Evan menatap kakak lelakinya tanpa berkedip. Kaus tanpa kerah dengan celana panjang jersey itu membuat penampilan lelaki itu berbeda. Galih yang selama ini perfeksionis, dewasa dan berwibawa mendadak berubah menjadi Jamal yang terlihat sangat ‘biasa saja’ dalam pandangan Evan.
“Mas Galih nggak salah pake baju kayak gini buat nyari cewek?” tanya Evan. Galih mengerutkan kening sebelum berkata sarkas. “Kamu nggak ngerasain gimana susahnya aku karena menjadi Galih selama ini. Jadi nggak usah sok peduli. Kamu sekarang jadi Bos aku. Panggil aku Jamal, bukan Galih!” Evan berusaha kembali memberinya nasehat. “Oke, oke. Tapi maksudnya, Mas Galih yakin ini bakalan berhasil? Gimana kalau misalnya cewek itu justru sakit hati karena kebohongan Mas Galih?” “Itu urusan belakangan. Pokoknya aku cari calon istri yang baik dan tulus tanpa memandang siapa aku,” Galih menyahut sambil mulai memotong kertas dengan pisau pemotong di meja besar. “Tapi aku nggak tanggung jawab ya kalau ada kerugian di tempat Mas Galih karena Mas Galih maksa kerja di sini,” kata Evan sambil meletakkan satu rim kertas di mesin fotokopi. “Aku udah serahin sama Fariz. Dan masalah itu, nggak usah khawatir. Aku bakalan bagi waktu kok,” sahut Galih. “Ada pelanggan. Coba Mas Galih handle yang baru dateng itu,” Evan menunjuk dengan dagunya. Galih mengisyaratkan dengan ibu jarinya. Dia berusaha untuk melayani pembeli yang datang untuk menggunakan jasa mereka. “Ada yang bisa dibantu, Neng Geulis?” tanya Galih. “Ini, Kang. Saya mau fotokopi dokumen ini lima lembar, terus print foto ini ukuran tiga kali empat tiga lembar, sama beli materai sepuluh ribu lima lembar,” kata gadis dengan wajah tertutup poni itu. Galih mengangguk-angguk. Dia segera melakukan tugas pertamanya untuk melayani pembeli. Galih melangkah menuju mesin fotokopi. Dia mendekat ke arah Evan untuk bertanya cara mengoperasikan mesin fotokopi di sana. Untung saja stok kesabaran adik lelakinya itu masih banyak. “Jadi Mas Galih atur dulu posisi kertasnya, terus nanti Mas Galih tekan ini, scan. Terus baru deh diprint.” Galih mengangguk-angguk. “Makasih, Bos! Kayaknya aku perlu training dulu, deh sebulan,” katanya. Evan hanya menepuk-nepuk bahunya. Dia tak tertarik untuk bermain peran dengan Galih alias Jamal. Iwan kemudian mulai memberikan petunjuk pada Galih untuk menggunakan mesin fotokopi di sana, sekaligus memberinya informasi bagaimana agar pekerjaan selesai lebih cepat. Galih yang sedang bermain peran sebagai Jamal itu hanya mengangguk-angguk pleno. Jamal kembali ke meja etalase kaca di mana pemesan jasa mereka menunggu. Dia meletakkan buku milik gadis itu di atas etalase. “Ini fotokopinya, ini pas fotonya dan ini materainya. Semuanya delapan puluh tujuh ribu,” katanya. Gadis itu mengeluarkan selembar uang kertas bergambar pasangan presiden dengan wakil Indonesia pertama. Jamal tersenyum menerimanya. “Sebentar, ya. Kembaliannya,” katanya. Gadis itu mengangguk. Jamal membuka laci untuk mencari uang kembali untuk gadis itu. Evan menunjuk laci kecil di sisinya. “Uang kecil semuanya ada di sini. Tolong diinget harganya, ya. Jangan sampe salah. Aku nggak mau rugi,” kata Evan. Jamal tersenyum dengan menampilkan giginya. “Tenang, Bos. Aku jamin omzet kita nambah karena ada aku,” katanya sebelum melangkah dengan percaya diri untuk mengembalikan uang milik customer mereka. Evan yang melihat tingkah Jamal hanya bisa menggelengkan kepala. “Yah … semoga ada cewek yang beneran tulus sama dia,” gumamnya. Jamal masih tersenyum ketika customer mereka telah berbalik arah. Iwan yang berdiri tak jauh darinya hanya bisa menahan diri untuk tidak berkomentar. “Dia penjaga perpustakaan Kampus Metro, Pak Galih. Kalau Bapak penasaran, ajak kenalan aja,” kata lelaki berambut keriting itu. Galih menoleh. “Sudah aku bilang, jangan panggil Galih. Panggil Jamal, aku lagi kerja di sini!” “Tapi ‘kan lagi nggak ada orang, Pak, cuma ada Bos Evan aja,” kilahnya. “Pokoknya kalau masih jam kerja kamu harus panggil saya Jamal! Dan saya nggak mau kamu nggak merhatiin kerjaan kamu hanya gara-gara saya kerja di sini!” kata Galih. Iwan hanya mengangguk. Dalam hati dia membatin, kena protes lagi, deh. Nasib … *** Galih sengaja tak mengganti setelan kaos dengan celana trainingnya dengan kemeja dipadu celana hitam katun yang biasa dipakainya ketika ngantor. Dia bahkan menolak tawaran Evan untuk naik ke mobilnya dan memilih naik angkot bersama Iwan. Galih sudah bertekad, dia akan menjalani peran Jamal sampai menemukan calon istri yang sesuai dengan kriterianya. Angkot berhenti di halte Kampus ketika seorang gadis naik. Galih terbelalak ketika gadis itu adalah gadis yang menjadi customer mereka hari itu. “Pulang ke mana, Neng?” dia mengawali percakapan dengan gadis di hadapannya. Galih tersenyum geli karena tingkahnya. Basa-basi bukanlah sifat Galih, tetapi dia berperan sebagai Jamal dan harus menyesuaikan diri dengan karakter Jamal. “Jalan Waru, Kang. Akang perantau, ya di sini? Saya baru lihat Akang kerja hari ini di Percetakan Gemilang,” katanya. Galih tersenyum sekali lagi, “iya, Neng. Saya pegawai baru di sana.” Gadis itu mengangguk-angguk. Dia lalu mengulurkan tangan pada Galih. “Saya Aster Puspita, Kang. Saya sering ke percetakan buat fotokopi atau bantu nge-print tugas-tugas titipan mahasiswa di Kampus,” katanya. “Saya Jamal, Neng. Salam kenal,” Galih menjabat tangan gadis itu sesaat sebelum mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Ketika angkutan umum berbelok ke Jalan Waru, gadis itu berseru, “kiri, Bang!” Ketika angkutan umum berhenti, gadis itu tersenyum ke arah Galih sebelum turun. “Saya duluan, Kang Jamal,” katanya sambil mengangguk sopan. Galih turut mengangguk pelan sambil tersenyum. Dalam hati dia mulai berencana untuk mengambil langkah lebih cepat dibandingkan gadis itu. “Aster Puspita. Nama yang cantik, secantik orangnya,” gumamnya. Galih merasa harinya lebih baik setelah pertemuannya dengan gadis itu. Meski tak dipungkiri, dia masih belum melupakan Dea, tetapi hatinya tak sesakit kemarin. “Jangan melamun, Pak Galih! Nanti kesambet genderuwo!” celetuk Iwan. Galih bahkan melupakan lelaki berambut keriting yang duduk di angkutan umum bersamanya itu. Galih berdecak. ‘Mengganggu saja!’ rutuk batinnya. “Besok saya berangkat pagi-pagi naik ojek online, Wan. Kamu harus sudah ada di percetakan jam enam, atau saya minta Evan pecat kamu!” “Pak Galih seneng banget ngancam, ya? Sama sekali nggak sama dengan Bos Evan,” bibir Iwan maju lima senti ketika mengatakan itu. “Memangnya kenapa sama Evan? Dia berbeda dengan saya. Dia urakan, susah diatur, semaunya sendiri. Dia juga sering bikin ulah sampai ribut dengan Ayah,” katanya. “Tapi Bos Evan tuh baik sama karyawan, Pak Galih. Nggak pernah ngancem mecat sesukanya. Bos Evan juga sering traktir kita makanan kalau penjualan lagi bagus. Pak Galih harus belajar dari Bos Evan cara biar nggak kaku,” seloroh Iwan. Galih mengangguk. Perkataan Iwan ada benarnya. Dia menepuk-nepuk bahu Iwan. “Ya udah, mulai besok saya nggak akan bilang pecat-pecat kamu lagi. Saya minta maaf. Mulai sekarang kita jadi teman kerja, karena saya bakalan jadi Jamal,” katanya sambil tersenyum. Iwan tertawa pelan. “Gitu dong, Pak. Senyum, biar cewek-cewek pada suka. Pak Galih ‘kan ganteng, single, mapan lagi. Pasti cewek-cewek pada ngejar-ngejar,” katanya. Galih menimpali, “justru itu, Wan. Saya berperan sebagai Jamal supaya cewek-cewek nggak tahu siapa saya. Status saya, pekerjaan saya juga. Intinya saya pengen calon istri yang nggak akan mandang latar belakang saya.” “Iya, deh. Semoga berhasil ya, Pak. Saya seneng kalau Pak Galih bisa nemuin orang itu,” ucapan Iwan terdengar tulus di telinga Galih. Galih tersenyum sekali lagi. Ya, semoga saja.Ballroom mewah itu telah berubah menjadi negeri dongeng. Awan-awan gantung dari krep putih bergerak lembut di langit-langit, seolah menari-nari ditiup angin AC. Dua buaian kecil berhias pita sutra biru muda berdiri megah di panggung utama, dikelilingi oleh balon-balon berbentuk burung bangau yang seolah terbang membawa kabar bahagia. Galih, yang biasanya selalu tampil sempurna dalam setelan jas, hari itu membiarkan keriputan di kemejanya. Ia lebih memilih kenyamanan untuk berlutut di samping Aster yang duduk di sofa khusus dengan perutnya yang membesar seperti bulan purnama. Galih berdiri di depan tamu-tamu yang telah berkumpul, jari-jarinya gemetar memegang mikrofon. Kaus kasual bertuliskan "Daddy of Twins" yang melekat di tubuhnya terasa asing. Seolah sebuah pembebasan dari belitan dasi dan setelan jas yang biasa mengekangnya. "Terima kasih..." Suaranya pecah di tengah kalimat ketika pandangannya tertumbuk pada sosok Aster yang baru s
Pukul 11:36 malam. Galih baru saja menutup laptopnya ketika Aster muncul di pintu ruang kerjanya. Tangannya menopang punggung yang pegal, matanya berkaca-kaca dengan tatapan yang bahkan sudah dihafal Galih.Tatapan "ngidam" yang berbahaya untuknya. Entah apa yang Aster minta kali ini."Mas..." Suaranya seperti anak kecil yang memohon permen. Galih menghela napas dalam, sudah bisa menebak arah pembicaraan itu. "Apa yang mau kamu makan malem-malem begini, Sayang? Mangga muda dicocol sambel? Es krim rasa durian? Atau—" "Cilok," Aster memotong kalimat Galih. "Tapi bukan beli. Aku mau Mas yang bikin." Galih membeku. Tangannya yang sedang meraih kacamata terhenti di udara. "Kamu tahu Sayang, aku bahkan nggak bisa bedain antara tepung kanji sama tepung beras, ‘kan?" Aster melangkah mendekat, meletakkan tangan di perutnya yang membesar. "Si kembar bilang, mereka juga mau….” Galih meng
Lorong rumah itu sunyi ketika Jason muncul di balik pintu kamar Galih. Ia membawa bantal kesayangannya yang sudah usang terjepit erat di bawah ketiak.Rambutnya yang masih lembap setelah mandi berantakan, dan piyama bergambar dinosaurus terlihat sedikit kecil untuk tubuhnya yang mulai besar dan bertambah tinggi. Ia berdiri di ambang pintu, jari-jari kakinya menggaruk-garuk karpet dengan gugup. "Bunda... Papa..." Suaranya kecil karena ragu, terdengar seperti rintihan angin malam. "Aku boleh tidur di sini malam ini?"Aster yang sedang bersandar di tumpukan bantal langsung menoleh ke arah Galih, menatap dengan tatapan memohon. Perutnya yang membuncit membuatnya kesulitan bergerak, tetapi matanya sudah mengatakan "ya" sebelum mulutnya terbuka. Galih, yang sedang memijat kaki bengkak istrinya mengangkat alis. "Kasur kamar Papa udah sempit, Boy. Ditambah perut Bunda yang udah makin besar—" "Aku janji nggak akan ng
Lampu bintang-bintang kecil di langit-langit kamar Jason memantulkan cahaya redup, menari-nari di dinding seperti peri yang bersembunyi di balik bayangan. Aster mengatur posisi duduknya dengan susah payah, perutnya yang membuncit membuatnya harus bersandar pada tumpukan bantal ekstra. Jason sudah berbaring di tempat tidur, selimut bergambar dinosaurus terseret sampai ke dagunya, hanya matanya yang berbinar-binar terlihat. Mata yang penuh harap dan sedikit rasa bersalah.Jason melirik Aster, lalu berbisik penuh harap. "Bunda, aku minta sesuatu boleh?” tanyanya.Aster menatap Jason. “Minta apa, Sayang?”“ Aku minta bacain dongeng yang seru. Satu buku aja, Bunda. Yang ada ksatria sama naganya,” ucapnya, ia mengecilkan suaranya seperti bisikan angin malam.Aster mengangguk. “Ya udah, tapi Kakak yang ambil bukunya, ya?”Jason beringsut dari tempat tidur menuju rak buku. Meraih satu buku kisah ksatria dan naga laku meny
Meja makan besar di rumah Winda dan Kesuma dipenuhi berbagai hidangan lezat. Rendang, sayur lodeh, sambal terasi, dan ikan bakar yang masih mengepul. Lampu chandelier di atas meja memantulkan cahaya hangat pada wajah-wajah bahagia di sekelilingnya.Aster tersenyum, duduk di kursi khusus dengan bantal tambahan, perutnya yang membesar hampir menyentuh meja. Winda meraih piring, lalu menyendokkan nasi untuk Aster. "Aster sayang, makan yang banyak ya. Soalnya kamu perlu makan untuk tiga orang sekarang!" Kesuma tersenyum lalu dengan bijak memberi nasehat putra sulungnya itu. "Galih, kamu harus ekstra perhatian sekarang. Istri yang hamil kembar butuh support penuh. Jangan sampai dia stres menjelang lahiran." Jason yang duduk di antara kakek-neneknya tiba-tiba berdiri dengan gelas jus di tangan. "Tolong dengerin aku dulu, semuanya! Aku mau kasih pengumuman! Sebagai calon kakak, aku janji akan bantu j
Malam minggu yang tenang di ruang keluarga tiba-tiba pecah ketika Jason melompat ke pangkuan Galih yang sedang asyik membaca laporan kantor. Matanya berbinar dengan tekad yang sudah dipendam berbulan-bulan. "Papa, ingat janji Papa waktu Bunda baru hamil? Katanya kalau aku jagain Bunda baik-baik, nanti adiknya bisa jadi laki-laki..." tanya Jason dengan nada serius. Galih salah tingkah, laporannya terjatuh. Aster yang sedang minum teh di seberang tersedak. Aster terbatuk-batuk. "Jason sayang, itu kan—" Jason melirik Galih dengan tatapan tajam. "Sekarang Bunda hamil kembar, tapi kata dokter bisa jadi dua-duanya adik perempuan juga!" Ia melipat tangan di dada, "Papa bohong ya?" Galih menghela napas panjang, menarik Jason ke pelukannya. Di sudut ruangan, Winda yang sedang berkunjung menutupi tawanya dengan serbet. "Sayang, jenis kelamin bayi itu bukan Papa yang nentuin. Itu kayak..