"Aisyah, kamu di dalam kan?" panggil Widia lagi. Dari luar Widia tampak bingung dan khawatir bila terjadi sesuatu terhadap Aisyah di dalam karena tak biasanya Aisyah mengunci ruangannya. Widia ingin meminta bantuan tetapi lorong koridor sepi, Widia celingak-celinguk mencari sesuatu untuk membuka pintu. Widia terus berusaha menggedor-gedor pintu tetapi tetap tidak ada jawaban dari dalam. Widia mencari sesuatu di dalam tasnya yang bisa digunakan untuk membuka pintu. "Mudah-mudahan bisa," ucap Widia saat menemukan sebuah jepit rambut lalu memasukkannya ke dalam lubang kunci. Dia terus mencoba memutar kunci agar terbuka. "Eeemmm... eeemmm," Aisyah menggeleng agar Widia berhenti, tetapi percuma karena Widia tidak dapat melihat Aisyah.Click Pintu berhasil di buka Widia dan meraih kenop pintu lalu memutarnya. Pria di belakang pintu mengambil sebilah pisau lipat dari sakunya bersiap-siap untuk menikam. Aisyah yang melihat Widia dalam bahanya mencoba menyeret kursinya hingga depan pintu.Kr
"Apa! Dia kabur. Dasar tidak becus jagain satu perempuan saja tidak bisa," hardik Imelda. "Pokoknya saya tidak mau tau, bagaimana pun caranya saya mau kalian membawa perempuan itu di hadapan saya. Kalau tidak kalian tau sendiri akibatnya," ancam Imelda. "Gimana?" "Bos marah bro," jawabnya setelah memasukan ponselnya kedalam saku bajunya "Kita harus secepatnya menemukan perempuan itu," sambungnya lagi "Ya udah, ayo kita pergi ke rumah sakit," ajak temannya "Rumah sakit, ngapain?" tanyanya bingung "Periksa gigi. Ya nungguin itu dokter cantik lah, katanya mau nyulik dia gimana sih," kesal temannya "Hehe, kirain mau periksa beneran," ucapnya cengengesan. mereka bertiga pun langsung pergi menuju rumah sakit.*** "Kakak ipar ga kenapa-kenapa kan?" tanya Widia panik karena mendengar kabar dari kakaknya. "Terus keadaannya gimana sekarang?" tanya Widia lagi "Syukur lah kalau baik-baik saja, aku sangat khawatir kak, pantas saja tadi perasaan aku tidak enak. Ya sudah kalau ada apa-apa
"Terima ... terima ...." Sorak-sorai para remaja berseragam putih Abu-abu memberi dukungan kepada kedua remaja yang berada di tengah lapangan bola, pria berbaju kaos bola sedang berlutut dan tangannya memegang bunga mawar putih beserta pot dari bahan plastik. "Siti Nur Aisyah, maukah kamu menerima cintaku dan menjadi kekasihku?" tanya pria mengulangi pernyataannya kepada sang pujaan hati. "Jika kamu menerima cintaku maka terimalah bunga ini, dan jika kamu menolak kamu buang aja bunga ini," sambungnya. "Iya," jawab sang gadis pelan. "Iya apa nih?" tanya pria itu. "Iya mau jadi pacarku atau iya menolak?" tanya sang pria yang masih setia berlutut menunggu jawaban. "Iya, aku mau jadi pacar Kak Krisna," sahut sang gadis dan langsung mengambil pot beserta bunga mawar yang ada di tangan pria itu. "Yeeehhhhh ... selamat, ya," ucap semua penonton yang menyaksikan adegan tersebut. "Cieee ... cieeee ...bosku akhirnya jadian juga," goda teman si pria. "Kak Krisna romantis banget sih, peng
"Kamu kenapa, Aisyah, kok dari tadi cemberut terus?" tanya Widia. "Kakak kamu tuh, ingkar janji lagi," kesal Aisyah. "Janji apaan?" tanya Widia. "Kemarin, Dia bilang mau antar aku ke sekolah, eh aku tungguin lama, ga nongol-nongol, tuh, kakak kamu," ucap Aisyah kesal. "Oh itu, aku tadi subuh liat kak Krisna joging, dan saat aku mau berangkat sekolah belum balik dia," terang Widia. "Mungkin lupa kali, kak Krisna," sambung Widia. "Masa lupa sih, kan dia sendiri yang bilang." "Mungkin terlalu fokus." "Ya masa aku di lupain, sih." "Sabar aja, kakak aku emang gitu orangnya." "Bikin kesel aja tau ga pagi-pagi," gerutu Aisyah membuat Widia geleng kepala.*** "Assalamualaikum!" ucap Aisyah, memberi salam kepada ibu Mariam, meraih tangan dan mencium punggung tangan dengan takzim. "Waalaikum salam!" sambut Mariam dengan senyum lebar. "Mama masak makan siang apa, hari ini?" "Mama belum masak." "Aisyah bantuin masak, ya, Ma," pinta Aisyah. " Ya sudah sana ganti baju." "Siipp Mama,
Brak! Brak! Brak! Suara gedoran pintu yang sangat keras membuat sang penghuni rumah terbangun. Pria paruh baya keluar dari kamar menuju arah suara disusul sang istri dari belakang. Aisyah yang mendengar keributan ikut terbangun dan melangkah keluar. Sementara diluar, seorang pria paruh baya tampak emosi menatap daun pintu yang terbuat dari kayu. Tak lama pintu terbuka dan menampakkan sang pemilik rumah. "Ada apa, Bagas?" tanya Gani. "Apa mau kamu, hah!" bentak Bagas. "Apa maksud kamu?" "Tidak usah pura-pura, kamu sengaja menjual anak kamu hah?" ucap Bagas. "Siapa, yang menjual anak?" tanya Gani. "Kamu sengaja menyuruh Aisyah, untuk mendekati anakku Krisna agar kehidupan kalian terjamin." Tuduh Bagas. " Jangan sembarang bicara Bagas, walaupun aku miskin, aku tidak pernah sekalipun berpikiran untuk menjual anakku!" tegas Gani."Abdul Gani, kamu pikir aku akan begitu saja percaya dengan apa yang kamu bilang barusan hah,"sindir Bagas. "Aku tidak pernah sedikit pun berpikir demiki
Rinai hujan yang mengguyur sejak malam hari membuat udara Kota Samarinda terasa semakin dingin. Embun menggantung di antara pepohonan yang tinggi di halaman rumah. Suara katak yang bernyanyi menjadi sambutan hangat di awal pagi. Dalam salah satu kamar yang terletak di pojok kiri rumah, Aisyah menggeliat di atas tempat tidur duduk kemudian merentangkan tangan dan memutar badan hingga terdengar gemeluk tulang yang bergesekan. Perempuan berambut panjang itu bangkit menuju kamar mandi tak lupa mengambil handuk yang bertengger di balik pintu. Aisyah sudah siap dengan kaos hitam dan celana kulot warna biru, tak lupa rambut panjang yang dia kuncir kuda, setelah melihat penampilan di depan kaca Aisyah segera keluar menuju halaman rumah untuk mengambil sebuah sepeda. "Mau kemana, Aisyah?" suara cempreng Ibu komplek yang rumahnya tak jauh dari tempat tinggal Aisyah. "Mau sepedaan Bu, bakar lemak," ucap Aisyah. "Sudah langsing gitu, masih berlemak?" tanya Bu Ati. "Biar tambah langsing, Bu,"
Lima Tahun Kemudian Sebuah mobil SUV putih tiba-tiba berhenti di tengah jalan, pengemudi keluar dari dalam mobil dengan kondisi jalan yang sepi dan jauh dari pemukiman warga. "Sial!" kesal pria berahang tegas menendang bagian ban mobil yang kempes.Tak ada satupun warga atau kendaraan yang melintas melewati jalan tersebut, pria tersebut memutar badan melangkah menuju bagasi mobil, mengeluarkan ban cadangan yang selalu dia bawa dalam bagasi.Setelah sekian menit berlalu akhirnya ban telah terpasang sempurna, pria itu segera membereskan peralatan yang digunakan kembali ke dalam bagasi mobil bersama dengan ban yang kempes, setelah selesai pria itu kembali ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan.Tidak butuh waktu lama mobil SUV putih sampai di depan sebuah gedung, dengan langkah tergesa-gesa pria itu memasuki gedung sambil melihat kanan dan kiri mencari sesuatu, hingga tiba di sebuah ruangan segera pria itu menggapai gagang pintu dan melangkah masuk. "Permisi!" sapa pria tampan yang
Tetesan embun di pagi hari menyambut hadirnya sang mentari yang mulai menampakan sinarnya, seorang gadis berjalan menaiki tangga dengan tergesa-gesa dengan langkah kaki mungilnya dia terus mendaki setiap inci undakan anak tangga. Hingga tiba di depan ruangan bernuansa putih gadis itu berjalan mendekati pintu meraih handel pintu kemudian memutarnya, setelah pintu terbuka Aisyah segera masuk dan tidak lupa menutup pintu kembali, Aisyah meletakan tas beserta alat Stetoskop yang melingkar di leher ke atas meja.Hari ini begitu melelahkan bagi Aisyah bukan karena pasien yang datang silih berganti, tetapi karena dia yang harus berangkat dan pulang dari rumah sampai rumah sakit setiap hari, sebenarnya Aisyah ingin menyewa rumah yang dekat dengan rumah sakit tetapi orang tua nya tidak mengijinkan bahkan Gani sang Papa rela antar dan jemput Aisyah, untuk memastikan keselamatan Aisyah.Matahari mulai naik ke atas permukaan, suasana rumah sakit mulai sedikit renggang karena waktu jam istirahat ma