Home / Romansa / Ayo Menikah, Mas Duda! / Bab 5: Saya Belum Siap

Share

Bab 5: Saya Belum Siap

Author: Mita Yoo
last update Last Updated: 2025-02-08 21:40:04

Dea mengulas senyum lalu mengatupkan bibirnya. Melihat hal itu, Winda justru menggenggam tangan gadis itu.

“Nggak usah terlalu buru-buru. Pelan-pelan aja nggak apa-apa. Nak Dea bisa kenalan lebih dekat sama Galih,” kata Winda.

“Nek,” Jason duduk di sisi wanita itu. Winda mengusap rambut Jason dengan lembut.

“Dokter bilang Papa kelelahan dan stres. Apa mungkin karena kerjaan Papa banyak, Nek?” bocah kecil itu bertanya pada Winda.

“Papamu terlalu banyak menanggung beban. Kasihan dia. Mungkin ini saatnya papamu mencari istri, Jason. Kalau Jason mau punya mama baru?” Kalimat Winda membuat tangan gadis di sisinya terasa dingin.

“Kalau aku terserah Papa, Nek. Pokoknya aku mau yang baik dan cantik, kayak Miss Dea,” Jason menunjuk gadis itu.

Winda kembali menggenggam tangan Dea yang terasa dingin. “Gimana, Nak Dea? Jason sudah setuju. Sekarang tinggal kamunya.”

“Saya …”

Tak lama berselang, lelaki dengan jas dokter itu berada di antara mereka. “Saya sudah kasih Galih obat, Tante. Nanti bisa diminum rutin. Kalau bisa, biarkan dia istirahat selama beberapa hari. Jangan kerja dulu.”

“Makasih ya, Han. Tante banyak berhutang budi sama kamu,” kata Winda.

Lelaki yang berprofesi sebagai dokter itu tersenyum. “Tante ini kayak sama siapa aja.”

“Kalau Tante punya anak perempuan, bakalan Tante jadiin menantu kamu, Han.”

Dokter itu tertawa pelan. Pandangannya terarah pada Dea. “Tante bisa aja! Kalau gitu aku pamit, ya?”

Winda mengangguk. Dia berjalan di sisi Rayhan, mengantarkannya sampai depan pintu.

Dea melirik jam tangannya ketika Winda kembali duduk di sisinya. “Nak Dea lihat dokter yang tadi itu?”

Dea mengangguk. “Dia anak Ibu juga?” tanyanya.

Winda menggeleng, “bukan. Tapi, Galih banyak bantu dia selama pendidikan dokter. Makanya dia udah anggap kami seperti keluarga.”

Dea mengangguk-angguk. Dia ingin segera keluar dari percakapan itu. “Hm, maaf sebelumnya, Bu. Ini jam belajar Jason sudah selesai. Saya boleh, pamit?”

Winda tertawa pelan. “Kok buru-buru? Tante masih pengen ngobrol lho sama kamu. Soalnya Tante ngerasa, kamu anak baik. Kamu juga cantik banget.”

“Bu …” suara berat lelaki membuat percakapan keduanya terjeda. Winda mendongak, lalu buru-buru berdiri untuk menggamit lengan Galih.

“Kamu disuruh istirahat kok malah turun? Harusnya tidur aja!” kata Winda.

Sebagai seorang ibu, perempuan itu tak tega melihat keadaan putra sulungnya. Namun, putra sulungnya justru sibuk menahan ego sendiri.

“Aku udah nggak apa-apa, Bu. Udah mendingan setelah dikasih obat sama Rayhan tadi,” kata Galih.

“Miss Dea sudah mau pulang, ya?” tanyanya pada gadis itu.

“Iya, Pak Galih,” sahut Dea.

Winda hanya tersenyum melihat interaksi keduanya. Dia mulai membayangkan masa depan Galih bersama gadis itu.

“Maaf saya nggak bisa nganterin Miss Dea pulang,” Galih sungguh menyesal dengan keadaannya.

“Nggak apa-apa, Pak Galih. Saya justru nggak enak kalau ngerepotin. Kalau begitu, saya pamit, Pak. Permisi, Bu. Jason, besok Miss Dea ke sini lagi.” Gadis itu segera mengemasi tas miliknya sebelum melangkah ke luar.

Galih menatap ibunya. Perempuan berusia lima puluhan itu tersenyum-senyum.

“Jangan banyak berharap, Bu. Galih udah pernah sekali ngobrol serius sama dia. Dan hasilnya nggak sesuai harapan,” katanya.

“Kamu ditolak sama dia?” tanya Winda.

Galih mengangguk. “Tapi aku belum nyerah. Tapi, ya … Ibu harus sedikit lebih sabar kalau mau punya menantu baru.”

“Bukan buat Ibu. Tapi buat kamu. Dia harus bisa ngurusin kamu, itu yang paling penting,” kata Winda.

Ada senyum kecil di wajah Galih. “Kayaknya aku harus berusaha lebih keras, Bu.”

“Ibu selalu dukung kamu,” ucapan ibunya membuat Galih mendapat suntikan semangat. Demamnya tiba-tiba seolah hilang. Dia seketika merasa sangat sehat.

***

Galih melambaikan tangan sesaat pada Jason sebelum memacu mobil Audi A5 sportback miliknya. Jalanan Kota Metropolitan yang padat membuatnya tak bisa memacu lebih dari kecepatan 60 kilometer.

Fariz menyambutnya begitu dia sampai ruangan kerja. Lelaki itu bahkan seperti takjub melihatnya kembali bekerja.

“Mas Galih nggak apa-apa udah masuk kerja? Kalau masih sakit istirahat aja dulu. Baru juga tiga hari. Tenang aja, semua aku yang ngurus,” katanya.

“Nggak bisa, Riz. Gimana kemarin sama Danial, lancar meetingnya?” tanyanya.

Fariz mengangguk. “Dia nggak datang. Tapi udah tanda tangan. Yang nganterin si Sasha, sekretarisnya.”

Galih mengangguk-angguk. “Pokoknya aku seneng kalau kerjaan kita lancar.”

“Mas Galih nggak coba deketin Sasha aja? Dia cantik lho,” Fariz menyenggol lengannya.

“Sasha memang cantik. Tapi dia bukan tipe saya,” akunya.

“Terus, tipe yang kayak gimana yang Mas Galih mau? Apa yang mungil tapi seksi gitu?” Fariz makin senang menggodanya.

Galih tertawa pelan. “Ya … kalau dia bisa bikin saya yakin untuk lebih serius, dia orangnya.”

“Mau saya kenalin sama keponakannya istri saya, Mas? Dia yatim piatu. Umurnya baru dua empat. Dia baru keterima kerja di Perpustakaan Kampus Metropolitan. Sebelumnya dia bantuin jaga toko istri saya,” katanya.

Galih terkenang pengalaman buruknya karena dikenalkan dengan seorang perempuan. Dia tak ingin jatuh ke lubang yang sama lagi untuk kali ke sekian.

“Untuk saat ini, saya akan cari sendiri. Makasih banyak tawarannya. Kita harus kembali kerja,” katanya.

Fariz mengangguk-angguk. “Pokoknya kalau Mas Galih butuh bantuan, saya siap.”

“Terima kasih, Riz,” ucapnya sebelum Fariz keluar melewati pintu ruangan.

Galih beralih ke meja kerjanya. Ketika membuka surat elektronik di komputer kerjanya, ada sebuah pesan dari domain perusahaannya. Tanpa curiga, Galih membuka surat elektronik itu. Ketika dia melihatnya, seketika bahunya turun melihat foto itu. Entah apa maksud si pengirim, Galih bahkan mengarahkan kepalan tangannya ke atas meja.

“Sudah sejauh apa hubungan mereka? Apa karena itu dia nolak aku?”

Galih segera menghubungi kontak dengan nama Evan dari ponsel pribadinya. Beberapa menit panggilan telepon itu diabaikan. Membuatnya semakin kesal. Tak habis akal, Galih mengirimkan pesan pada kontak yang tak menjawab panggilan telepon darinya itu.

Malam ini aku ngundang kamu sama Miss Dea buat makan malam di rumah. Miss Dea harus ikut, hari ini jadwal dia ngajar Jason.

Galih menyimpan ponselnya di laci meja kerja setelah mengirimkan pesan itu. Dia meraih foto yang terbingkai di meja kerjanya.

“Mel, aku kangen. Tapi, aku nggak bisa hidup kayak gini terus. Maafin aku, Mel,” lirihnya.

Selama ini Galih tak pernah terusik perihal pernikahan. Dia tak terburu-buru, juga tak ingin membiarkan dirinya terlalu terbebani. Bagaimanapun, mencari pendamping hidup yang menyayangi Jason juga menerima dirinya tanpa melihat latar belakangnya adalah sebuah kemungkinan kecil dari ribuan peluang tercipta.

Di tengah kegalauan itu, Galih akhirnya memutuskan untuk menonton serial romantis yang banyak dilihat para perempuan di kantornya. Dia ingin melihat bagaimana mereka bisa tergila-gila pada serial romantis asal negeri Tirai Bambu dan Negeri Ginseng itu.

Salah satu serial memberinya ide. Galih mendadak bersemangat. Dia harus memastikan perasaan gadis itu padanya sebelum memutuskan untuk bisa melupakannya.

“Malam ini semoga ada kejelasan. Aku juga nggak mau berharap lagi kalau memang dia nggak tertarik sama aku,” katanya.

Galih meninggalkan kantor segera setelah jam kerjanya berakhir. Dia menepikan Audi miliknya di sebuah toko dengan hiasan lampu neon bertuliskan Heart itu.

Kaki jenjangnya menyusuri rak rangkaian bunga. Dia tertarik pada rangkaian bunga mawar berwarna merah dengan bunga baby breath itu.

“Semoga dia bakalan suka dengan ini,” harapnya.

Satu-satunya keinginannya untuk malam itu. Semua berjalan sesuai harapannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Seruling Emas
Semangat kak..
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 149: Dreams Come True

    Ballroom mewah itu telah berubah menjadi negeri dongeng. Awan-awan gantung dari krep putih bergerak lembut di langit-langit, seolah menari-nari ditiup angin AC. Dua buaian kecil berhias pita sutra biru muda berdiri megah di panggung utama, dikelilingi oleh balon-balon berbentuk burung bangau yang seolah terbang membawa kabar bahagia. Galih, yang biasanya selalu tampil sempurna dalam setelan jas, hari itu membiarkan keriputan di kemejanya. Ia lebih memilih kenyamanan untuk berlutut di samping Aster yang duduk di sofa khusus dengan perutnya yang membesar seperti bulan purnama.  Galih berdiri di depan tamu-tamu yang telah berkumpul, jari-jarinya gemetar memegang mikrofon. Kaus kasual bertuliskan "Daddy of Twins" yang melekat di tubuhnya terasa asing. Seolah sebuah pembebasan dari belitan dasi dan setelan jas yang biasa mengekangnya.  "Terima kasih..." Suaranya pecah di tengah kalimat ketika pandangannya tertumbuk pada sosok Aster yang baru s

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 148: Ngidam Lagi

    Pukul 11:36 malam. Galih baru saja menutup laptopnya ketika Aster muncul di pintu ruang kerjanya. Tangannya menopang punggung yang pegal, matanya berkaca-kaca dengan tatapan yang bahkan sudah dihafal Galih.Tatapan "ngidam" yang berbahaya untuknya. Entah apa yang Aster minta kali ini."Mas..." Suaranya seperti anak kecil yang memohon permen.  Galih menghela napas dalam, sudah bisa menebak arah pembicaraan itu. "Apa yang mau kamu makan malem-malem begini, Sayang? Mangga muda dicocol sambel? Es krim rasa durian? Atau—"  "Cilok," Aster memotong kalimat Galih. "Tapi bukan beli. Aku mau Mas yang bikin."  Galih membeku. Tangannya yang sedang meraih kacamata terhenti di udara. "Kamu tahu Sayang, aku bahkan nggak bisa bedain antara tepung kanji sama tepung beras, ‘kan?"  Aster melangkah mendekat, meletakkan tangan di perutnya yang membesar. "Si kembar bilang, mereka juga mau….”  Galih meng

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 147: Aku Mimpi Buruk

    Lorong rumah itu sunyi ketika Jason muncul di balik pintu kamar Galih. Ia membawa bantal kesayangannya yang sudah usang terjepit erat di bawah ketiak.Rambutnya yang masih lembap setelah mandi berantakan, dan piyama bergambar dinosaurus terlihat sedikit kecil untuk tubuhnya yang mulai besar dan bertambah tinggi. Ia berdiri di ambang pintu, jari-jari kakinya menggaruk-garuk karpet dengan gugup.  "Bunda... Papa..." Suaranya kecil karena ragu, terdengar seperti rintihan angin malam. "Aku boleh tidur di sini malam ini?"Aster yang sedang bersandar di tumpukan bantal langsung menoleh ke arah Galih, menatap dengan tatapan memohon. Perutnya yang membuncit membuatnya kesulitan bergerak, tetapi matanya sudah mengatakan "ya" sebelum mulutnya terbuka.  Galih, yang sedang memijat kaki bengkak istrinya mengangkat alis. "Kasur kamar Papa udah sempit, Boy. Ditambah perut Bunda yang udah makin besar—"  "Aku janji nggak akan ng

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 146: Bacakan Dongeng

    Lampu bintang-bintang kecil di langit-langit kamar Jason memantulkan cahaya redup, menari-nari di dinding seperti peri yang bersembunyi di balik bayangan. Aster mengatur posisi duduknya dengan susah payah, perutnya yang membuncit membuatnya harus bersandar pada tumpukan bantal ekstra. Jason sudah berbaring di tempat tidur, selimut bergambar dinosaurus terseret sampai ke dagunya, hanya matanya yang berbinar-binar terlihat. Mata yang penuh harap dan sedikit rasa bersalah.Jason melirik Aster, lalu berbisik penuh harap. "Bunda, aku minta sesuatu boleh?” tanyanya.Aster menatap Jason. “Minta apa, Sayang?”“ Aku minta bacain dongeng yang seru. Satu buku aja, Bunda. Yang ada ksatria sama naganya,” ucapnya, ia mengecilkan suaranya seperti bisikan angin malam.Aster mengangguk. “Ya udah, tapi Kakak yang ambil bukunya, ya?”Jason beringsut dari tempat tidur menuju rak buku. Meraih satu buku kisah ksatria dan naga laku meny

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 145: Bangun Tengah Malam

    Meja makan besar di rumah Winda dan Kesuma dipenuhi berbagai hidangan lezat. Rendang, sayur lodeh, sambal terasi, dan ikan bakar yang masih mengepul. Lampu chandelier di atas meja memantulkan cahaya hangat pada wajah-wajah bahagia di sekelilingnya.Aster tersenyum, duduk di kursi khusus dengan bantal tambahan, perutnya yang membesar hampir menyentuh meja.  Winda meraih piring, lalu menyendokkan nasi untuk Aster. "Aster sayang, makan yang banyak ya. Soalnya kamu perlu makan untuk tiga orang sekarang!"  Kesuma tersenyum lalu dengan bijak memberi nasehat putra sulungnya itu. "Galih, kamu harus ekstra perhatian sekarang. Istri yang hamil kembar butuh support penuh. Jangan sampai dia stres menjelang lahiran."    Jason yang duduk di antara kakek-neneknya tiba-tiba berdiri dengan gelas jus di tangan.   "Tolong dengerin aku dulu, semuanya! Aku mau kasih pengumuman! Sebagai calon kakak, aku janji akan bantu j

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 144: Menagih Janji

    Malam minggu yang tenang di ruang keluarga tiba-tiba pecah ketika Jason melompat ke pangkuan Galih yang sedang asyik membaca laporan kantor. Matanya berbinar dengan tekad yang sudah dipendam berbulan-bulan.   "Papa, ingat janji Papa waktu Bunda baru hamil? Katanya kalau aku jagain Bunda baik-baik, nanti adiknya bisa jadi laki-laki..."  tanya Jason dengan nada serius.  Galih salah tingkah, laporannya terjatuh. Aster yang sedang minum teh di seberang tersedak.  Aster terbatuk-batuk. "Jason sayang, itu kan—"  Jason melirik Galih dengan tatapan tajam. "Sekarang Bunda hamil kembar, tapi kata dokter bisa jadi dua-duanya adik perempuan juga!" Ia melipat tangan di dada, "Papa bohong ya?"  Galih menghela napas panjang, menarik Jason ke pelukannya. Di sudut ruangan, Winda yang sedang berkunjung menutupi tawanya dengan serbet.  "Sayang, jenis kelamin bayi itu bukan Papa yang nentuin. Itu kayak..

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status