"Hati-hati di jalan nak Aska. Lain kali mampir lagi ke sini." Ayah melambaikan tangan di saat mobil hitam mengkilat itu berangsur dari parkiran samping rumah yang di sambut dengan klakson mobil pak Aska. Senyum ayah selalu terlihat merekah, begitupun dengan ibu. Nampaknya kehadiran pak Aska memang mengurungkan rindu mereka pada kakakku yang kini jauh di negara orang."Pak Aska itu siapa sih, Bu? Nampaknya akrab banget."Aku menggandeng tangan ibu menuju rumah setelah mobil mewah itu menghilang dari ujung halaman. Rasa penasaranku sudah di ubun-ubun. Jika tidak segera ku utarakan pertanyaan bisa-bisa jadi gila.Sedari tadi saat ku tanyakan, ibu hanya banyak alasan agar menunda penjelasan. Kata beliau, tunggu pak Aska pulang dulu baru aku di beritahu. Nah sekarang, mungkin waktu yang tepat."Dia teman kecilnya kakakmu. Masa lupa?"Ibu menautkan kedua alisnya. Sedang aku kembali berfikir untuk kembali ke masa lalu. Namun yang mananya? Rasanya kak Anjela memiliki banyak teman di masa ke
"Bagaimana Mar? Duh....Udah kebelet ini, sampai mau muntah."Susi terus meringis sembari memegangi perutnya. Kasihan juga, tidak tega aku membiarkannya menahan hajat seperti ini hanya karena ia teman komplotannya Thalita. Dengan lemah aku mengangguk, mengajaknya ke rumah dengan meminjam sepeda salah seorang teman masa kecilku agar kami tidak berjalan kaki. Rumahku memang tidak terlalu jauh dari masjid ini, tapi bagi Susi yang tengah kebelet tentu saja akan merasa sangat jauh."Mar.....Kamu yang benar mau boncengin aku pakai sepeda ini?"Susi tampak ragu. Netranya terus menyisir ke arah sepeda tua yang sudah aku keluarkan dari barisan parkiran."Iya. Emangnya kenapa?"Ia tersenyum kecut, "Gak ada motor atau mobil gitu?""Gak ada. Ini saja sepeda milik temanku. Kalau kamu tidak mau ya sudah. Kita jalan kaki." ujarku dan membelokkan kembali sepeda ini ke dalam parkiran."Eh...Eh...Tunggu, Mar...Jangan gitu, dong. Ayo deh. Udah gak tahan ini."Ia mencekal tanganku. Walau masih tampak tak
"Gak, ah. Ogah. Entar kalau kemasukan lintah bagaimana? Iiih..Geli!"Susi bergidik. Mungkin tengah membayangkan bentuk lintah yang memiliki bentuk tubuh pipih di bagian dorsal dan kecil di bagian anteriornya. Ih...Aku saja mengingat bentuk lintah udah membuat bulu romaku meremang. Meski sebenarnya di bandar kecil ini belum pernah kami menemukan hewan licin itu kecuali belut dan sejenisnya serta ular sawah."Hanya ini yang ada, Sus. WC di rumah pada jorok semua. Bagaimana?"Ia tampak menyerungut. Dan aku, sebenarnya sudah ingin terbahak menertawai nasibnya. Tapi, bibir ini masih bisa ku tahan. Salahnya saja yang terlalu banyak maunya.Lama berfikir, akhirnya ia mengangguk setuju untuk berjongkok di atas potongan kayu yang terbentang di atas bandar kecil itu. Aku memutuskan menunggunya di halaman samping karena tak mungkin aku menontonnya membuang hajat. Apalagi, di situ sama sekali tidak ada penutupnya. Awalnya ia menolak ku tinggalkan dengan alasan takut karena matahari sudah hampir
"Allahu akbar.....Allahu akbar...."Alunan syahdu dari arah masjid menjadi sekat pembeciraan kami. Aku dan ibu sama sekali bahkan belum sempat menjawab pertanyaan Susi yang sedari tadi sibuk memperhatikan gambar juragan tanah yang ia tunjuk."Duh, azan....Ayo, Mar. Kita ke masjid, nanti orangtuaku nyariin."Gegas Susi bangkit dari tempat duduknya. Entahlah ia sudah melupakan pertanyaannya, atau karena sengaja mengurungkan rasa penasarannya karena azan maghrib yang sudah menggema.Aku mengikuti gerakannya. Pamit pada ibu dan kembali menaiki sepeda tua yang sedari tadi terparkir di halaman.Suara hewan-hewan kecil dari arah sawah turut meramaikan jalanan yang sudah mulai menghitam, sesekali bahkan tak sabar untuk menepuk makhluk betina yang suka menghisap darah manusia. Susi sedari tadi sudah mengomel, memaki hewan kecil itu seolah akan mengerti perkataannya. "Iiih....Dasar nyamuk tidak tahu diri. Kalau mukaku membengkak karena gigitan kalian bagaimana? Mar...Cepatin lagi dong, nyamuk b
"Jadi bagaimana, Tari? Maryam yang ngajarin atau Bapak?"Tanya ayah setelah beliau selesai mengobrol melalui telvon. Entah dengan siapa, tapi sempat terdengar olehku jika yang di bahas ayah mengenai kebun sawit yang harus di panen sabtu depan."Bapak sajalah. Kalau sama Maryam ribet, gak sabaran." "Lah...Kamu aja kali Say yang susah nangkepnya. Udah di jelasin malah gak ngerti-ngerti." protesku."Habis susah kali. Kenapa sih di dunia ini harus ada yang namanya matematika, bahasa inggris? Huffh..." Ia mulai menyerungut. Mengeluarkan bukunya dari dalam tas beserta pena dan tipe-x"Silahkan baca soalnya."Perintah ayah akhirnya. Selama ini Ayah memang sering mengajari kami matematika, bahkan sejak kami duduk di bangku kelas satu Sd. Padahal, seharusnya ibulah yang duduk di sini secara beliau seorang sarjana lulusan S2 di universitas ternama di Jakarta. Namun, setiap di minta di ajarin PR ibu selalu mengelak. Kata beliau, ayah jauh lebih cerdas di bandingkan dirinya. Sarjananya katanya
"Maryam....."Baru saja mau masuk ke dalam kelas, suara pak Askari sudah terdengar dari belakang hingga membuatku dan Tari seketika menoleh.Tari mulai meremas-remas jemariku dengan tatapannya yang lurus ke arah depan sambil senyum-senyum tak jelas. Mungkin sudah kemasukan jin qorinnya pak Askari ini bocah."Iya."Jawabku seadanya. Aku masih kesal padanya, mengingat dia satu jam yang lalu berduaan dengan bu Meri menghilangkan keramah tamahanku. Sebenarnya, aneh bukan sih? Aku cemburu pada orang yang belum tentu menyukaiku. Hufh....Netralkan fikiran ini Tuhan...."Ba'da zuhur kita ke acara akekahan ponakan saya. Kamu siap-siap." ujarnya yang langsung membuatku dan Tari langsung tatap.Ini maksudnya bagaimana, ya? Ada yang bisa jelasin gak, nih?Setelah mengatakan itu, pak Askari main pergi begitu saja bahkan tanpa meminta persetujuan dariku. Sedangkan Tari, langsung tancap gas mengejar langkahnya guru muda itu. "Pak, masa iya cuma Maryam saja yang di ajak. Tari, tidak?" ujarnya cengeng
Mataku sampai tak bisa berkedip menatap layar ponsel yang berisi pesan singkat pak Askari itu. Entah kalimat apa lagi yang harus aku ketik, cukup dengan kalimat terakhirnya memusnahkan semua kamusku. Tapi, kalau di fikir-fikir pak Askari ini memang tak ada pekanya sama sekali. Aku fikir, cara fikirnya akan sama seperti di fim-film romance yang ada di tipi tipi. Peka jika di katakan tidak ada baju dan berakhir mengajak ke mall atau ke boutique, misalnya. Nah ini, solusinya malah di luar ekspetasi.Akhirnya aku memutuskan mengambil gamis abaya Turki berwarna hitam longgar dan jilbab segi empat berwarna salem. Hanya warna ini yang sedikit nyangkut di mataku yang menurutku bisa menemani pak Askari ke acara kekahan kemenakannya selain aku yang memang mencintai baju-baju warna gelap. Tapi nanti sebelum pergi bisa ku minta dulu pendapat ibu mengenai penampilanku. [Pak, sabar sebentar lagi ya. Ini aku udah selesai.]Ku kirim satu pesan pada pak Askari. Berharap ia bisa sabar sebentar lagi k
"Kalau mau nangis, nangis aja Mar. Jangan di tahan-tahan." ujar pak Askari dengan santainya. Setelah membuat hatiku acak-acakan begini bukannya nenangin malah di suruh nguras air mata. Ya Tuhan....Kenapa sih guru satu ini nyebelinnya over banget, melebihi mulut-mulut para netizen. Tahu gini gak bakalan mau tadi di ajak ke acara akekahan keluarganya."Gak ada yang mau nangis." sahutku secuek mungkin.Padahal mah kondisi hatiku sudah meraung-raung sedari tadi. Gak tau, kesel aja bawaannya. Dikirain bakalan tambah kepincut jika jalan bareng begini. Nah ini, kayaknya malah makin sebel."Masa? Itu bibir udah kedut-kedut loh dari tadi nahan nangis. Kalau mau nangis, nangis aja. Nih, banyak stok tisu. Tapi, jangan kelamaan juga nangisnya. Entar malah kesurupan." ujarnya lagi sembari memperlihatkan lima kotak tisu dan meletakkannya di hadapanku."Kalau Maryam kesurupan enak dong, Pak. Biar bisa nyekek Bapak sekalian." timpalku sok sengit.Namun, di detik kemudian senyum lebar seketika terb