Dengan tampang tidak suka wanita itu bertanya, “Siapa wanita ini?”
“Oma, Tante ini yang menyelamatkanku,” jawab anak kecil itu. Carmelia menoleh ke arah wanita paruh baya itu, tersenyum kemudian mengangguk hormat. Wanita paruh baya itu memandang Camelia dengan pandangan yang sulit diartikan. Wanita paruh baya itu bergegas mencari anak dan cucunya setelah mendapat kabar tentang Clay yang hampir mengalami kecelakaan, tapi dia justru menemukan ada seorang wanita di mobil anaknya. Dari sisi yang lain Danar memberi isyarat pada ibunya jika Camelia ingin keluar, dia pun mundur beberapa langkah memberi ruang pada Camelia untuk keluar dari mobil mewah itu. Danar ikut keluar dari sisi yang lain dan mendekat ke arah dua wanita berbeda generasi itu. “Selamat siang, Nyonya,” sapa Camelia dengan santun. “Mami, dia Camelia. Wanita yang sudah menyelamatkan Clay,” terang Danar. Seketika wajah wanita paruh baya itu berubah dan menyunggingkan senyum ramah. “Terima kasih banyak sudah menyelamatkan cucu saya, Nona Camelia.” “Sama-sama, Nyonya–,” Camelia menjeda kalimatnya karena tidak tahu nama wanita itu. “Saya Sofia, ibu Danar dan juga neneknya Clay.” “Nyonya Sofia,” ucap Camelia melengkapi ucapannya tadi. “Kalau begitu saya permisi dulu, Nyonya.” “Sekali lagi terima kasih, Nona Camelia.” Setelah mengangguk hormat Camelia melenggang dengan kaki sedikit terpincang, lututnya masih terasa perih. Masih terdengar di pendengaran Camelia jika wanita yang masih terlihat cantik meski usianya tak lagi muda itu memarahi Danar yang tidak becus menjaga Clay. Rainer meletakkan ponselnya di atas meja dengan sedikit tenaga hingga membuat suara yang menggema ke seluruh ruangan. Pria itu kesal setelah mendapat laporan jika Camelia pergi meninggalkan rumah. “Beraninya dia bersikap seenaknya, kabur lagi dari rumah? Dia pikir dia siapa?” kesal Rainer. Levi mengetuk pintu dan masuk ke kantor Rainer dengan wajah cemas. “Ada apa?” “Mbak Lia hampir kecelakaan karena menyelamatkan seorang anak kecil, Pak.” Rainer langsung berdiri dan bertanya, “Di mana dia sekarang?” “Dia sudah kembali ke apartemen temannya, Pak. Kondisinya baik-baik saja, Bapak tidak perlu khawatir,” ucap Levi menenangkan Rainer. Rainer kembali duduk dan memasang wajah tak acuh. “Memangnya apa peduliku? Biarkan saja dia,” balas Rainer lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Levi menggeleng dan tersenyum tipis melihat kelakuan atasannya itu. Dia pun keluar dari ruangan tersebut. Rainer pun segera menyelesaikan semua pekerjaannya. Rasa-rasanya hari ini tenaganya terkuras habis karena Camelia. “Rai!” Seruan manja itu terdengar begitu merdu, mengusik pendengaran Rainer, dia pun menghentikan langkah dan mengalihkan perhatian ke sumber suara. Rupanya sejak tadi Agnes duduk bersama Rossa, dengan sabar menunggu kekasihnya pulang. “Ada apa?” tanya Rainer dengan wajah datar. “Bukankah malam ini kita akan mencari kado ulang tahun untuk Tuan dan Nyonya Adiwangsa? Jangan bilang kamu lupa.” Rainer melirik tajam ke arah Levi. Dia sudah memerintahkan pada pria itu untuk mengatakan pada Agnes jika malam ini mereka tidak jadi pergi bersama. Yang dilirik pun merasa tidak enak, padahal dia benar-benar sudah menyampaikan pesan tersebut. “Bukankah Levi sudah bilang kalau kita tidak jadi pergi bersama?” Agnes langsung mendekat dan meraih lengan Rainer, seperti biasanya bergelayut dengan manja. “Sudah sih, tapi aku sudah terlanjur menolak segala acara untuk malam ini dan malam ulang tahun Tuan dan Nyonya Adiwangsa demi bisa menemanimu ke acara itu,” jawab Agnes dengan lembut. Rainer melepas tangan Agnes dari lengannya dan sedikit bergeser untuk memberi jarak. Jelas saja wanita itu terkejut, Rainer tak pernah sekalipun menolaknya, tetapi kali ini berbeda. “Malam ini dan saat acara ulang tahun pernikahan itu aku akan pergi bersama Camelia.” “Rai! Kenapa malah pergi sama dia sih? Bukankah kita sudah berjanji akan pergi bersama, aku juga sudah menolak semua undangan demi menemanimu,” protes Agnes. “Ini permintaan Kakek, aku tidak bisa menolaknya. Semua demi perusahaan,” jawab Rainer. Tentu saja itu hanya sebuah kebohongan dan alasan agar Agnes tak lagi merengek. “Kakek lagi, Kakek lagi. Kenapa kamu selalu patuh dengan perintahnya? Kapan kamu bisa memperjuangkanku? Ayolah, Rai, kamu sudah dewasa kenapa masih menurut dengan dikte Kakekmu itu?” kesal Agnes. Entah mengapa ucapan Agnes kali ini membuatnya sedikit gerah, terdengar mengesalkan. “Jangan membuat drama di sini, Agnes. Jika Kakek tahu kamu ada di sini dan membuat masalah, kamu tidak akan bisa lagi masuk ke gedung ini. Jadi bersikaplah sewajarnya jika berada di lingkungan kantor.” Rainer kembali berjalan menuju lift lalu menekan tombol arah turun. “Rainer!” Agnes mengejar pria itu. Dia masih tidak habis pikir kenapa sikap kekasihnya itu berubah 180 derajat, dingin dan tak tersentuh. “Ini semua pasti gara-gara wanita itu,” gumam Agnes. “Maaf, Mbak Agnes,” ucap Levi seraya menghalangi langkah Agnes yang ingin masuk ke dalam lift. Dengan kesal Agnes menghentakkan kakinya ke lantai, kedua tangannya mengepal erat. Bisa-bisanya Rainer melakukan hal seperti itu padanya. “Lihat saja Camelia, aku tidak akan tinggal diam, Rai itu milikku dan akan selalu menjadi milikku, kamu memilih lawan yang salah.” “Kamu cari mati, Ca. Bisa-bisanya kamu kembali kesini setelah Rainer membawamu pulang ke rumah itu,” oceh Maura–sahabat Camelia setelah melihat sahabatnya kembali ke apartemennya. “Biar saja, aku sudah lelah. Untuk apa dia berubah ketika aku ingin berpisah, ini sudah sangat terlambat, Maura.” “Kamu memang keras kepala, Camelia. Dulu kamu begitu keras ingin berjuang meraih hati Rainer, sekarang kamu sama kerasnya, tetapi ingin berpisah dari pria itu.” Camelia merengut tapi tidak menampik ucapan sahabatnya itu. “Lalu itu,” Maura menunjuk lutut Camelia, “kenapa kamu pulang-pulang dengan lutut babak belur seperti itu?” “Oh, ini pendek ceritanya.” Camelia menceritakan kejadian yang dialaminya sebelum pulang ke apartemen. “Camelia, Camelia. Untung tidak terjadi apa-apa dengan kalian berdua.” “Iya, untung saja. Ya, sudah aku mau membersihkan diri lebih dulu.” “Kamu mau makan apa malam ini?” tanya Maura. “Apa sajalah, aku kan tinggal makan,” balas Camelia seraya nyengir kuda. “Kalau begitu aku akan pergi ke supermarket sebentar, banyak bahan makanan yang sudah habis.” “Baiklah, hati-hati di jalan.” Sebelum mandi Camelia memeriksa ponselnya, tidak ada pesan maupun panggilan dari Rainer. Ada sedikit kekecewaan dan juga kelegaan di dalam hati Camelia. Kecewa karena ternyata Rainer tetap tidak peduli padanya, padahal dia yakin suaminya itu sudah mendapat kabar dari anak buahnya. Lega karena Rainer tidak akan mengganggu hidupnya. Camelia mengisi daya sebelum akhirnya mandi. Usai membersihkan diri Camelia segera mengeringkan rambut yang basah karena keramas. Indera pendengarannya menangkap suara bel yang berbunyi dengan keras. Camelia bergegas menuju pintu apartemen itu. Mungkin saja kekasih Maura yang datang, pikir Camelia. Namun, setelah membuka pintu realita tak seperti ekspektasinya.Rainer berada di depan pintu apartemen dan menatapnya tajam!
“Untuk apa datang kemari?” tanya Camelia.
“Memang untuk apalagi? Jelas aku ingin menjemput istriku yang kabur dari rumah,” jawab Rainer sembari menipiskan jarak keduanya.
Tirai putih menjuntai dari langit-langit, menghiasi aula dengan kemewahan yang menenangkan. Rangkaian bunga mawar putih dan lilin-lilin tinggi menghiasi sisi-sisi jalan menuju altar. Denting piano mengalun lembut, menggiring langkah Levi yang berdiri tegap menanti di ujung sana. Jas hitamnya melekat rapi, dasi kupu-kupu menghiasi lehernya, dan senyum gugup itu tidak bisa bersembunyi meski wajahnya berusaha tampak tenang.Anne melangkah perlahan, gaun putihnya jatuh anggun menyapu lantai, taburan payet menyala lembut. Mata mereka saling mengunci, dan dunia seakan hening, hanya mereka berdua, dan debar yang berkejaran di dada.Suara tawa kecil menyelingi isakan haru, ketika Levi dengan suara sedikit gemetar mengucapkan janji suci. Anne menatapnya, mata yang dulu ragu kini bersinar penuh keyakinan. Ketika mereka saling mengikat janji, tamu-tamu bersorak dan di antara mereka, Camelia mengusap sudut matanya yang basah, sementara Rainer menepuk punggung Levi saat keduanya turun dari altar
Suara kursi yang digeser Clay terdengar tegas. Bocah itu berdiri, menatap ayahnya dengan ekspresi serius yang jarang muncul di wajah polosnya.“Aku nggak setuju, Pi,” ucap Clay langsung pada intinya.Danar mengangkat alis, meletakkan dokumen kerjanya ke samping. “Apa yang kamu maksud?”“Aku nggak setuju punya mama baru, kalau bukan Tante Camelia,” jawab bocah itu, tegas.Wajah Danar melembut, bibirnya membentuk senyum kecil yang tak sepenuhnya ceria. “Kamu masih suka Tante Camelia karena dia baik, dan karena kamu terbiasa sama dia. Tapi kamu juga harus ingat, Tante Camelia sudah bahagia bersama Om Rainer dan juga Reyaga. Orang lain bisa salah paham jika kamu bicara seenaknya seperti itu,” balas Danar dengan penuh pengertian.Clay memeluk tubuhnya sendiri, menghindari tatapan Danar. “Iya aku tahu tapi aku tidak suka liat Papa dekat dengan perempuan lain.”Danar menghela napas, bangkit dari sofa, lalu berjongkok di depan putranya. “Clay, dengarkan Papi. Papi juga tidak sedang dalam
Dua insan duduk saling berhadapan. Gelas mocktail dengan irisan jeruk nipis itu diletakkan kembali sebelum isinya menyentuh bibir. Cahaya remang menggantung di antara keduanya, seolah ikut menahan napas. Suasana restoran seharusnya membantu, namun hati Levi justru berdebar semakin kacau. Tangannya terlipat di atas meja, matanya menatap lurus ke arah gadis di hadapannya.“Jadi apa yang ingin kamu bicarakan sampai mengajakku makan malam di tempat seperti ini?” tanya Anne yang mulai tidak sabar karena Levi lebih banyak diam hari ini, berbeda dengan biasanya.Sebelum menjawab pertanyaan itu, Levi menghela panas lalu berdehem.“Kamu pernah suka pada seseorang, tapi takut itu cuma perasaan sepihak?” Ternyata yang keluar dari bibirnya bukanlah jawaban. Melainkan sebuah pertanyaan.Anne membulatkan mata, seolah tidak menduga arah pembicaraan. Jemarinya yang memegang sendok tiba-tiba berhenti. “Kamu sedang bertanya soal aku, atau soal kamu?”Levi menautkan jemarinya di atas meja.“Aku hanya
Sunyi.Mata Camelia menyapu wajah suaminya. Di dalam pantulan manik kelam itu, ada satu bahasa yang tidak perlu diterjemahkan, cinta yang utuh, dan kebanggaan yang tidak bisa ditutupi.Rainer membalas pandangan itu, ujung bibirnya naik pelan.“Namanya akan kami umumkan saat acara syukuran nanti,” jawab Rainer diiringi dengan senyuman.Levi mengangkat alis.“Nggak asyik. Padahal aku sudah tidak sabar ingin memanggil namanya.”“Makanya menikah, biar kamu juga bisa merasakan betapa bahagiannya punya junior dan memanggil namanya untuk pertama kali,” balas Rainer.Levi berdecak, tapi tidak menanggapi, daripada dia harus mendengar ucapan Rainer yang menjengkelkan.*Gelak tawa menggema, aroma bunga segar dan makanan rumahan memenuhi udara, berbaur dengan hangatnya percakapan para tamu. Beberapa rekan bisnis Rainer berdiri dengan gelas di tangan, menyelam dalam obrolan santai. Daisy tampak sibuk mempersilakan orang-orang untuk duduk, sementara Anne dengan cekatan menjaga jalannya hidangan.
Di sepanjang perjalanan, tangan Rainer tidak pernah lepas dari Camelia. Jari-jarinya mengusap punggung istrinya, suaranya terus berbisik lembut, meskipun kegelisahan jelas terbaca. Sesampainya di rumah sakit, semuanya terasa seperti kekacauan yang teratur. Rainer pikir Camelia bisa segera melakukan persalinan ternyata mereka harus menunggu karena belum waktunya. “Dokter, apa tidak bisa lebih cepat? Lihatlah istriku sudah sangat kesakitan,” ujar Rainer. Dokter hanya tersenyum, sepanjang dia menjadi dokter, sudah sering melihat suami yang panik seperti itu. Rainer terus menemani Camelia menjalani proses menuju persalinan, seakan-akan ikut merasakan kesakitan yang dialamai istrinya. Setelah lebih dari sepuluh jam berada di rumah sakit, Camelia akhirnya siap untuk melakukan persalinan. Dokter dan perawat sigap membawa Camelia ke ruang bersalin. Rainer tidak peduli pada siapapun selain wanita yang sekarang terbaring di ranjang dengan ekspresi menahan sakit. Dia menggenggam tan
Rainer tersenyum, melirik istrinya, lalu mengaduk minumannya dengan santai. "Kamu terlalu memikirkan mereka, Sayang. Benar-benar seperti emak-emak yang sedang mencarikan jodoh untuk anaknya," ujar Rainer. "Jelas aku memikirkan mereka! Anne itu orang terdekatku saat ini setelah kamu. Levi orang terdekatmu setelah aku, apalagi dia memohon-mohon cuti pada bosnya yang kejam ini agar bisa berkencan dengan seorang wanita," balas Camelia cepat. "Oh iya, tentang Levi, dia selalu bersikap seolah-olah paling mengerti hubungan, paling berpengalaman, layaknya pakar cinta seperti yang kamu bilang. Tapi sekarang? Kenapa dia malah seperti ini? Bikin aku gregetan," imbuh Camelia. Rainer terkekeh, mengangkat bahu. "Levi selalu berhati-hati dalam setiap langkahnya. Dia bukan tipe yang terburu-buru. Terlalu banyak berpikir sebelum bertindak, itulah sebabnya dia belum memiliki kekasih padahal usianya sudah kepala tiga." "Ya, tapi kalau terus seperti ini, Anne bisa bosan, bisa-bisa aku jodoh
“Selamat malam, Nyonya-nyonya.” Suara berat itu menyusup di antara obrolan, membuat Camelia dan Vanessa menoleh. Danar berdiri dengan setelan abu-abu yang rapi. Ekspresinya santai, tapi sorot mata itu tidak bisa menyembunyikan perasaan yang bergulat di dalam dada. Danar dan Camelia bertemu pandang, wanita itu menyunggingkan senyum yang celakanya masih membuat hati Danar berdesir. "Kamu benar-benar sulit ditemui sekarang,” ujar Danar. "Wajar, dia sekarang lebih sibuk dengan keluarga kecilnya," kata Vanessa menimpali sambil tersenyum. Tatapan Danar turun ke perut Camelia yang mulai membuncit. Ada kebahagiaan yang dia rasakan karena itu sebuah tanda jika hidup wanita itu lebih baik dan yang pasti, bahagia. Tetapi juga sesuatu yang tertahan di balik senyum tipisnya. Sejenak, hatinya terasa kosong. Camelia menangkap tatapan itu, tetapi memilih untuk bersikap biasa saja. “Apa kabar, Pak Danar?” Ada sesuatu di hati Danar, Camelia bahkan sudah tidak memanggilnya ‘kakak’ lagi.
“Selamat malam, Nyonya-nyonya.” Suara berat itu menyusup di antara obrolan, membuat Camelia dan Vanessa menoleh. Danar berdiri dengan setelan abu-abu yang rapi. Ekspresinya santai, tapi sorot mata itu tidak bisa menyembunyikan perasaan yang bergulat di dalam dada. Danar dan Camelia bertemu pandang, wanita itu menyunggingkan senyum yang celakanya masih membuat hati Danar berdesir. "Kamu benar-benar sulit ditemui sekarang,” ujar Danar. "Wajar, dia sekarang lebih sibuk dengan keluarga kecilnya," kata Vanessa menimpali sambil tersenyum. Tatapan Danar turun ke perut Camelia yang mulai membuncit. Ada kebahagiaan yang dia rasakan karena itu sebuah tanda jika hidup wanita itu lebih baik dan yang pasti, bahagia. Tetapi juga sesuatu yang tertahan di balik senyum tipisnya. Sejenak, hatinya terasa kosong. Camelia menangkap tatapan itu, tetapi memilih untuk bersikap biasa saja. “Apa kabar, Pak Danar?” Ada sesuatu di hati Danar, Camelia bahkan sudah tidak memanggilnya ‘kakak’ lagi.
“Halo, dengan Tuan Rainer Wijaya, kami dari rumah sakit, ingin memberi tahu jika Nyonya Camelia pingsan dan dibawa ke rumah sakit.” Jantungnya berdegup lebih cepat. “Ada apa, Rai?” “Camelia dibawa ke rumah sakit, Lev.” Tidak menunggu waktu yang lama Rainer langsung bergegas menuju rumah sakit. Tangan Rainer mencengkram kemudi dengan erat, buku-buku jarinya memutih. Napas memburu, tubuh terasa panas, tapi bukan karena udara di dalam mobil—melainkan ketakutan yang perlahan-lahan merayap naik. Camelia pingsan. Rumah sakit. Mungkin aritmianya kambuh? Tiga hal itu terus berputar di kepalanya, memukul saraf-saraf kewaspadaan hingga jantungnya berdegup tak karuan. Steve. Itu pasti karena pria itu. Jika dia tahu pertemuan sialan itu akan membawa dampak sebesar ini, dia tak akan membiarkan Camelia keluar rumah. Sial. Harusnya dia lebih waspada. Harusnya dia tidak meremehkan dampaknya. Mobil berhenti dengan hentakan kasar di depan pintu gawat darurat. Rainer keluar tanpa