Share

Bab 3. Kembali ke Rumah

Penulis: Lemongrass
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-30 13:51:56

Camelia bukan tak bisa mengurus sendiri perceraiannya dengan Rainer. Tentu saja dia sudah mencoba mengurusnya sendiri tapi ditolak. Pengadilan mengatakan hanya Rainer yang bisa mengurus perceraian itu, aneh bukan?

Camelia tidak mengerti apa mau Rainer, dulu pria itu begitu menggebu dan memaksanya untuk segera bercerai. Sekarang disaat dirinya sudah setuju, Rainer justru menutup semua akses.

“Rai, lihatlah baju mahalku jadi kotor karena ulah wanita kampungan itu,” rengek Agnes.

Rainer tak peduli dengan rengekan Agnes, tak peduli dengan bajunya yang juga kotor, tak peduli dengan dokumen dan mejanya yang ikut kotor. Rainer langsung mengejar istrinya.

Harga dirinya sebagai seorang pria koyak mendapatkan perlakuan seperti itu dari Camelia, lebih tepatnya Rainer syok dengan tingkah laku istrinya. Camelia seperti menjelma menjadi orang yang berbeda.

“Tutup akses keluar untuk wanita itu! Jangan biarkan dia keluar dari gedung ini barang satu langkahpun dan siapkan mobilku,” titah Rainer pada Levi.

“Baik, Pak.”

“Rai! Rainer! Tunggu, Rai. Kenapa malah pergi?” Agnes pun mengejar langkah Rainer, tetapi Levi menghalangi.

“Lebih baik Mbak Agnes segera membersihkan diri, saya akan suruh Rossa untuk membantu Anda,” ucap pria itu.

“Minggir, Levi.”

Levi tak menggubris dan meminta Rossa untuk membantu Agnes.

“Aduh, kenapa liftnya lama sekali,” Camelia menggerutu di depan lift.

Ada kepuasan tersendiri setelah dia meluapkan kekesalannya pada Rainer dan juga Agnes. Tetapi, masalah baru pasti akan timbul karena ulahnya.

“CAMELIA AGATHA!” teriak Rainer. Suaranya begitu menggelegar bak petir di siang bolong.

Mendengar suara suaminya yang memekakan telinga membuat Camelia mendadak cemas.

“Gawat!” gumam Camelia. Dengan tidak sabar dia terus menekan tombol lift agar segera terbuka.

“Aduh lama sekali.”

Ting.

Pintu lift akhirnya terbuka, Camelia bisa sedikit merasa lega. Dia segera masuk ke dalam lift dan buru-buru menutup pintu. Namun, jantungnya kembali harus terpacu saat belum sempurna pintu itu menutup, Rainer dengan sigap menekan tombol open dan menggerakkan tangan agar pintu kembali terbuka.

“Kamu benar-benar cari mati, Camelia!”

Camelia nyengir kuda, perlahan gadis itu berjalan miring ingin keluar dari lift. Namun, Rainer langsung menarik tangan istrinya hingga masuk ke dalam pelukannya. Dengan sigap menekan tombol tutup dan lantai tujuan.

Rainer langsung mengangkat kedua tangannya membuat Camelia yang tak seimbang terhuyung ke lantai.

Camelia mendesis lalu mencebikkan bibir dengan kesal. Dia berdiri dengan terus menatap kesal pada suami yang memandangnya penuh remeh.

Camelia memilih membersihkan diri dan menganggap suaminya tak ada. Wanita itu menarik napas dalam-dalam untuk meredam amarah kemudian mengeluarkannya dengan kasar.

Lift terus bergerak turun, Camelia memasang kuda-kuda untuk segera keluar dari sana dan menyelamatkan diri.

Rainer tak akan membiarkan Camelia kabur begitu saja, dia langsung mengangkat tubuh Camelia dan menggendongnya seperti karung beras di pundaknya, begitu lift berhenti.

“Rainer! Turunkan aku! Cepat turunkan aku!” pekik Camelia seraya menggerak-gerakkan badan dan memukul punggung Rainer agar mau melepaskannya.

Rainer bergeming dan mengeratkan pegangannya agar Camelia tidak terlepas.

“Rai! Lepaskan! Aku bukan karung beras!”

Pintu lift terbuka. Camelia masih berusaha melepaskan diri dengan kembali memukul-mukul punggungnya.

“Rai, lepaskan aku!”

“Diam atau kamu akan terjatuh dengan patah tulang di salah satu anggota tubuhmu,” ancam Rainer.

Sepasang suami istri itu sontak menjadi tontonan. Namun, Rainer seperti tidak peduli dan terus berjalan menuju mobil yang sudah menunggu di area drop zone.

Seorang petugas membukakan pintu belakang. Rainer langsung melempar tubuh Camelia ke jok dengan pelan lalu dia menyusul masuk.

“Jalan!” titah Rainer pada sang Sopir.

Camelia langsung merapikan dirinya termasuk rambut yang acak-acakan karena ulah Rainer. Gadis itu memilih untuk membuang muka dan melihat ke arah jendela. Keheningan menyelimuti ruangan sempit itu.

“Kita kemana, Tuan?” tanya Sopir.

“Pengadilan,” jawab Camelia.

“Ke rumah,” jawab Rainer.

Camelia melotot ke arah suaminya.

“Aku hanya ingin kita segera menyelesaikan perceraian ini, Rai. Tolong kooperatif sedikit, ayo kita ke pengadilan sekarang juga.”

“Kamu pikir perceraian kita akan mudah? Kita harus mendapatkan izin para tetua dulu jika ingin bercerai,” balas Rainer.

“Hah? Sejak kapan perceraian kita melibatkan para tetua? Satu tahun yang lalu kamu tak pernah menyinggung soal itu,” cicit Camelia.

“Itu kan satu tahun yang lalu, sekarang kondisinya sudah berbeda.” Camelia tertawa sumbang.

“Kondisi apanya yang berbeda? Aku rasa tidak ada yang berbeda. Tolong jangan mencari-cari alasan untuk memperlama proses perceraian kita, Rai.”

Mendengar ucapan istrinya membuat Rainer semakin geram. Batinnya bertanya-tanya kenapa istri yang sangat tergila-gila padanya itu mendadak bersikeras ingin bercerai?

Apakah ini hanya permainan Camelia saja agar hatinya goyah? Atau memang kehendak hati Camelia? Sekeras apapun Rainer berpikir tak bisa mendapatkan jawabanya.

Rainer menatap tajam istrinya kemudian mendekat secara perlahan.

“Mengapa kamu bersikeras ingin bercerai, Camelia?” tanya Rainer dengan menekan segala rasa di dalam jiwa.

“Memangnya apa lagi? Bukankah itu yang kamu inginkan dan aku mengabulkan, kenapa kamu justru berbelit-belit dan terkesan plin-plan?” balas Carmila dengan sedikit menantang.

Camelia terpojok di pintu mobil yang terus melaju menuju ke rumah Rainer.

“Rai, menjauhlah. Ini di mobil.”

“Jadi, kalau tidak di mobil kamu ingin aku terus mendekat padamu? Bukankah ini yang kamu inginkan sejak dulu?” Rainer semakin mendekatkan tubuhnya menekan Camelia seraya mengukir wajah cantik itu dengan punggung jari telunjuknya.

Sang supir hanya bisa menarik napas agar bisa membawa mobil dengan tenang. Jangan sampai terjadi kesalahan atau riwayatnya akan tamat dalam sekejap.

“Menyingkirlah, Rai!”

“Kamu yakin ingin aku menyingkir?”

Tiba-tiba saja sebuah sepeda motor keluar dari gang tepat di depan mobil Rai. Mau tidak mau supir pun menekan rem secara mendadak.

Kejadian itu membuat Rainer reflek memeluk tubuh dan memegang kepala Camelia untuk melindunginya. Siapa sangka tanpa sengaja bibir mereka saling bersentuhan. Camelia hanya terpaku tanpa berkedip, sama halnya dengan Rainer.

“Maafkan saya, Pak, barusan ada–.” Supir itu menghentikan kalimatnya setelah melihat keadaan di jok belakang.

“Mati aku,” batin si supir.

Rainer sontak melepas pelukannya, dengan salah tingkah dia duduk di kursinya seraya merapikan jas dan berdehem.

Camelia pun melakukan hal yang sama, duduk dengan tenang dan merapikan pakaiannya. Namun, jantungnya begitu tidak tenang bagai sirine ambulans, bersentuhan dengan Rainer mampu membuat otak dan sarafnya kacau.

Canggung melanda ketiganya hingga menciptakan keheningan, hanya deru suara mesin yang mendominasi perjalanan mereka, hingga akhirnya tiba di rumah Rainer.

“Turun!” titah Rainer.

“Kenapa kamu malah membawaku kemari?” cibir Camelia.

Sepertinya Rainer sudah mulai pikun hingga lupa dengan kata-katanya beberapa hari yang lalu.

“Turun atau aku akan menyeretmu dengan paksa?” tekan Rainer.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Muliahati Ziliwu
ujung2nya saat ditidurin ntar jg bucin
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Ayo Bercerai, Tuan CEO Terhormat!   Bab 126 Berakhir Bahagia

    Tirai putih menjuntai dari langit-langit, menghiasi aula dengan kemewahan yang menenangkan. Rangkaian bunga mawar putih dan lilin-lilin tinggi menghiasi sisi-sisi jalan menuju altar. Denting piano mengalun lembut, menggiring langkah Levi yang berdiri tegap menanti di ujung sana. Jas hitamnya melekat rapi, dasi kupu-kupu menghiasi lehernya, dan senyum gugup itu tidak bisa bersembunyi meski wajahnya berusaha tampak tenang.Anne melangkah perlahan, gaun putihnya jatuh anggun menyapu lantai, taburan payet menyala lembut. Mata mereka saling mengunci, dan dunia seakan hening, hanya mereka berdua, dan debar yang berkejaran di dada.Suara tawa kecil menyelingi isakan haru, ketika Levi dengan suara sedikit gemetar mengucapkan janji suci. Anne menatapnya, mata yang dulu ragu kini bersinar penuh keyakinan. Ketika mereka saling mengikat janji, tamu-tamu bersorak dan di antara mereka, Camelia mengusap sudut matanya yang basah, sementara Rainer menepuk punggung Levi saat keduanya turun dari altar

  • Ayo Bercerai, Tuan CEO Terhormat!   Bab 125 Pertentangan

    Suara kursi yang digeser Clay terdengar tegas. Bocah itu berdiri, menatap ayahnya dengan ekspresi serius yang jarang muncul di wajah polosnya.“Aku nggak setuju, Pi,” ucap Clay langsung pada intinya.Danar mengangkat alis, meletakkan dokumen kerjanya ke samping. “Apa yang kamu maksud?”“Aku nggak setuju punya mama baru, kalau bukan Tante Camelia,” jawab bocah itu, tegas.Wajah Danar melembut, bibirnya membentuk senyum kecil yang tak sepenuhnya ceria. “Kamu masih suka Tante Camelia karena dia baik, dan karena kamu terbiasa sama dia. Tapi kamu juga harus ingat, Tante Camelia sudah bahagia bersama Om Rainer dan juga Reyaga. Orang lain bisa salah paham jika kamu bicara seenaknya seperti itu,” balas Danar dengan penuh pengertian.Clay memeluk tubuhnya sendiri, menghindari tatapan Danar. “Iya aku tahu tapi aku tidak suka liat Papa dekat dengan perempuan lain.”Danar menghela napas, bangkit dari sofa, lalu berjongkok di depan putranya. “Clay, dengarkan Papi. Papi juga tidak sedang dalam

  • Ayo Bercerai, Tuan CEO Terhormat!   Bab 124. Menyatakan Cinta

    Dua insan duduk saling berhadapan. Gelas mocktail dengan irisan jeruk nipis itu diletakkan kembali sebelum isinya menyentuh bibir. Cahaya remang menggantung di antara keduanya, seolah ikut menahan napas. Suasana restoran seharusnya membantu, namun hati Levi justru berdebar semakin kacau. Tangannya terlipat di atas meja, matanya menatap lurus ke arah gadis di hadapannya.“Jadi apa yang ingin kamu bicarakan sampai mengajakku makan malam di tempat seperti ini?” tanya Anne yang mulai tidak sabar karena Levi lebih banyak diam hari ini, berbeda dengan biasanya.Sebelum menjawab pertanyaan itu, Levi menghela panas lalu berdehem.“Kamu pernah suka pada seseorang, tapi takut itu cuma perasaan sepihak?” Ternyata yang keluar dari bibirnya bukanlah jawaban. Melainkan sebuah pertanyaan.Anne membulatkan mata, seolah tidak menduga arah pembicaraan. Jemarinya yang memegang sendok tiba-tiba berhenti. “Kamu sedang bertanya soal aku, atau soal kamu?”Levi menautkan jemarinya di atas meja.“Aku hanya

  • Ayo Bercerai, Tuan CEO Terhormat!   Bab 123. Orang Masa Lalu

    Sunyi.Mata Camelia menyapu wajah suaminya. Di dalam pantulan manik kelam itu, ada satu bahasa yang tidak perlu diterjemahkan, cinta yang utuh, dan kebanggaan yang tidak bisa ditutupi.Rainer membalas pandangan itu, ujung bibirnya naik pelan.“Namanya akan kami umumkan saat acara syukuran nanti,” jawab Rainer diiringi dengan senyuman.Levi mengangkat alis.“Nggak asyik. Padahal aku sudah tidak sabar ingin memanggil namanya.”“Makanya menikah, biar kamu juga bisa merasakan betapa bahagiannya punya junior dan memanggil namanya untuk pertama kali,” balas Rainer.Levi berdecak, tapi tidak menanggapi, daripada dia harus mendengar ucapan Rainer yang menjengkelkan.*Gelak tawa menggema, aroma bunga segar dan makanan rumahan memenuhi udara, berbaur dengan hangatnya percakapan para tamu. Beberapa rekan bisnis Rainer berdiri dengan gelas di tangan, menyelam dalam obrolan santai. Daisy tampak sibuk mempersilakan orang-orang untuk duduk, sementara Anne dengan cekatan menjaga jalannya hidangan.

  • Ayo Bercerai, Tuan CEO Terhormat!   Bab 122. Kebahagiaan yang Lengkap

    Di sepanjang perjalanan, tangan Rainer tidak pernah lepas dari Camelia. Jari-jarinya mengusap punggung istrinya, suaranya terus berbisik lembut, meskipun kegelisahan jelas terbaca. Sesampainya di rumah sakit, semuanya terasa seperti kekacauan yang teratur. Rainer pikir Camelia bisa segera melakukan persalinan ternyata mereka harus menunggu karena belum waktunya. “Dokter, apa tidak bisa lebih cepat? Lihatlah istriku sudah sangat kesakitan,” ujar Rainer. Dokter hanya tersenyum, sepanjang dia menjadi dokter, sudah sering melihat suami yang panik seperti itu. Rainer terus menemani Camelia menjalani proses menuju persalinan, seakan-akan ikut merasakan kesakitan yang dialamai istrinya. Setelah lebih dari sepuluh jam berada di rumah sakit, Camelia akhirnya siap untuk melakukan persalinan. Dokter dan perawat sigap membawa Camelia ke ruang bersalin. Rainer tidak peduli pada siapapun selain wanita yang sekarang terbaring di ranjang dengan ekspresi menahan sakit. Dia menggenggam tan

  • Ayo Bercerai, Tuan CEO Terhormat!   Bab 121. Panik dan Mendebarkan

    Rainer tersenyum, melirik istrinya, lalu mengaduk minumannya dengan santai. "Kamu terlalu memikirkan mereka, Sayang. Benar-benar seperti emak-emak yang sedang mencarikan jodoh untuk anaknya," ujar Rainer. "Jelas aku memikirkan mereka! Anne itu orang terdekatku saat ini setelah kamu. Levi orang terdekatmu setelah aku, apalagi dia memohon-mohon cuti pada bosnya yang kejam ini agar bisa berkencan dengan seorang wanita," balas Camelia cepat. "Oh iya, tentang Levi, dia selalu bersikap seolah-olah paling mengerti hubungan, paling berpengalaman, layaknya pakar cinta seperti yang kamu bilang. Tapi sekarang? Kenapa dia malah seperti ini? Bikin aku gregetan," imbuh Camelia. Rainer terkekeh, mengangkat bahu. "Levi selalu berhati-hati dalam setiap langkahnya. Dia bukan tipe yang terburu-buru. Terlalu banyak berpikir sebelum bertindak, itulah sebabnya dia belum memiliki kekasih padahal usianya sudah kepala tiga." "Ya, tapi kalau terus seperti ini, Anne bisa bosan, bisa-bisa aku jodoh

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status