Galih menatap undangan di tangannya. Undangan itu diantar oleh ibunya sendiri, sepulang dia bekerja di Percetakan Gemilang yang dikelola Evan. Foto gadis yang dikenalnya itu terlihat cantik dalam balutan busana pengantin. Sang pria yang menjadi pasangannya tampak lebih tampan mengenakan jas berwarna hitam. Pria itu, tak lain adalah adik kandungnya sendiri.
“Aku harus dateng sama siapa? Masak sama Jason?” keluhan keluar dari bibirnya.Dia kemudian berpikir untuk mengajak gadis itu. Gadis yang baru dikenalnya satu pekan lalu. “Aster, ya? Apa dia mau? Tapi, kalau nggak dicoba, nggak akan pernah tahu hasilnya ‘kan?”Galih sudah memutuskan. Dia akan mendekati gadis itu tanpa menunggu lebih lama. Dia ingin segera membawa gadis itu dalam pelukannya. Namun, bagaimana caranya agar gadis itu tidak mengetahui identitas dirinya yang sesungguhnya?“Kayaknya aku emang harus ngomongin ini sama Evan kalau nggak mau dia ngerusak rencana aku. DaHujan mulai reda ketika Aster dan Galih tiba di rumah Evan. Dea memeluk Aster erat, mencoba menenangkan sahabatnya yang sejak kehilangan jejak Jason belum berhenti menangis. Sementara itu, Evan dan Galih berdiri di ruang kerja kecil milik Evan, memandangi layar laptop yang menampilkan peta pelacakan kendaraan dari sinyal plat nomor.“Aku udah kirim data ke temenku di kepolisian, Mas. Tapi ini butuh waktu. Andre bukan orang sembarangan, Mas Gal,” ujar Evan.Galih mengangguk. “Aku sadar sekarang… kita terlalu menyepelekan dia.”Di Kamar tamu itu, Aster terdiam. Ia duduk di lantai, memandangi selembar foto lama yang ia keluarkan dari dompet kecilnya. Foto masa kecil bersama seorang bocah laki-laki tampan, tersenyum kikuk di depan rumah tua. Bocah itu adalah Andre.Flashback, Belasan Tahun Lalu…Di sebuah dusun kecil, Aster kecil tinggal bersama neneknya setiap libur sekolah. Ia selalu ditemani Andre, tetangga sebelah
Hujan turun pelan, menggores jendela seperti tangan masa lalu yang ingin mengetuk kembali. Di pagi yang sendu itu, Aster membuka kotak surat di pagar rumah mereka dan mendapati sebuah amplop krem tanpa nama pengirim. Tak ada perangko, tak ada stempel. Hanya tertulis: “Untuk Aster.” Tangannya gemetar saat membuka kertas di dalamnya. Aroma samar kapur tulis tercium samar, membangkitkan kenangan kelas-kelas kecil di masa sekolah dasar. “Kamu masih ingat taman kecil di belakang rumah nenekmu? Tempat kita sembunyi saat hujan pertama datang? Aku ingat kamu suka melipat daun jambu jadi perahu. Aku menunggu kamu kembali. Tapi kamu hilang. – R” Aster terdiam. Dunia seperti berhenti sejenak. R. Raka. Andre. Semua teka-teki mulai tersambung. Sementara Itu, di sekolah Jason… Jason melambaikan tangan pada Evan yang menjemputnya lebih awal karena hujan deras. Namun, dari kejauhan, seorang pria bert
Langit sore menggantung kelabu saat Jason menunggu jemputan di depan sekolah. Biasanya Aster atau sopir pribadi yang datang. Namun sore itu, seseorang yang tak dikenal menghampirinya.“Jason?” panggil seorang pria berpakaian rapi, membawa helm motor di tangan.Jason menoleh, mengerutkan dahi. “Iya. Om siapa?”Lelaki itu tersenyum. “Aku Andre. Temen papa kamu.”Jason menatap lelaki itu, heran. “Temen Papa? Kok aku nggak pernah ketemu sama Om?”“Soalnya Om ketemu sama papa kamu udah dua puluh tahun lalu,” katanya.“Terus, kenapa Papa nggak jemput aku dan malah Om yang ke sini?” tanya Jason.“Ya. Papa kamu mendadak meeting, Bunda kamu katanya masih di kantor. Mereka minta aku jemput kamu. Anggap aja kita udah pernah ketemu 'kan waktu di kantor papamu?”Jason mengangguk ragu. “Ya… kayaknya Om bukan orang jahat,” kata Jason.Lelaki itu menyeringai. “Betul. Nggak mungki
Sementara itu, di apartemen lama Dewi, Galih berdiri di depan rak buku lama milik Dewi, menyisir dengan cepat dokumen-dokumen dan kliping foto dari masa SMA. Di salah satu map lusuh, ia menemukan foto berdebu yang membuatnya tercekat.Foto itu diambil saat kegiatan OSIS, tahun 2007. Ada Galih muda yang saat itu masih dikenal dengan nama panggilan Ady. Ia berdiri di barisan paling belakang. Namun, bukan itu yang membuatnya terdiam.Di pojok kanan bawah foto, hampir tak terlihat, ada sosok lain.Andre. Berdiri setengah membelakangi kamera, wajahnya nyaris tertutup rambut panjangnya.Di balik foto itu, tertulis kalimat dengan tinta merah.‘Kenapa kalian semua berpura-pura seolah aku nggak pernah ada?’Di rumah, malam mulai turun. Aster sedang menyisir rambut panjangnya di depan cermin. Saat ia mengangkat pandangan, ia melihat sesuatu di pantulan kaca jendela.Seorang perempuan berdiri di b
Keesokan harinya, Aster menyempatkan diri ke tempat ibunya dirawat dahulu, sebuah rumah sakit tua yang kini beralih fungsi menjadi panti jompo. Ia berbincang dengan seorang perawat senior bernama Bu Sinta. "Maaf, Bu. Dulu... pernah ada pasien laki-laki aneh yang suka mondar-mandir di sekitar ruang rawat Mama saya, nggak?" Bu Sinta mengernyit, lalu berkata, “Kamu anaknya Bu Harni?” tanya Bu Sinta. Aster mengangguk. “Ya Allah... Iya, ada. Dia suka duduk di bangku taman. Diem aja. Nggak pernah bicara. Tapi setiap jam tiga sore, dia nunggu di kursi ujung lorong... Kayak nunggu seseorang keluar dari ruangan.” Aster merasa bulu kuduknya merinding. "Ibu masih inget nggak, siapa namanya?" "Kalau nggak salah... Andre. Andre Soetikno." *** Hujan mengguyur langit kota seperti ingin menyapu bersih jejak-jejak masa lalu yang mulai bangkit dari kuburnya. Aster baru saja tiba di rumah usai mengantarkan Jason ke kelas les Mandarin. Ketika ia membuka pintu pagar, pandangannya langsung
Aster tak bisa melupakan pandangan laki-laki yang bersama Dewi. Bukan karena wajahnya, tetapi karena perasaan tak nyaman yang muncul tiba-tiba. Semacam firasat yang tak bisa dijelaskan. Bahkan ketika mereka sudah tiba di rumah, bayangan wajah pria itu masih terpatri di benaknya. Malamnya, setelah Jason tertidur dan rumah sunyi, Aster membuka ponsel dan mulai mencari-cari akun media sosial Dewi. Ia menemukan foto-foto yang sama seperti yang sering Dewi pamerkan. hidup mewah, liburan, dan restoran mahal. Namun, tak satu pun foto pria tadi muncul di feed-nya. "Hm. Aneh banget. Padahal tadi gandengannya nempel banget,” gumamnya. Galih masuk ke kamar membawa dua cangkir teh hangat. “Masih stalking, ya sayang?” Aster menoleh sambil tersenyum kecil. “Kepo aja. Tapi aneh, Mas. Cowok tadi nggak ada di sosmed dia.” Galih duduk di sisi tempat tidur. "Mungkin baru kenalan?" “Tapi tatapan cowok itu... Dia ngeliat kamu, Mas. Lama banget. Kayak kenal gitu,” ucap Aster, kini mulai serius