Kak Vino tak lagi berkomentar apa-apa. Ia meninggalkan kami, menuruni jenjang menuju lantai satu. Syukurlah pak Askari datang tepat waktu, semoga saja kak Vino tak lagi mau menggangguku. Aku yakin, ia mendekatiku hanya karena ia sudah tahu siapa ayah. Jika bukan karena itu, tentu sudah lama ia menyatakan perasaannya."Beneran bapak tunangannya Maryam?" tanyaku malu-malu pada pak Askari."Hmmm....Iya."Dih, singkat amat lagi jawabannya. Kayak gak ikhlas gitu."Kok Bapak gak bilang sih, dari awal?" "Biar?""Ya...Biar tenang.""Hmm...Emang selama ini gak tenang?""Tenang, sih. Cuma takut aja bertepuk sebelah tangan. He...He..." ujarku menutup mulut."Ada-ada saja, kamu. Yok, masuk."Pak Askari berjalan lebih dulu dan aku ikuti dari belakang. Rasanya, bagaikan dapat durian runtuh. Benar-benar gak nyangka jika cinta pertamaku itu ternyata benar-benar calon jodohku. Huh! Percepatlah masa ini, Tuhan. Biar bisa duduk berdua di pelaminan. Hi...hi..."Ciee....Akhirnya jadi, juga." ucap Tari me
"Mau di antar pulang?"Pak Askari mendekatiku ke parkiran yang kini tengah menunggu pak Nurman, satpam sekolah mengeluarkan motorku. "Tidak perlu, Pak." ujarku cuek. Lalu menaiki motor dan berlalu.Cerita bu Meri tadi masih terngiang-ngiang dalam fikiranku. Meski kata Tari bu Meri hanyalah sebagai pelampiasan saja tetap rasa cemburu ini tak bisa meredam. Bahkan, semakin parah jika melihat pak Askari langsung. Untuk sementara mungkin aku perlu menjauhi pak Askari dulu. Semoga ia sadar dengan kesalahannya dan meminta maaf padaku. Ku hidupkan musik di ponsel, lalu memasang headset dan mulai menikmati perjalanan. Sesekali ku coba mengikuti lirik lagu, berusaha menghibur diri sendiri agar tak terus-terusan kefikiran drama cinta yang menyebalkan ini.Namun, tiba di tugu gapura yang memasuki pedesaan tiga motor matic seperti sengaja menghambat jalanku hingga ban belakang motor ini terdengar berdecin sebab rem yang ku tekan secara mendadak.Ketika motor itu berjejer memenuhi lebar jalanan
Tidak seperti biasanya seluruh anggota kelas akan berduyun-duyun mengikuti Thalita ke kantin. Hari ini, hanya sekitar lima orang saja yang mau ikut dengannya padahal uang segepok sudah ia perlihatkan. Tentunya, Nora dan Suri akan masuk dalam rombongan lima orang itu. Yang dua itu, emang kemana angin lebih keras maka mereka akan ikut. Mana yang lebih menguntungkan saja."Kalian kenapa tidak ikut?" tanya Tari selepas kepergian Thalita dan yang lain."Malas ah, takutnya itu bukan uang halal." balas Nopi cuek."Benar itu, Tar. Aku bahkan pernah liat kalo Thalita pernah jalan sama om om malam kemaren. Di atas jam dua belas malam lagi, tuh." sambung Fitra bergidik.Mendengar cerita mereka membuat jiwa kepoku mulai meronta, ku tajamkan pendengaranku meski tak ada pertanyaan yang aku ajukan. Aku yakin, Tari pasti lebih kepo dan mengungkit sampai ke akar-akarnya."Kamu mau kemana jam dua belas malam masih berkeliaran?" timpal yang lain."Sepupu saya di rawat di rumah sakit. Jadi kami pulang da
IUU....IUUU...IUUU....Suara mobil pemadam kebakaran yang beruntun melewati jalanan desa membuat bang Ramli menepi ke samping halaman masjid. Jika tidak, tentu saja mobil itu tidak akan bisa lewat padahal tampaknya mereka sedang buru-buru.Masyarakat pun berlari berduyun-duyun ke arah barat sana, ke arah rumahku yang letaknya memang di penghujung kampung. Perasaan tak enakku semakin menjadi-jadi, apalagi beberapa bapak-bapak tang tengah berlari menyebut nama ayah. Ku panjatkan do'a berulang kali meminta keselamatan atas segala mara bahaya, setelah jalanan bisa di lalui barulah mobil bisa meluncur dan tiba di halaman yang kini sesak dengan manusia.Amukan api terlihat menjulang hampir mencapai langit yang kini sudah tak berwarna biru. Hempasan kayu juga atap yang beradu ke bawah sebab di lalap api mengundang suara bising luar biasa. Rumah mewah yang dari dulu menaungiku kini sudah menghitam, menjadi santapan api yang entahlah masih ada nanti yang tersisa. Tubuhku gemetar, berteriak mem
Sudah dua minggu lamanya ayah di rawat di rumah sakit, dan sampai kini belum ada tanda-tanda kebaikan yang bisa kami lihat dari perkembangannya. Ayah tak sadarkan diri, semua itu akibat benda keras yang mengenai kepalanya. Andai sudah sadarpun, kata dokter besar kemungkinan akan lupa ingatan, tapi semoga saja Allah beri perlindungan agar hal buruk itu tidak terjadi.Dari tiga hari yang lalu, aku pun tak lagi tinggal di rumah Tari. Kini kami memulai hidup baru di sebuah komplek Villa Gorden yang letaknya tak cukup jauh dari rumah sakit ini. Rumah itu kata ibu di dirikan atas namaku, sengaja ayah sembunyikan selama ini karena akan di jadikan surprise saat pernikahanku nanti yang entah tahun ke berapa akan terjadi. Ayah tak hanya mendirikan rumah untukku, tapi juga untuk bang Rofiq dan kak Anjela. Hanya saja, rumah mereka cukup jauh dari sini dan tak mungkin kami bisa bolak balik dari rumah sakit ke sana.Rumah ini cukup bagus menurutku. Nuansanya yang menyerupai rumah-rumah klasik pilar
"Akhirnya.....Gak berpaling juaranya, Say." Tari memelukku saat aku maju ke depan. Setelah pengumpulan nilai ulang dari seluruh majlis guru yang mengajar ke kelas sepuluh, akhirnya hasil konkritnya sudah bisa di ketahui. Bahagia sekali, pasrah yang sedari tadi ku tanamkan kini malah berubah jadi hamdalah.Seperti biasa, kami para juara kelas akan mendapatkan piala, piagam, juga hadiah uang tunai. Dan hadiah itu, di berikan langsung ke tangan wali siswa yang berhadir hari ini."Alhamdulillah. Semua ini karena pertolongan Allah, Say. Padahal tadi aku udah pasrah, loh." ujarku membalas pelukannya."Pasrah tapi tak rela, bukan?" ledeknya."Persis." ujarku yang membuat ia cekikikan.Bang Rofiq sudah menerima reward dari sekolah, begitupun para wali siswa yang lain. Kini, saatnya pulang ke rumah untuk mengganti baju, lalu berkunjung ke rumah sakit untuk memperlihatkan semua ini pada ibu.Baru saja mobil terparkir di halaman, mama Renata dan kakak perempuannya pak Askari menghampiri yang bar
Aku tidak menyangka jika ponsel ini milik Thalita. Ponsel yang dulunya ia bilang hilang karena aku curi. Kini, malah ada di tanganku. Membuat kecurigaan besar jika ialah pelaku kebakaran waktu itu."Kita harus menyelidiki semua ini, Say. Jangan biarkan lagi penjahat seperti Thalita berkeliaran." ujar Tari antusias."Terus kita harus ke kantor polisi sekarang?"Ia mengangguk. Lalu mengajakku berangkat menuju kantor polisi yang ada di pusat kabupaten. Kata Tari, kasus ini akan mudah di selidiki jika kami pergi ke kantor kabupaten. Soalnya di sana ada adik ibunya yang bekerja sebagai polisi daerah.Cukup tiga puluh menit waktu yang kami butuhkan untuk sampai di halaman kantor. Untungnya, pamannya Tari mudah kami jumpai karena ia tengah berada di lapangan bersama teamnya.Permasalahan ini langsung di adukan oleh Tari seditel mungkin. Tak lupa ia menyerahkan barang bukti yang aku temukan pagi tadi juga membeberkan masalah demi masalah yang selama ini Thalita torehkan."Baiklah. Sekarang ka
"Maaf, Pak. Maryam tidak bisa jika syaratnya harus seperti itu." tukasku dengan bibir bergetar. Dalam hati ini cukup perih mengatakan kalimat itu, namun apa daya? Pendidikanku harus aku utamakan. Seperti Tari bilang, andai pak Askari benar-benar menyukaiku pastilah ia sabar menungguku dan bisa menenangkan mama Renata.Kepala pak Askari seketika mendongak. Matanya tak kalah berkaca-kaca dan siap turun membasahi wajahnya. "Ja-jadi kamu mau mundur?""Jika syaratnya seperti itu, saya mundur. Maaf, Pak."Aku membungkukkan sedikit kepala dengan kedua tangan aku telungkupkan. Lalu, beranjak dari kursi dan mengajak Tari untuk pulang. Percuma berlama-lama berada di sini. Hanya akan menambah goresan di hati yang akan susah di sembuhkan. Aku percaya, jika pak Askari tidaklah akan memilihku di bandingkan mamanya. Karena ia tipe lelaki yang tak bisa membantah keinginan orangtua ataupun kakak-kakaknya selama ini.Dari halaman cave ini, aku masih melihat pak Askari berdiri di samping meja yang sedar