Katrina tertawa kecil, menyibak rambutnya ke belakang telinga sambil menyesap mocktail berwarna merah muda dari gelas tinggi.
Senyum puas tersungging di wajahnya ketika Evan melemparkan pujian lain yang membuatnya merasa seperti perempuan paling diinginkan malam itu. Restoran rooftop tempat mereka duduk menyajikan pemandangan kota yang gemerlap. Namun, yang lebih berkilau di mata Katrina adalah bayangan dirinya mendampingi Galih. Bukan gadis kampungan dan miskin seperti Aster."Kamu tahu," ujar Evan, menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan memasang ekspresi kagum palsu, "selain baik, ternyata kamu juga cantik banget. Mas Galih rugi banget udah ngelepas cewek kayak kamu."Katrina terkekeh, suara tawanya lembut, nyaris manja. "Iya 'kan, Van? Aku seneng kamu ada di pihak aku. Aku ngelakuin semua ini biar Galih cuma ngeliat aku. Aku juga bakalan bikin Aster dipecat dari perusahaan.""Aku setuju," sahut Evan sambil menyesap minuUsai rapat direksi selesai malam itu, lampu balkon hotel di Bandung temaram, menghadap ke taman kecil dengan gemericik air dari kolam buatan. Aster dan Galih duduk berdampingan di bangku rotan beralas empuk. Hawa dingin kota mulai turun, tapi tangan mereka saling menggenggam, menghangatkan satu sama lain.Aster menyandarkan kepalanya di bahu Galih. Suaranya lembut, nyaris seperti bisikan."Makasih banyak ya, Mas. Aku nggak tau harus gimana kalau nggak ada kamu."Galih merangkul bahunya, mengusap pelan lengan Aster. Ada ketulusan di matanya, dan rasa lega yang belum lama muncul setelah rapat direksi tadi."Aku juga, sayang. Kamu bukan cuma pacar, tapi partner. Satu-satunya orang yang bisa aku percaya sepenuhnya."Aster terdiam sejenak. Pikirannya kembali ke momen-momen penuh tekanan, saat nama baiknya dicemarkan, saat dia merasa sendirian. Tapi kini, semuanya terasa jauh. Sudah melewati badai.“Aku nggak nyangka kalo dia sejahat itu," katanya dengan nada lirih.Galih menatap wajahnya.
"Tante tahu nggak? Aster menggelapkan uang perusahaan buat kepentingan pribadinya. Padahal keliatannya dia biasa aja, sok polos, ternyata dia juga maling," kata Katrina."Beneran? Kok Tante nggak tahu kabar itu?""Ya jelas Tante nggak tahu. Galih udah ngasih Surat Peringatan ke Aster. Dia pasti nggak mau kalau nama Aster jadi jelek di mata Tante. Karena dia sendiri emang belum bisa lepas dari cewek genit itu."Winda mengepalkan tangan. "Ini nggak bisa dibiarin. Tante harus kasih pelajaran lagi sama anak itu."***Pagi itu langit mendung menyelimuti kota. Hawa kantor pun terasa lebih dingin dari biasanya, bukan hanya karena cuaca, tapi juga karena ketegangan yang diam-diam menyusup di balik rutinitas kerja. Di ruang resepsionis lantai dua, suara hak sepatu yang menghentak-hentak terdengar semakin mendekat. Beberapa karyawan menoleh dan langsung saling melirik ketika menyadari siapa yang datang.W
Aster duduk di ujung sofa ruang tamu hotel, mengenakan blus putih sederhana dan celana kain santai. Rambutnya diikat setengah, wajahnya tampak lebih tenang dari hari-hari sebelumnya.Di hadapannya, Galih duduk bersandar dengan santai, menyentuh tangannya dengan lembut. Aroma kopi hangat dari meja kecil di dekat mereka melengkapi sore yang nyaris sempurna."Aku seneng banget, Mas," bisik Aster sambil menatap Galih lekat-lekat. "Ternyata kamu beneran percaya sama aku."Galih mengangguk, ekspresinya lembut. "Iya, sayang. Aku nggak pernah main-main sama kamu. Aku percaya kamu bukan orang yang akan berkhianat sama aku. Kamu bahkan nggak pernah minta barang-barang mewah selama kita pacaran."Aster menunduk sebentar, bibirnya menyungging senyum getir. "Tapi bukan berarti aku orang baik, Mas. Aku juga punya sisi jahat kok. Apalagi pas denger keluarga kamu ngomongin aku di belakang."Galih menarik napas panjang, wajahnya m
Katrina tertawa kecil, menyibak rambutnya ke belakang telinga sambil menyesap mocktail berwarna merah muda dari gelas tinggi.Senyum puas tersungging di wajahnya ketika Evan melemparkan pujian lain yang membuatnya merasa seperti perempuan paling diinginkan malam itu. Restoran rooftop tempat mereka duduk menyajikan pemandangan kota yang gemerlap. Namun, yang lebih berkilau di mata Katrina adalah bayangan dirinya mendampingi Galih. Bukan gadis kampungan dan miskin seperti Aster."Kamu tahu," ujar Evan, menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan memasang ekspresi kagum palsu, "selain baik, ternyata kamu juga cantik banget. Mas Galih rugi banget udah ngelepas cewek kayak kamu."Katrina terkekeh, suara tawanya lembut, nyaris manja. "Iya 'kan, Van? Aku seneng kamu ada di pihak aku. Aku ngelakuin semua ini biar Galih cuma ngeliat aku. Aku juga bakalan bikin Aster dipecat dari perusahaan.""Aku setuju," sahut Evan sambil menyesap minu
Aster menatap layar ponselnya dalam diam. Di tengah gemerlap lampu kota Bandung yang memantul di kaca jendela kamar hotelnya, hanya satu notifikasi yang terlihat di layar ponselnya."Hati-hati, Sayang. Aku percaya kamu bisa lewatin ini."Pesan itu dikirim satu jam lalu. Tak ada pesan lanjutan. Tak ada panggilan menyusul. Hanya satu baris kalimat yang terasa seperti pelukan dari kejauhan, namun juga seperti penanda bahwa ia kini berjalan di jalur yang harus ditempuh sendirian.Ia menaruh ponsel pelan di meja kecil di samping tempat tidur. Angin malam menyusup dari celah jendela yang tak tertutup rapat. Suara bising dari kendaraan di luar tak mampu mengalihkan pikirannya dari kecemasan yang perlahan membekukan dadanya.Aster menarik napas panjang, lalu berdiri dan melangkah ke arah koper yang belum sepenuhnya dibongkar. Di antara tumpukan kertas dan map proyek yang dititipkan Sandra padanya, ia menyelipkan satu buku catatan koson
Siang itu langit di atas gedung kantor tampak kelabu, seperti mencerminkan suasana hati Galih yang penuh tekanan. Ia berdiri di balkon lantai lima, menyandarkan tubuh pada pagar besi sembari memandangi jalanan kota yang sibuk. Fariz menyusulnya, membawa dua gelas kopi hitam dengan asap kecil mengepul.“Aku yakin ada orang yang nggak suka sama Aster, Mas,” ujar Fariz, menyerahkan segelas kopi ke Galih. “Bukan cuma nggak suka... tapi juga berusaha jatuhin dia.”Galih mengangguk perlahan. “Kalau tebakan aku benar, ini kerjaannya Katrina. Tapi dia bukan tipe yang akan ngaku, apalagi kalau nggak kepepet. Kita butuh bukti kuat. Pengakuan, rekaman suara... sesuatu yang bisa menjerat dia tanpa bisa mengelak.”Fariz menatap Galih penuh harap. “Jadi, apa rencana kamu, Mas?”Galih menyesap kopinya perlahan, lalu menatap ke arah jalanan dengan tatapan penuh strategi. “Kita perlu seseorang yang bisa deketin dia. Bikin dia lengah. Ngerasa menang.