Share

Ayahku Tidak Tamat SD
Ayahku Tidak Tamat SD
Author: Afsana qalbi

Part 1

Author: Afsana qalbi
last update Last Updated: 2023-07-28 15:32:32

"Dih,  Mar....Ayahmu rupanya tidak pernah bersekolah, ya?"

 

Aku sempat tersentak kala mendengar pertanyaan Talita teman satu sekolahku yang memeriksa rapor milikku. Hari ini kami di tugaskan untuk mengumpulkan kembali semua rapor, sebab beberapa bulan lagi kami akan mengadakan ujian semester. Baru saja rapor milikku aku letakkan di atas meja, berpaling sebentar, rupanya sudah di ambil begitu saja oleh Talita, anak kepala sekolah di sini.

 

"Yang benar kamu, Ta?"

 

Suara Nora terdengar menyahut dari arah kursinya.

 

"Ya iyalah. Di sini tidak ada di tuliskan sekolah apapun. Sd pun tidak."

 

"Pantas ya selama ini Maryam gak mau memperkenalkan ayahnya sama kita. Hi hi.... Rupanya ayahnya buta pendidikan." sambut Suri, teman satu komplotannya Talita.

 

"Kalau aku sih sebenarnya sudah curiga juga dari awal. Tapi kan, kita perlu bukti juga." sambung Talita dengan gelak tawanya.

 

Posisi kami kini sedang di dalam ruang kelas menanti bel masuk berbunyi. Tapi seperti biasa, keberadaanku di sini terasa bagaikan orang asing. Aku tidak memiliki banyak teman, hanya ada satu orang yang cukup dekat denganku di selolah ini, itupun karena kami sudah kenal sejak kecil. Berada di tengah-tengah mereka, sebenarnya bukan hal yang aku inginkan. Tapi bagaimana lagi,  aku harus bertemu dengan mereka enam hari dalam seminggu karena terikat pendidikan.

 

Sebenarnya, aku murid baru di sekolah ini. Ayah sengaja memindahkanku karena sekolahku yang dulu cukup jauh dan harus tinggal di asrama. Ibu tidak tahan berpisah denganku, meski bisa pulang sekali dalam seminggu.

 

Namun, kehadiranku tampaknya tidak membawa pengaruh baik pada semua teman sekelasku. Mereka begitu membenciku padahal tak pernah ku buat kesalahan apapun pada mereka. Aku tipe wanita yang tak banyak bicara, lebih suka menjadi pendengar dari pada harus banyak cerita. Ayah bilang, diam itu adalah emas. Dan orang yang suka berbicara, maka akan semakin banyak peluang timbul kebohongan di dalam ceritanya.

 

"Jadi, ayahmu kerja apaan Mar? Orang gak tamat sd begini mungkin susah ya cari kerja?"

 

Nora mengambil tempat duduk di sebelahku. Menatapku intens menunggu respon. 

 

"Halah...Paling cuma menggarap sawah doang. Orang gak bersekolah mana ada punya keahlian kecuali mainin tanah." Talita kembali angkat suara. Tapi, Nora sepertinya belum puas jika belum ku katakan langsung.

 

"Apa yang Talitha katakan itu benar, Nor. Ayahku hanya penggarap sawah." ujarku hingga berhasil membuat netranya membola. Aku sama sekali tidak berbohong, kok. Keseharian ayah memang sering ke sawah, menggarap, menanam, dan memanen. Meski sebenarnya ayah adalah seorang juragan tanah dan memiliki ratusan hektar kebun sawit, pinang, coklat, kopi, dan karet. Bahkan, sekolah yang mereka tempati saat inipun adalah tanah milik ayah sendiri. Tapi, pekerjaan ayah tak perlu aku katakan. Toh, kata ayah semua itu hanyalah titipan. Jika tuhan mau, ya tinggal ambil.

 

Jawabanku akhirnya membuat semuanya terbahak, kecuali Tari teman dekatku yang baru saja memasuki ruang kelas.

 

"Tapi kok bisa ya kamu sekolah di SMA berkelas seperti ini. Dapat uang dari mana bapakmu, Mar?"

 

Talitha menghampiriku. Ia duduk di atas meja milikku seolah ia adalah ratu di kelas ini.

 

"Nyopet kali. Ayahnya Maryam kan udah tua banget kayaknya di lihat dari biodatanya. Pasti punya ilmu-ilmu gak jelas begitu." tukas Nora yang berhasil membuat semuanya saling pandang.

 

"Benar juga sepertinya...Iiih..Ngeri juga ya." sambut yang lain.

 

Aku tidak menyela pembicaraan mereka sama sekali. Ku biarkan mereka puas menghina hingga suatu hari mereka akan tahu sendiri tanpa ku beri tahu siapa ayahku yang mereka rendahkan itu.

 

Aku memutuskan keluar kelas . Duduk bersama mereka hanya akan membuat panas hati. Biarlah aku duduk dulu di balkon sembari menunggu bel berbunyi.

 

Tari mengekori langkahku, sepertinya ia pun tak enak hati jika harus duduk bersama Talitha dan komplotannya yang memang doyan mencari gara-gara.

 

"Eh, kok main pergi aja, Mar. Mau ke mana?" Tanya Suri berbasa basi di saat melihatku bangkit dari tempat duduk.

 

"Ke toilet." jawabku asal. Kemanapun aku pergi, apa pula pedulinya?

 

Aku dan Tari duduk di balkon sembari bel di bunyikan. Salahku juga sebenarnya terlalu cepat pergi sekolah. Seharusnya aku tiba di sini menjelang bel berbunyi saja agar tak banyak waktu untuk berkumpul dengan mereka.

 

"Kenapa tidak jujur saja sih, Mar? Emangnya gak capek di bully terus sama mereka?" tanya Tari di sela-sela obrolan ringan kami.

 

" Nanti mereka juga bakalan tahu, Tar."

 

"Kenapa gak kamu saja yang mengatakannya? Aku kok kesel ya sama mereka yang suka membully orang." Tari menggerutukkan giginya. Namun aku tahu, iapun tak berani melawan karena Talitha memiliki banyak teman komplotan. Semua siswa seolah patuh saja padanya. Mungkin, karena ia anaknya kepala sekolah.

 

Saat asyik mengobrol, suara bising dari dalam kelas membuatku dan Tari beringsut dari tempat duduk. Khawatir jika tadi kami tidak menyadari bel berbunyi karena keasyikan bercerita.

 

Kami setengah berlari memasuki kelas, tampak Thalita dan siswi lainnya tengah bergerumul mengelilingi seorang pria yang membelakangi pintu. Siapa dia?

 

"Sepertinya ada murid baru, Mar." bisik Tari hingga membuatku ber 'oh' saja. Ingin aku kembali duduk ke balkon, namun bel masuk sudah berbunyi yang membuatku mengurungkan niat.

 

Seorang lelaki muda tampak tengah duduk di kursi guru. Rasanya, wajahnya begitu familiar di mataku. Seakan pernah bertemu namun aku lupa di mana tempatnya. Aku menyisir ke seluruh sisi ruangan, tak ada terlihat murid baru di sini. Mungkin yang di kerumuni Thalita dan komplotannya memang guru baru ini, bukan siswa baru.

 

"Ganteng amat sih guru barunya. Kalau kayak gini siapa yang gak betah, coba?" bisik Tari yang hanya ku respon dengan senyuman. 

 

"Mana tahu itu laki orang, Tar. Jangan keduluan baper." sambutku juga akhirnya setelah melihat  tingkah Tari yang layaknya ulat pinang.

 

"Ehm....Ini Maryam putrinya pak Abizar Mahavir bukan, ya?"

 

Kepalaku langsung terangkat ketika guru baru itu menyebut nama ayah.

 

"Iya, Pak. Anak dari penggarap sawah warga. Hi...hi..." sambut Thalita yang membuat suasana kelas kembali riuh.

 

Guru baru itu sama sekali tidak menghiraukan makian anak-anak didiknya. Ia hanya menatapku intens dengan senyum mengembang dari bibirnya. Dih...meleleh!

 

 

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ayahku Tidak Tamat SD   Part 45

    "Terima aja, kali bisa ngilangin suntuk." sahut Tari. Mendengarnya, aku kembali berfikir. "Bagaimana kalau dia punya niat buruk?""Masa iya kak Vino kayak gitu?""Yah, namanya juga laki-laki." aku bergidik ngeri mengatakan itu. Pasalnya, akhir-akhir ini sudah cukup banyak para remaja yang punya kelakuan di luar batas. Berprilaku brutal, mengedepankan ego, emosi, dan juga nafsunya. Hingga tak sedikit para wanita yang menjadi korban akibat peegaulan yang tak terjaga.Ku tahu wanita di dalam Islam sangat dijaga kehormatannya, karena dalam Islam wanita dipandang sebagai perhiasan yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Sebagai bukti bahwa wanita didalam Islam diwajibkan untuk menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya, secara tidak langsung semua itu menandakan bahwa wanita dalam Islam adalah suatu hal yang berharga.Wanita di dalam Islam memiliki aurat yang harus dijaganya dari orang-orang yang bukan mahramnya. Karena dikhawatirkan bisa mengundang hawa nafsu kaum A

  • Ayahku Tidak Tamat SD   Part 44

    "Belajar yang baik. Saya yakin suatu saat nanti kamu bakalan menjadi gadis yang sukses dan mendapatkan jodoh yang terbaik."Pak Askari mengelus kepalaku. Ia tersenyum namun bukan denganku. Ku tahu kalau sebentar lagi ia akan menjadi milik wanita lain, namun salahkah jika perasaan ini masih memiliki sisa cinta untuknya? Di balkon ruang kelas ini, aku dan pak Askari menikmati hembusan angin dengan segelintir cahaya yang menyapa kulit. Tak ada perjanjian awalnya, tiba-tiba setelah bel istirahat berbunyi beliau menemuiku dan mengajakku berbicara empat mata.Satu minggu setelah kepergian ayah, aku baru masuk sekolah hari ini. Itupun bukan karena batin dan fisik kembali kuat namun tuntutan pendidikan yang harus bagaimanapun akan aku kejar. Selain demi menjalani permintaan terakhir ayah, tentunya demi masa depan. Ku harap, akan ada pelangi yang menerpa setelah sekian lama di guyur hujan. Semangat memang mungkin sudah berkurang, tapi bukankah tetap akan sampai walau hanya berjalan terseok-seo

  • Ayahku Tidak Tamat SD   Part 43

    [Mar...Kalau sudah pulang sekolah, datang ke rumah sakit, ya. Ayah nanyain kamu dari tadi.]Satu pesan dari ibu di aplikasi hijau membuatku segera menukar seragam sekolah. Sebenarnya belum sampai lima menit aku tiba di rumah, namun sebelum mengganti baju aku lebih dulu menyantap makan siang karena saat di sekolah malas ke kantin. Sekejam itu rupanya jika bermasalah dengan hati. Pantas saja orang-orang bilang lebih baik sakit gigi dari pada sakit hati.Di rumah ini hanya ada aku dan Bibi. Bang Rofiq memang dari semalam belum juga pulang dari rumah sakit karena tak mau membiarkan ibu di sana sendirian. Sedangkan para pekerja perkebunan yang biasa nginap di sini sudah kembali bekerja. Hari ini adalah hari panen sawit dan coklat yang mana besok pagi harus di antarkan langsung ke pabriknya."Mbak Anjela tadi jam sepuluh pulang loh, Neng. Tahu, kan?"Saat aku memasang kaos kaki baru, bibi mendatangiku. Ia tengah membawa mangkok kecil berisi bibit cabe rawit juga bibit terong kampung."Pulan

  • Ayahku Tidak Tamat SD   Part 42

    Usai kedatangan pak Fajri ke rumah sakit, akhirnya pihak polisi memutuskan untuk mengamankan Thalita di penjara. Pak Fajri lah sebenarnya yang ikut mengurus semua permasalahan ini, sedangkan aku masih saja sungkan untuk mengusut lebih jauh karena Thalita anaknya pak Fajri. "Saya ikhlas jika Thalita menerima semua ganjaran atas apa yang sudah ia lakukan. Saya akan ikut mencari keberadaannya agar segera di proses hukum." titah pak Fajri waktu itu."Maaf, Pak. Anggap saja apa yang sudah menimpa kami ini sebagai musibah. Masalah Thalita, sudah kami maafkan." ujar ibu berusaha menenangkan. Tapi, pak Fajri tidak mau menerima kalimat ibu. Katanya, Thalita hanya akan terus-terusan merasa enjoy jika setiap kesalahannya di beri maaf.Dua hari setelah pertemuan itu, akjirnya jejak Thalita bisa kami ketahui. Rupanya, ia berada di rumah kosan bu Meri yang berada tak jauh dari komplek Rizano."Akhirnya musuh terbesarmu minggat juga, Say. Gak sabar melihatmu hidup tenang kayak dulu lagi." ujar Tari

  • Ayahku Tidak Tamat SD   Part 41

    "Maaf, Pak. Maryam tidak bisa jika syaratnya harus seperti itu." tukasku dengan bibir bergetar. Dalam hati ini cukup perih mengatakan kalimat itu, namun apa daya? Pendidikanku harus aku utamakan. Seperti Tari bilang, andai pak Askari benar-benar menyukaiku pastilah ia sabar menungguku dan bisa menenangkan mama Renata.Kepala pak Askari seketika mendongak. Matanya tak kalah berkaca-kaca dan siap turun membasahi wajahnya. "Ja-jadi kamu mau mundur?""Jika syaratnya seperti itu, saya mundur. Maaf, Pak."Aku membungkukkan sedikit kepala dengan kedua tangan aku telungkupkan. Lalu, beranjak dari kursi dan mengajak Tari untuk pulang. Percuma berlama-lama berada di sini. Hanya akan menambah goresan di hati yang akan susah di sembuhkan. Aku percaya, jika pak Askari tidaklah akan memilihku di bandingkan mamanya. Karena ia tipe lelaki yang tak bisa membantah keinginan orangtua ataupun kakak-kakaknya selama ini.Dari halaman cave ini, aku masih melihat pak Askari berdiri di samping meja yang sedar

  • Ayahku Tidak Tamat SD   Part 40

    Aku tidak menyangka jika ponsel ini milik Thalita. Ponsel yang dulunya ia bilang hilang karena aku curi. Kini, malah ada di tanganku. Membuat kecurigaan besar jika ialah pelaku kebakaran waktu itu."Kita harus menyelidiki semua ini, Say. Jangan biarkan lagi penjahat seperti Thalita berkeliaran." ujar Tari antusias."Terus kita harus ke kantor polisi sekarang?"Ia mengangguk. Lalu mengajakku berangkat menuju kantor polisi yang ada di pusat kabupaten. Kata Tari, kasus ini akan mudah di selidiki jika kami pergi ke kantor kabupaten. Soalnya di sana ada adik ibunya yang bekerja sebagai polisi daerah.Cukup tiga puluh menit waktu yang kami butuhkan untuk sampai di halaman kantor. Untungnya, pamannya Tari mudah kami jumpai karena ia tengah berada di lapangan bersama teamnya.Permasalahan ini langsung di adukan oleh Tari seditel mungkin. Tak lupa ia menyerahkan barang bukti yang aku temukan pagi tadi juga membeberkan masalah demi masalah yang selama ini Thalita torehkan."Baiklah. Sekarang ka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status