Nathan merasakan aliran darahnya mendingin. Matanya terpaku pada kata-kata itu. Spesialis kejiwaan?
Rachel… pergi ke psikiater?
Tangannya tanpa sadar mencengkeram ponsel lebih erat. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Rachel tidak pernah membicarakan ini padanya?
Dadanya terasa sesak, napasnya tersendat.
Apa yang selama ini dia tidak tahu?
Karena merasa sangat penasaran, Nathan membuka cctv rumahnya yang jarang dia buka, selain untuk melihat Rachel sedang apa. Tapi karena penasara, Nathan memutar setiap waktu di tanggal-tanggal saat dia sedang tidak ada di rumah dan melihat aktivitas Rachel.
Dan tanpa sadar, air mata Nathan luruh membasahi pipinya. Saat dia melihat rekaman di setiap malamnya. Rachel terlihat tidak tidur, wanita itu terlihat gelisah dan terus mengintip keluar jendela, sampai Nathan melihat cctv di bagian depan rumah, tetapi tidak ada sesuatu yang aneh. Kemudian, wanita itu menangis histeris dengan memeluk lututnya sendiri dan sesekali menjambak rambutnya. Tak jarang, dia juga memukuli dadanya sendiri dan duduk dipojokan kasur. Wanita itu seperti sedang ketakutan, entah apa yang membuatnya takut, karena Nathan tidak menemukan sesuatu yang janggal di sana.
Nathan merasakan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, rasa bersalah yang begitu menghancurkan.
Selama ini, ia mengira Rachel hanya marah padanya, hanya ingin perhatian lebih, hanya lelah dengan pernikahan mereka. Tapi apa yang baru saja ia lihat… jauh lebih dari itu.
Rachel tidak hanya kesepian.
Rachel sedang berjuang dalam kesakitannya sendiri.
Nathan mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mencerna semuanya. Apakah ini sebabnya Rachel ingin bercerai? Bukan karena ia tidak mencintainya lagi, tetapi karena ia sudah terlalu lelah bertahan sendirian?
Tanpa pikir panjang, Nathan melepaskan earphonenya dan segera keluar dari kokpit, beberapa pramugari dibuat heran oleh tingkahnya, dan beberapa ada yang bertanya kemana Nathan akan pergi, karena sebentar lagi mereka akan melakukan penerbangan.
Namun, Nathan tidak peduli.
Langkahnya cepat, hampir berlari melewati koridor bandara. Napasnya memburu, pikirannya dipenuhi oleh satu nama, Rachel.
Ia harus menemui istrinya. Sekarang.
Saat ia melewati pintu keluar, suara Adrian memanggilnya dari belakang.
“Nathan! Hei! Kau mau ke mana?!”
Nathan tidak berhenti. Ia hanya mengangkat tangan, memberi isyarat bahwa ia tidak bisa menjelaskan sekarang.
Lalu, ponselnya kembali bergetar di genggaman. Kali ini, panggilan dari Rachel.
Ia langsung menjawab tanpa berpikir. “Rachel—”
Tapi yang terdengar di ujung sana bukan suara istrinya.
Melainkan suara Tante Laela.
“Nathan?” Laela terdengar menangis di sana.
Jantung Nathan mencelos. “Tante, ada apa? Di mana, Rachel?”
“Rachel… dia baru saja dibawa ke rumah sakit dalam keadaan—”
Suaranya terputus oleh deru mobil yang melintas.
“Rumah sakit mana? Aku akan segera ke sana,” ucap Nathan dan Laela menyebutkan nama rumah sakitnya sebelum menutup panggilan itu.
Nathan berlari ke arah tempat parkir tanpa memedulikan tatapan heran orang-orang di sekitarnya. Tangannya gemetar saat membuka pintu mobil, lalu segera menyalakan mesin dan tancap gas keluar dari area bandara.
Pikirannya penuh dengan skenario buruk. Apa yang terjadi pada Rachel? Kenapa dia sampai dilarikan ke rumah sakit?
Jantungnya berdetak terlalu kencang hingga terasa menyakitkan. “Kumohon, tidak terjadi apa pun padamu, Hel. Kumohon, jangan meninggalkanku!” gumamnya tidak menentu.
Akhirnya, ia menginjak gas dalam-dalam saat lampu hijau menyala, menerobos jalanan dengan kecepatan gila.
Ia harus sampai di sana.
Mobil Nathan melaju seperti peluru, menyalip kendaraan lain tanpa peduli pada klakson marah yang bersahutan di belakangnya.
Tangannya mencengkeram setir erat, matanya berkaca-kaca, tetapi fokusnya tetap pada jalan.
Rachel…
Hatinya berdebar semakin kencang saat rumah sakit mulai terlihat di kejauhan. Ia langsung membanting stir ke parkiran, lalu melompat keluar sebelum mesin mobil benar-benar mati.
Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju lobi rumah sakit, mencari seseorang, siapa saja, yang bisa memberitahunya di mana Rachel berada.
Saat ia hampir mencapai meja informasi, matanya menangkap sosok Tante Laela yang berdiri di dekat lorong, wajahnya penuh air mata.
"Tante!" Nathan hampir berteriak saat menghampiri wanita itu. "Di mana Rachel?! Apa yang terjadi?!"
“Nathan?” panggil Laela.
“Bagaimana Rachel, Tante? Apa yang terjadi?” tanya Nathan dengan napas ngos-ngosan.
“Tenang, Nathan. Rachel ada di IGD, Tante sedang melakukan pendaftaran di sini. Tadi, dia tiba-tiba pungsan di rumah, Dokter bilang kalau jantung Rachel berdebar terlalu cepat dan dia juga mengalami anemia,” jawab Laela. “Kalau kamu mau menemuinya, dia masih ada di IGD.”
Tanpa menunggu lebih lama, Nathan bergegas menuju ruang IGD. Langkahnya cepat dan panik, hampir menabrak beberapa orang di lorong rumah sakit.
Dadanya sesak, pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Saat tiba di depan pintu IGD, seorang perawat menghentikannya.
"Maaf, Anda keluarga pasien?" tanya perawat itu.
"Saya suaminya! Rachel, dia baik-baik saja? Saya harus menemuinya!"
Perawat itu menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengangguk dan membuka tirai bilik tempat Rachel dirawat.
Di sana, Rachel terbaring lemah dengan selang infus di tangannya. Wajahnya pucat, matanya terpejam, dan napasnya terdengar pelan namun tidak stabil.
Hati Nathan seperti diremas.
Ia melangkah mendekat, tangannya bergetar saat menyentuh jemari Rachel yang terasa dingin.
"Hel..." bisiknya lirih. "Aku di sini."
Rachel tidak bereaksi.
Nathan menelan ludah, lalu duduk di sampingnya, jemarinya masih menggenggam erat tangan istrinya.
“Maafkan aku, Hel. Aku sungguh egois dan bodoh. Aku benar-benar tidak peka, padahal kamu sangat membutuhkanku,” gumam Nathan tidak bisa menahan kesakitan di hatinya.
“Aku janji, setelah ini, aku tidak akan pernah membiarkanmu merasakan rasa sakit itu sendirian. Aku akan menemanimu setiap saat, maafkan aku, Hel,” gumamnya dengan menundukkan kepalanya.
Kedua kelopak mata Rachel bergerak, perlahan terbuka lebar. “Ugh… “ Dia meringis saat merasakan kepalanya sakit.
“Rachel,” panggil Nathan membuat wanita itu menoleh ke arah Nathan yang sedang menatapnya dengan sorot mata berkaca-kaca dan memerah.
Rachel memperhatikan seragam pilot yang dikenakan Nathan dan kembali melihat wajah pria itu yang terlihat sendu.
“Aku masih hidup, Nathan,” ucap Rachel walau terdengar konyol, tetapi reaksi Nathan justru membuatnya bingung sekaligus takut.
“Aku tau. Dan aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu, Hel,” ucap Nathan. “Gimana keadaanmu? apa yang sakit, bagian mana yang tidak nyaman? Kata Dokter, kamu anemia, apa kamu tidak tidur dengan cukup? Apa kamu bermimpi buruk?” tanya Nathan memborong penuh kekhawatiran.
“Berhenti, Nathan!” Rachel yang masih menahan sakit di kepalanya, semakin sakit saat mendengar pertanyaan Nathan yang memborong.
“Apa yang terjadi denganmu. Kamu tidak pernah bertanya seperti itu padaku sebelumnya,” ucap Rachel.
“Ya, aku tau aku sangat tidak peka. Maafkan aku,” ucap Nathan.
“Tapi, sikapmu sekarang justru membuatku takut. Aku tidak akan mati karena anemia, Nathan.” Rachel merasa reaksi Nathan berlebihan.
Nathan menghela napas berat, menundukkan kepalanya. “Aku tahu. Aku tahu kamu tidak akan mati hanya karena anemia.”
Ia mengeratkan genggaman tangannya di atas tangan Rachel, seolah memastikan bahwa wanita itu benar-benar ada di sana, bersamanya.
“Ya, aku hanya mengkhawatirkanmu,” ucap Nathan.
“Bersikaplah seperti kamu biasanya. Sikapmu sekarang justru membuatku takut,” ujar Rachel masih terkesan dingin. “Dan kalau kamu ada penerbangan, pergilah, aku baik-baik saja, lagipula ada Tante Laela yang nemenin aku,” ucap Rachel.
“Aku tidak akan pergi ke manapun. Aku akan tetap di sisi kamu.” Rachel benar-benar terkejut dengan jawaban Nathan yang menurutnya sangat bukan Nathan. Tetapi, Rachel juga tidak memiliki tenaga lebih untuk berdebat dengan pria itu.
“Terserah,” jawab Rachel mengubah posisinya jadi menyamping dan memunggungi Nathan. Rachel terlalu syock dan salah tingkah karena kata-kata Nathan itu.
***
Langit tampak mendung saat mobil hitam milik Nathan melaju perlahan memasuki area parkir rumah sakit. Rachel duduk di sampingnya dengan wajah muram, kedua tangannya bertaut di atas pangkuan. Meski tubuhnya tampak tenang, dalam hati ia merasa bergemuruh. Hari ini adalah hari di mana ia akan kembali bertemu dengan seorang dokter spesialis kejiwaan.Nathan melirik sekilas ke arah istrinya sebelum mematikan mesin mobil. “Kita sudah sampai, Sayang,” ucapnya lembut, tangan kirinya terulur menyentuh punggung tangan Rachel, memberikan kekuatan dalam diam.“Ya...”“Kamu baik-baik saja?” tanya Nathan memastikan Rachel tidak tertekan.Rachel menoleh ke arah suaminya dengan senyuman kecilnya. “Ya, aku baik-baik saja.”“Syukurlah. Tenang saja, aku akan terus mendampingimu,” ujar Nathan dengan lembut.Rachel mengangguk pelan. Ia menarik napas panjang sebelum membuka pintu mobil dan menjejakkan kaki di pelataran rumah sakit.Langkah mereka perlahan menyusuri koridor demi koridor, diiringi aroma khas
“Pagi, Sayang.” Nathan menyapa Rachel dengan senyum lebar dan merekah. Rachel tersenyum manis di sana. Pria itu sedang berdiri di area dapur dengan celemek terpasang di tubuhnya. Cukup lama Rachel memandangi suaminya itu yang menyambutnya dengan senyuman hangat di sana. Wanita itu berjalan perlahan mendekati Nathan. Saat Rachel sudah berdiri di hadapannya, Nathan menyentuh rambut Rachel. “Masih basah? Kamu tidak mengeringkannya?” tanya Nathan. Bukannya menjawab, Rachel malah memeluk tubuh Nathan, menyandarkan kepalanya di dada bidang suaminya dengan Nathan. “Kenapa?” tanya Nathan. Sekali lagi Rachel tidak menjawab, wanita itu semakin erat memeluk Nathan. Dan hal yang membuat Nathan yakin ada yang tidak beres adalah cara Rachel meremas ujung kaos milik Nathan. Wanita itu seperti sedang gelisah, walau Nathan sendiri tidak tahu apa yang membuatnya segelisah itu. Nathan mengusap lembut kepala belakang dan pung
“Minum dulu.” Nathan menyodorkan gelas berisi air mineral pada Rachel yang sudah mulai tenang bersandar di kepala ranjang. “Makasih, ya.” Rachel meneguknya cukup banyak. “Maaf, apa aku mengganggu tidurmu?” Nathan tidak langsung menjawab. Pria itu menatap istrinya dengan tatapan sendu. “Apa itu penting untuk ditanyakan?” tanya Nathan dan Rachel hanya diam di sana. “Aku tidak tahu harus bertanya bagaimana padamu. Kamu kenapa atau apa yang terjadi padamu.” Nathan menatap Rachel dengan sorot mata hangat penuh kesedihan. “Aku hanya ingin melihatmu bahagia, Hel.” “Aku kembali bermimpi buruk,” jawab Rachel. “Kamu nangis sesegukan loh, Hel. Kamu nangis sambil nyebut nama Mama. Apa kamu merindukan Mamamu?” tanya Nathan yang dijawab dengan gelengan kepala oleh Rachel. “Mungkin aku butuh ketemu Dokter. Udah lama aku tidak mengunjungi Dokter,” ucap Rachel. “Kamu yakin tidak ada yang ingin kamu ceritain sama
Rachel masih menatap layar ponselnya yang berkedip di sana. Dia cukup ragu antara harus mengangkatnya atau tidak. Tetapi, hanya melihat namanya saja, sudah membuat jantung Rachel berdebar kencang dan kegelisahan langsung menyerangnya.Suara dering itu masih menggema di dalam kamar mandi yang hening. Layar ponsel berkedip, menampilkan nama yang sudah lama tidak muncul—Mama.Hanya satu kata, namun cukup untuk mengguncang dunia Rachel yang sedang berusaha ia tata kembali.Jari-jarinya gemetar. Ponsel itu nyaris terjatuh dari genggamannya. Nafasnya tercekat. Sekujur tubuhnya mendadak dingin, seperti disiram air es dari kepala hingga kaki.Kenapa sekarang? Setelah bertahun-tahun tanpa kabar, tanpa penjelasan, tanpa permintaan maaf…Rachel menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah yang pucat, mata yang masih sembab karena menangis, dan kini—dipenuhi kecemasan. Luka lama yang belum sepenuhnya sembuh, kini disayat lagi oleh satu panggilan tak terduga.Dering berhenti.Layar ponsel
“Sandra? Nathan bahkan tidak pernah menceritakan tentang rekan kerjanya padaku, termasuk sosok wanita yang terlihat akrab tadi. Sebanyak apa, yang tidak aku ketahui dalam kehidupan Nathan?” batin Rachel. Saat ini Nathan dan Rachel sedang ada di dalam mobil untuk kembali ke kediaman mereka. Nathan cukup bingung dengan sikap Rachel yang tidak berbicara sama sekali, dia lebih memilih diam menatap keluar jendela mobil. “Hel... “ panggil Nathan memegang tangan Rachel hingga membuat wanita itu terkejut. “Eh- kenapa?” tanya Rachel melihat ke arah Nathan. “Ada apa? sejak tadi aku perhatiin, kamu diam terus,” tanya pria itu yang sepertinya tidak merasa bersalah dan tidak ingin menjelaskan apa pun tentang sosok Sandra. Rachel tersenyum di sana, “tidak apa-apa, aku hanya lelah,” jawab Rachel dengan jawaban singkat. Tetapi, hal itu jelas tidak memuaskan Nathan. “Kamu beneran tidak apa-apa? atau ada yang mengusik pikiranmu? Tany
“Ada apa?” tanya Nathan karena Rachel terlihat termenung menatap keluar jendela pesawat. “Um... tidak ada apa-apa,” jawab Rachel tersenyum ke arah Nathan berusaha menenangkan suaminya. “Aku tahu kamu tidak baik-baik saja. Katakan saja, ada apa? Kamu berat meninggalkan Bali?” tanya Nathan. “Um... kita sudah satu bulan di Bali, kan. Kamu perlu kerja dan kita harus kembali ke rutinitas seperti biasanya. Ya, dan aku harus bisa mengendalikan diriku tanpa kamu,” ujarnya menatap Nathan di depannya. “Kata siapa aku akan meninggalkanmu, Hel?” tanya Nathan membuat Rachel mengernyitkan dahinya. “Apa maksudmu?” tanya Rachel. “Aku tidak akan kembali bekerja. Aku akan temenin kamu untuk kontrol ke dokter dan melindungimu, sampai kamu merasa jauh lebih baik,” ucap Nathan. Rachel benar-benar terkejut mendengar penuturan Nathan barusan. “Lalu, bagaimana dengan pekerjaanmu, Nathan?” tanya Rachel.Nathan tersenyum
Setelah mandi dan mengenakan gaun elegan itu, Rachel berdiri di depan cermin. Ia mematut dirinya. Gaun itu pas sekali di tubuhnya, membingkai siluet rampingnya dengan begitu anggun.Rachel berdiri di depan cermin dengan jantung yang berdebar pelan. Gaun elegan pemberian Nathan kini membalut tubuhnya dengan anggun. Warnanya yang lembut berpadu sempurna dengan rona hangat kulitnya. Potongan gaun itu mempertegas siluet tubuhnya, sementara kilau halus pada permukaannya memantulkan cahaya dengan cara yang nyaris magis.Rambut Rachel ditata lembut, sebagian digerai, sebagian disanggul sederhana, memberi kesan manis sekaligus dewasa. Ia menyematkan anting mutiara kecil di telinganya, lalu meraih kalung yang dulu juga diberikan Nathan, mutiara putih yang menggantung anggun di leher jenjangnya.Rachel menarik napas panjang dan mematut dirinya sekali lagi. Ada kilau baru di matanya, seperti semangat yang baru menyala. Malam ini bukan malam biasa. Ini adalah momen yang sudah lama tidak mereka mi
Matahari belum terlalu tinggi saat Rachel dan Nathan bersiap di dermaga kecil, mengenakan perlengkapan menyelam yang telah dipersiapkan oleh pemandu wisata. Rachel terlihat gugup, tetapi antusiasme di matanya tidak bisa disembunyikan. Nathan memeriksa kembali maskernya dan memastikan tangan Rachel tetap dalam genggamannya.“Kamu siap?” tanya Nathan sambil tersenyum lembut.Rachel mengangguk. “Ya. Walau gugup, tapi aku nggak mau melewatkan kesempatan ini. Kalau ada kamu, aku berani.”“Good.”Mereka pun perlahan menuruni tangga kecil yang mengarah langsung ke laut. Air terasa sejuk saat menyentuh kulit mereka, dan dalam hitungan menit, mereka sudah benar-benar tenggelam di bawah permukaan laut dengan pemandu yang mengikuti dari belakang untuk berjaga.Begitu memasuki dunia bawah laut, semua keheningan daratan seakan lenyap. Suara hanya berupa gelembung-gelembung udara dan detak jantung yang terdengar di dalam kepala mereka. Rachel membuka matanya lebar-lebar saat melihat sekumpulan ikan
Langit biru cerah membentang luas di atas kepala saat Nathan membuka pintu mobil sport berwarna hitam metalik yang mengilap. Angin laut semilir langsung menyapa kulit begitu Rachel melangkah keluar dari villa, gaun putih selututnya berkibar ringan mengikuti gerak langkahnya. Matanya membulat saat melihat kendaraan yang terparkir di depan halaman.“Wow... Kamu dapat mobil ini dari mana?” tanyanya, setengah tak percaya.Nathan tersenyum bangga, menyandarkan tangan di bodi mobil. “Disewa khusus buat hari ini. Kita mau ke Tanah Lot, kan? Aku pikir, kenapa nggak sekalian gaya dikit?”Rachel terkekeh, matanya berbinar penuh semangat. “Waw... kamu memang bisa menciptakan suasana yang romantis dan menyenangkan, ya?”“Tentu saja. Apa sih yang nggak buat istriku yang cantik,” balas Nathan dengan senyuman lebarnya.“Ck... gombal banget. Ah, kamu jadi sangat romantis karena kegiatan tadi malam, kan?” tuduh Rachel membuat Nathan terkekeh.“Ya, sebenarnya aku hanya ingin membuat istriku bahagia. Ta