung amat. Tiga juta kek.”Alan mendesis kesal. Karena malas bernegoisasi lama-
Rachel merintih kesakitan sambil memegangi punggungnya. Ia bahkan sampai tidak sanggup berdiri karena saking sakitnya. Ia tidak tahu, siapa orang jahat yang baru saja memukulnya, karena wajah kedua orang itu ditutupi oleh topeng berwarna hitam.“To- long ...” rintih Rachel dengan suara yang terputus- putus. Berharap ada orang yang melihatnya lalu menolongnya.Ia menoleh ke belakang dan melihat kedua orang itu mulai mengangkat tongkat yang dipegangnya lagi. Seolah bersiap untuk kembali menghajar Rachel. Melihat itu, Rachel sontak mengeluarkan semua energinya untuk berteriak.“AAAAA!” teriaknya kencang dengan mata yang terpejam erat.Bersamaan dengan itu, terdengar suara gebukan berkali- kali yang begitu kencang. Namun anehnya, ia tak merasakan sakit sama sekali. Karena penasaran, Rachel pun akhirnya membuka matanya dengan perlahan. Tongkat tersebut tidak mendarat di tubuhnya, melainkan tergeletak di bawah bersama sang pemiliknya. Entah apa yang sudah terjadi, sampai kedua penjahat itu
Aku tentu saja terkejut mendengar perkataan Nena. Ah tidak, bukan aku saja. Semua orang yang berada di dalam ruangan ini juga terkejut mendengarnya. Bahkan Airin saat ini sudah menatapku dengan tatapan yang sangat tajam.“Maksud Nena?” tanyaku. Aku ingin memastikan, apakah ia salah berbicara atau tidak.“Nena nggak mau harta benda Nena jatuh ke tangan orang yang salah. Cukup mereka bertiga aja yang membuat Nena hampir jatuh miskin,” ucapnya sambil melirik Mama, Papa dan juga Airin yang sedang menundukkan kepala.“Tapi─” Aku ingin memprotes, tapi Nena langsung memotong ucapanku.“Cuma kamu, satu- satunya orang yang Nena percaya. Nena tau, kamu bukan orang yang gila harta. Maka dari itu, Nena percayakan semuanya ke kamu. Tolong dijaga dengan baik, karena itu hasil dari kerja keras Kakek kamu dulu.”Aku menundukkan kepala. Diberi tanggung jawab sebesar ini tentu saja membuatku merasa sangat terbebani. Apalagi masih ada pewaris yang lebih layak mendapatkannya, yaitu Mama. Kalau Om Radit s
Tatapan tajam dan penuh kebencian saling dilempar oleh Airin dan Rachel layaknya singa yang bertemu dengan harimau. Raut wajah Rachel menyiratkan sebuah emosi yang begitu besar, begitu juga dengan Airin, wanita itu juga tampak sangat kesal dengan wanita di depannya yang berstatus sebagai adiknya ini.Sementara itu, sang Mama hanya menatap mereka pilu. Menyaksikan pertengkaran yang akan terjadi antara dua bersaudara yang lahir dalam rahim yang sama. Sedih? Tentu saja. Ia merasa gagal menjadi orang tua karena tidak bisa mendidik anak- anaknya dengan baik. Seharusnya mereka berdua bisa tumbuh menjadi saudara yang saling menyayangi satu sama lain. Namun apa daya, mereka berdua sudah terlanjur saling membenci satu sama lain.“Gue rasa, lo nggak perlu ikut campur urusan gue sama Mama,” ujar Airin.“Gue rasa, gue juga punya hak buat ikut campur urusan ini,” balas Rachel. Kemudian Rachel berdiri, menghadap Airin dengan tangan yang dilipat di depan dada, tak lupa dengan senyuman miring yang me
“Halo ...”Panggilan sudah tersambung, tapi Rachel hanya mendengar suara kebisingan. Ya, setelah membaca pesan yang dikirim oleh Alan, wanita itu langsung bergegas menghubunginya.Khawatir? Tentu saja. Siapa yang tidak khawatir ketika mendapat kabar seperti itu dari orang yang kita sayang. Rasanya Rachel ingin terbang ke Singapore sekarang juga.“Halo ...” Panggil Rachel sekali lagi. Namun belum ada sahutan dari Alan.“Alan, are you okay?” Nada bicara Rachel terdengar mulai panik, lantaran pria itu tak kunjung membalas ucapannya. Ia takut sesuatu yang buruk terjadi pada pria itu.Hingga satu menit kemudian, panggilan masih tersambung tapi yang Rachel dengar hanyalah suara bising. Ia tidak mau mematikan sambungan teleponnya, ia akan menunggu sampai suara pria itu terdengar di telinganya.Beberapa menit kemudian ....“Chel?” Rachel yang sedang melamun refleks langsung menegakkan tubuhnya ketika mendengar suara Alan yang memanggil namanya.“Kamu di mana? Gimana keadaan kamu sekarang? K