Galih membuka pintu rumahnya begitu bel ditekan dua kali. Buket bunga mawar berwarna merah dengan baby breath itu berpindah ke tangan gadis di depannya.
“Makasih banyak, Pak Galih. Ya ampun, saya jadi nggak nyaman,” kata gadis itu. Galih menghiraukan tatapan tajam dari lelaki tampan yang berdiri di sisi gadis itu —adik kandungnya sendiri. Dia mempersilakan keduanya masuk. Di meja makan, aneka hidangan yang memanjakan mata dan aroma harum menguar, membuat tak sabar untuk segera mencicipi kelezatan hidangan itu. Galih menarik kursi untuk gadis itu, mempersilakan gadis itu untuk duduk. “Terima kasih, Pak Galih sudah repot-repot,” kata gadis itu. “Saya senang sekali, Miss Dea,” katanya. Galih duduk di hadapan gadis itu. Sedangkan Evan memilih menarik kursi di samping gadis itu. Ketiganya berada dalam suasana tak nyaman. Galih menatap Dea bergantian dengan wajah menyebalkan Evan. Di hadapannya, keduanya duduk bersisian. Evan bahkan tak tahu malu mulai mengecup tangan gadis itu di depan matanya bahkan ketika mereka baru saja mulai makan. ‘Ini artinya aku ditolak dua kali, ya?’ Galih merasa kali ini patah hatinya lebih berat dibandingkan sebelumnya. Gadis di depannya hanya mengangguk pelan sambil tersenyum padanya. Galih berharap jika gadis itu akan memilihnya, tetapi dia bisa menerka jawaban gadis itu dari tatapan matanya. “Mas Galih sekarang percaya, ‘kan sama aku? Aku sama Dea udah rencanain pertunangan kami. Dea juga udah ketemu sama Ibu. Iya, kan Sayang?” Evan menatap gadis di sisinya. Gadis itu mengangguk meski dia berada dalam suasana canggung, tetapi Galih bisa merasakan jika gadis itu benar-benar tak memiliki perasaan apapun terhadapnya. “Jadi Miss Dea beneran mau nerima adik saya yang menyebalkan dan suka mencari perhatian ini, ya?” Galih menekankan pengucapan kata menyebalkan dan suka mencari perhatian. Gadis di depannya tersenyum. “Saya minta maaf sebelumnya, Pak Galih. Saya semula memang ragu sama Evan. Tapi, dia … ah, tante Winda juga sudah memberikan restu untuk kami. Saya berharap, Pak Galih bisa menemukan perempuan lain yang lebih baik dari saya. Saya juga berharap, ke depannya, hubungan kita tetap baik. Karena saya akan tetap menjadi tutor matematika Jason, sekaligus menjadi adik ipar Pak Galih.” Galih tersenyum. Senyum yang dipaksakannya untuk terlihat di wajah. “Baiklah. Saya ucapkan selamat untuk kalian. Dan rasanya saya lebih lega karena Miss Dea terlihat bahagia dengan adik saya. Saya patah hati, jujur. Tapi, saya menghargai keputusan Miss Dea. Dan saya menerima Miss Dea, bukan berarti saya tidak cemburu dengan keberadaan Evan. Saya cemburu dan ingin sekali memukul wajahnya, hanya berusaha menahan diri saja, demi Miss Dea.” Galih melihat Evan mengepalkan tangan, hendak melayangkan tinju ke wajahnya. Namun, Dea dengan sigap menahan tangan Evan. “Kamu nggak boleh begitu sama kakakmu sendiri. Dia udah baik banget sama aku selama ini,” kata Dea. Galih tertawa pelan melihat adiknya menjadi penurut di depan gadis itu. Evan sudah bertemu pawangnya, pikirnya. “Kita lanjutkan makan malamnya, Miss Dea. Silakan, dihabiskan, ya.” Galih menyodorkan makanan penutup pada gadis di depannya. Dia bisa melihat wajah cemburu Evan karena hal itu, dan ternyata menyenangkan bisa menggoda adiknya. Galih semakin yakin untuk melakukan apa yang ada di pikirannya. Dia akan melakukannya segera setelah malam itu berakhir. *** Jam digital di ponselnya menunjuk angka 03:00 ketika Galih terjaga dari mimpi indahnya. Dia memulai ritual bersih-bersih segera setelah merapikan tempat tidurnya yang sudah sepuluh tahun tak terasa hangat itu. Dia menatap wajahnya di cermin kamar mandi, melihat keindahan ciptaan Tuhan dengan matanya sendiri. “Mulai sekarang aku bakalan berperan sebagai Jamal. Ya, Jamal orang biasa yang kerjanya sebagai buruh di tempat percetakan. Semoga Tuhan menuntun aku ke tempat yang benar kali ini,” katanya pada diri sendiri. Galih bahkan menyiapkan kaus tanpa kerah dengan celana training dalam tas ransel lima puluh ribuan yang dibelinya di sebuah toko di pinggir jalan. Dia akan memulai hidupnya yang baru. Galih mengayun langkah ke kamar Jason, mengecup kepala anak semata wayangnya setelah puas memandangi wajah itu. Tak lupa, selembar kertas dari hasil tulisan tangannya dia tinggalkan di atas tempat tidur Jason. Galih ke luar dari rumah meninggalkan Audi A5 sportback miliknya tetap di garasi. Dia bahkan membeli ponsel baru untuk menjadi orang baru. Dia tak memikirkan hal lain selain misinya. Dan misinya kali ini harus berhasil. Harus. Dia memesan driver ojek melalui aplikasi daring dari ponsel barunya. Seorang driver berhenti di depannya tak lama kemudian. “Dengan Mas Jamal?” tanya lelaki itu sambil menyerahkan helm berwarna hijau padanya. “Betul, Pak.” Motor melaju sepanjang jalan protokol sebelum berbelok menuju jalan Sriwijaya. Galih turun setelah driver itu berhenti di depan ruko dua lantai dengan papan iklan bertuliskan Percetakan Gemilang di atasnya. Galih melihat jam di ponselnya menunjukkan pukul empat tepat. Dengan semangat baru, dia membuka kunci ruko dua lantai itu. “Semoga kali ini aku bisa menemukan seseorang yang tepat untuk jadi istri,” katanya. Galih dengan sigap meraih sapu ijuk dan mulai membersihkan lantai ruko dengan mesin-mesin fotokopi dan keperluan lainnya itu. Dia bahkan membuat lelaki bernama Iwan merasa malu karena masih tertidur di lantai dua ketika Galih sedang sibuk membersihkan ruko. “Pak Galih, biar saya aja. Ya ampun, kenapa Bapak sampai repot-repot begini? Bos Evan bisa marah sama saya kalau begini,” kata Iwan lalu berusaha mengambil sapu di tangan Galih. “Nggak usah. Nggak apa-apa. Aku lagi berusaha mendalami peran. Dan jangan panggil aku Galih. Aku sekarang lagi jadi Jamal. Inget, ya! Aku Jamal di sini. Dan aku sebagai teman kamu di sini, sebagai pekerja di sini.” Galih menunjuk wajah Iwan. “Kamu, kalau kamu ember dengan cerita ke yang lain tentang identitasku, aku bisa minta Evan pecat kamu!” ancamnya. “Ya ampun, Pak. Jangan, dong. Nanti anak sama istri saya makan apa kalau saya dipecat?” “Ya makanya. Panggil saya Jamal! Saya di sini sebagai pegawai baru. Jadi, kamu harus perlakukan saya kayak teman-teman yang lain.” Iwan dengan terpaksa mengangguk. Dia tak ingin kehilangan pekerjaan hanya karena tidak menuruti perkataan kakak dari bosnya itu. “Jadi, Pak Galih beneran mau jadi Jamal buat menarik perhatian cewek, ya?” Iwan ingin memastikannya sendiri. “Benar. Saya sedang mencari istri. Dan di sini adalah tempat ideal untuk mencari istri,” katanya. “Bapak kenapa nggak nyari di kantor aja? Bukannya banyak karyawan perempuan yang masih gadis?” tanya Iwan. “Aku nggak tertarik dengan orang kantor karena nggak ada yang mirip sama Amel. Sekalinya ada yang mirip, malah sukanya sama Evan,” Galih mendadak mencurahkan isi hatinya pada Iwan. Iwan menepuk bahunya sebagai rasa solidaritas. “Sabar, ya. Pak Galih pasti ketemu jodoh kedua.” “Makasih. Dan kamu harus panggil aku Jamal! Jamal, bukan Galih!” “Tapi, Pak Galih mending ganti baju dulu, deh. Kayaknya celana kain sama kemeja nggak cocok sama imej Jamal,” kata Iwan. Galih melihat dirinya lalu menjatuhkan sapu ijuk seketika. Dia buru-buru membawa tas ranselnya ke kamar mandi. Menyisakan Iwan yang tertawa-tawa karena melihat lelaki perfeksionis itu melakukan hal konyol untuk pertama kali.Ballroom mewah itu telah berubah menjadi negeri dongeng. Awan-awan gantung dari krep putih bergerak lembut di langit-langit, seolah menari-nari ditiup angin AC. Dua buaian kecil berhias pita sutra biru muda berdiri megah di panggung utama, dikelilingi oleh balon-balon berbentuk burung bangau yang seolah terbang membawa kabar bahagia. Galih, yang biasanya selalu tampil sempurna dalam setelan jas, hari itu membiarkan keriputan di kemejanya. Ia lebih memilih kenyamanan untuk berlutut di samping Aster yang duduk di sofa khusus dengan perutnya yang membesar seperti bulan purnama. Galih berdiri di depan tamu-tamu yang telah berkumpul, jari-jarinya gemetar memegang mikrofon. Kaus kasual bertuliskan "Daddy of Twins" yang melekat di tubuhnya terasa asing. Seolah sebuah pembebasan dari belitan dasi dan setelan jas yang biasa mengekangnya. "Terima kasih..." Suaranya pecah di tengah kalimat ketika pandangannya tertumbuk pada sosok Aster yang baru s
Pukul 11:36 malam. Galih baru saja menutup laptopnya ketika Aster muncul di pintu ruang kerjanya. Tangannya menopang punggung yang pegal, matanya berkaca-kaca dengan tatapan yang bahkan sudah dihafal Galih.Tatapan "ngidam" yang berbahaya untuknya. Entah apa yang Aster minta kali ini."Mas..." Suaranya seperti anak kecil yang memohon permen. Galih menghela napas dalam, sudah bisa menebak arah pembicaraan itu. "Apa yang mau kamu makan malem-malem begini, Sayang? Mangga muda dicocol sambel? Es krim rasa durian? Atau—" "Cilok," Aster memotong kalimat Galih. "Tapi bukan beli. Aku mau Mas yang bikin." Galih membeku. Tangannya yang sedang meraih kacamata terhenti di udara. "Kamu tahu Sayang, aku bahkan nggak bisa bedain antara tepung kanji sama tepung beras, ‘kan?" Aster melangkah mendekat, meletakkan tangan di perutnya yang membesar. "Si kembar bilang, mereka juga mau….” Galih meng
Lorong rumah itu sunyi ketika Jason muncul di balik pintu kamar Galih. Ia membawa bantal kesayangannya yang sudah usang terjepit erat di bawah ketiak.Rambutnya yang masih lembap setelah mandi berantakan, dan piyama bergambar dinosaurus terlihat sedikit kecil untuk tubuhnya yang mulai besar dan bertambah tinggi. Ia berdiri di ambang pintu, jari-jari kakinya menggaruk-garuk karpet dengan gugup. "Bunda... Papa..." Suaranya kecil karena ragu, terdengar seperti rintihan angin malam. "Aku boleh tidur di sini malam ini?"Aster yang sedang bersandar di tumpukan bantal langsung menoleh ke arah Galih, menatap dengan tatapan memohon. Perutnya yang membuncit membuatnya kesulitan bergerak, tetapi matanya sudah mengatakan "ya" sebelum mulutnya terbuka. Galih, yang sedang memijat kaki bengkak istrinya mengangkat alis. "Kasur kamar Papa udah sempit, Boy. Ditambah perut Bunda yang udah makin besar—" "Aku janji nggak akan ng
Lampu bintang-bintang kecil di langit-langit kamar Jason memantulkan cahaya redup, menari-nari di dinding seperti peri yang bersembunyi di balik bayangan. Aster mengatur posisi duduknya dengan susah payah, perutnya yang membuncit membuatnya harus bersandar pada tumpukan bantal ekstra. Jason sudah berbaring di tempat tidur, selimut bergambar dinosaurus terseret sampai ke dagunya, hanya matanya yang berbinar-binar terlihat. Mata yang penuh harap dan sedikit rasa bersalah.Jason melirik Aster, lalu berbisik penuh harap. "Bunda, aku minta sesuatu boleh?” tanyanya.Aster menatap Jason. “Minta apa, Sayang?”“ Aku minta bacain dongeng yang seru. Satu buku aja, Bunda. Yang ada ksatria sama naganya,” ucapnya, ia mengecilkan suaranya seperti bisikan angin malam.Aster mengangguk. “Ya udah, tapi Kakak yang ambil bukunya, ya?”Jason beringsut dari tempat tidur menuju rak buku. Meraih satu buku kisah ksatria dan naga laku meny
Meja makan besar di rumah Winda dan Kesuma dipenuhi berbagai hidangan lezat. Rendang, sayur lodeh, sambal terasi, dan ikan bakar yang masih mengepul. Lampu chandelier di atas meja memantulkan cahaya hangat pada wajah-wajah bahagia di sekelilingnya.Aster tersenyum, duduk di kursi khusus dengan bantal tambahan, perutnya yang membesar hampir menyentuh meja. Winda meraih piring, lalu menyendokkan nasi untuk Aster. "Aster sayang, makan yang banyak ya. Soalnya kamu perlu makan untuk tiga orang sekarang!" Kesuma tersenyum lalu dengan bijak memberi nasehat putra sulungnya itu. "Galih, kamu harus ekstra perhatian sekarang. Istri yang hamil kembar butuh support penuh. Jangan sampai dia stres menjelang lahiran." Jason yang duduk di antara kakek-neneknya tiba-tiba berdiri dengan gelas jus di tangan. "Tolong dengerin aku dulu, semuanya! Aku mau kasih pengumuman! Sebagai calon kakak, aku janji akan bantu j
Malam minggu yang tenang di ruang keluarga tiba-tiba pecah ketika Jason melompat ke pangkuan Galih yang sedang asyik membaca laporan kantor. Matanya berbinar dengan tekad yang sudah dipendam berbulan-bulan. "Papa, ingat janji Papa waktu Bunda baru hamil? Katanya kalau aku jagain Bunda baik-baik, nanti adiknya bisa jadi laki-laki..." tanya Jason dengan nada serius. Galih salah tingkah, laporannya terjatuh. Aster yang sedang minum teh di seberang tersedak. Aster terbatuk-batuk. "Jason sayang, itu kan—" Jason melirik Galih dengan tatapan tajam. "Sekarang Bunda hamil kembar, tapi kata dokter bisa jadi dua-duanya adik perempuan juga!" Ia melipat tangan di dada, "Papa bohong ya?" Galih menghela napas panjang, menarik Jason ke pelukannya. Di sudut ruangan, Winda yang sedang berkunjung menutupi tawanya dengan serbet. "Sayang, jenis kelamin bayi itu bukan Papa yang nentuin. Itu kayak..