Share

Part 2

Author: Afsana qalbi
last update Last Updated: 2023-07-28 15:36:46

Kegiatan belajar mengajar di jam pertama akhirnya kelar juga. Guru muda yang bernama pak Askari itu segera minta izin keluar ruangan setelah memberikan tugas. Talita dan anggota gengnya tak tinggal diam, mereka berlarian ke arah meja guru ketika melihat pak Askari bangkit dari tempat duduknya.

 

"Pak....Fotbar boleh dong?" 

 

Talitha mendekat, mengeluarkan ponsel mewahnya dari dalam saku baju memberi kode. "Iya, Pak...Fotbar ya...Sekaliiii aja." sambut yang lain. 

 

Pak Askari tampak bingung. Ia memandangku sesekali dengan menggaruk kepalanya yang mungkin tidak gatal sama sekali. Aku yang sudah kebaperan di tatap seperti itu memutuskan menundukkan kepala, kata ayah wanita itu harus memiliki rasa malu. 

 

"Hmm..Boleh, tapi Maryam tidak ikut?"

 

Pak Askari menatapku lagi. Jantungku sudah berdentum-dentum layaknya pemain drum band. Baru kali ini aku merasakan perasaan aneh kayak begini.

 

"Tidak usah, Pak." jawabku. Memaksa memancarkan seulas senyum di bibir ini.

 

"Maryam jadi tukang foto aja, Pak. Nih, Mar. Fotoin yang bagus!"

 

Talita menghampiriku yang masih duduk di kursi dan menyerahkan ponselnya. Sebenarnya malas juga jika harus menjadi fotoghrafer gratisan mereka, namun aku tidak menemukan cara untuk menolak permintaannya secara elegant.

 

Mereka mulai mengatur posisi. Pak Askari berdiri di tengah, dan di samping kirinya ada Nora, Susi, dan Mira. Sedangkan di sebelah kanan pak Askari ada Talitha, Suri, dan Mita.

 

Aku mulai membidikkan kamera setelah memberi aba-aba. Setelah selesai, Thalita langsung merampas ponselnya dari tanganku untuk memeriksa hasilnya.

 

"Lah...Kok hasilnya kayak begini sih, Mar? Kamu sengaja, kan? Masa iya cuma sebelah tanganku saja yang kelihatan." Wajah Talita tampak memerah. Memeriksa tiga buah hasil bidikanku yang satupun tidak nampak wajahnya di sana. 

 

"Maaf, Ta. Aku tidak biasa memegang ponsel mewah seperti itu. Aku grogi." alibiku. Padahal sebenarnya aku sengaja tidak mengikutkan wajahnya di kamera itu.

 

Ia mendengkus sebal, melirik ke belakang mencari keberadaan pak Askari namun beliau sudah tidak ada lagi di sana.

 

"Gara-gara kamu ini, Mar. Iiih....Kolot amat sih kamu!"

 

Aku hanya diam saja. Tak lagi ku tanggapi ocehannya yang terus mengataiku kolot, kampungan, norak, dan lain-lain. Toh, aku tanggapi pun  sampai dua abad itu foto gak akan berubah lagi.

 

"Guys....Fotbar lagi, yuk."

 

Talita memanggil teman-temannya yang tengah bercerita di dekat meja guru.

 

"Kan pak Askari udah pergi, Ta?"

 

"Yaa...Kita-kita aja. Emangnya gak mau punya foto sama anak kepsek?" 

 

Teman-temannya saling pandang, detik kemudian semuanya langsung berhamburan ke arah Talita bagaikan anak ayam baru keluar dari kandangnya. "Mau dong."

 

"Mar, fotoin lagi ya."

 

Nora melirik ke arahku setelah berhasil mendapatkan tempat berdiri tepat di sebelah Talita.

 

"Gak usah, ah. Tadi aja fotonya gak bagus. Nyesel bet nyuruh dia tadi. Maklum, gak pernah pegang hp mahal guys." sanggah Talita yang membuat semuanya mengangguk.

 

Aku dan Tari memutuskan untuk menggeser tempat duduk agar tidak masuk ke dalam camera ponsel Talita. Membiarkan mereka sibuk dengan adegan selfienya.

 

Saat mereka sibuk selfie, beberapa siswa SMP mengetuk pintu kelas dengan membawa sebuah kotak kardus dengan gambar korban bencana alam di sana. Meminta izin masuk untuk meminta sumbangan. 

 

Di sini, memang tidak hanya ada sekolah menengah atas saja. Tapi sudah lengkap mulai dari TK, SD, SMP, dan SMA dengan basic islam terpadu. Dan rencana ayah yang sempat aku dengar, beberapa tahun ke depan di lahan ini masih akan di dirikan sebuah kampus swasta yang akan mewajibkan semua mahasiswanya menghafal alqur'an dengan  tenaga pengaja lulusan dari negeri unta, serta dosen-dosen yang memiliki hafalan qur'an setidaknya sepuluh juz. Itu sih masih dalam perencanaan. Semoga saja Allah mudahkan.

 

"Maaf, kak...Tujuan kami ke sini dalam rangka meminta sumbangan untuk kecamatan sebelah yang tempo hari di landa banjir." salah seorang dari mereka mulai menyatakan tujuan setelah mengucapkan salam.

 

Talita beserta teamnya menghentikan aksi potret memotrernya. Duduk di kursi masing-masing mendengarkan anak smp yang tengah bercerita kejadian yang menimpa kecamatan sebelah tempo hari. Aku juga sudah mendengar kabar ini dari semalam, banjir bandang yang menyerang perkampungan menyebabkan beberapa rumah rusak dan hanyut, bahkan ada sekitar tiga orang yang meninggal dan lima orang lagi luka-luka karena terbawa arus air yang naik tiba-tiba.

 

"Lit...Kamu dong yang bayarin bagian kita. Duitmu kan banyak. Lima ribu per orang  saja sudah cukup." usul Suri mengerlingkan sebelah mata pada Thalita.

 

Thalita tampak gugup sesaat setelah meluncurnya permintaan sahabatnya itu. Namun, secepat kilat langsung ia sunggingkan senyumnya dan mengangkat kedua jempol tangan. "Ashiaaap. Duit lima ribu berapaan sih. Kecil!"

 

Siswa yang lain ternyata tak tinggal diam. Mereka semua menghampiri Thalita dan minta di bayarin juga. Thalita yang baru saja mampu menyunggingkan bibirnya sudah mulai terlihat panik, menutup telinganya dengan kedua tangan meminta semuanya kembali duduk ke kursi masing-masing.

 

"Ok. Aku bayarin kalian semua lima ribu per orang kecuali Maryam. Jadi, lima ribu di kali tiga puluh tujuh jumlahnya  seratus delapan puluh lima ribu. Nih, dek. Ambil saja kembaliannya." ujarnya menamparkan uang seratus ribuan dua lembar di atas mejanya.

 

"Waaah...Makasih, Lit. Kamu baik banget, dah. Kaya lagi." puji Nora dan di ikuti yang lain untuk berterima kasih.

 

"Mar, kamu bayar sumbangan juga sana." Talita menyuruhku ke depan. "Jangan bilang kalau kamu gak punya uang." sambungnya lagi.

 

Aku hanya diam. Mengantarkan uang sumbangan dan memasukkannya ke dalam kotak tanpa memperlihatkan jumlahnya pada mereka. Kata ayah, sedekah itu tak perlu di pamerkan. Jika sedekah untuk pamer bukan karena kita kaya, melainkan karena banyak gaya.

 

"Maaf kakak-kakak.....Kalau sumbangan untuk membantu pengobatan ayahnya Mesi  siswa kelas delapan yang sedang di rawat di rumah sakit,  apa ada yang mau? Donasi yang di butuhkan sekitar lima ratus ribu lagi."

 

Salah seorang di antara mereka kembali bersuara memberi pengumuman.

 

"Lit...Ayo Lit di bantu. Kasihan si Mesi. Ia tidak punya keluarga lagi loh kecuali ayahnya yang sedang sakit. Ibunya sudah meninggal setahun yang lalu." Nora menyenggol lengan Talitha yang membuat wajahnya seketika pucat pasi.

 

"Berapa lagi tadi yang di butuhkan?"

 

Thalita terdengar gugup. Aku yakin ia tidak ada uang sebesar itu. Walaupun ada, tidak mungkin rasanya ia membawanya ke sekolah.

 

"Lima ratus ri...."

 

"Ups! Tunggu...Tunggu! Ini, ibuku nelvon. Aku keluar sebentar."

 

Thalita merogoh ponselnya dari saku tanpa terdengar dering panggilan sama sekali. Ia keluar dari kelas dengan memberi isyarat agar kami menunggunya kembali.  Tapi kok, aku merasa panggilan yang ia lakukan itu hanya alibnya saja. Apa mungkin hanya perasaanku  saja?

 

 

Bersambung....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ayahku Tidak Tamat SD   Part 45

    "Terima aja, kali bisa ngilangin suntuk." sahut Tari. Mendengarnya, aku kembali berfikir. "Bagaimana kalau dia punya niat buruk?""Masa iya kak Vino kayak gitu?""Yah, namanya juga laki-laki." aku bergidik ngeri mengatakan itu. Pasalnya, akhir-akhir ini sudah cukup banyak para remaja yang punya kelakuan di luar batas. Berprilaku brutal, mengedepankan ego, emosi, dan juga nafsunya. Hingga tak sedikit para wanita yang menjadi korban akibat peegaulan yang tak terjaga.Ku tahu wanita di dalam Islam sangat dijaga kehormatannya, karena dalam Islam wanita dipandang sebagai perhiasan yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Sebagai bukti bahwa wanita didalam Islam diwajibkan untuk menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya, secara tidak langsung semua itu menandakan bahwa wanita dalam Islam adalah suatu hal yang berharga.Wanita di dalam Islam memiliki aurat yang harus dijaganya dari orang-orang yang bukan mahramnya. Karena dikhawatirkan bisa mengundang hawa nafsu kaum A

  • Ayahku Tidak Tamat SD   Part 44

    "Belajar yang baik. Saya yakin suatu saat nanti kamu bakalan menjadi gadis yang sukses dan mendapatkan jodoh yang terbaik."Pak Askari mengelus kepalaku. Ia tersenyum namun bukan denganku. Ku tahu kalau sebentar lagi ia akan menjadi milik wanita lain, namun salahkah jika perasaan ini masih memiliki sisa cinta untuknya? Di balkon ruang kelas ini, aku dan pak Askari menikmati hembusan angin dengan segelintir cahaya yang menyapa kulit. Tak ada perjanjian awalnya, tiba-tiba setelah bel istirahat berbunyi beliau menemuiku dan mengajakku berbicara empat mata.Satu minggu setelah kepergian ayah, aku baru masuk sekolah hari ini. Itupun bukan karena batin dan fisik kembali kuat namun tuntutan pendidikan yang harus bagaimanapun akan aku kejar. Selain demi menjalani permintaan terakhir ayah, tentunya demi masa depan. Ku harap, akan ada pelangi yang menerpa setelah sekian lama di guyur hujan. Semangat memang mungkin sudah berkurang, tapi bukankah tetap akan sampai walau hanya berjalan terseok-seo

  • Ayahku Tidak Tamat SD   Part 43

    [Mar...Kalau sudah pulang sekolah, datang ke rumah sakit, ya. Ayah nanyain kamu dari tadi.]Satu pesan dari ibu di aplikasi hijau membuatku segera menukar seragam sekolah. Sebenarnya belum sampai lima menit aku tiba di rumah, namun sebelum mengganti baju aku lebih dulu menyantap makan siang karena saat di sekolah malas ke kantin. Sekejam itu rupanya jika bermasalah dengan hati. Pantas saja orang-orang bilang lebih baik sakit gigi dari pada sakit hati.Di rumah ini hanya ada aku dan Bibi. Bang Rofiq memang dari semalam belum juga pulang dari rumah sakit karena tak mau membiarkan ibu di sana sendirian. Sedangkan para pekerja perkebunan yang biasa nginap di sini sudah kembali bekerja. Hari ini adalah hari panen sawit dan coklat yang mana besok pagi harus di antarkan langsung ke pabriknya."Mbak Anjela tadi jam sepuluh pulang loh, Neng. Tahu, kan?"Saat aku memasang kaos kaki baru, bibi mendatangiku. Ia tengah membawa mangkok kecil berisi bibit cabe rawit juga bibit terong kampung."Pulan

  • Ayahku Tidak Tamat SD   Part 42

    Usai kedatangan pak Fajri ke rumah sakit, akhirnya pihak polisi memutuskan untuk mengamankan Thalita di penjara. Pak Fajri lah sebenarnya yang ikut mengurus semua permasalahan ini, sedangkan aku masih saja sungkan untuk mengusut lebih jauh karena Thalita anaknya pak Fajri. "Saya ikhlas jika Thalita menerima semua ganjaran atas apa yang sudah ia lakukan. Saya akan ikut mencari keberadaannya agar segera di proses hukum." titah pak Fajri waktu itu."Maaf, Pak. Anggap saja apa yang sudah menimpa kami ini sebagai musibah. Masalah Thalita, sudah kami maafkan." ujar ibu berusaha menenangkan. Tapi, pak Fajri tidak mau menerima kalimat ibu. Katanya, Thalita hanya akan terus-terusan merasa enjoy jika setiap kesalahannya di beri maaf.Dua hari setelah pertemuan itu, akjirnya jejak Thalita bisa kami ketahui. Rupanya, ia berada di rumah kosan bu Meri yang berada tak jauh dari komplek Rizano."Akhirnya musuh terbesarmu minggat juga, Say. Gak sabar melihatmu hidup tenang kayak dulu lagi." ujar Tari

  • Ayahku Tidak Tamat SD   Part 41

    "Maaf, Pak. Maryam tidak bisa jika syaratnya harus seperti itu." tukasku dengan bibir bergetar. Dalam hati ini cukup perih mengatakan kalimat itu, namun apa daya? Pendidikanku harus aku utamakan. Seperti Tari bilang, andai pak Askari benar-benar menyukaiku pastilah ia sabar menungguku dan bisa menenangkan mama Renata.Kepala pak Askari seketika mendongak. Matanya tak kalah berkaca-kaca dan siap turun membasahi wajahnya. "Ja-jadi kamu mau mundur?""Jika syaratnya seperti itu, saya mundur. Maaf, Pak."Aku membungkukkan sedikit kepala dengan kedua tangan aku telungkupkan. Lalu, beranjak dari kursi dan mengajak Tari untuk pulang. Percuma berlama-lama berada di sini. Hanya akan menambah goresan di hati yang akan susah di sembuhkan. Aku percaya, jika pak Askari tidaklah akan memilihku di bandingkan mamanya. Karena ia tipe lelaki yang tak bisa membantah keinginan orangtua ataupun kakak-kakaknya selama ini.Dari halaman cave ini, aku masih melihat pak Askari berdiri di samping meja yang sedar

  • Ayahku Tidak Tamat SD   Part 40

    Aku tidak menyangka jika ponsel ini milik Thalita. Ponsel yang dulunya ia bilang hilang karena aku curi. Kini, malah ada di tanganku. Membuat kecurigaan besar jika ialah pelaku kebakaran waktu itu."Kita harus menyelidiki semua ini, Say. Jangan biarkan lagi penjahat seperti Thalita berkeliaran." ujar Tari antusias."Terus kita harus ke kantor polisi sekarang?"Ia mengangguk. Lalu mengajakku berangkat menuju kantor polisi yang ada di pusat kabupaten. Kata Tari, kasus ini akan mudah di selidiki jika kami pergi ke kantor kabupaten. Soalnya di sana ada adik ibunya yang bekerja sebagai polisi daerah.Cukup tiga puluh menit waktu yang kami butuhkan untuk sampai di halaman kantor. Untungnya, pamannya Tari mudah kami jumpai karena ia tengah berada di lapangan bersama teamnya.Permasalahan ini langsung di adukan oleh Tari seditel mungkin. Tak lupa ia menyerahkan barang bukti yang aku temukan pagi tadi juga membeberkan masalah demi masalah yang selama ini Thalita torehkan."Baiklah. Sekarang ka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status