Beranda / Romansa / Ayo Menikah, Mas Duda! / Bab 7: Kelakuan Jamal

Share

Bab 7: Kelakuan Jamal

Penulis: Mita Yoo
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-04 22:01:12

Evan menatap kakak lelakinya tanpa berkedip. Kaus tanpa kerah dengan celana panjang jersey itu membuat penampilan lelaki itu berbeda. Galih yang selama ini perfeksionis, dewasa dan berwibawa mendadak berubah menjadi Jamal yang terlihat sangat ‘biasa saja’ dalam pandangan Evan.

“Mas Galih nggak salah pake baju kayak gini buat nyari cewek?” tanya Evan.

Galih mengerutkan kening sebelum berkata sarkas. “Kamu nggak ngerasain gimana susahnya aku karena menjadi Galih selama ini. Jadi nggak usah sok peduli. Kamu sekarang jadi Bos aku. Panggil aku Jamal, bukan Galih!”

Evan berusaha kembali memberinya nasehat. “Oke, oke. Tapi maksudnya, Mas Galih yakin ini bakalan berhasil? Gimana kalau misalnya cewek itu justru sakit hati karena kebohongan Mas Galih?”

“Itu urusan belakangan. Pokoknya aku cari calon istri yang baik dan tulus tanpa memandang siapa aku,” Galih menyahut sambil mulai memotong kertas dengan pisau pemotong di meja besar.

“Tapi aku nggak tanggung jawab ya kalau ada kerugian di tempat Mas Galih karena Mas Galih maksa kerja di sini,” kata Evan sambil meletakkan satu rim kertas di mesin fotokopi.

“Aku udah serahin sama Fariz. Dan masalah itu, nggak usah khawatir. Aku bakalan bagi waktu kok,” sahut Galih.

“Ada pelanggan. Coba Mas Galih handle yang baru dateng itu,” Evan menunjuk dengan dagunya.

Galih mengisyaratkan dengan ibu jarinya. Dia berusaha untuk melayani pembeli yang datang untuk menggunakan jasa mereka.

“Ada yang bisa dibantu, Neng Geulis?” tanya Galih.

“Ini, Kang. Saya mau fotokopi dokumen ini lima lembar, terus print foto ini ukuran tiga kali empat tiga lembar, sama beli materai sepuluh ribu lima lembar,” kata gadis dengan wajah tertutup poni itu.

Galih mengangguk-angguk. Dia segera melakukan tugas pertamanya untuk melayani pembeli. Galih melangkah menuju mesin fotokopi.

Dia mendekat ke arah Evan untuk bertanya cara mengoperasikan mesin fotokopi di sana. Untung saja stok kesabaran adik lelakinya itu masih banyak.

“Jadi Mas Galih atur dulu posisi kertasnya, terus nanti Mas Galih tekan ini, scan. Terus baru deh diprint.”

Galih mengangguk-angguk. “Makasih, Bos! Kayaknya aku perlu training dulu, deh sebulan,” katanya.

Evan hanya menepuk-nepuk bahunya. Dia tak tertarik untuk bermain peran dengan Galih alias Jamal.

Iwan kemudian mulai memberikan petunjuk pada Galih untuk menggunakan mesin fotokopi di sana, sekaligus memberinya informasi bagaimana agar pekerjaan selesai lebih cepat. Galih yang sedang bermain peran sebagai Jamal itu hanya mengangguk-angguk pleno.

Jamal kembali ke meja etalase kaca di mana pemesan jasa mereka menunggu. Dia meletakkan buku milik gadis itu di atas etalase.

“Ini fotokopinya, ini pas fotonya dan ini materainya. Semuanya delapan puluh tujuh ribu,” katanya.

Gadis itu mengeluarkan selembar uang kertas bergambar pasangan presiden dengan wakil Indonesia pertama. Jamal tersenyum menerimanya.

“Sebentar, ya. Kembaliannya,” katanya.

Gadis itu mengangguk. Jamal membuka laci untuk mencari uang kembali untuk gadis itu. Evan menunjuk laci kecil di sisinya.

“Uang kecil semuanya ada di sini. Tolong diinget harganya, ya. Jangan sampe salah. Aku nggak mau rugi,” kata Evan.

Jamal tersenyum dengan menampilkan giginya. “Tenang, Bos. Aku jamin omzet kita nambah karena ada aku,” katanya sebelum melangkah dengan percaya diri untuk mengembalikan uang milik customer mereka.

Evan yang melihat tingkah Jamal hanya bisa menggelengkan kepala. “Yah … semoga ada cewek yang beneran tulus sama dia,” gumamnya.

Jamal masih tersenyum ketika customer mereka telah berbalik arah. Iwan yang berdiri tak jauh darinya hanya bisa menahan diri untuk tidak berkomentar.

“Dia penjaga perpustakaan Kampus Metro, Pak Galih. Kalau Bapak penasaran, ajak kenalan aja,” kata lelaki berambut keriting itu.

Galih menoleh. “Sudah aku bilang, jangan panggil Galih. Panggil Jamal, aku lagi kerja di sini!”

“Tapi ‘kan lagi nggak ada orang, Pak, cuma ada Bos Evan aja,” kilahnya.

“Pokoknya kalau masih jam kerja kamu harus panggil saya Jamal! Dan saya nggak mau kamu nggak merhatiin kerjaan kamu hanya gara-gara saya kerja di sini!” kata Galih.

Iwan hanya mengangguk. Dalam hati dia membatin, kena protes lagi, deh. Nasib …

***

Galih sengaja tak mengganti setelan kaos dengan celana trainingnya dengan kemeja dipadu celana hitam katun yang biasa dipakainya ketika ngantor. Dia bahkan menolak tawaran Evan untuk naik ke mobilnya dan memilih naik angkot bersama Iwan. Galih sudah bertekad, dia akan menjalani peran Jamal sampai menemukan calon istri yang sesuai dengan kriterianya.

Angkot berhenti di halte Kampus ketika seorang gadis naik. Galih terbelalak ketika gadis itu adalah gadis yang menjadi customer mereka hari itu.

“Pulang ke mana, Neng?” dia mengawali percakapan dengan gadis di hadapannya.

Galih tersenyum geli karena tingkahnya. Basa-basi bukanlah sifat Galih, tetapi dia berperan sebagai Jamal dan harus menyesuaikan diri dengan karakter Jamal.

“Jalan Waru, Kang. Akang perantau, ya di sini? Saya baru lihat Akang kerja hari ini di Percetakan Gemilang,” katanya.

Galih tersenyum sekali lagi, “iya, Neng. Saya pegawai baru di sana.”

Gadis itu mengangguk-angguk. Dia lalu mengulurkan tangan pada Galih. “Saya Aster Puspita, Kang. Saya sering ke percetakan buat fotokopi atau bantu nge-print tugas-tugas titipan mahasiswa di Kampus,” katanya.

“Saya Jamal, Neng. Salam kenal,” Galih menjabat tangan gadis itu sesaat sebelum mengalihkan pandangannya ke luar jendela.

Ketika angkutan umum berbelok ke Jalan Waru, gadis itu berseru, “kiri, Bang!”

Ketika angkutan umum berhenti, gadis itu tersenyum ke arah Galih sebelum turun. “Saya duluan, Kang Jamal,” katanya sambil mengangguk sopan.

Galih turut mengangguk pelan sambil tersenyum. Dalam hati dia mulai berencana untuk mengambil langkah lebih cepat dibandingkan gadis itu.

“Aster Puspita. Nama yang cantik, secantik orangnya,” gumamnya.

Galih merasa harinya lebih baik setelah pertemuannya dengan gadis itu. Meski tak dipungkiri, dia masih belum melupakan Dea, tetapi hatinya tak sesakit kemarin.

“Jangan melamun, Pak Galih! Nanti kesambet genderuwo!” celetuk Iwan. Galih bahkan melupakan lelaki berambut keriting yang duduk di angkutan umum bersamanya itu.

Galih berdecak. ‘Mengganggu saja!’ rutuk batinnya.

“Besok saya berangkat pagi-pagi naik ojek online, Wan. Kamu harus sudah ada di percetakan jam enam, atau saya minta Evan pecat kamu!”

“Pak Galih seneng banget ngancam, ya? Sama sekali nggak sama dengan Bos Evan,” bibir Iwan maju lima senti ketika mengatakan itu.

“Memangnya kenapa sama Evan? Dia berbeda dengan saya. Dia urakan, susah diatur, semaunya sendiri. Dia juga sering bikin ulah sampai ribut dengan Ayah,” katanya.

“Tapi Bos Evan tuh baik sama karyawan, Pak Galih. Nggak pernah ngancem mecat sesukanya. Bos Evan juga sering traktir kita makanan kalau penjualan lagi bagus. Pak Galih harus belajar dari Bos Evan cara biar nggak kaku,” seloroh Iwan.

Galih mengangguk. Perkataan Iwan ada benarnya. Dia menepuk-nepuk bahu Iwan. “Ya udah, mulai besok saya nggak akan bilang pecat-pecat kamu lagi. Saya minta maaf. Mulai sekarang kita jadi teman kerja, karena saya bakalan jadi Jamal,” katanya sambil tersenyum.

Iwan tertawa pelan. “Gitu dong, Pak. Senyum, biar cewek-cewek pada suka. Pak Galih ‘kan ganteng, single, mapan lagi. Pasti cewek-cewek pada ngejar-ngejar,” katanya.

Galih menimpali, “justru itu, Wan. Saya berperan sebagai Jamal supaya cewek-cewek nggak tahu siapa saya. Status saya, pekerjaan saya juga. Intinya saya pengen calon istri yang nggak akan mandang latar belakang saya.”

“Iya, deh. Semoga berhasil ya, Pak. Saya seneng kalau Pak Galih bisa nemuin orang itu,” ucapan Iwan terdengar tulus di telinga Galih.

Galih tersenyum sekali lagi. Ya, semoga saja.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 89: Surat Peringatan (2)

    Siang itu langit di atas gedung kantor tampak kelabu, seperti mencerminkan suasana hati Galih yang penuh tekanan. Ia berdiri di balkon lantai lima, menyandarkan tubuh pada pagar besi sembari memandangi jalanan kota yang sibuk. Fariz menyusulnya, membawa dua gelas kopi hitam dengan asap kecil mengepul.“Aku yakin ada orang yang nggak suka sama Aster, Mas,” ujar Fariz, menyerahkan segelas kopi ke Galih. “Bukan cuma nggak suka... tapi juga berusaha jatuhin dia.”Galih mengangguk perlahan. “Kalau tebakan aku benar, ini kerjaannya Katrina. Tapi dia bukan tipe yang akan ngaku, apalagi kalau nggak kepepet. Kita butuh bukti kuat. Pengakuan, rekaman suara... sesuatu yang bisa menjerat dia tanpa bisa mengelak.”Fariz menatap Galih penuh harap. “Jadi, apa rencana kamu, Mas?”Galih menyesap kopinya perlahan, lalu menatap ke arah jalanan dengan tatapan penuh strategi. “Kita perlu seseorang yang bisa deketin dia. Bikin dia lengah. Ngerasa menang.

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 88: Surat Peringatan

    Ruang kerja Galih terasa lebih sesak dari biasanya. Meski lampu putih menyala terang, ventilasi bekerja dengan baik, dan kopi panas masih mengepul di atas meja kaca. Namun, ketegangan yang dibawa oleh Fariz membuat udara seakan membeku.Fariz berdiri di depan meja, menggenggam map biru di tangannya. Wajahnya tak biasa. Tersirat ada keraguan sekaligus kecemasan yang tak bisa ditutupi.“Mas Galih,” ucap Fariz pelan, membuka pembicaraan. “Ada pemberitahuan penting dari manajer keuangan. Ini terkait selisih dana dua puluh juta waktu itu.”Galih yang sedang membolak-balik dokumen, langsung menghentikan gerakannya. Kepalanya terangkat, matanya fokus menatap rekan kerjanya itu.“Jadi, gimana?” tanyanya cepat.Fariz menarik napas sebelum menjawab, lalu meletakkan map di atas meja. “Yang jelas, sistem pelaporan kita nggak keliru. Transaksi itu nyata. Tapi... ada sesuatu yang aneh.”“Maksud kamu?” Galih balik

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 87: Perang Dingin (2)

    Beberapa hari kemudian, Katrina sengaja mengatur sebuah kebetulan agar bertemu Jason saat anak itu keluar dari tempat les piano. Ia turun dari mobil mewahnya sambil membawa buku fiksi bersampul tebal berjudul Mission Impossible in Vegarun karangan Mita Yulia Hikmawati.“Jason, ya?” sapanya dengan nada ramah.Jason menoleh, sedikit bingung. “Iya, Tante siapa?”“Tante temennya Papa kamu. Nama Tante Katrina. Dulu Tante juga suka main piano, tapi sekarang aku lebih suka baca buku fantasi. Nih, kamu suka buku beginian ‘kan?” ujarnya sambil menyodorkan buku.Jason mengernyit curiga, tetapi menerima buku itu perlahan. “Iya sih… aku suka. Tapi Papa nggak pernah cerita soal Tante.”Katrina tertawa kecil. “Papa kamu dulu sering cerita tentang kamu, tapi mungkin dia lupa nyebut aku. Gimana kalau kita ngobrol sambil makan es krim? Tante tahu tempat es krim enak deket sini.”Jason ragu sejenak, tapi rasa penasara

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 86: Perang Dingin

    Ruang makan keluarga Winda malam itu penuh aroma ikan gurame bakar pedas manis. Masakan khas yang selalu menjadi cara ibunya memancing nostalgia Galih. Namun malam itu, aromanya seperti racun.Galih berdiri kaku di ambang pintu ruang makan, napasnya tercekat begitu melihat Katrina duduk manis di salah satu kursi, mengenakan dress formal dengan senyum manis yang terkesan manipulatif. Aster yang berdiri di sebelahnya juga langsung menyadari sesuatu yang tak beres.“Ibu nggak bilang kalau dia tamu yang Ibu maksud,” suara Galih terdengar dingin, nyaris berbisik pada ibunya.Winda menaruh sendok besar ke atas meja dan memutar tubuh, wajahnya tersenyum tipis tapi suaranya tajam. “Galih! Jaga bicara kamu. Dia tamu Ibu. Dan dia juga lulusan luar negeri, lebih baik dari pacar kamu secara finansial.”Kalimat itu menghantam Aster seperti tamparan di wajah. Namun ia menunduk, mencoba tetap tenang. Galih tidak. Tangannya segera menggenggam

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 85: Badai Baru

    Baru saja Galih meletakkan tas kerjanya di meja ketika ponselnya bergetar kencang. Di layar ponsel tertera nama Ibu dengan huruf kapital dan emotikon bunga melati yang dia tambahkan sendiri.Tangannya segera menggeser tombol di layar, menjawab telepon itu. Dia berdiri dekat jendela kantornya sambil menghela napas pendek.Biasanya, telepon pagi dari ibunya berisi kabar seputar tanaman baru di taman atau cerita tetangga yang memelihara burung mahal. Namun, nada suara ibunya kali ini terdengar berbeda.Lebih serius, seperti memanggilnya untuk menghadiri pertemuan penting. Dan Galih memiliki firasat tak nyaman."Ya, Bu?" sapanya lembut.Matanya sambil menatap pemandangan gedung tinggi yang berbaris rapat di balik jendela kantornya."Nanti malam kamu ada acara, Galih?" tanya suara perempuan setengah baya dari seberang, terdengar tenang. Namun, Galih paham ada maksud lain di balik pertanyaan itu."Malam ini kebetulan free, Bu. Ada apa?""Ibu ada tamu penting. Malam ini kamu ke rumah, ya? Ib

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 84: Malam Penuh Hasrat

    Langit senja mulai memudar di balik jendela mobil saat kendaraan dinas itu melaju di jalan tol yang lengang. Di dalam kabin yang sunyi, hanya suara AC dan lagu lembut dari radio yang terdengar samar.Aster tertidur lelap di bahu Galih. Wajahnya tenang, sesekali menarik napas pelan seperti anak kecil yang baru saja berhenti menangis.Wajahnya terlihat lelah. Riasan wajahnya mulai pudar, rambutnya sedikit berantakan, dan jemari tangannya menggenggam map presentasi yang tadi pagi masih ia baca berulang-ulang.Galih menatap wajah itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Bangga, haru, dan sedikit bersalah.Lelaki tampan itu menggenggam tangan Aster dengan lembut, lalu menunduk dan mengecup punggung tangan itu perlahan. Hanya satu sentuhan hangat yang tidak akan membangunkannya, tetapi cukup untuk menggambarkan perasaannya yang dalam pada Aster.“Kasihan banget sayang aku… capek ya, Neng?” bisiknya lirih, seolah takut mengganggu mimpi kekasihnya itu. “Maaf, ya. Kamu jadi kerja berat kayak g

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status