Share

Bab 4. Godaan Suamiku

Author: Lemongrass
last update Last Updated: 2024-10-30 13:52:47

Camelia mencebikkan bibir dan melirik Rainer dengan wajah kesal lalu turun dari mobil dan menutup pintu dengan kasar.

“Dasar wanita itu, sengaja ingin menghancurkan mobilku,” lirih Rainer dengan kesal lalu menutup pintu mobil. Kelakuan Camelia membuat Rainer harus menekan emosinya agar tidak terpancing.

Wanita itu mengekor mengikuti langkah suaminya masuk ke dalam rumah. Di dalam benaknya Camelia merasa kesal mengapa Rainer justru membawanya kembali ke rumah ini. Bukankah pria itu tidak ingin dirinya kembali ke rumah ini.

Tak ingin berangsur-angsur dalam kekesalan Camelia akhirnya bertanya, “Kenapa kamu malah membawaku kembali ke rumah ini?”

Rainer berhenti tanpa aba-aba, Camelia berada tepat di belakangnya pun menabrak punggung kokoh itu tanpa sempat menghindar.

“Ya ampun, main berhenti saja sih,” keluh Camelia seraya mengusap-usap kening dan mundur beberapa langkah menjauh.

Rainer membalikkan badan, terlihat sekali jika dia sedang menahan kesal, lalu lepaskan dasi dan membuka jasnya.

“Aku lapar buatkan aku makanan,” titah Rainer tanpa menjawab pertanyaan dari istrinya.

Camelia terbelalak, dalam hatinya bertanya, “Aku tidak salah dengar?”

Rainer yang selama ini tidak pernah menyentuh masakan yang Camelia buat, sekarang justru memintanya untuk memasak?

“Kenapa malah bengong? Apa kamu tuli atau tidak paham bahasa manusia?” cibir Rainer.

“Sepertinya kepalamu terbentur sesuatu, sikapmu aneh hari ini. Bukankah kamu tidak mau memakan masakanku, kenapa memintaku memasak?” balas Camelia.

“Kenapa kamu cerewet sekali, cepat buatkan makanan untukku!” Rainer mengulang perintahnya.

“Rainer. Rainer. Pertama, aku bukan pembantumu. Kedua, aku sudah memutuskan untuk bercerai darimu, otomatis aku juga menghentikan semua aktivitas yang bersangkutan denganmu, termasuk memasak dan lain sebagainya,” jawab Camelia dengan enteng.

“Kamu ….” Rainer memilih untuk tidak membalas ucapan istrinya lalu melemparkan jas dan dasi yang ada di tangannya ke arah Camelia. Sontak wanita itu menangkap benda itu.

Tak sampai disitu saja, Rainer melepas kancing lengan kemejanya, lalu kancing-kancing kemejanya satu persatu.

“Eh, eh, Rai. Apa-apaan kamu?” seru Camelia seraya menghalangi wajah dan pandangannya dengan jas milik Rainer. Dia tidak ingin matanya yang masih suci terkontaminasi oleh tubuh polos suaminya.

Rainer semakin kesal melihat istrinya yang seolah-olah jijik melihat tubuh indahnya. Setelah selesai melepas kemejanya, Rainer langsung menarik jas yang digunakan untuk menghalangi wajah Camelia.

“Aaaaa!” jerit Camelia karena terkejut. Dia langsung membuang muka dan menutupi matanya dengan sebelah tangan.

“Hei!” geram Rainer.

Harga dirinya benar-benar koyak, disaat banyak wanita ingin menikmati tubuh proporsionalnya, istrinya justru menutup mata.

Rainer berjalan pelan mendekati Camelia, rahangnya mengeras saking kesalnya. Wanita itu berjalan mundur untuk menjauh mengikuti langkah kaki Rainer yang terus maju, hingga tak ada lagi ruang, terpojok di tembok.

Rainer mengulurkan kedua tangannya ke samping kanan dan kiri tubuh Camelia, mengunci wanita itu. Harum maskulin menyeruak menggelitik indera penciuman Cameliam

“Rai!” Mau tak mau Camelia menghadap ke arah suaminya.

Bagai melihat cahaya di tempat yang terang, silau, tubuh sempurna Rainer yang bertelanjang dada bagai memiliki daya magnet tersendiri, membuat mata indah Camelia tak berkedip, perut sixpack dan otot-otot kokoh yang indah, tanpa sadar wanita itu menelan ludah.

Diam-diam Rainer mengamati ekspresi istrinya dan tersenyum tipis penuh kemenangan.

“Lihatlah wajahmu itu, kamu sama saja dengan wanita-wanita di luaran sana saat melihat maha karya Tuhan yang luar biasa ini,” cibir Rainer dalam hati.

“Lihat apa kamu?” hardik Rainer.

“Roti sobek,” jujur Camelia tanpa sadar.

“Jadi kamu sedang menikmati tubuh indahku?” sindir Rainer.

“Ah, apa?” Camelia mengedipkan kelopak matanya beberapa kali mencoba mengusir roti sobek itu dari pandangan matanya.

“Aaaaaaa,” jerit Camelia.

Setelah tersadar Camelia langsung mendorong tubuh suaminya. Namun, Rainer justru memegang kedua tangan Camelia dan menguncinya di dinding.

“Rai!”

Rainer benar-benar telah berhasil mempermainkan Camelia terbukti dari detak jantung wanita itu yang mulai tak beraturan.

Pria itu semakin mendekatkan tubuh dan wajahnya, mengikis jarak. Lagi-lagi Camelia memalingkan wajah, membuat Rainer semakin kesal.

Rainer semakin mendekatkan jarak, hingga Camelia bisa merasakan hembusan nafas pria itu di dekat telinganya.

“Rai! Lepaskan!”

“Cobalah untuk melepaskan diri dariku jika kamu bisa,” kata Rainer menantang.

Bagaimana bisa Camelia melepaskan diri dari Rainer, tenaganya bahkan tak ada separuh dari tenaga pria itu.

Camelia menoleh hendak menatap dan mengintimidasi suaminya agar mau melepaskannya, siapa sangka jarak mereka begitu dekat, hampir tak berjarak.

Hidungnya tidak sengaja bersentuhan dengan hidung mancung Rainer, hembusan napas bergelung menjadi satu. Tatapan mata keduanya saling mengunci, menyelami satu sama lain.

Ada desiran aneh di hati Camelia diiringi detak jantung yang semakin tidak karuan.

“Ya, Tuhan, apa yang sedang terjadi? Oh, jantung tolong bekerjasamalah,” batin Camelia.

Perlahan Rainer sedikit menggeser posisi, bibir itu bersiap untuk menyerang, perlahan demi perlahan semakin dekat–

“Mas Rai, sepertinya Bibi mendengar suara Mbak Lia,” cicit Ella tanpa tahu apa yang sedang terjadi dan ketika mulutnya sudah terdiam dia baru melihat pemandangan langka.

Rainer memejamkan mata, menekan semua kekesalan dalam dada dan menghentikan gerakan, dia melonggarkan jarak dan melepas kuncian tangannya.

Sedangkan Camelia menunduk malu dan salah tingkah, seraya merapikan rambutnya. Nyaris saja dia akan berciuman dengan suaminya. Apa Camelia kecewa? Entahlah, yang pasti saat ini jantungnya serasa ingin melompat dari rongga dada.

“Ma–maafkan Bibi mengganggu, kalau begitu lanjutkan,” ujar wanita paruh baya itu lalu memutar tumit meninggalkan ruang tengah dengan ekspresi tidak enak hati.

Rai menyugar rambutnya dengan kasar, kemudian melempar jas, dasi, dan kemejanya pada Camelia.

“Bersihkan kotoran di baju itu sampai bersih,” titah Rainer kemudian memutar tubuhnya.

“Eeh, enak saja, biasanya kamu akan langsung membuang begitu saja kemeja yang sudah kotor. Jadi kamu buang saja, kenapa harus aku bersihkan,” protes Camelia.

Rainer kembali menghadap ke arah istrinya dan berkata, “Karena siapa baju itu kotor, jadi bersihkan sampai bersih!”

Dengan kesal Camelia berjalan ke arah Rainer dan mendorong pakaian itu ke dada Rainer.

“Lakukan saja sendiri!” ucap Camelia.

Wanita itu berjalan melewati Rainer.

“CAMELIA AGATHA!” teriak Rainer.

Camelia tidak peduli dengan teriakan suaminya, terus berjalan naik ke lantai dua dan masuk ke dalam kamarnya, tak lupa mengunci pintu.

Camelia melorot duduk di lantai, kemudian menyentuh ujung hidungnya yang tadi bersentuhan dengan hidung Rainer. Tak lupa dia menarik napas berulang-ulang menetralkan detak jantungnya.

Bohong jika kejadian tadi tidak berefek apa-apa pada Camelia.

“Tenang, Lia. Tenang. Kamu bisa mengatasi semua ini. Jangan goyah, jangan lemah, jangan lengah, segera bercerai dan pergi sejauh mungkin untuk meraih cita-citamu, masa depan sudah menantimu,” gumam Camelia memberi kekuatan pada dirinya sendiri.

Hampir saja dia goyah, pesona Rainer memang luar biasa. Lalu bagaimana nasib Camelia setelah kembali ke rumah Rainer?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Aisyah Rajab
wanita lemah
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ayo Bercerai, Tuan CEO Terhormat!   Bab 126 Berakhir Bahagia

    Tirai putih menjuntai dari langit-langit, menghiasi aula dengan kemewahan yang menenangkan. Rangkaian bunga mawar putih dan lilin-lilin tinggi menghiasi sisi-sisi jalan menuju altar. Denting piano mengalun lembut, menggiring langkah Levi yang berdiri tegap menanti di ujung sana. Jas hitamnya melekat rapi, dasi kupu-kupu menghiasi lehernya, dan senyum gugup itu tidak bisa bersembunyi meski wajahnya berusaha tampak tenang.Anne melangkah perlahan, gaun putihnya jatuh anggun menyapu lantai, taburan payet menyala lembut. Mata mereka saling mengunci, dan dunia seakan hening, hanya mereka berdua, dan debar yang berkejaran di dada.Suara tawa kecil menyelingi isakan haru, ketika Levi dengan suara sedikit gemetar mengucapkan janji suci. Anne menatapnya, mata yang dulu ragu kini bersinar penuh keyakinan. Ketika mereka saling mengikat janji, tamu-tamu bersorak dan di antara mereka, Camelia mengusap sudut matanya yang basah, sementara Rainer menepuk punggung Levi saat keduanya turun dari altar

  • Ayo Bercerai, Tuan CEO Terhormat!   Bab 125 Pertentangan

    Suara kursi yang digeser Clay terdengar tegas. Bocah itu berdiri, menatap ayahnya dengan ekspresi serius yang jarang muncul di wajah polosnya.“Aku nggak setuju, Pi,” ucap Clay langsung pada intinya.Danar mengangkat alis, meletakkan dokumen kerjanya ke samping. “Apa yang kamu maksud?”“Aku nggak setuju punya mama baru, kalau bukan Tante Camelia,” jawab bocah itu, tegas.Wajah Danar melembut, bibirnya membentuk senyum kecil yang tak sepenuhnya ceria. “Kamu masih suka Tante Camelia karena dia baik, dan karena kamu terbiasa sama dia. Tapi kamu juga harus ingat, Tante Camelia sudah bahagia bersama Om Rainer dan juga Reyaga. Orang lain bisa salah paham jika kamu bicara seenaknya seperti itu,” balas Danar dengan penuh pengertian.Clay memeluk tubuhnya sendiri, menghindari tatapan Danar. “Iya aku tahu tapi aku tidak suka liat Papa dekat dengan perempuan lain.”Danar menghela napas, bangkit dari sofa, lalu berjongkok di depan putranya. “Clay, dengarkan Papi. Papi juga tidak sedang dalam

  • Ayo Bercerai, Tuan CEO Terhormat!   Bab 124. Menyatakan Cinta

    Dua insan duduk saling berhadapan. Gelas mocktail dengan irisan jeruk nipis itu diletakkan kembali sebelum isinya menyentuh bibir. Cahaya remang menggantung di antara keduanya, seolah ikut menahan napas. Suasana restoran seharusnya membantu, namun hati Levi justru berdebar semakin kacau. Tangannya terlipat di atas meja, matanya menatap lurus ke arah gadis di hadapannya.“Jadi apa yang ingin kamu bicarakan sampai mengajakku makan malam di tempat seperti ini?” tanya Anne yang mulai tidak sabar karena Levi lebih banyak diam hari ini, berbeda dengan biasanya.Sebelum menjawab pertanyaan itu, Levi menghela panas lalu berdehem.“Kamu pernah suka pada seseorang, tapi takut itu cuma perasaan sepihak?” Ternyata yang keluar dari bibirnya bukanlah jawaban. Melainkan sebuah pertanyaan.Anne membulatkan mata, seolah tidak menduga arah pembicaraan. Jemarinya yang memegang sendok tiba-tiba berhenti. “Kamu sedang bertanya soal aku, atau soal kamu?”Levi menautkan jemarinya di atas meja.“Aku hanya

  • Ayo Bercerai, Tuan CEO Terhormat!   Bab 123. Orang Masa Lalu

    Sunyi.Mata Camelia menyapu wajah suaminya. Di dalam pantulan manik kelam itu, ada satu bahasa yang tidak perlu diterjemahkan, cinta yang utuh, dan kebanggaan yang tidak bisa ditutupi.Rainer membalas pandangan itu, ujung bibirnya naik pelan.“Namanya akan kami umumkan saat acara syukuran nanti,” jawab Rainer diiringi dengan senyuman.Levi mengangkat alis.“Nggak asyik. Padahal aku sudah tidak sabar ingin memanggil namanya.”“Makanya menikah, biar kamu juga bisa merasakan betapa bahagiannya punya junior dan memanggil namanya untuk pertama kali,” balas Rainer.Levi berdecak, tapi tidak menanggapi, daripada dia harus mendengar ucapan Rainer yang menjengkelkan.*Gelak tawa menggema, aroma bunga segar dan makanan rumahan memenuhi udara, berbaur dengan hangatnya percakapan para tamu. Beberapa rekan bisnis Rainer berdiri dengan gelas di tangan, menyelam dalam obrolan santai. Daisy tampak sibuk mempersilakan orang-orang untuk duduk, sementara Anne dengan cekatan menjaga jalannya hidangan.

  • Ayo Bercerai, Tuan CEO Terhormat!   Bab 122. Kebahagiaan yang Lengkap

    Di sepanjang perjalanan, tangan Rainer tidak pernah lepas dari Camelia. Jari-jarinya mengusap punggung istrinya, suaranya terus berbisik lembut, meskipun kegelisahan jelas terbaca. Sesampainya di rumah sakit, semuanya terasa seperti kekacauan yang teratur. Rainer pikir Camelia bisa segera melakukan persalinan ternyata mereka harus menunggu karena belum waktunya. “Dokter, apa tidak bisa lebih cepat? Lihatlah istriku sudah sangat kesakitan,” ujar Rainer. Dokter hanya tersenyum, sepanjang dia menjadi dokter, sudah sering melihat suami yang panik seperti itu. Rainer terus menemani Camelia menjalani proses menuju persalinan, seakan-akan ikut merasakan kesakitan yang dialamai istrinya. Setelah lebih dari sepuluh jam berada di rumah sakit, Camelia akhirnya siap untuk melakukan persalinan. Dokter dan perawat sigap membawa Camelia ke ruang bersalin. Rainer tidak peduli pada siapapun selain wanita yang sekarang terbaring di ranjang dengan ekspresi menahan sakit. Dia menggenggam tan

  • Ayo Bercerai, Tuan CEO Terhormat!   Bab 121. Panik dan Mendebarkan

    Rainer tersenyum, melirik istrinya, lalu mengaduk minumannya dengan santai. "Kamu terlalu memikirkan mereka, Sayang. Benar-benar seperti emak-emak yang sedang mencarikan jodoh untuk anaknya," ujar Rainer. "Jelas aku memikirkan mereka! Anne itu orang terdekatku saat ini setelah kamu. Levi orang terdekatmu setelah aku, apalagi dia memohon-mohon cuti pada bosnya yang kejam ini agar bisa berkencan dengan seorang wanita," balas Camelia cepat. "Oh iya, tentang Levi, dia selalu bersikap seolah-olah paling mengerti hubungan, paling berpengalaman, layaknya pakar cinta seperti yang kamu bilang. Tapi sekarang? Kenapa dia malah seperti ini? Bikin aku gregetan," imbuh Camelia. Rainer terkekeh, mengangkat bahu. "Levi selalu berhati-hati dalam setiap langkahnya. Dia bukan tipe yang terburu-buru. Terlalu banyak berpikir sebelum bertindak, itulah sebabnya dia belum memiliki kekasih padahal usianya sudah kepala tiga." "Ya, tapi kalau terus seperti ini, Anne bisa bosan, bisa-bisa aku jodoh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status