Galih menatap undangan di tangannya. Undangan itu diantar oleh ibunya sendiri, sepulang dia bekerja di Percetakan Gemilang yang dikelola Evan. Foto gadis yang dikenalnya itu terlihat cantik dalam balutan busana pengantin. Sang pria yang menjadi pasangannya tampak lebih tampan mengenakan jas berwarna hitam. Pria itu, tak lain adalah adik kandungnya sendiri.
“Aku harus dateng sama siapa? Masak sama Jason?” keluhan keluar dari bibirnya.Dia kemudian berpikir untuk mengajak gadis itu. Gadis yang baru dikenalnya satu pekan lalu. “Aster, ya? Apa dia mau? Tapi, kalau nggak dicoba, nggak akan pernah tahu hasilnya ‘kan?”Galih sudah memutuskan. Dia akan mendekati gadis itu tanpa menunggu lebih lama. Dia ingin segera membawa gadis itu dalam pelukannya. Namun, bagaimana caranya agar gadis itu tidak mengetahui identitas dirinya yang sesungguhnya?“Kayaknya aku emang harus ngomongin ini sama Evan kalau nggak mau dia ngerusak rencana aku. DaJam di ponselnya menunjuk pukul enam tepat, ketika mahasiswa-mahasiswi yang selesai kuliah sore di area Kampus Metropolitan mulai meninggalkan Kampus. Galih pamit pada Iwan untuk pulang lebih dulu. Dia menyandang tas pinggangnya di punggung. Dengan postur tegap itu, dia berjalan menyusur sepanjang jalan menuju Halte terdekat.“Kang Jamal …!” seru suara perempuan. Galih menghentikan langkahnya sejenak sebelum menoleh. Gadis yang mengikat rambut panjangnya mirip ekor kuda itu melambai ke arahnya.Dia bukan laki-laki yang membuat perempuan repot, sehingga Galih berbalik arah untuk menuju gadis itu.“Ih padahal ‘kan nggak apa-apa Kang Jamal nunggu di sana aja,” kata gadis itu.“Saya nggak mau bikin kamu capek, Neng Geulis.”Ada senyum di wajah gadis itu. “Kang Jamal umurnya berapa sih? Hobinya apa?”Pertanyaan dari gadis itu membuat Galih sedikit terkejut. Namun, dia segera mengatur ekspresi wajahnya.
Ketika azan dzuhur berkumandang, Iwan pamit lebih dulu pada Galih untuk menunaikan sholat. Galih dengan sigap menggantikan pekerjaan Iwan untuk meneruskan memotong tumpukan kertas yang tebalnya empat sentimeter itu.Buku berjilid hard cover dengan tulisan Skripsi yang diketik dalam huruf kapital Times New Roman itu menarik perhatian Galih. Dia mengenang saat menjalani pendidikan di Perguruan Tinggi.“Jadi inget perjuangan masa lalu,” gumamnya.Dia juga membantu menutup pintu geser Percetakan Gemilang, mengganti papan pengumuman dari Buka menjadi Istirahat. Iwan dengan rambut basah muncul dari pintu belakang.“Mau makan siang, Bos? Makasih ya udah bantuin kerjaan aku,” kata Iwan.Galih hanya menepuk bahu Iwan. Lelaki itu lalu meninggalkan Percetakan Gemilang menuju rumah makan di depan ruko mereka. Sebuah janji harus ditepatinya.Gadis yang menutupi wajahnya dengan poni depan lurus itu melambai ke ara
Galih meletakkan ponselnya usai membalas pesan singkat yang dikirimkan sebuah kontak ke nomor kontaknya. Lelaki itu tak sepenuhnya berkonsentrasi pada pekerjaannya.Tasya mengetuk pintu ruangannya, tumpukan berkas di tangan gadis itu membuat Galih memijat pelipisnya. Pasti berkas untuk ditandatangani, pikirnya.“Kalau Bos lagi bete, coba makan cokelat atau minum kopi. Sedikit kafein bisa bikin pikiran fresh lagi,” kata Tasya.Gadis itu berdiri di depannya. Menunggu. Galih membuka satu-persatu kalimat klausa yang ada dalam perjanjian itu sebelum membubuhkan tanda tangan basah di atas namanya.“Saya cuma lagi nggak bisa fokus aja, Sya. Makasih sarannya.” Galih melirik Tasya, menunjuk sofa di ruangannya. “Kamu bisa duduk dulu, Sya. Ini agak lama karena banyak.”“Oke.” Tasya duduk di sofa sambil membuka majalah yang berisi koleksi model mereka dan beberapa kerjasama dengan beberapa jenama terkenal.“Bos,
Galih mengalihkan pandangannya karena takut jika gadis itu akan marah. Namun, tangan gadis itu lebih dulu meraihnya. Membuatnya bertemu dengan tatapan penuh ingin dari gadis itu. Sekali lagi, hal menyenangkan itu terjadi.Rasa manis yang membuatnya candu itu berasal dari bibir gadis itu. Galih menarik diri lebih dulu, tak ingin menjadi sebab hubungan yang belum lama itu kembali retak.“Aku nggak masalah, Kang. Tapi, lain kali kita cari tempat lain.”Galih tergagap-gagap menjawab, “la-lain kali, di hari pernikahan kita.”Gadis itu tersenyum. “Amin. Kang Jamal udah siap?”Pertanyaan itu membuat Galih mengangguk. “Siap lahir batin, Neng. Ta-tapi… ”“Tapi apa, Kang?” gadis itu bertanya, tatapan matanya penuh harap.Galih perlahan menjawab, “tapi kita harus terbuka satu sama lain, Neng. Kita harus saling kenal luar-dalam.”“Iya, Kang. Aku juga maunya sebelum pernikahan, nggak
Galih bersiul-siul sambil menyisir rambutnya dengan jari. Dia sengaja bercermin di depan pintu kaca butik itu. Ketika seseorang menyentuh lengannya, Galih mengalihkan pandangannya ke arah gadis itu.“Maaf ya, Kang. Aku lama, ya?” tanya gadis itu.Galih menggeleng. “Nggak kok, Neng. Aku juga baru sampai,” kata Galih, tak ingin membebani gadis itu. Dia mengulurkan lengannya pada gadis itu. “Yuk, masuk. Kita pilih baju buat Neng Pita pergi ke kondangan.”Aster menyeringai sebelum menepis lengan Galih. “Nggak usah, Kang. Nggak enak dilihat orang lain.”Galih tersenyum, lalu celingukan sambil menggaruk tengkuknya. Langkahnya mengikuti gadis itu. Pramuniaga di Butik Sarah & Co. menyambut Galih dengan senyum ramah.“Tolong bawakan dress berwarna lila yang tidak terlalu terbuka dan cocok untuk undangan pernikahan, Mbak,” kata Galih.“Baik, Pak. Mari, saya tunjukkan,” perempuan itu menyilakan Galih dan gadis
Galih menatap dirinya di cermin. Setelan jas berwarna hitam dengan dasi berwarna biru dongker itu membuatnya terlihat bersinar. Rambutnya tersisir rapi, jam tangan di pergelangan tangan kirinya membuatnya semakin tampan.Galih melangkah ke luar kamar, menuju kamar Jason. Bocah itu sudah mengenakan tuksedo berwarna hitam dengan rambut tersisir rapi.“Udah siap, Boy?” Galih mengulurkan tangan pada duplikat dirinya versi kecil itu.“Udah, Pa. Kita langsung ke gedung tempat pernikahannya, Pa?” tanya bocah lelaki itu.Sambil berjalan menuju garasi, Galih menjawab, “iya, Boy. Papa anterin kamu dulu ke sana sama Nenek dan Kakek, ya. Karena Papa mau jemput seseorang.”“Calon Bunda aku ya, Pa?” pertanyaan Jason membuat Galih tertawa pelan.“Semoga ya Boy. Semoga jalan Papa menjadikan dia Bunda kamu berjalan lancar,” kata Galih.“Amin, Pa.”Galih membukakan pintu mobil untuk putrany
“Gimana kalau kita ke panggung buat kasih selamat ke mempelai, Neng?” Galih mengulurkan tangannya pada gadis itu.Aster meraih tangan Galih, menggamit lengan kekar itu menuju panggung. Senyum Aster mengembang ketika memberi ucapan selamat kepada keluarga dan kedua mempelai.Galih memeluk Evan, lalu memberi pelukan yang sama pada Dea sekali lagi. Ketika bertemu dengan Jason di panggung, Galih tersenyum ketika bocah kecil itu memberikan jempol ke arahnya.‘Aman. Kayaknya nggak ada orang kantor yang dateng jam segini,’ batinnya.Galih segera menggandeng tangan Aster menuju tempat makan, menjauh dari panggung utama. Aster memindahkan beberapa cake yang dikemas dalam wadah kecil itu ke piring datar yang diambilnya.“Kang Jamal nggak makan? Itu ada siomay, kayaknya enak deh,” gadis itu menunjuk ke arah rak di sisinya.Galih menggeleng. “Aku udah kenyang, nggak bisa makan kebanyakan, Neng.”“Kang Jamal diet, ya?”Galih terkekeh-kekeh. “Nggak, bukan diet. Cuma aku kebiasaan intermittent fasti
Galih menyalami Evan untuk berbasa-basi sebelum turun dari panggung pelaminan. Evan menarik tangannya lalu berbisik di telinganya, “aku doain Mas jodoh sama dia.”“Amin,” ucap Galih sebelum menyusul langkah Aster yang sudah lebih dulu.Ketika Galih berbelok menuju tempat menu, bocah lelaki kecil berlari ke arahnya. Galih merentangkan tangan untuk memeluk bocah itu.“Papa …” teriakan bocah kecil itu berhasil menarik perhatian Aster. Gadis cantik itu menoleh, lalu berbalik arah mendekati keduanya.Galih tersenyum canggung ke arah Aster. Namun, pandangan Aster tak beralih dari wajah bocah lelaki itu. Gadis itu bahkan menebak-nebak dalam hati.“Neng, kenalin, ini anakku,” kata Galih.Aster membeliak. Dia tak menyangka jika tebakannya tepat. Sambil menunduk, Aster mengulurkan tangan ke arah bocah lelaki tampan dengan setelan tuksedo hitam itu.“Halo, Ganteng. Salam kenal, nama Tante Aster Pu
Udara sore itu sedikit berdebu. Langit masih menyisakan warna jingga ketika Aster keluar lebih dulu dari kantor untuk mengurus dokumen pengiriman logistik proyek Moyu. Galih masih tertahan dalam rapat online bersama klien luar negeri.Aster berjalan melewati halaman parkir yang sepi, bersiap menuju mobil operasional. Namun, suara langkah tergesa dan familiar membuat langkahnya melambat.“Eh, Aster,” suara Doni terdengar dari belakang, dan Aster tak sempat menghindar saat pria itu tiba-tiba meraih pergelangan tangannya.Sentuhan itu kasar, mendadak, penuh emosi yang membuat Aster tak nyaman. Gadis itu buru-buru melepaskan diri dari Doni.“Kenapa kamu laporin aku ke HR, hah? Mau sok suci, ya? Padahal kamu juga kayaknya suka waktu aku deketin!” ucap Doni, wajahnya memerah oleh amarah yang tertahan terlalu lama.Aster tercengang, tangannya terus berusaha melepaskan tangan Doni. “Lepasin! Anda sudah keterlaluan, Pak!”
Aster menghapus air matanya dengan tisu. Ia menatap matanya sendiri—mata yang kini terlihat lebih gelap. Lebih dingin.“Aku nggak akan tinggal diam,” katanya lirih.“Aku bakalan laporkan semuanya. Tapi bukan dengan emosi. Aku akan membalas dengan cara yang bikin dia nggak akan mengulangi perbuatannya di masa depan.”Ketika Aster kembali ke ruangannya, dia menatap ke pintu ruangan Galih yang tertutup. Dia ingin mengetuk, ingin mencari perlindungan… tetapi dia mengurungkan niatnya.Tidak sekarang.Dia akan menyelesaikannya lebih dulu. Dengan bukti. Dengan strategi. Dengan kekuatan yang tak lagi lembut.Dan ketika pintu ruangan Galih terbuka karena pria itu hendak ke luar, pandangan mereka bertemu. Galih menatap mata Aster. Dan lelaki itu tahu—ada badai yang mulai berputar dalam diamnya.Aster bekerja dalam diam, tetapi bukan lagi dalam ketakutan. Sejak sore itu, dia mulai menyusun langkah
Pagi itu, kantor Dreams Studio Ltd. terasa lebih sibuk dari biasanya. Aster menurunkan kotak berisi map dari rak tinggi dengan bantuan bangku kecil, mengenakan kemeja biru muda yang dimasukkan rapi ke dalam celana panjang kerja berwarna hitamnya. Rambutnya diikat rendah, wajahnya fokus, terlalu fokus untuk menyadari bahwa seseorang sedang memperhatikannya dari balik meja divisi marketing.“Kamu harus hati-hati, Aster,” suara lelaki dengan kartu pengenal Doni tergantung di leher terdengar, terlalu dekat di belakang Aster.Aster menoleh karena terkejut, lalu lelaki itu mendekatkan tubuhnya hingga bersentuhan dengan punggung Aster.“Lengan kamu bisa keseleo kalau terus-terusan angkat kotak isi map itu sendirian. Apalagi lengan sekecil itu,” katanya.Aster turun perlahan dari bangku. Senyumnya dingin, sopan sekilas, tetapi tak bisa menyembunyikan rasa tidak nyaman. “Terima kasih, Pak Doni. Saya bisa sendiri.”“Sayang sekali,” Doni masih menampilkan senyum miringnya. “Kalau kamu butuh ses
Aster menggulung rambutnya menjadi bentuk gelung. Meski terlihat asal-asalan dan membuat beberapa helai rambutnya jatuh ke belakang leher, tetapi hal itu justru membuat Galih menatapnya lebih lama. Terlalu lama hingga asap kecil mengepul di cangkir kopinya pagi itu menguap seluruhnya.Galih menyesap kopinya. “Kenapa kalau serius gitu kamu jadi makin cantik, Sayang? Aku jadi pengen gangguin kamu.”Aster tak menanggapi kalimat lelaki tampan itu, masih sibuk mengetik detail rundown untuk makan malam bisnis bersama Bu Shanti, pendiri sekaligus pemilik merek fesyen mewah Nyx and Nera.Matanya fokus ke layar komputer, jari-jarinya menari dengan lincah di atas tuts keyboard. Di sampingnya, kalender digital sudah tertata dengan sempurna. Mulai dari jam kedatangan, susunan menu, hingga urutan topik yang akan dibicarakan. Kali ini, dia ingin semua terlihat profesional. Tanpa cela.Aster tak ingin melakukan kesalahan sama dua kali.
Pagi itu seharusnya berjalan seperti hari-hari sebelumnya. Namun, pukul sepuluh tepat, ruang rapat utama mendadak sunyi ketika Galih masuk dengan ekspresi dingin. Semua orang bisa merasakan atmosfer ruangan itu berubah.Aster berdiri di sisi proyektor, tangannya gemetar kecil saat memegang clipboard. Dia baru menyadari kekeliruannya lima menit sebelum rapat. Klien JK Jewelry, yang seharusnya datang hari ini, ternyata dijadwalkan besok.Kesalahan fatal.Galih membanting salinan cetak dokumen ke atas meja kaca. Bunyi keras dari tumpukan kertas itu membuat semua orang berjingkat lalu menundukkan pandangan masing-masing. Tidak ada yang berani mengangkat wajah untuk menatap Galih."Aster,” suaranya Galih tenang, tetapi tegas. Namun, bagi Aster, suara itu terdengar tajam, menusuk seperti pisau yang diasah.Galih kembali bertanya. "Kamu bisa jelaskan kenapa jadwal klien kita yang paling penting minggu ini malah kosong hari ini? Kamu tahu apa yang baru saja kamu lakukan?”Semua mata mengalihk
Galih tersenyum, merasa bangga dengan kemampuan gadisnya itu. “Bagus sekali analisismu, Miss Sekretaris!”Aster mengangkat alis. Lalu tersenyum tipis. “Sudah tugas saya, Pak CEO.”Proses syuting itu cukup memakan waktu. Setelah sebelas take ulang dan revisi dialog kecil, syuting berjalan lebih lancar. Di sela break, Evan menyapa Galih, sementara Dea justru menghampiri Aster.“Kak Aster, nggak mau nyoba jadi model? Serius deh ... kamu cocok banget jadi model,” kata Dea.Aster tersenyum. "Kamu terlalu berlebihan. Tapi makasih banyak pujiannya, karena aku lebih suka di belakang layar."Galih mendengar itu, lalu melirik ke arah Aster. "Sayang banget. Kamu punya pesona yang terlalu mahal untuk disembunyikan. Tapi, aku lebih suka kalau kamu ada di belakang layar aja. Karena aku nggak suka kalau banyak laki-laki yang lihat cantiknya kamu.”Aster tersenyum mendengar kalimat itu. Ketika take untuk terakhir kali, G
Pintu lift di lantai tujuh itu terbuka, dan Aster melangkah keluar dengan langkah pasti. Rambutnya disanggul rapi, mengenakan blouse putih gading yang dipadukan dengan rok model A-line hitam. Namun bukan hanya penampilannya yang berubah. Tatapan mata para pegawai kini terasa berbeda."Itu Aster ya? Yang katanya sekarang sekretaris pribadi baru Pak Galih? Katanya dia serem banget, menghalalkan segala cara buat dapetin posisinya yang sekarang," bisik seorang staf perempuan kepada rekannya."Iya. Ruangannya bahkan nempel sama ruangan Pak Galih. Gila, ya? Kok bisa sih ada orang kayak gitu di kantor kita?" timpal yang lainnya.Aster bisa mendengarnya, mustahil jika suara-suara itu tak mengganggunya. Namun, dia sudah memilih untuk mengabaikannya, menulikan telinganya. Dia melemparkan senyum tipis di wajahnya pada mereka. Dan dia tak akan pernah membuat senyumnya pudar hanya karena bisikan-bisikan dan rumor di belakangnya. Dia berjalan melewati mereka dengan anggun, seolah desas-desus itu ha
Selesai berpikir selama beberapa saat, Galih menggelengkan kepala. Fariz di sisinya mengepalkan tangan, menahan amarah. Di tampilan kamera pengawas itu, mereka melihat Putri, sedang bertemu dengan lelaki yang bertugas sebagai kurir untuk mengantarkan barang ke ruangan Galih.“Aku nggak bisa maafin kasus ini, Mas. Tolong Mas Galih proses si Putri sesuai hukum yang berlaku di perusahaan. Aku nggak mau ke depannya Aster terluka, bahkan lebih ekstrem dari kejadian kemarin.”“Tapi aku nggak bisa kayak gitu aja laporin kasus kayak gini ke polisi, Riz. Karena media akan tahu,” kata Galih.“Jadi, Mas lebih milih citra perusahaan daripada keselamatan Aster? Tindakan dia udah ke ranah kriminal lho, Mas,” Fariz terus menumpahkan isi kepalanya.“Aku tahu, Riz. Tapi kita harus berpikir dengan kepala dingin,” Galih memandang ke arah Aster, “gimana menurut kamu, sayang?”Aster menatap Fariz, pamannya itu mengangguk. Pandangan Aster lalu kembali terarah pada Galih. “Aku rasa, kita memang harus kasih
Hari itu, Aster tampil dengan busana rapi. Kemeja satin lembut dipadu rok katun berwarna abu muda membalut tubuhnya yang anggun. Hari pertamanya sebagai sekretaris pribadi Galih membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.Bukan karena dia gugup dengan bekerjaan barunya, melainkan karena pria itu—Galih. Pria yang selama ini hanya dia tatap dari jauh, kini menjadi atasan yang begitu dekat secara fisik dan perasaan.Aster duduk di meja yang biasanya ditempati Tasya. Sedangkan Galih, masih sibuk memberikan petunjuk untuk hal-hal teknis yang harus dilakukan Aster setelah bekerja sebagai sekretarisnya itu.Semua berjalan lancar. Aster sudah menjadwalkan ulang rapat dengan klien untuk Galih, mencetak laporan harian, bahkan menyeduh kopi hitam kesukaan Galih tanpa perlu disuruh. Dia meletakkan kopi itu di meja kerja Galih.Galih hanya menatapnya singkat sambil mengangguk kecil, tetapi cukup untuk membuat pipi Aster bersemu hangat. Ketika Aster kembali ke kursi kerjanya, Galih terse