Share

Chapter Lima

Penulis: Kinan Larasati
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-26 16:07:39

“Jadi, kamu akan kembali pada Nathan, Hel?” tanya Laela. Saat ini, mereka sedang bersama di meja makan setelah anak-anak Laela yang seorang janda, pergi sekolah.

          “Aku meminta waktu untuk memikirkannya. Mungkin perceraian akan tertunda. Dia akan menunggu keputusanku,” ucap Rachel.

Laela menatap Rachel dengan sorot mata penuh pertimbangan. Ia menyendok sup ke dalam mangkuknya dengan gerakan perlahan, seolah sedang menyusun kata-kata yang tepat untuk diucapkan.

"Kamu masih mencintainya, kan?" tanya Laela akhirnya.

Rachel tidak langsung menjawab. Ia hanya mengaduk-aduk nasinya dengan sendok, tatapannya kosong.

"Cinta bukan satu-satunya alasan untuk bertahan, Tante," ujarnya pelan. "Aku lelah, aku sakit hati. Dan Nathan... dia terlalu sering menganggap keberadaanku tidak sepenting pekerjaannya."

Laela menghela napas, menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Tapi dia sedang berusaha, Rachel. Dia bahkan mau ikut program kehamilan, sesuatu yang selama ini selalu kamu inginkan, dan dia selalu menundanya. Ini kesempatan kalian."

Rachel terkesiap, hatinya mencelos. Benar, selama ini dia memang ingin memiliki seorang anak. Tapi apakah semua luka yang Nathan berikan bisa sembuh hanya dengan janji  program hamil?

"Aku takut, Tante," suaranya hampir seperti bisikan. "Aku takut ini hanya janji manis sesaat. Aku takut setelah aku kembali, setelah aku memutuskan untuk bertahan... dia akan kembali seperti dulu. Sibuk dengan pekerjaannya, lupa bahwa aku juga ada. Dan aku… aku sangat takut sendirian dan kesepian lagi."

Laela meraih tangan Rachel yang gemetar, menggenggamnya erat. "Tenang, Hel.” Laela berusaha meredakan perasaan cemas yang dirasakan Rachel. “Kalau kamu masih mencintainya, kamu beri dia tenggang waktu. Minimal tiga sampai enam bulan. Kalau dia melakukan hal yang sama lagi, kamu bisa langsung menggugatnya,” ucap Laela.

Rachel menatap Laela dalam-dalam. Bibirnya bergetar, tapi ia akhirnya menjawab dengan suara mantap, " Dan aku akan pergi. Kali ini, untuk selamanya."

“Ya, kamu benar. Lakukan itu, Nak. Jangan siksa dirimu sendiri seperti ini, oke.” Laela masih mengusap tangan Rachel dengan lembut. Berusaha menenangkannya.

“Dan Rachel, apa kamu tidak berniat memberitahu Nathan tentang kondisimu?” tanya Laela menatap Rachel dengan tatapan sendu.

Rachel menggelengkan kepalanya cukup kuat. “A-aku tidak mau dia tau. Aku takut, dia… dia mengasihaniku, aku takut dia malah jadi takut padaku,” gumamnya dengan sorot mata penuh kecemasan dan berkaca-kaca.

Kondisi Rachel tampak lebih rumit dari yang terlihat. Laela menatapnya dengan prihatin, tangannya masih menggenggam erat jemari Rachel yang sedikit gemetar.

"Kamu yakin bisa menyembunyikan ini darinya?" suara Laela lebih lembut kali ini. "Bagaimana kalau dia tahu dari orang lain? Atau... kalau sesuatu terjadi padamu?"

Rachel mengalihkan pandangannya, menatap kosong ke arah jendela. Di luar, angin bertiup pelan, menggerakkan dedaunan di halaman kecil rumah Laela.

"Aku hanya butuh waktu, Tante," ucapnya lirih. "Setidaknya sampai aku yakin dengan keputusanku. Kalau aku akhirnya memilih kembali padanya... mungkin aku akan memberitahunya. Tapi kalau tidak... lebih baik dia tidak tahu."

Laela menghela napas panjang. Ada begitu banyak beban di pundak keponakannya ini, dan ia hanya bisa berharap Rachel tidak membuat keputusan yang nantinya akan ia sesali.

"Baiklah, Rachel. Tapi ingat, kamu tidak sendirian. Kalau kamu butuh apa pun, aku ada di sini."

Rachel tersenyum tipis, meskipun sorot matanya masih menyiratkan kegundahan yang mendalam. "Terima kasih, Tante."

Sementara itu, Nathan duduk di dalam kokpit pesawatnya yang masih terparkir di bandara. Tangannya mencengkeram kemudi dengan kuat, pikirannya melayang pada percakapan terakhirnya dengan Rachel.

"Ayo program hamil," itulah kata-kata yang keluar dari mulutnya tadi malam. Sebuah tawaran yang bahkan membuatnya terkejut sendiri.

Dia tidak tahu apakah ini keputusan yang tepat, tapi satu hal yang dia yakini, dia tidak akan pernah membiarkan Rachel pergi begitu saja.

Dia hanya berharap… kali ini, dia tidak terlambat untuk memperbaiki semuanya.

Nathan menghela napas panjang, menatap panel kontrol di depannya tanpa benar-benar melihat. Suara lalu lalang di radio komunikasi pun hanya menjadi dengungan samar di telinganya.

Rachel masih ragu. Itu jelas dari caranya menatapnya tadi malam, ada sesuatu di matanya, sesuatu yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Bukan sekadar kemarahan atau kekecewaan… tapi ketakutan.

"Kenapa kamu begitu takut, Rachel?" gumam Nathan pelan.

Ponselnya bergetar di saku celana. Dengan cepat, ia meraihnya dan melihat sebuah pesan masuk. Harapannya sempat melambung tinggi, mengira itu dari Rachel. Tapi ternyata… bukan.

Pesan dari rekannya, Kapten Adrian.

"Bro, kita take off dalam dua jam. Kamu baik-baik saja?"

Nathan mengetik balasan singkat, "Ya, aku baik-baik saja."

Ia memasukkan ponselnya kembali, lalu menghela napas sekali lagi. Dia harus menyelesaikan satu penerbangan hari ini, tetapi pikirannya tetap terpaku pada satu hal yaitu Rachel.

Nathan meraih headset-nya dan memasangnya, bersiap untuk penerbangan. Namun, saat tangannya hendak menekan tombol komunikasi, layar ponselnya kembali menyala dengan sebuah email masuk.

Itu adalah laporan bulanan pemakaian kartu yang dia berikan pada Rachel. Biasanya, Nathan tidak peduli dengan apapun transaksi yang dilakukan Rachel, tapi kali ini dia penasaran. Dia ingin tau apa saja yang wanita itu lakukan selama satu bulan ini.

          Kening Nathan mengerut dalam saat melihat transaksi di sana. Ada empat transaksi yang dilakukan Rachel di rumah sakit. Dan yang membuat Nathan bingung adalah dokter spesialis yang ditemui Rachel. 

          Spesialis kejiwaan…

*** 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga Puluh Sembilan

    Nathan terpaku melihat hasil laporan yang baru saja diberikan oleh dokter Maya. Kertas itu terasa berat di tangannya, seolah angka-angka yang tertera di sana mampu mengguncang seluruh isi dadanya.Depresi: 40 – Sangat BeratKecemasan: 39 – Sangat BeratStres: 32 – BeratLidahnya kelu. Matanya membaca ulang angka-angka itu, berharap ada kesalahan cetak, berharap bahwa semua ini tidak benar. Tapi kenyataan menamparnya telak. Istrinya… perempuan yang selama ini ia peluk setiap malam, yang ia yakinkan akan baik-baik saja, ternyata menyimpan luka yang begitu dalam, jauh lebih dalam dari yang ia bayangkan.“Apa... ini sudah lama, Dok?” tanyanya dengan suara nyaris tak terdengar, nyaris berbisik.Dokter Maya mengangguk pelan, menatap Nathan dengan penuh empati. “Rachel sudah mengalami gangguan ini sejak lama, mungkin sejak awal trauma itu terjadi. Tapi seperti yang tadi dia ceritakan, semuanya memburuk lagi sejak pelaku dibebaskan. Itu menjadi pemicu utama yang mengguncang kestabilan emosiny

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga Puluh Delapan

    Langit tampak mendung saat mobil hitam milik Nathan melaju perlahan memasuki area parkir rumah sakit. Rachel duduk di sampingnya dengan wajah muram, kedua tangannya bertaut di atas pangkuan. Meski tubuhnya tampak tenang, dalam hati ia merasa bergemuruh. Hari ini adalah hari di mana ia akan kembali bertemu dengan seorang dokter spesialis kejiwaan.Nathan melirik sekilas ke arah istrinya sebelum mematikan mesin mobil. “Kita sudah sampai, Sayang,” ucapnya lembut, tangan kirinya terulur menyentuh punggung tangan Rachel, memberikan kekuatan dalam diam.“Ya...”“Kamu baik-baik saja?” tanya Nathan memastikan Rachel tidak tertekan.Rachel menoleh ke arah suaminya dengan senyuman kecilnya. “Ya, aku baik-baik saja.”“Syukurlah. Tenang saja, aku akan terus mendampingimu,” ujar Nathan dengan lembut.Rachel mengangguk pelan. Ia menarik napas panjang sebelum membuka pintu mobil dan menjejakkan kaki di pelataran rumah sakit.Langkah mereka perlahan menyusuri koridor demi koridor, diiringi aroma khas

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga Puluh Tujuh

    “Pagi, Sayang.” Nathan menyapa Rachel dengan senyum lebar dan merekah. Rachel tersenyum manis di sana. Pria itu sedang berdiri di area dapur dengan celemek terpasang di tubuhnya. Cukup lama Rachel memandangi suaminya itu yang menyambutnya dengan senyuman hangat di sana. Wanita itu berjalan perlahan mendekati Nathan. Saat Rachel sudah berdiri di hadapannya, Nathan menyentuh rambut Rachel. “Masih basah? Kamu tidak mengeringkannya?” tanya Nathan. Bukannya menjawab, Rachel malah memeluk tubuh Nathan, menyandarkan kepalanya di dada bidang suaminya dengan Nathan. “Kenapa?” tanya Nathan. Sekali lagi Rachel tidak menjawab, wanita itu semakin erat memeluk Nathan. Dan hal yang membuat Nathan yakin ada yang tidak beres adalah cara Rachel meremas ujung kaos milik Nathan. Wanita itu seperti sedang gelisah, walau Nathan sendiri tidak tahu apa yang membuatnya segelisah itu. Nathan mengusap lembut kepala belakang dan pung

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga Puluh Enam

    “Minum dulu.” Nathan menyodorkan gelas berisi air mineral pada Rachel yang sudah mulai tenang bersandar di kepala ranjang. “Makasih, ya.” Rachel meneguknya cukup banyak. “Maaf, apa aku mengganggu tidurmu?” Nathan tidak langsung menjawab. Pria itu menatap istrinya dengan tatapan sendu. “Apa itu penting untuk ditanyakan?” tanya Nathan dan Rachel hanya diam di sana. “Aku tidak tahu harus bertanya bagaimana padamu. Kamu kenapa atau apa yang terjadi padamu.” Nathan menatap Rachel dengan sorot mata hangat penuh kesedihan. “Aku hanya ingin melihatmu bahagia, Hel.” “Aku kembali bermimpi buruk,” jawab Rachel. “Kamu nangis sesegukan loh, Hel. Kamu nangis sambil nyebut nama Mama. Apa kamu merindukan Mamamu?” tanya Nathan yang dijawab dengan gelengan kepala oleh Rachel. “Mungkin aku butuh ketemu Dokter. Udah lama aku tidak mengunjungi Dokter,” ucap Rachel. “Kamu yakin tidak ada yang ingin kamu ceritain sama

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga Puluh Lima

    Rachel masih menatap layar ponselnya yang berkedip di sana. Dia cukup ragu antara harus mengangkatnya atau tidak. Tetapi, hanya melihat namanya saja, sudah membuat jantung Rachel berdebar kencang dan kegelisahan langsung menyerangnya.Suara dering itu masih menggema di dalam kamar mandi yang hening. Layar ponsel berkedip, menampilkan nama yang sudah lama tidak muncul—Mama.Hanya satu kata, namun cukup untuk mengguncang dunia Rachel yang sedang berusaha ia tata kembali.Jari-jarinya gemetar. Ponsel itu nyaris terjatuh dari genggamannya. Nafasnya tercekat. Sekujur tubuhnya mendadak dingin, seperti disiram air es dari kepala hingga kaki.Kenapa sekarang? Setelah bertahun-tahun tanpa kabar, tanpa penjelasan, tanpa permintaan maaf…Rachel menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah yang pucat, mata yang masih sembab karena menangis, dan kini—dipenuhi kecemasan. Luka lama yang belum sepenuhnya sembuh, kini disayat lagi oleh satu panggilan tak terduga.Dering berhenti.Layar ponsel

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga Puluh Empat

    “Sandra? Nathan bahkan tidak pernah menceritakan tentang rekan kerjanya padaku, termasuk sosok wanita yang terlihat akrab tadi. Sebanyak apa, yang tidak aku ketahui dalam kehidupan Nathan?” batin Rachel. Saat ini Nathan dan Rachel sedang ada di dalam mobil untuk kembali ke kediaman mereka. Nathan cukup bingung dengan sikap Rachel yang tidak berbicara sama sekali, dia lebih memilih diam menatap keluar jendela mobil. “Hel... “ panggil Nathan memegang tangan Rachel hingga membuat wanita itu terkejut. “Eh- kenapa?” tanya Rachel melihat ke arah Nathan. “Ada apa? sejak tadi aku perhatiin, kamu diam terus,” tanya pria itu yang sepertinya tidak merasa bersalah dan tidak ingin menjelaskan apa pun tentang sosok Sandra. Rachel tersenyum di sana, “tidak apa-apa, aku hanya lelah,” jawab Rachel dengan jawaban singkat. Tetapi, hal itu jelas tidak memuaskan Nathan. “Kamu beneran tidak apa-apa? atau ada yang mengusik pikiranmu? Tany

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status