Galih menyalami Evan untuk berbasa-basi sebelum turun dari panggung pelaminan. Evan menarik tangannya lalu berbisik di telinganya, “aku doain Mas jodoh sama dia.”
“Amin,” ucap Galih sebelum menyusul langkah Aster yang sudah lebih dulu.Ketika Galih berbelok menuju tempat menu, bocah lelaki kecil berlari ke arahnya. Galih merentangkan tangan untuk memeluk bocah itu.“Papa …” teriakan bocah kecil itu berhasil menarik perhatian Aster. Gadis cantik itu menoleh, lalu berbalik arah mendekati keduanya.Galih tersenyum canggung ke arah Aster. Namun, pandangan Aster tak beralih dari wajah bocah lelaki itu. Gadis itu bahkan menebak-nebak dalam hati.“Neng, kenalin, ini anakku,” kata Galih.Aster membeliak. Dia tak menyangka jika tebakannya tepat. Sambil menunduk, Aster mengulurkan tangan ke arah bocah lelaki tampan dengan setelan tuksedo hitam itu.“Halo, Ganteng. Salam kenal, nama Tante Aster PuPagi itu Galih terbangun tanpa mimpi buruk. Dia bersandar di bahu ranjang, menatap langit-langit kamar yang kosong. Setidaknya selama sepuluh tahun, dia menempati luasnya kamar itu sendiri. Tanpa kehangatan. Sepi.Pintu diketuk membuatnya mengayun langkah untuk meraih gagang pintu. Wajah anak semata wayangnya muncul di balik pintu.“Papa, hari ini anterin aku ke rumah Nenek yuk!” katanya.“Ke rumah Nenek?” Dia mengulangi kalimat bocah itu.“Iya, Pa … aku mau ketemu Mama Dea. Hari ini ‘kan Mama Dea nggak akan ke sini. Soalnya kata Nenek, Mama Dea sama Om Evan mau ke Bali,” katanya.Galih mengangguk-angguk. ‘Jadi Evan dengan Dea mau bulan madu ke Bali? Berarti dia ninggalin percetakan? Hm, kayaknya itu bagus,’ pikir Galih.Galih beralih ke bocah lelaki duplikatnya itu. “Papa mau mandi dulu, oke? Nih lihat! Papa masih nggak pake baju begini, artinya baru bangun tidur,” dia menunjuk dirinya sendiri.
Galih melihat jadwal di kalender bulanan pekerjaannya. Hanya ada satu hari kosong tanpa pertemuan dengan klien. Dia mendesah, harapannya untuk meluangkan waktu dengan Jason dan Aster tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat.“Ditambah lagi bulan ini juga aku harus ngejar target project selanjutnya ya? Sama Mister Harland juga belum,” Galih memijit pelipisnya.“Syukuri aja deh. Lagian aku masih bisa ketemu dia juga di luar kerjaan,” katanya.Ketukan di pintu ruangannya mengalihkan pandangan Galih. “Ya, masuk!” katanya.Rein masuk dengan map berisi kertas-kertas. Galih melihat kertas itu, hasil cetak story board yang dikerjakan oleh tim kreatif mereka untuk proyek iklan kampanye anti bullying di sekolah-sekolah.“Biasanya kalau kayak gini kita ngerjain dulu, Bos. Dan setelah selesai, baru mereka bayar. Mereka juga nggak ngasih uang muka, Bos,” kata Rein.Galih mengangguk-angguk. “Ya udah, tapi mereka ud
“Bos! Bos harus lihat ini deh!” Tasya tiba-tiba masuk ke ruangannya, membuat Galih mendongak.Tasya menunjuk tablet di tangannya, menampilkan video iklan dengan konsep fairy tale yang pernah diperankan Galih. Video itu diposting di kanal video online dan sudah ditonton satu juta kali oleh pengguna di sana dalam waktu delapan jam sejak peluncurannya.Galih menggeser layar untuk melihat komentar-komentar di bawah video itu. Kalimat-kalimat positif dan pujian membuat Galih optimis dengan konsep perusahaan mereka.“Kerja keras kita terbayar, Sya. Kabari kalau Bu Shanti ada komentar atau apapun. Biar aku kosongkan jadwal untuk ketemu beliau,” katanya.Tasya mengangguk. “Siap, Bos! Kayaknya nggak lama lagi bakalan ada telepon masuk dari Bu Shanti.”Tak lama, dering telepon di meja kerja Galih berbunyi. Galih saling pandang dengan sekretarisnya itu. Tasya mempersilakan Galih untuk menerima telepon itu.“Sel
Galih membuka mata ketika Evan menepuk-nepuk pipinya. Lelaki yang pernah menjadi rivalnya dalam mendapatkan hati Dea itu mengarahkan jari tengah ke arahnya.“Lain kali nggak usah coba-coba minum! Ngerepotin orang aja! Untung aku ini masih peduli ya sama Mas, karena aku kasihan. Coba kalau nggak ada aku, bisa dimanfaatin tuh kondisi Mas sama wartawan gosip. Bisa dibikin foto-foto vulgar, apalagi tadi bareng sama cewek itu. Siapa cewek itu tadi? Kok bisa-bisanya dia udah ngelepas blazer sama sepatunya. Ngeri banget!”Galih memegang wajah Evan. Dia mengerang pelan karena pandangannya masih berputar. “Makasih kamu udah bantuin aku,” katanya.Evan berteriak di depan wajahnya. “Lain kali jangan gitu lagi! Gimana kalau pas aku nggak ada? Tadi aku sama Dea udah hampir —ah, lupain! Pokoknya jangan diulangi lagi. Inget, Mas Galih sama kayak aku, nggak akan kuat sama alkohol. Mas Galih anak baik, anak anteng, nggak neko-neko. Jangan coba-coba lagi!”
Galih membuka pintu ruang kerjanya dengan wajah tersenyum. Hatinya kembali seperti remaja yang tengah jatuh cinta. Semua anggota timnya bahkan terheran-heran dengan tingkahnya pagi itu.Fariz mengetuk pintu ruangannya tak lama kemudian. Lelaki itu meletakkan dokumen ke mejanya. “Kayaknya Bos lagi seneng banget pagi ini,” kata Fariz.Galih tersenyum, “keliatan banget ya, Riz?” tanyanya.Fariz mengangguk. “Bos lagi jatuh cinta ya?”Galih tertawa. “Pengalaman memang nggak bisa bohong ya? Kamu ngerti banget, Riz.”“Ya karena aku juga hari ini ngeliat keponakanku sama kayak Bos. Wajahnya berseri-seri, banyak senyum padahal dia nggak habis gajian. Pas aku tanya, dia katanya punya pacar. Ya meskipun aku belum pernah ketemu sama pacarnya sih,” kata Fariz.Galih mengangguk-angguk menyimak cerita Fariz. “Karena kamu kemarin berhasil bikin Danial invest di perusahaan kita, jadi misi kita kali ini aku percayain
Galih mengecup kening Jason sebelum melangkah menuju jalur masuk penumpang. Di sisi Jason, Dea bersama Evan turut melambaikan tangan. “Hati-hati ya, Mas Galih. Jangan lupa kasih kabar,” katanya.Galih mengangguk. “Aku titip Jason ya, Dek,” katanya.Dea mengangguk. Evan di sisinya tak lepas merangkul pinggang perempuan yang sudah menjadi istrinya itu.“Aku titip Jason, Van,” kata Galih, sambil memeluk Evan sesaat.“Tenang aja, Mas. Meskipun aku sama Jason sering berantem, istriku sabar kok ngadepin Jason,” sahut Evan sekenanya.Galih mengusap rambut anak semata wayangnya itu. “Papa masuk dulu ya, Boy. Biar nggak ketinggalan pesawat,” kata Galih.“Iya, Pa.” Jason melambaikan tangan ke arahnya.“Dadah Pa … cepet pulang, ya! Aku bakalan kangen,” katanya.Galih melambaikan tangan sambil tersenyum. Lelaki itu lalu melangkah masuk menuju ruang tunggu penumpang yang hendak terbang
Galih menghubungi kontak bernama pacar di ponselnya lewat telepon video. Seorang gadis cantik menjawab panggilan itu pada dering ketiga. Galih tersenyum, melambaikan tangannya ke arah kamera.“Halo, Sayang,” katanya memulai obrolan.Galih sengaja berbaring di tempat tidur, mengenakan kaus distro harga di bawah seratus ribuan berwarna hitam sebagai baju tidurnya. Dia tak membuka kausnya, agar gadis itu tak terkejut dengan kebiasaan tidurnya yang buruk bagi sebagian orang.“Kang Jamal, udah selesai kerjanya?” tanya gadis itu.“Udah, Neng. Semuanya lancar,” katanya.Jam digital di ponsel Galih menunjuk angka 22.00, tetapi dia sama sekali tak bisa tidur sebelum melihat wajah cantik kekasihnya itu. Gadis itu mengarahkan ponsel ke arah kamarnya.“Ini kamar kosan aku, Kang. Biasa aja sih, tapi aku nyaman di sini. Soalnya aku nggak mau ngerepotin Om sama Tante terus,” kata gadis itu.“Kalau kit
Galih membuka pintu mobil yang sengaja diparkir di halaman depan Percetakan Gemilang. Iwan melongo karena Galih dengan Jason terlihat seperti anak kembar meski beda usianya terpaut jauh.“Ini Pak Galih yang awet muda apa saya yang tua ya?” lelaki berambut keriting itu tertawa.Evan mempersilakan Galih dengan Jason untuk masuk melalui pintu staf, tetapi Galih menolak.“Aku cuma mau nitip parkir mobil aja. Soalnya kita mau jalan-jalan sama pacarku. Iya ‘kan, Boy?”Jason mengangguk-angguk. “Om Evan semangat kerjanya!” kata bocah lelaki itu sambil tertawa.Jason dengan Galih mengayun langkah menuju gedung Perpustakaan Kampus Metropolitan. Sambil tertawa-tawa, keduanya menaiki anak tangga satu persatu menuju lantai tiga.Ketika melihat Aster sedang fokus ke layar komputer kerjanya, Galih sengaja menekan bel di meja gadis itu. Membuat gadis itu segera merespon dengan mengucapkan kalimat yang sudah dihafaln
Aster menggulung rambutnya menjadi bentuk gelung. Meski terlihat asal-asalan dan membuat beberapa helai rambutnya jatuh ke belakang leher, tetapi hal itu justru membuat Galih menatapnya lebih lama. Terlalu lama hingga asap kecil mengepul di cangkir kopinya pagi itu menguap seluruhnya.Galih menyesap kopinya. “Kenapa kalau serius gitu kamu jadi makin cantik, Sayang? Aku jadi pengen gangguin kamu.”Aster tak menanggapi kalimat lelaki tampan itu, masih sibuk mengetik detail rundown untuk makan malam bisnis bersama Bu Shanti, pendiri sekaligus pemilik merek fesyen mewah Nyx and Nera.Matanya fokus ke layar komputer, jari-jarinya menari dengan lincah di atas tuts keyboard. Di sampingnya, kalender digital sudah tertata dengan sempurna. Mulai dari jam kedatangan, susunan menu, hingga urutan topik yang akan dibicarakan. Kali ini, dia ingin semua terlihat profesional. Tanpa cela.Aster tak ingin melakukan kesalahan sama dua kali.
Pagi itu seharusnya berjalan seperti hari-hari sebelumnya. Namun, pukul sepuluh tepat, ruang rapat utama mendadak sunyi ketika Galih masuk dengan ekspresi dingin. Semua orang bisa merasakan atmosfer ruangan itu berubah.Aster berdiri di sisi proyektor, tangannya gemetar kecil saat memegang clipboard. Dia baru menyadari kekeliruannya lima menit sebelum rapat. Klien JK Jewelry, yang seharusnya datang hari ini, ternyata dijadwalkan besok.Kesalahan fatal.Galih membanting salinan cetak dokumen ke atas meja kaca. Bunyi keras dari tumpukan kertas itu membuat semua orang berjingkat lalu menundukkan pandangan masing-masing. Tidak ada yang berani mengangkat wajah untuk menatap Galih."Aster,” suaranya Galih tenang, tetapi tegas. Namun, bagi Aster, suara itu terdengar tajam, menusuk seperti pisau yang diasah.Galih kembali bertanya. "Kamu bisa jelaskan kenapa jadwal klien kita yang paling penting minggu ini malah kosong hari ini? Kamu tahu apa yang baru saja kamu lakukan?”Semua mata mengalihk
Galih tersenyum, merasa bangga dengan kemampuan gadisnya itu. “Bagus sekali analisismu, Miss Sekretaris!”Aster mengangkat alis. Lalu tersenyum tipis. “Sudah tugas saya, Pak CEO.”Proses syuting itu cukup memakan waktu. Setelah sebelas take ulang dan revisi dialog kecil, syuting berjalan lebih lancar. Di sela break, Evan menyapa Galih, sementara Dea justru menghampiri Aster.“Kak Aster, nggak mau nyoba jadi model? Serius deh ... kamu cocok banget jadi model,” kata Dea.Aster tersenyum. "Kamu terlalu berlebihan. Tapi makasih banyak pujiannya, karena aku lebih suka di belakang layar."Galih mendengar itu, lalu melirik ke arah Aster. "Sayang banget. Kamu punya pesona yang terlalu mahal untuk disembunyikan. Tapi, aku lebih suka kalau kamu ada di belakang layar aja. Karena aku nggak suka kalau banyak laki-laki yang lihat cantiknya kamu.”Aster tersenyum mendengar kalimat itu. Ketika take untuk terakhir kali, G
Pintu lift di lantai tujuh itu terbuka, dan Aster melangkah keluar dengan langkah pasti. Rambutnya disanggul rapi, mengenakan blouse putih gading yang dipadukan dengan rok model A-line hitam. Namun bukan hanya penampilannya yang berubah. Tatapan mata para pegawai kini terasa berbeda."Itu Aster ya? Yang katanya sekarang sekretaris pribadi baru Pak Galih? Katanya dia serem banget, menghalalkan segala cara buat dapetin posisinya yang sekarang," bisik seorang staf perempuan kepada rekannya."Iya. Ruangannya bahkan nempel sama ruangan Pak Galih. Gila, ya? Kok bisa sih ada orang kayak gitu di kantor kita?" timpal yang lainnya.Aster bisa mendengarnya, mustahil jika suara-suara itu tak mengganggunya. Namun, dia sudah memilih untuk mengabaikannya, menulikan telinganya. Dia melemparkan senyum tipis di wajahnya pada mereka. Dan dia tak akan pernah membuat senyumnya pudar hanya karena bisikan-bisikan dan rumor di belakangnya. Dia berjalan melewati mereka dengan anggun, seolah desas-desus itu ha
Selesai berpikir selama beberapa saat, Galih menggelengkan kepala. Fariz di sisinya mengepalkan tangan, menahan amarah. Di tampilan kamera pengawas itu, mereka melihat Putri, sedang bertemu dengan lelaki yang bertugas sebagai kurir untuk mengantarkan barang ke ruangan Galih.“Aku nggak bisa maafin kasus ini, Mas. Tolong Mas Galih proses si Putri sesuai hukum yang berlaku di perusahaan. Aku nggak mau ke depannya Aster terluka, bahkan lebih ekstrem dari kejadian kemarin.”“Tapi aku nggak bisa kayak gitu aja laporin kasus kayak gini ke polisi, Riz. Karena media akan tahu,” kata Galih.“Jadi, Mas lebih milih citra perusahaan daripada keselamatan Aster? Tindakan dia udah ke ranah kriminal lho, Mas,” Fariz terus menumpahkan isi kepalanya.“Aku tahu, Riz. Tapi kita harus berpikir dengan kepala dingin,” Galih memandang ke arah Aster, “gimana menurut kamu, sayang?”Aster menatap Fariz, pamannya itu mengangguk. Pandangan Aster lalu kembali terarah pada Galih. “Aku rasa, kita memang harus kasih
Hari itu, Aster tampil dengan busana rapi. Kemeja satin lembut dipadu rok katun berwarna abu muda membalut tubuhnya yang anggun. Hari pertamanya sebagai sekretaris pribadi Galih membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.Bukan karena dia gugup dengan bekerjaan barunya, melainkan karena pria itu—Galih. Pria yang selama ini hanya dia tatap dari jauh, kini menjadi atasan yang begitu dekat secara fisik dan perasaan.Aster duduk di meja yang biasanya ditempati Tasya. Sedangkan Galih, masih sibuk memberikan petunjuk untuk hal-hal teknis yang harus dilakukan Aster setelah bekerja sebagai sekretarisnya itu.Semua berjalan lancar. Aster sudah menjadwalkan ulang rapat dengan klien untuk Galih, mencetak laporan harian, bahkan menyeduh kopi hitam kesukaan Galih tanpa perlu disuruh. Dia meletakkan kopi itu di meja kerja Galih.Galih hanya menatapnya singkat sambil mengangguk kecil, tetapi cukup untuk membuat pipi Aster bersemu hangat. Ketika Aster kembali ke kursi kerjanya, Galih terse
Pengumuman kepindahan posisi Aster dari divisi Creative Director menjadi sekretaris pribadi Galih membuat Rein sekaligus rekan-rekan kerjanya di ruangan itu terkejut. Terlebih lagi, Sandra sebagai HR yang menyampaikan pesan tersebut.“Ini resmi. Dari perusahaan. Semoga kalian bisa kembali menyesuaikan diri dengan jadwal klien bulan ini. Karena perekrutan pegawai baru akan terealisasi di catur wulan akhir,” Sandra mengangguk dengan sopan sebelum meninggalkan ruangan Creative Director itu.“Pak Rein nggak curiga sama kepindahan Aster yang tiba-tiba?” Putri sebagai orang yang duduk di dekat meja kerja Aster bertanya pada lelaki berkacamata itu.“Saya akan coba hubungi Pak Galih. Karena rancangan desain Aeris Pure seharusnya sudah selesai. Sebagai anggota tim, saya yakin Aster bertanggung jawab.” Lelaki berkacamata itu kembali ke mejanya. Menghubungkan sambungan telepon ke ruangan Galih secara langsung.“Ya? Dengan Galih berbicara,” suara serak itu menyambut Rein.“Pak Galih, mohon maaf k
Galih menatap gadisnya dengan tatapan yang tak ingin melepaskan barang sedetikpun. Dia tahu betul Aster memiliki kecantikan yang sulit diabaikan oleh orang lain. Layaknya mata air jernih di tengah padang pasir, memaksa siapa pun yang lewat untuk berhenti, menatap, bahkan berandai-andai. Galih tak bisa membayangkan hal itu terjadi setiap hari.“Aku bisa gila kalau ngeliat kamu yang secantik ini setiap hari dilihat sama orang lain, sayang,” bisik Galih.Dia memeluk Aster. Ada perasaan sakit yang tak rela mengendap di dadanya setiap kali dia membayangkan Aster melangkah masuk ke kantor tempatnya bekerja. Memandang tubuh indahnya yang terbalut kemeja dengan rok model A-line sederhana, lalu senyum manis gadis itu, seperti menghidupkan bunga yang layu.Aster tertawa dalam nada rendah. Entah apa yang membuat lelaki duda itu terlihat kekanak-kanakan di matanya. Sedangkan Galih masih terus berpikiran bahwa rekan-rekan kerjanya akan mencuri pandang ke arah wajah can
Udara pagi Kota Metropolitan membuat semangat dalam diri Aster meningkat. Kakinya melangkah cepat menyusuri zebra cross sebelum memasuki gedung delapan lantai itu.Aster berjalan dengan percaya diri melewati pintu masuk menuju tempat kerja barunya. Dia menekan kartu di pintu masuk itu sebelum bergabung dengan pegawai lainnya di lift yang akan membawanya menuju lantai tiga.Aster merasa tenang karena tak ada yang diam-diam mencuri pandangan ke arahnya. Dia juga dengan bebas tersenyum ke siapapun yang ditemuinya sebelum menuju ruangan kerjanya di Divisi Creative Director.Perempuan yang mengenalkan dirinya bernama Putri itu menyambut Aster dengan senyum ramah.“Halo, Aster, kamu udah dateng? Pagi banget!” katanya.Aster tersenyum, sambil menaruh tas miliknya di meja kubikel. “Kayaknya kamu lebih pagi, deh. Yang lainnya belum dateng?”Perempuan yang sedang mengecat kukunya dengan kuteks itu menyahut, “paling sebentar lagi. Udah mau jam delapan soalnya. Tunggu aja.”Aster mengangguk-anggu